Read More >>"> AKSARA (Maaf Telah Mengingkari Janji) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - AKSARA
MENU
About Us  

Sudah 3 hari ini Aksa sama sekali tak menemui bahkan menghubungi. Lengkara merasa makin bersalah kala Aksa tiba-tiba menghilang. Ia terus diserang dengan berbagai macam pertanyaan, apakah waktu itu dia menyakiti Aksa sampai Aksa menjauh? Apakah perkataannya terlampau batas sampai Aksa enggan menemuinya?

Lengkara nampak gelisah. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Berhubung hari ini Lengkara tidak ada jadwal ke rumah sakit dan kondisinya lumayan—tak selemah sebelumnya, Lengkara memutuskan untuk pergi ke kampus. Setelah bersiap dengan topi kupluk pemberian Aksa, jaket oversize, masker yang menutupi setengah wajahnya, Lengkara hendak pamit kepada bunda yang kebetulan ada di ruang keluarga tengah menonton berita. Sementara Kinara dan ayah di jam segini sedang bekerja di tempat kerja.

“Kamu mau ke mana?” tanya bunda.

“Ke kampus sebentar, bunda.”

“Bukannya udah ngajuin cuti?”

“Sebentar kok, bun. Ada urusan.”

“Mau bunda antar? Bunda takut nanti kamu kenapa-napa.”

Lengkara tersenyum, sesuatu yang hangat menjalar di dadanya kala bunda mengatakan itu. “Kara bisa sendiri kok, bun.”

“Kara, jangan keras kepala.” Bunda menarik nafas.

“Bunda, Kara naik taksi online, bunda. Jangan khawatir ya? Kara cuman sebentar kok gak lama.”

Bunda berdiri, mengenakan jilbabnya dan menuntun Lengkara keluar rumah. “Udah pesen?”

“Belum, bun, ini mau.” Lengkara merogoh sakunya untuk mengambil ponsel, untuk kemudian ia membuka salah satu aplikasi taksi online.

Belum selesai Lengkara mengklik oke untuk memesan taksi online, mobil Fera memberikan klakson menandakan bahwa ia datang.

“Eh Fera!” seru bunda, Fera menyalami bunda. “Kok tumben ke sini gak kasih tahu bunda?”

“Lagi kangen aja main ke sini, bunda.” Fera kemudian menatap Lengkara. “Mau ke mana lo? Mending istirahat udah!” gadis itu mendorong Lengkara, namun Lengkara menahan dirinya.

“Gue mau ke kampus, nemuin Aksa.” Ujarnya.

“Ngapain? Suruh dia aja yang ke sini manja banget tuh cowok pake kudu disamperin.” Gerutu Fera dengan wajah julid-nya.

Bunda menggeleng melihat kelakuan mereka.

“Dia udah gak hubungin gue beberapa hari ini, mungkin hampir satu minggu. Ke sini aja nggak.”

Fera mengerutkan keningnya. “Lah iya?”

Lengkara mengangguk letih, desahan lemah terdengar kemudian. “Makanya gue mau ke kampus, gue takut salah bicara atau bersikap pas gue hilang ingatan.”

“Yaudah deh, gue anter. Bunda, Fera mau anter Kara dulu.”

“Makasih ya, kebetulan ada kamu, bunda kan jadi tenang.” kata bunda.

“Alhamdulilah, bun, mungkin takdir.”

Bunda terkekeh. “Hati-hati ya di jalannya, kalau ada apa-apa langsung hubungi bunda.”

“Siap, bun!” Fera memperagakan hormat kepada bunda yang kemudian menyalami tangan bunda diikuti Lengkara.

“Kayak cenayang lo! Tahu aja gue mau keluar.” Ujarnya seraya memasang safety belt.

Fera memandang malas Lengkara. Sahabatnya ini masih semenyebalkan biasanya. “Masih untung gue datang, seharusnya lo bersyukur. Nanti kalau lo naik taksi online atau ojek online, ntar kalau lo kenapa-napa di jalan gimana? Pingsan atau kambuh. Kan orang lain yang repot. Masih mending gue atau Aksa yang repot karena udah kewajiban kita bantu lo!” gerutu Fera panjang lebar. Ia tak terima dengan apa yang dikatakan Lengkara.

