"Uhuk...Uhuk!" Leon tersedak minumannya sendiri. Retina hitamnya menatap tak percaya ke arah Caca. Nikah? Apa semudah itu dia mengajak orang untuk menikah? Leon melirik arlojinya, belum satu jam semenjak takdir mempertemukan mereka, tapi gadis di depannya ini sudah mengajaknya untuk menikah.

"Benar-benar gila!"

πŸ“ŒπŸ“ŒπŸ“Œ

...Read More >>"> A CHANCE (Chapter 1 ||Pertemuan||) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - A CHANCE
MENU
About Us  

Seburuk-buruknya perlakuan orang tua, dalam hati terdalam ia menginginka hal yang terbaik untuk buah hatinya. Namun terkadang kita sering salah mendefinisikan itu semua. 

***

“Apa? Dijodohin!” 

Gadis yang kerap kali dipanggil Caca itu refleks berdiri di depan ke dua orang tuanya. Matanya melotot tak percaya dengan keputusan yang diambil dan didengarnya itu. Apa sampai era modern seperti ini masih ada orang tua yang mau menjodohkan anak-anaknya? Ya ampun, siapapun tolong jelaskan pada orang tua Caca, kalau sekarang sudah bukan zaman Siti Nurbaya lagi.

“Duduk!” bentak sang Papa. Lelaki paruh baya yang bernama Ashraf Malik itu kini menatap anak gadisnya sangar.

Caca kembali duduk, beberapa kali dia terdengar menghela napas panjang, memberitahu kepada kedua orang tuanya, bahwa dia tidak setuju dengan apa yang mereka katakan.

“Ma, Pa. Ayolah! Caca masih kuliah, gimana ceritanya udah mau dijodohin segala!” Caca berusaha menentang dengan halus. Halus? Iya setidaknya sedikit intonasi tinggi masih dalam kategori halus menurutnya.

“Apa salahnya? Papa juga dulu nikah waktu masih kuliah.”

“Itu, kan, dulu, Pa. Sekarang bukan zaman Siti Nurbaya lagi, udah nggak ada acara dijodoh-jodohin gitu. Caca mau fokus kuliah dulu, Pa.”

“Fokus kuliah? Memangnya pernah kamu kuliah dengan benar, ah? Coba kasih tahu Papa, apa yang bisa kamu banggain sampai saat ini?” 

Caca terdiam, ucapan papanya terkadang sering sekali membuatnya bungkam dan tidak bisa mengelak. Dia sadar bahwa dirinya bukanlah anak yang bisa dibanggakan apalagi dipamerkan di depan teman-teman sang papa. Akan tetapi, apakah tidak bisa sebagai seorang ayah dia memikirkan sedikit saja bagaimana keadaan hati dan perasaan anaknya ketika mendengar ucapannya yang menyakitkan.

“Kenapa diam? Nggak bisa jawab, kan? Karena memang nggak ada yang bisa kamu banggakan sama sekali, yang ada kamu hanya bisa menyusahkan orang tua saja. Coba contoh Kakak kamu, sudah cerdas, bisa kuliah tanpa membebani orang tua, berprestasi pula! sedangkan kamu, apa?” 

Caca menatap nanar ke arah papanya. Inilah salah satu alasan kenapa sifatnya membangkang seperti ini. Di mata sang papa, dia seolah anak yang tak berguna, hanya menjadi beban bagi mereka. Apa hanya karena IPK yang ia dapat selama beberapa semester ini tidak pernah memuaskan seorang Ashraf Malik? Apa karena dia tidak bisa mendapatkan beasiswa seperti kakaknya? Menurutnya ini tidak adil, dia sudah mati-matian belajar, namun memang otaknya saja tidak seencer otak yang dimliki oleh kakaknya dan hal itu yang terus saja dipermasalahkan oleh papanya. Bukankah setiap anak memiliki bakatnya masing-masing? Tidak semua anak akan sama.

“Terus! Terus saja bandingin aku sama Kak Bian! Karena anak Papa cuma Kak Bian! Aku hanya orang penyusah, yang mungkin kelahirannya nggak pernah diinginkan! Aku yakin, Papa bukan orang miskin yang harus memikirkan dapat uang dari mana hanya untuk bayar SPP aku yang nggak seberapa dibandingkan dengan Kak Bian. Oh, Atau mungkin, Papa berubah miskin, kalau sudah menyangkut untuk membiayai aku!”

