Hal yang paling berharga dalam hidup Lengkara adalah keluarga, Fera, dan Aksa. Tujuannya adalah membahagiakan mereka semua dengan caranya. Lengkara sempat tak yakin dengan tekadnya. Sebab penyakit dan putusan dokter membuatnya semakin menciut. Namun secara perlahan hal itu ia tepis. Ia biarkan mengalir semestinya dan menyerahkan kepada Sang Pencipta. Ia tak peduli esok, lusa ataupun nanti ia pergi, yang pasti dirinya ingin terlebih dahulu menorehkan wangi yang dapat dikenang baik oleh mereka semua.
“Kara minta diperlakukan seperti saat Kara belum sakit.” Ujarnya pada bunda, ayah dan Kinara.
Lengkara ingin di akhir hidupnya dia benar-benar merasakan hidup tanpa harus mengingat penyakitnya. Tanpa harus bersedih dan bersemangat lagi. Lengkara ingin mengukir lebih banyak kenangan dengan goresan tinta yang ia miliki. Melukiskan setiap runtut kebahagiaan untuk orang-orang yang ia sayang. Seakan ia bisa hidup lebih lama, untuk mewujudkan mimpi-mimpinya, untuk bahagia bersama orang-orang yang disayanginya.
Gelak tawa terdengar kala Tom menabrak tembok dan gagal mengejar Gery. Tawa paling kencang dihasilkan oleh ayah, kebersamaan itu seakan beban di hidupnya terhempas begitu saja ke udara. Disambut dengan tawa Lengkara sampai terpingkal di sofa. Bunda yang menyaksikan dari jauh hanya menggeleng keheranan sambil membolak-balikan daging sapi yang tengah dibakarnya.
Kinara meletakan potongan daging sapi mentah dan mengambil daging sapi yang telah matang ke piring lain. “Ayah sama Kara kayak anak kecil, udah pada tua tetep aja nonton film anak-anak.” Ujarnya.
“Justru film anak-anak itu lebih rame, ambilkan lagi saus.” Pinta bunda yang langsung diambilkan Kinara.
“Bun, suasana kayak gini suatu hari nanti kita rindukan.” Ujarnya dengan nada parau. Bersamaan dengan itu hatinya terasa disayat-sayat oleh pisau.
“Kinara, ingat kata Kara, jangan terus mengingatkan kita pada hal yang membuat sedih. Sekarang kita habiskan waktu untuknya. Dan jangan putus berdoa, bunda yakin semua akan baik-baik saja, termasuk Lengkara.” bunda menyentuh pundak anak sulungnya itu. Meyakinkannya meski bunda sendiri tak yakin dengan apa yang diucapkannya.
“Udah matang!” seru bunda diikuti Kinara yang membawa piring lain.
Mata Lengkara dan ayah berbinar, seolah baru menemukan daging panggang, stik kentang, sate bakar, dan makanan lain yang begitu menggiurkan. Tadinya Lengkara dan ayah ingin membantu, namun karena Kinara dan bunda menolak keras, akhirnya mereka menonton film Tom and Gery seraya menunggu masakannya matang.
“Wah udah gak sabar!” Lengkara hendak menyomot daging namun gagal sebab Kinara memukul tangannya.
“Cuci tanganmu dulu! Kotor.”
Lengkara menekuk jengkel. “Kata siapa? Bersih tahu!”
“Kamu tadi kakak lihat bekas ngupil?”
Lengkara tak berkutik. Apa yang dikatakan Kinara memang benar. Bahkan Lengkara sendiri lupa dengan apa yang dilakukannya tadi. Maka dengan malas Lengkara berdiri menuju wastapel untuk membersihkan tangannya dan kembali bergabung.
Lengkara bergumam panjang seraya memejamkan mata kala menikmati daging buatan Kinara dan bunda yang begitu lezat. Bumbu gurih, manis dan pedas menyatu dan meresap pada daging super empuk itu. Menyatu dengan lidah Lengkara yang langsung siap melahap kenikmatan tiada tara.
“Astaga dragon enak buangetttt! Emang markotoppp!” Lengkara mengacungkan dua jempolnya memberi penilaian tembus angka 100.
Ayah mengangguk setuju, dibantunya mengacungkan jempol di samping jempol kanan Lengkara. Sehingga Kinara dan bunda lolos babak final master chef rumah ayah. Chef Juna? Lewat deh.
“Yaiya dong siapa yang masaknya!” Kinara merangkul bunda dengan senyum mengembangnya.
“Bunda sama kakak jangan diraguin.” Sahut bunda. Mereka semua tertawa.