“Yaudah iya maaf. Sekarang mending cepetan ke kampus, gue gak sabar pengen ketemu Aksa.”

“Siap tuan puteri yang terhormat.” Fera mengatakan itu dengan nada malas. Lengkara terkekeh karena perilaku Fera.

......

“Gue mau cari Aksa sendiri, Fer.” Lengkara menahan Fera yang ingin mengikutinya ke manapun.

“Kalau lo kenapa-napa gimana?” jelas kekhawatiran terpatri di wajah Fera.

“Gue gak apa-apa kok. Lagian kalau gue kenapa-napa kan ada Aksa. Lo pergi aja dulu ke mana gitu, atau ngapel dulu sama Galen.”

Fera cemberut, ia melihat arlojinya. “Galen masih ada kelas.”

“Sebentar aja, ya?”

“Yaudah gue tunggu lo di kantin. Kebetulan gue laper. Inget, kalau ada apa-apa langsung hubungi bunda atau gue dulu.”

Seperginya Fera, Lengkara mencoba menghubungi Aksa. Namun pada dering kelima, pemuda itu sama sekali tak menjawab teleponnya. Lengkara semakin yakin bahwa Aksa marah padanya.

“Atau dia masih ada kelas ya? Tapi hari ini kelas Aksa cuman sampe jam 11 siang.”

Berjalan menuju kelas Aksa yang berada di gedung lain, tanpa sengaja ia menemukan Aksa tengah bermain gitar bersama teman-teman kelasnya. Pemuda itu terlihat senang dengan lagu yang temannya nyanyikan. Mereka semua kompak bernyanyi menikmati alunan musik yang dengan lihai Aksa mainkan.

Di balik rimbunnya tanaman, Lengkara tersenyum sendu. Dengan kacamata tebalnya ia dapat melihat bahwa ponsel Aksa berada di paha pemuda itu. Itu berarti Aksa memang sengaja tak menjawab teleponnya tadi. Alih-alih memikirkan penyebab Aksa marah padanya, Lengkara begitu tenang melihat kondisi Aksa sekarang dibandingkan dengan sebelumnya. Pemuda itu terlihat lebih ceria dari biasanya. Entah mungkin karena tengah bersama temannya atau memang Aksa tak perlu dengannya lagi.

Ini yang Lengkara mau. Melihat Aksa bisa melepasnya lebih awal. Meski sebenarnya rasa sakit menggebu dalam dada, meruntuhkan pertahannya hingga matanya berembun, Lengkara bersyukur dengan perubahan Aksa. Untuk memastikan, ia mencoba menghubungi kembali Aksa seraya melihat reaksi pemuda itu dari kejauhan. Namun ternyata Aksa hanya diam memandang sekilas lalu kembali bernyanyi dengan teman-temannya. Seakan panggilan Lengkara hanya sebuah alarm yang ia abaikan. Dari sini Lengkara berpikir, bahwa Aksa bisa hidup tanpanya.

Senyum lantas terbit begitu saja. Disertai derai air mata mengiringi rasa sesak yang tercipta. Doa-doa muncul dalam benak teruntuk Aksa. Semoga dia bisa selalu seperti ini. Menjalani hari tanpanya, bersenang-senang dan secara perlahan-lahan melupakan rasa sakit yang selama ini tanpa sengaja dan disengaja Lengkara torehkan dalam hidupnya. Lengkara merasa tindakan Aksa itu benar. Seharusnya pemuda itu melakukannya, lebih baik daripada nanti harus kehilangan terlebih dahulu.

Sebab, mencintai adalah sebuah pembiasaan dan sebuah cara untuk mengikhlaskan segala hal yang memang seharusnya terjadi sesuai kehendakNya.

.......