Plak!

“Jaga ucapanmu!” 

Caca tersenyum getir di balik tangan yang kini memegang pipinya yang terasa panas.

“Mas, sudah. Kalau memang Caca tidak mau jangan dipaksa,” mohon Mawa-sang mama. Hati ibu mana yang tidak sedih melihat anak gadisnya dipukuli seperti ini. 

Caca mengusap pelan pipinya yang memerah. Dia tidak terkejut sama sekali dengan tamparan tiba-tiba yang diberikan oleh papanya, karena baginya ini sudah menjadi santapan sehari-hari. Kini Caca tersenyum sinis sembari menatap papanya tanpa rasa takut. Caca benar-benar tak habis pikir, kenapa setiap hal yang dilakukannya selalu saja salah dalam pandangan sang papa.

“Lihat, hasil didikan kamu! Dia tumbuh jadi anak yang nggak tau diri dan pembangkang!”

“Cukup, Pa! kalau Papa marah sama aku, marah, Pa! Tapi jangan sekali-kali bawa nama Mama. Mama sudah mendidik aku dengan baik. Cuma, Papa saja yang tidak tahu mana yang dikatakan baik dan tidak! Apa Papa pernah sekali saja mencontohkan bagaimana menjadi orang tua yang baik? Tidak, ‘kan?”

“Kamu!” 

Caca memejamkan mata erat, ketika lagi-lagi tamparan keras mendarat di pipi putihnya. 

“Mas, Sudah!” Mawa kini begitu erat memegangi tangan suaminya. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu kini berlutut sembari terisak. Caca yang memang pada dasarnya memiliki hati yang begitu lembut, merasakan perih ketika melihat mamanya begitu membelanya.  

“Baik, Caca akan menikah, jika itu kemauan Papa.” 

Mata Ashraf terlihat melembut, meski masih ada amarah yang tersirat dalam sorot tatapan itu.

“Tapi tidak dengan pilihan Papa!” Caca menyambar ransel yang ada di sampingnya, kemudian pergi, membawa luka yang lagi-lagi menganga. 

“Caca, Kembali! atau nggak!....”

“Udah, Mas. Biarkan Caca menenangkan diri dulu. Nanti dia juga akan berubah pikiran.”

“Setuju atau tidaknya anak itu, perjodohan ini akan tetap dilakukan minggu depan.”

Caca lagi-lagi tersenyum sinis mendengar suara sang papa yang masih bisa ditangkap oleh gendang telinganya. Berubah pikiran? Jangan harap itu terjadi. Sudah cukup dia menurut selama ini, sudah cukup batinnya tersiksa dengan sikap papanya yang dirasa sudah kelewatan. Baiklah, jika papanya meminta dirinya untuk menikah, maka akan Caca lakukan. Akan tetapi tidak dengan pilihan laki-laki paruh baya itu. Jika selama ini papa selalu mengatakan kalau dirinya anak yang pembangkang, mungkin sekarang dia akan memperlihatkan kepada papanya bagaimana namanya anak pembangkang yang sebenarnya.

*** 

Caca berjalan tak tentu arah. Kesal, jangan ditanyakan. Memikirkan ini semua lebih rumit dari rumus matematika yang ada dalam mata kuliah statistikanya. Sekarang, bagaimana caranya supaya dia bisa menemukan calon suami dengan cepat. Kenapa sekarang dia harus menyesal karena telah memilih menjadi jomblo sejati. Dalam situasi urgent seperti ini, tidak ada yang akan menjadi alat alternatifmya. Andai dia punya pacar, pasti tidak akan sesulit ini mencari calon suami yang akan diajak menikah. 

“Aaaakh! Sial!” erangnya frustrasi, dia mengacak-acak rambutnya, tak peduli dengan tatapan mata dari orang-orang yang melihatnya. Langkah kakinya terhenti ketika melihat kerumunan pria yang tak jauh darinya. Terbersit ide gila di otak Caca yang memiliki IQ di bawah rata-rata. Jika dia meminta salah satu dari mereka menikahinya, tidak menutup kemungkinan dia akan segera mendapatkan calon suami.

Apa salahnya mencoba, dia juga lumayan cantik, putih, rambut panjang, bulu mata lentik. Tidak ada yang kurang dari dia kecuali satu, kurang pintar, cuma minus itu saja. tapi bukankah kepintaran bisa diasah? setidaknya itu motivasi yang ada di benak Caca sekarang.