“Kara punya permainan!”
Ayah, bunda dan Kinara bersamaan menatap gadis itu.
“Apa itu?” tanya ayah.
Sebelum menjawab, Lengkara berlalu untuk mengambil barang di lemari bawah. Setelah dapat, gadis itu kembali duduk di tempatnya tadi. “Nah permainan botol. Pada bagian atasnya kita anggap sebagai panah. Nah ketika nanti botol ini diputar dan mengarah kepada salah satu di antara kita, nanti orang itu harus makan satu suap potongan daging bakar ini. Gimana?”
“Boleh dong! Siapa yang putar?” tanya ayah.
“Kakak!”
Kinara memutar botol di tengah meja. Tadinya mereka duduk di kursi, kini mereka melingkari meja dengan lesehan di lantai dan dalam hati berharap menang agar dapat memakan daging itu. Putaran pertama mengarah kepada ayah, sontak ayah bersorak dan melahap satu potong daging dengan penuh semangat. Kemudian botol diputar kembali, dan lagi-lagi mengarah kepada ayah.
Ketiganya masih bersabar saat ayah dengan angkuhnya mengunyah daging sapi dengan ekspresi yang dilebih-lebihkan. Lalu botol diputar kembali dan entah maksudnya apa botol mengarah terus kepada ayah. Ayah hari ini sedang hoki.
“Duh kenyang nih ayah. Ntar dagingnya abis!” rengek Lengkara tak rela. Padahal dirinya sendiri yang memberi usul permainan ini.
“Lah ayah disalahin, tuh kakakmu yang muterin botol. Ayah gak bersekongkol sama kakak ya!” ayah tertawa kecil.
“Kok aku yang disalahin juga? Kan botolnya yang salah malah terus ngadep ke ayah!” balas Kinara pada Lengkara.
Lengkara menekuk, sementara bunda hanya terkekeh kecil dengan gelengan kepala. “Ah udahan ah nanti gak kebagian!” Lengkara dengan semena-mena mengambil piring berisi daging bakar itu, memeluknya, dan berdiri menghindari ayah dan Kinara yang mengacungkan sumpit mereka lalu mengejar Lengkara.
Melihat pemandangan itu, bunda menyeka air matanya. Rasanya senang sekaligus menyakitkan. Ia tak dapat membayangkan bagaimana kedepannya saat menyaksikan keluarganya tak lagi lengkap. Meski sepasang matanya telah dipenuhi air mata, bunda tetap mengulas senyum dan merekam momen itu dengan kamera. Ia ingin menyimpan dengan baik hari-harinya bersama Lengkara.
“Kalau Allah ngasih satu keajaiban buat bunda, bunda bakal minta itu untuk nyembuhin kamu, Kara.” Lirih bunda terdengar parau. Matanya masih mengarah kepada 3 orang yang berebut daging bakar.
........
Dengan dua mata sayunya itu, Lengkara menyapu seisi ruangan. Foto-foto kembali ia pajang, yakni foto-fotonya bersama Fera di setiap momen, kemudian bersama keluarganya, dan terakhir bersama Aksa. Lengkara sengaja mengabadikan semua itu dan menempelnya di dinding. Tujuannya untuk menghidupkan suasana kamarnya seperti dulu. Perlahan pandangannya mengabur karena air mata yang siap luruh. Dalam satu tarikan nafas, mata Lengkara memejam, menahan rasa sakit di dadanya. Selayaknya sebuah pisau tajam yang tengah menyayat-nyayat dadanya.
Kali ini tangannya merayap pada dua bingkai foto berbeda ukuran. Dipandanginya foto keluarga dan Aksa secara bergantian. Menyematkan doa paling tulus untuk mereka semua. Lengkara berharap seperginya ia nanti, mereka baik-baik saja dan diberkahi dengan jutaan bahkan milyaran kebahagiaan. Ia tak ingin terlalu lama menyaksikan duka yang menyelimuti mereka nanti. Yang Lengkara inginkan seutas senyum lebar yang jujur dan lapang dada ada pada mereka. Hingga Lengkara tak perlu dibebani dengan rasa bersalah sebab meninggalkan mereka dalam waktu yang cepat.
“Bunda jangan terlalu sering berkebun, sesekali bunda harus istirahat juga. Kan kebun bisa dirawat sama bibi.” Ia menyebut pembantu baru yang beberapa hari ini bekerja di rumah membantu bunda dengan sebutan bibi. Diusapnya pipi bunda lebih lama, hingga tanpa ia sadari air matanya luruh begitu saja.