Aksa benar-benar berubah menjadi orang yang berbeda bahkan mungkin melebihi kata berbeda. Teman-temannya merasa sudah tak bisa mengenali Aksa semenjak pemuda itu menjadi dingin dan tempramen. Aksa sampai ditegur habis-habisan oleh pelatih taekwondo saat dia terus melakukan kesalahan dalam latihan dan menumbangkan salah satu anggota di kala tengah sparing. Padahal pelatih telah mengatakan untuk berhenti, namun dengan kalap Aksa terus menggebuki. Pun ketika di kelas, Aksa selalu kena tegur dosen karena banyak melamun dan berulang kali tak menyahuti panggilan dosen.

Aksa muak dengan keadaan. Semakin ia menjauh, semakin melekat sosok Lengkara diingatannya. Kemarin, ia mengetahui bahwa Lengkara sempat pergi ke kampus entah untuk apa. Kemudian banyak panggilan dan pesan masuk dari gadis itu tersurat maaf. Padahal Lengkara tak melakukan kesalahan apapun. Yang salah adalah Aksa, memilih pergi saat semua berubah menjadi serumit ini. Ia memilih menjadi pengecut alih-alih bertahan di samping Lengkara.  

Jauh di lubuk hatinya, Aksa ingin sekali meminta maaf kepada gadis itu. Kembali dan menemani hari-hari terberat Lengkara. Namun ego dengan penuh keangkuhan menguasai diri Aksa. Tak memberi celah sedikitpun untuk hati dan logikanya mengambil peran dalam sebuah keputusan. Bahkan hal buruk yang belum pernah ia lakukan menjadi alasan untuk melupakan Lengkara dan menjauhkan gadis itu dari hidupnya.

“Diana, lo di mana?”

“.....”

“Bisa ketemu? Ada yang mau gue sampein.”

.........

“Wah kayaknya ketularan lo, Len!”

Galen merasa sangsi saat dituduh seperti itu. Bahkan Galen gagal memasukan sesuap nasi padang ke mulutnya. “Kok gue? Yang selingkuh noh temen lo!” tunjuknya pada Aksa dengan jengkel.

Aksa mendengus, tetap bertahan pada posisi dicerocoki seperti ini. Kemarin kajian, sekarang cacian.

Agam mendesis. “Iya kali, Len, ketularan lo! Ya kali Aksa tiba-tiba jadian sama Diana padahal masih pacaran sama Kara.” Sindirnya langsung tepat sasaran.

Galen kembali gagal memasukan secomot nasi padang. Ia merasa selera makannya perlahan menghilang di saat dituduh seperti ini. Padahal ia begitu semangat ketika membeli nasi padang dengan harga recehan di kala perutnya keroncongan. “Gue aja terus! Gue udah tobat juga masih dicaci. Kalian mau nyindir Aksa atau nge-aniaya gue sih? Di sini gue merasa terdzolimi!” desisnya tak terima.

“Lagian kenapa sih harus selingkuh? Se-laki itu kah jiwa lo, Aksa? Macarin cewek lain di saat pacar lo sek—“

“Lo bilang itu sekali lagi, gue potong lidah lo!” ancam Aksa dengan tatapan membunuh kepada Sagara.

Hari ini kesabaran Sagara sangat penuh. Semenjak diskusi semalam di indekos Agam mengenai konflik rumah tangga Aksa dan Lengkara, mereka semua memahami perubahan perilaku Aksa. Pemuda itu hanya mencari pelampiasan untuk rasa sakit yang tengah dialami. Meski jalannya salah, namun teman-temannya berusaha memaklumi dan perlahan-lahan ingin membuat Aksa sadar dari perbuatan buruknya.

“Gak seharusnya lo nyakitin orang yang lo sayang agar lo gak tersakiti. Sama aja lo naruh luka di orang itu yang padahal lo sendiri juga terluka.” Sahut Novan. “Gue emang gak bakal sanggup kalau ada di posisi lo. Saat pacar lo punya penyakit kanker stadium 4 dan kondisinya udah gak memungkinkan, pasti gue ngerasain sedih yang sama. Tapi memacari cewek lain, berubah menjadi orang yang gak dikenal sama sekitar, gak akan membuat lo jadi tenang. Justru dengan cara itulah lo menanam luka yang akan lo sesali seumur hidup.”