“Halo! Ada yang mau nikah sama gue, nggak?!” 

Seketika suara riuh yang dari tadi terdengar kini lenyap dan menimbulkan keheningan. Caca menelan salivanya susah payah, ketika melihat puluhan pasang mata menatap ke arahnya dengan berbagai ekspresi. Baiklah, mungkin apa yang dilakukannya terdengar konyol, tapi ini semua demi harga dirinya di depan orang tuanya. Menjatuhkan \ harga diri di depan orang tak dikenal menurutnya jauh lebih baik daripada terus-terusan dijatuhkan oleh orang yang seharusnya melindungi dan menyayanginya.

“Ayo, Mbak. Saya mau!” 

Tak lama terdengar suara tidak jauh dari tempatnya berdiri, Caca melirik ke kiri dan kanan, mencari asal suara yang terdengar cukup maskulin di telinganya.

“Sepertinya, ganteng dan maco,” gumam Caca dalam hati, jelas dari suaranya saja dia sudah bisa merasakan bahwa pria tersebut tampan dan berwibawa, tapi dari mana asal suara itu? Caca tidak melihat sosok yang berbicara tadi.

“Saya di sini, Mbak.” 

Caca menunduk, mulutnya seketika menganga melihat sang pemilik suara. Namun, tak berapa lama dia kembali mengendalikan ekspresi terkejutnya itu.

“Maaf, Mas. Gue lagi cari calon suami, bukan calon anak. Permisi!” Dengan langkah seribu, Caca segera berlari menjauhi pria berbadan Imut itu. 

“Eh! Mbak. Tapi saya mau. Tunggu, jangan pergi! Loh, Mbak! Tanggung jawab, loh!”

Caca tidak memperdulikan teriakan itu, dengan sekuat tenaga yang ada, dia berlari sejauh mungkin. Ya ampun, ide gilanya itu membuat dia capek sendiri. Satu pelajaran yang dapat Caca ambil dari kejadian tadi, jangan cepat terpikat dengan seseorang hanya dari suaranya saja, bisa saja suara tidak sesuai dengan rupa, seperti tadi. 

Caca bukannya ingin menghina atau apa, tapi mas-mas yang tadi jika dilihat dari postur tubuh lebih cocok menjadi anaknya dari pada menjadi suami. Caca yang tinggi badannya di atas rata-rata badan perempuan, masa memiliki suami yang tingginya hanya sampai pinggangnya saja.  

“Aduuh! Apalagi, sih, ini!” erang Caca ketika tubuhnya tiba-tiba jatuh dengan keras.

Nasib sial ternyata hari ini masih saja berpihak padanya. Akibat memikirkan kejadian yang tadi, Caca berlari sembari menengok ke belakang, takut mas-mas tadi mengejarnya. Sekarang dia harus jatuh terpental, gara-gara tidak sengaja menabrak seseorang. Caca segera bangkit, berusaha menampakkan ekspresi marahnya. Kali ini dia tak mau salah, yang harus salah adalah orang yang telah ia tabrak.

“Lo, jalan nggak pakai mata, ya? Main nabrak orang aja. Kalau gue jatuh terus patah tulang gimana?” Caca tidak mau kalah star untuk mengeluarkan kata-kata kasarnya. Hitung-hitung melampiaskan kekesalan yang dari tadi dia rasakan. Kejam, sih. Tapi dari pada dipendam dan bisa berakibat struk, lebih baik dikeluarkan. Agar tidak lama terpendam dan mengendap. 

  “Eh! Harusnya gue yang marah, kenapa lo yang ngegas! Yang nabrak siapa, yang ngegas siapa!” 

Caca menatap sinis ke arah lawan bicaranya, dari almamater yang dipakai mereka sepertinya satu Universitas.

“Mbak, ayo sini. Jadi nikah, nggak?” 

Caca refleks menoleh ke belakang. Sial, mas-mas tadi ternyata masih mengekorinya. 

“Please, bantu gue kabur dari orang gila itu.”  

“Ah! Orang gila? Mana!” Dari gelagatnya sepertinya manusia di depan Caca ini takut dengan orang gila, kesempatan lagi untuknya memanfaatkan situasi. Caca segera mengeluarkan bakat actingnya, dia memejamkan matanya pura-pura ketakuan.

“Itu, yang lari ke arah sini! Wuaaaa! Dia makin dekat.”