Seperti akan ditinggalkan lebih lama, bunda menangis tak kuasa menahan kesedihannya. “Kara di sini aja ya sama kita?”
“Bunda, ke mana aja nih mikirnya.” Kekeh Lengkara. “Kara kan cuman mau liburan ke pantai, ya sekali-kali refreshing sama Fera. Udah bunda jangan khawatir.”
Bunda menyeka air matanya. Ia ingin menahan lebih lama lagi. “Lain kali aja ke pantainya. Bunda masih kangen Kara.”
“Ya ampun, bunda.” Lengkara menarik bunda ke dalam pelukan. Membiarkan bunda tenggelam dalam tangisnya. “Kara janji bakal pulang, bunda jangan khawatir ya? Kalau ada apa-apa Kara pasti kabarin bunda, ayah sama kakak.” Lengkara melerai pelukan, diusapnya air mata yang tersisa di wajah bunda. “Udah jangan nangis, kayak mau ditinggal ke mana aja.”
Kini Lengkara beralih pada ayah. “Kara kan cuman pergi sehari, kalian sampe nungguin di sini kayak Kara mau pergi bertahun-tahun. Ayah, jangan terlalu lama kerja, lembur terus nih ayah jadi matanya kelihatan lelah.” Padahal Lengkara tahu bahwa itu disebabkan karena memikirkan kondisi Lengkara. “Kara pergi ya? Doain selamat di jalan.”
Ayah mengangguk, dipeluk dan diciumnya kening Lengkara. Salah satu anak kesayangannya. “Kalau ada apa-apa kabari ayah ya? Pokoknya ayah bakal langsung pergi ke sana jemput Kara.”
Lengkara mengangguk, “Udah ayah juga jangan nangis ah. Pada kenapa sih?” kekehnya. Dan sekarang Kinara, dipeluknya sang kakak dengan erat sampai Lengkara rasanya kehabisan nafas.
“Kakak nanti aku mati karena dipeluk kakak kan gak lucu!” Lengkara mengambil nafas banyak saat lepas dari Kinara. “Kakak nih cepetan tunangan napa sama mas Bima? Udah pacaran 5 tahun gak nikah-nikah!”
“Kan nunggu kamu sama Aksa dulu.” Sahut Kinara asal.
“Mau nunggu sampe kapan ah! Cepet nikah biar Kara nanti bisa gendong keponakan baru.”
Kinara mengangguk dengan seutas senyumnya. Dalam hati ia menangis dengan jerit yang tak bisa didengar oleh siapapun. Ia berdoa Lengkara baik-baik saja selama berlibur.
“Lengkara pergi dulu ya, assalamualaikum.” Lengkara menyalami mereka bergantian.
“Fera juga pergi dulu.”
“Waalaikumsalam, hati-hati ya.” seru bunda.
Lengkara mengacungkan dua jempolnya kemudian ia melambai.
“Kenapa bunda lihat Kara beda banget hari ini.” bunda kembali melanjutkan tangisnya. Ia merasa sesuatu yang buruk akan menimpa Lengkara. Namun ia tak bisa melakukan apapun sebab Lengkara tetap ingin pergi ke pantai.
Semoga perpisahan ini bukan perpisahan selamanya dan membekaskan luka pada setiap orang yang ditinggalkan.
“Bunda, kita berdoa yang terbaik kepada Allah. Semoga Kara baik-baik aja..” Kinara mencoba menenangkan bunda.
.........
Semburat jingga nampak indah di ujung sana. Semilir angin menyapu manja rambut yang tergerai. Suara khas pantai menjadi alunan paling menenangkan yang hari ini terdengar oleh sepasang manusia yang duduk di mulut pantai. Senyum tak pernah letih untuk terlihat. Semesta hari ini menghipnotis mereka untuk lebih lama terbuai dengan bagian luar biasa yang disuguhkan semesta. Sementara orang-orang bermain diiringi gelak tawanya, Lengkara hanya memejamkan mata. Menikmati suara deburan ombak pada karang yang terdengar menenangkan.
Fera menatap semburat jingga dengan sendu. Dalam bayangnya, berkelebatan momen yang telah dilaluinya bersama Lengkara. Semua menyatu dalam waktu yang singkat. Bertahun-tahun lamanya terekam jelas dalam ingatan yang abadi. Lantas dia menoleh, menatap Lengkara yang masih asik dengan keheningan. Sudah hampir petang, namun Lengkara enggan beranjak dari sana. Hari ini, Fera akan melakukan apapun untuk sahabatnya. Sekalipun Lengkara memintanya terjun dari bukit yang berada di arah selatan ke birunya laut, akan ia lakukan.