Novan melanjutkan ceramahnya. Ia harap dengan ini Aksa sadar. “Melarikan diri dari masalah gak akan pernah nyelesain masalah, Sa. Lo yang memulai, seharusnya lo berani menyelesaikan. Ini juga bukan kemauan Lengkara untuk sakit. Coba lo bayangin betapa beratnya jadi Lengkara. Di usianya yang menginjak 20, yang dia lakuin cuman bulak-balik ke rumah sakit, kemoterapi, dan makan obat-obatan. Gak seperti kita yang di usia itu berusaha merancang mimpi untuk masa depan dan menikmati masa muda. Sekarang di saat dia merasa hidup dengan kehadiran lo, lo pergi gitu aja sama cewek lain?”

“Pengecut lo, Sa!” hardiknya.  

Aksa geming, perkataan Novan bagaikan tamparan untuknya. Aksa tak sanggup menyela ataupun melawan hanya untuk membela dirinya sendiri. Sebab yang dikatakan Novan semua benar. Tak seharusnya Aksa berlaku seperti ini.

Galen menyambung ceramah Novan, “Dulu lo selalu nyeramahin gue ketika gue godain banyak cewek. Bahkan ada satu kalimat yang membekas di benak gue, Sa, dan nyadarin gue kalau gue harus mencoba fokus mencintai satu perempuan. Saat itu lo bilang, ‘Lelaki sejati hanya mencintai satu perempuan. Kalau lebih, itu brengsek namanya.’ Lo inget, Aksa?”

Kini Sagara yang mengambil alih. “Coba lo bayangin, Sa, gimana perasaan Lengkara, gimana hancurnya dia ketika lihat lo dengan terang-terangannya memposting foto lo sama Diana dengan caption ‘mine’? Please, Aksa, lo sekarang kayak anak SMP! Bocah banget!”

............

Lengkara termangu memandangi postingan Aksa di instagram pemuda itu. Mengganti posisi foto-foto dirinya dan Aksa yang kini tak ada di feed maupun di snap instagram pemuda itu. Lengkara tak mampu berbuat apapun selain diam. Antara percaya dan tidak dengan apa yang ia lihat sekarang. Bahkan gadis itu tak menyadari bahwa derai air mata telah membanjiri pipinya. Matanya menangis, hatinya hancur lebur, namun setiap sudut bibirnya terangkat membentuk senyum penuh luka dan suka. Bercampur dalam rasa yang tak mampu Lengkara pastikan, ia sebenarnya sedih atau bahagia?

“Akhirnya kamu bisa menemukan seseorang pengganti aku, Sa.” Lirihnya. Ia merasakan sakit di dadanya. Kenyataan membuatnya merasa semakin lemah dari biasanya. Keinginannya dahulu yang hari ini terwujud malah menggoreskan tiap inci luka di hatinya.

Meski tak ada kata putus, Lengkara memaklumi perbuatan Aksa.

Di bawah langit yang sama, keduanya sama-sama mengalami duka yang sama. Rasanya baru kemarin mereka bertemu. Rasanya baru kemarin Aksa berjuang untuk mendapatkan hati Lengkara. Dan kini mereka dihadapkan dengan kenyataan yang menghancurkan hati mereka secara perlahan. Sebuah rasa yang datang tidak tepat waktu, kini tengah menjadi lara yang menyesakkan keadaan.

Ucapan teman-temannya berputar di kepala Aksa. Membentuk sebuah mahkota yang mengelilingi pikirannya. Ia merasa telah menjadi lelaki bodoh yang mengambil langkah salah. Dan menyakiti dua orang sekaligus atas perilaku yang ia perbuat. Sementara Lengkara hanya bisa menangisi atas keputusannya untuk merelakan Aksa. Tanpa pamit atau kesepakatan bersama, Lengkara mulai mengikhlaskan Aksa untuk Diana. Sebab untuk marah pun rasanya ia tak berhak. Membelenggu Aksa dalam jerat rasa hanya akan menorehkan luka yang kian mendalam bilamana Lengkara telah dijemput-Nya.