“Ayo, pergi!” 

Caca cukup kaget, ketika tangannya tiba-tiba ditarik untuk berlari. Ternyata tidak terlalu sia-sia dia mengambil jurusan sastra, ilmu yang dia dapatkan bisa bermanfaat di situasi seperti ini. Setelah cukup lama mereka berlari dan dirasa orang yang Caca sebut orang gila tadi berhenti mengikuti. Mereka akhirnya berhenti di sebuah kafe, memesan minuman untuk menghilangkan dahaga sehabis lari marathon.

“Lo, udah ngapain sampai dikejar orang gila segala?” 

“Gue, Caca.” Dengan napas masih ngos-ngosan Caca bukannya menjawab, dia malah memperkenalkan diri. 

“Gue, nggak nanya nama lo!”

“Makanya gue kasih tau, biar lo nggak capek nanya. BTW nama lo, siapa?” 

“Penting banget, ya?”

“Kayak kata pepatah nih, ya, tak kenal maka tak sayang, kalau udah kenal kali aja bisa sayang.” 

Manusia di depan Caca hanya menatapnya heran, kenapa dia bisa bertemu cewek seperti Caca.

“Nama lo, siapa?” Caca kembali bertanya, setelah minuman yang mereka pesan datang.

“Leon.” Jawabnya singkat, sepertinya orang ini tidak suka berbasa basi. Itu menurut Caca pada pertemuan perdana mereka ini.

“Leon.”

“Hmmm” Leon hanya bergumam, ia masih sibuk dengan minuman di hadapannya sekarang. Lari marathon seperti tadi ternyata menghilangkan cukup banyak ion yang ada di dalam tubuhnya. 

“Nikah, yuk!” 

“Uhuk...Uhuk!” Leon tersedak oleh minumannya sendiri. Retina hitamnya menatap tak percaya ke arah Caca. Nikah? Sepertinya yang gila bukan orang yang tadi, tapi perempuan yang sekarang ada di depannya.

“Pelan-pelan, minumnya.” 

Caca menyodorkan dua lembar tisyu ke arah Leon. Namun tidak diterima oleh laki-laki itu.

“Gue nggak heran, sih. Kenapa lo sampai dikejar orang gila.”

“Kenapa?” 

“Lo sama gilanya!” 

Bibir Caca mengerucut, tapi dia tidak heran, sih, Leon mengatakan kalau dirinya gila. Mana ada orang yang baru kenal langsung ngajak nikah. 

“Gue serius, dari pada gue nikah sama orang yang belum gue kenal. Lebih baik nikah sama lo.”

“Ingat! Kita aja baru kenal.” Leon mencoba menyadarkan manusia aneh di depannya ini. Dia bilang tidak mau menikah dengan orang yang belum dia kenal, tapi kenyataannya dia mengajak orang yang bahkan baru bertemu dengannya untuk menikah. Aneh, bukan, sih?

“Ta-tapi, setidaknya gue tahu nama lo dan bentuk wajah lo.” Caca tidak mau kalah berargumen, dia harus bisa meyakinkan cowok di depannya ini untuk menikahinya.

“Lo, nggak takut, kalau ternyata gue orang jahat?”  Leon mendekatkan wajahnya, membuat Caca sedikit mundur.

“Nggak. Mana ada orang jahat takut sam orang gila!” jawab Caca lantang, membuat orang-orang di dekat mereka melirik. Mata Leon terbelalak sempurna.

“Sssstt! Lo bisa kecilin volume suara lo nggak? Kayak toa masjid aja.” Leon membungkam mulut Caca dengan tangannya, benar-benar wanita ini, nggak ada rasa malunya sama sekali.

“Makanya, ayo nikah!” 

“Ogah!” 

Caca gemas sendiri, ia segera menarik tangan Leon, menuliskan sesuatu di telapak tangan cowok itu.

“Gue yakin, suatu saat lo akan berubah pikiran, jadi ini nomer gue. Gue pergi dulu, Bye!” 

Leon menatap tak percaya ke arah Caca yang kini sudah keluar dari area cafe, dia mengusap wajahnya kasar. 

“Eh, ngomong-ngomong makasih atas traktirannya! gue tunggu jawaban lo, intinya minggu depan kita nikah!” seru Caca lantang membuat tatapan pengujung cafe berpusat pada mereka.