“Lo tahu gak hal yang paling indah dan selalu gue syukuri setiap waktu?” Lengkara membuka mulut. Memecah kesunyian di antara deburan ombak yang menjadi irama.
Fera menoleh kembali, tak bersuara namun dari tatapannya ia meminta Lengkara melanjutkan.
Lengkara membuka mata, menatap lurus pada cakrawala yang perlahan dilahap oleh hitam pekatnya malam. “Yaitu dikelilingi oleh orang-orang yang sayang kita dengan tulus. Gue bersyukur banget dianugerahi kehidupan kayak gini. Mulai dari keluarga yang harmonis, sahabat yang baik dan kekasih yang romantis. Seandainya gue punya waktu yang lebih panjang, gue pasti akan menjadi orang paling bahagia di muka bumi ini, secara berkala. Selamanya.”
Entah mengapa perkataan Lengkara bagai sebuah batu yang menghujam dadanya. Rasanya sesak sampai Fera tak mampu mendefinisikan rasa sakitnya. Apa yang dilakukan Lengkara beberapa hari ini menunjukkan kepergian yang sebentar lagi akan terjadi. Fera mulai khawatir, ia gemetar takut di belakang Lengkara. Jika bisa, ia ingin mengulur waktu. Menghabiskan waktu lebih banyak dengan sahabat yang begitu ia sayangi melebihi dirinya sendiri.
Alih-alih membalas, Fera menundukkan kepalanya meruntuhkan air mata yang selama beberapa menit terbendung. Bergetar suaranya, nyaris tak terdengar karena berlawanan dengan suara riuh pantai. “Maafin gue udah gagal jadi sahabat terbaik buat lo, Kar.”
Lengkara tersenyum sendu. Ditariknya Fera ke dalam dekapan. Hangat menjalar kala telapaknya menepuk punggung Fera. “Lo gak perlu minta maaf, Ra. Lo udah jadi sahabat terbaik sampai kapanpun. Setiap manusia pasti pernah berbuat salah, tapi hal itu gak akan pernah bikin lo jadi sahabat buruk. Lo tetep jadi yang terbaik di antara yang terbaik.”
Rintihan itu berubah menjadi tangisan yang menjadi-jadi. Didekapnya erat Lengkara seakan tak mengizinkan sahabatnya untuk pergi jauh. Lantunan kata terurai disela tangisnya. Mendengar itu memancing Lengkara untuk meneteskan air mata.
“Gue selalu berharap yang terbaik buat lo, Ra. Jadilah Fera yang menyenangkan, jangan menyebalkan.” Ujarnya masih dalam pelukan. “Gue akan selalu bersama lo, tepatnya di hati lo.”
..........
“Kar, bangun. Kara..”
Lengkara melenguh. Ia membuka matanya dan mencoba memfokuskan pandangan. “Apa?”
“Ikut gue.”
Saat sepenuhnya fokus, Lengkara melirik jam, masih menunjukkan pukul 5 pagi. “Ngapain sih? Mau ke mana?”
“Ayok!” Fera menarik Lengkara yang masih mau bergelut dengan empuknya kasur.
“Mau ke mana?!”
“Makanya bangun biar lo tahu!”
Lengkara mendengus, seraya mengusap-ngusap matanya ia berjalan malas dituntun oleh Fera entah mau ke mana. Setelah memakai jaket dan kupluk, mereka beriringan keluar dari penginapan.
Pukul 5 pagi pantai masih sepi. Hanya ada penduduk lokal yang sedang mempersiapkan dagangannya. Fera dan Lengkara kebetulan menginap di salah satu hotel yang sangat dekat dengan pantai. Mereka sengaja memesan hotel itu atas keinginan Lengkara. Dan sekarang Lengkara menatap Fera bingung, untuk apa Fera mengajaknya ke salah satu butik dekat pantai?
“Fer, ngapain ke sini?”
“Udah jangan banyak omong.” Fera menyapa salah satu penjaga toko dan membicarakan sesuatu. Sementara Lengkara menggaruk malas tangannya seraya menatap ke arah pantai. Kesadarannya belum sepenuhnya ada. Masih iming-iming antara sadar dan tak sadar. Sebagian dari dirinya tertinggal di kasur.
“Mandi dulu sekarang.”
Lengkara menepis Fera yang berusaha mendorongnya. “Mau ngapain sih, Ra? Tiba-tiba ke butik, sekarang suruh mandi. Lo mau adain acara apa di pantai? Seharusnya lo ajakin gue ke tempat makan kek, mana masih pagi!” Lengkara terus menggerutu.