“Uhuk!” Lagi-lagi Leon tersedak minumannya sendiri. Dia berusaha tersenyum ramah ke arah orang-orang yang kini tengah menatapnya.

“Benar-benar tuh, bocah!” rutuk leon kesal. Dosa apa yang sudah dia lakukan, sampai bisa dipertemukan dengan manusia seperti Caca.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dandelion
312      188     1     
Inspirational
Masa lalu yang begitu menyakitkan, membuatnya terpuruk. Sampai pada titik balik, di mana Yunda harus berjuang sendirian demi sebuah kesuksesan. Rasa malas dan trauma dari masa lalu ditepis demi sebuah ambisi yang begitu berat. Memang, tidak ada yang bisa mengelak dari masa lalu. Namun, bisa jadi masa lalu itu merupakan cambukan telak untuk diri sendiri. Tidak masalah pernah terpuruk dan tertin...
Little Spoiler
829      517     0     
Romance
hanya dengan tatapannya saja, dia tahu apa yang kupikirkan. tanpa kubicarakan dia tahu apa yang kuinginkan. yah, bukankah itu yang namanya "sahabat", katanya. dia tidak pernah menyembunyikan apapun dariku, rahasianya, cinta pertamanya, masalah pribadinya bahkan ukuran kaos kakinya sekalipun. dia tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku, tapi aku yang menyembunyikan sesuatu dariny...
Last October
1647      619     2     
Romance
Kalau ada satu yang bisa mengobati rasa sakit hatiku, aku ingin kamu jadi satu-satunya. Aku akan menunggumu. Meski harus 1000 tahun sekali pun. -Akhira Meisa, 2010. :: Terbit setiap Senin ::
Stuck In Memories
13112      2251     16     
Romance
Cinta tidak akan menjanjikanmu untuk mampu hidup bersama. Tapi dengan mencintai kau akan mengerti alasan untuk menghidupi satu sama lain.
Senja (Ceritamu, Milikmu)
5435      1401     1     
Romance
Semuanya telah sirna, begitu mudah untuk terlupakan. Namun, rasa itu tak pernah hilang hingga saat ini. Walaupun dayana berusaha untuk membuka hatinya, semuanya tak sama saat dia bersama dito. Hingga suatu hari dayana dipertemukan kembali dengan dito. Dayana sangat merindukan dito hingga air matanya menetes tak berhenti. Dayana selalu berpikir Semua ini adalah pelajaran, segalanya tak ada yang ta...
Denganmu Berbeda
6783      2134     1     
Romance
Harapan Varen saat ini dan selamanya adalah mendapatkan Lanaβ€”gadis dingin berperingai unik nan amat spesial baginya. Hanya saja, mendapatkan Lana tak semudah mengatakan cinta; terlebih gadis itu memiliki β€˜pendamping setia’ yang tak lain tak bukan merupakan Candra. Namun meski harus menciptakan tiga ratus ribu candi, ataupun membuat perahu dan sepuluh telaga dengan jaminan akan mendapat hati...
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
5237      966     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
Premium
Sepasang Mata di Balik Sakura (Complete)
6883      1786     0     
Romance
Dosakah Aku... Jika aku menyukai seorang lelaki yang tak seiman denganku? Dosakah Aku... Jika aku mencintai seorang lelaki yang bahkan tak pernah mengenal-Mu? Jika benar ini dosa... Mengapa? Engkau izinkan mata ini bertemu dengannya Mengapa? Engkau izinkan jantung ini menderu dengan kerasnya Mengapa? Engkau izinkan darah ini mengalir dengan kencangnya Mengapa? Kau biarkan cinta ini da...
LELAKI DENGAN SAYAP PATAH
7835      2511     4     
Romance
Kisah tentang Adam, pemuda single yang sulit jatuh cinta, nyatanya mencintai seorang janda beranak 2 bernama Reina. Saat berhasil bersusah payah mengambil hati wanita itu, ternyata kedua orang tua Adam tidak setuju. Kisah cinta mereka terpaksa putus di tengah jalan. Patah hati, Adam kemudian mengasingkan diri dan menemukan seorang Anaya, gadis ceria dengan masa lalu kejam, yang bisa membuatnya...
Pieces of Word
2131      742     4     
Inspirational
Hanya serangkaian kata yang terhubung karena dibunuh waktu dan kesendirian berkepanjangan. I hope you like it, guys! πŸ˜ŠπŸ€—