“Iya gue mau adain acara di pantai. Sekarang lo mandi dulu, nanti gue kasih tahu lebih detailnya.”
“Lo gila!” Lengkara menahan diri, “Masa gue mandi di sini sih? Gue gak bawa—“
“Nih gue bawain! Udah gue siapin pas lo masih tidur!” Fera menyerahkan tas kecil berisi pakaian dalam Lengkara beserta sabun mandi dan sikat giginya. “Cepetan! Jangan banyak protes lagi!”
Lengkara lagi-lagi hanya bisa pasrah dan masuk ke dalam kamar mandi di butik ini. Setelah 1 jam, Lengkara kini terlihat sangat cantik dengan balutan gaun pengantin yang sederhana namun elegan. Tak lupa dengan sebuket bunga di genggamannya. Ada senyum terpatri di wajahnya, namun kebingungan nampak jelas di sana.
“Acara apa sampe lo nyuruh gue pake ginian? Kek gue mau nikah aja.”
Sementara Fera sudah siap pula dengan dress putih ala bridesmaid. “Udah nanti juga lo tahu sendiri!”
Lengkara menepis Fera dengan tatapan curiga. “Jangan-jangan lo mau nikahin gue secara paksa sama penduduk di sini? Lo mau jual gue?! Wah parah! Tega banget lo jadi sahabat gue!”
Fera mendengus, ia sudah jengah dengan ocehan Lengkara pagi ini. “Ya kagaklah ngapain gue jual lo ke om-om di sini? Ntar gue dicincang sama kak Kinara dan Aksa. Cepet ah lama! Ada yang nungguin lo!”
“Siapa?”
“Seseorang yang paling lo sayang.”
“Seseorang?”
Fera tersenyum, tanpa bicara sepatahkatapun lagi ia menuntun Lengkara keluar dari butik menuju tempat yang sudah ditentukan. Mereka terus berjalan menyusuri bibir pantai, menikmati dinginnya pagi hari dengan mentari yang perlahan naik ke langit. Lengkara sempat terbuai dengan indahnya pagi ini, hingga ia melupakan kebingungannya atas apa yang diperbuat Fera kepadanya.
Setelah berjalan 15 menit, Lengkara termangu saat melihat sebuah altar pernikahan terlihat indah. Yang lebih membuatnya mematung adalah sosok Aksa yang berdiri di altar dan beberapa temannya yaitu Agam, Galen, Sagara, dan Novan duduk di kursi tempat kerabat mempelai pria.
“Fer, ini?”
Fera mengulas senyum, ia menghadap sahabatnya sendiri dan menangkup wajah Lengkara. “Lo selalu bilang kalau lo pengen banget nikah sama lelaki yang paling lo sayang. Sekarang dia ada di sini, untuk mewujudkan impian lo itu, Kar.”
Lengkara masih tak paham dengan semua ini. Namun Fera menuntunnya untuk berjalan menuju Aksa, pemuda yang telah menunggu Lengkara sedari tadi. Saat sampai, Aksa membungkuk, mengecup punggung tangan kanan Lengkara dengan penuh kasih sayang. Lantas dituntunnya Lengkara untuk berdiri menghadapnya. Ia sempat terpesona melihat kecantikan Lengkara saat memakai gaun pengantin ini.
“Kamu cantik.” Pujinya.
Lengkara masih belum mengerti. “Sa, ini maksudnya apa?”
“Impian kamu selanjutnya, setelah banyak impian kita lakuin bareng.” Ungkapnya tanpa menyurutkan senyum.
Lengkara makin tenggelam dalam kebingungan. Untuk itu Aksa melanjutkan, “Dulu saat kamu kehilangan buku catatan kamu di perpustakaan, aku dengan lancang baca buku catatan itu. Semua curhatan kamu yang tertulis indah di sana. Dan juga mimpi-mimpi kamu yang ingin kamu lakuin sebelum kamu pergi.” Aksa meraih kedua tangan Lengkara ke dalam gengamannya. “Ini permintaan terakhir kamu yang aku wujudkan, Kar.”
Beberapa saat kemudian keluarga Aksa dan Lengkara datang dan bergabung. Mereka semua duduk di tempat yang telah disediakan. Lengkara masih tak percaya dengan semua ini. Semua seperti mimpi yang bahkan membuat Lengkara tak bisa berkata-kata lagi selain menangis haru.
“Kara..” Aksa berjongkok di hadapan Lengkara. Menengadah menatap sang gadis yang begitu ia cintai. “Will you mary me?”
.........