Dirinya mungkin telah melepas pergi Aksa. Namun berbeda dengan hati yang begitu hancur dan tak sanggup untuk secepat ini berpisah. Kontras dengan derai air mata yang sepanjang malam terus membasahi pipinya. Ditambah bayang-bayang luka dan duka pada keluarganya nanti. Kenapa harus sekejam ini dunia padanya?

Dipandangnya bingkai foto—potret dirinya dengan Aksa yang diambil beberapa bulan lalu. Kala cinta masih menjadi tema nomor satu dalam asmaranya. Sebelum luka dan duka menyelimuti kisah mereka sehingga berakhir semenyakitkan ini.

Aksa mengusap air matanya yang jatuh. Dadanya terasa sakit seakan semesta kini tengah menghukum perbuatannya. Apakah Lengkara di sana baik-baik saja? Apakah Lengkara sehancur yang dibayangkannya kala melihat foto itu? Kenapa dirinya bisa setega ini untuk menyakiti Lengkara? Haruskah dengan cara seperti ini ia menyembuhkan luka, menghindari luka dan melarikan diri dari luka? Yang padahal dirinya sendirilah yang menciptakan luka itu.

“Aksara.” Lengkara memamerkan geligi putihnya kala berhasil menulis huruf sambung di atas buku pelajaran milik Aksa.

“Aksara? Tulisan?” tanya Aksa, belum menangkap maksud yang gadis itu tulis.

Lengkara dengan senyum sendunya menjawab, “Aksara, gabungan nama kita. Aksa—Lengkara.”

“Wah bagus, aku baru sadar kalau nama kita bisa disatuin.” Aksa mengambil alih buku yang berada di pangkuan Lengkara. Melihat dengan detail tulisan sambung karya Lengkara.

“Nama kita bisa bersatu, tapi kita enggak, Sa.”

Aksa tertegun. Secara perlahan ia menatap gadisnya dengan cepat berubah ekspresi. Lengkara menangis.

            “Maafin aku, Kara. Maafin aku.” Rintihnya menjadi alunan penghantar malam yang memilukan.

......

“Bunda, Kara mau berhenti kuliah aja.”

Lengkara menghela nafas berat. Disepanjang perjalanan menuju kampus, ia hanya menatap kosong ke arah jalan. Sementara bunda tak berani bertanya lagi kepada Lengkara.

“Kara mau di rumah sama bunda, ayah dan kakak.”

Bunda diam-diam menyeka air matanya yang hampir jatuh. Ingin sekali ia menangis dan memberontak dengan kenyataan yang menyiksa anaknya ini.

“Kenapa Kara, kok tiba-tiba?”

“Kara takut gak punya waktu banyak sama kalian semua.”

Dengan langkah berat, mereka berjalan menuju gedung Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dalam setiap langkah yang ia tapaki pada bumi, melintas seluruh kenangan yang terjadi selama ini. Kala Lengkara berlari dengan Fera karena terlambat masuk kelas. Kala Lengkara dan teman-teman kelasnya tengah menikmati waktu istirahat bersama. Kala Lengkara penuh semangat latihan taekwondo, meski ia tahu penyakitnya semakin parah. Dan kenangan bersama Aksa, saat pemuda itu tengah gemas kepadanya dan mengacak-acak rambutnya sampai Lengkara menendang tulang kering Aksa. Momen yang berakhir tawa sebab Aksa malah ancang-ancang membalas tendangan itu. Otomatis Lengkara lari terbirit menghindari serangan balasan itu.

Tak sengaja berpapasan dengan Lengkara, Sagara menyapa gadis itu juga bunda yang langsung disalaminya.

“Ngapain kesini, Kar? Bukannya lo ambil cuti?”

Tak langsung menjawab, gadis itu tersenyum getir. Kemudian ia mempersilahkan bunda untuk masuk ke ruangan Prodi lebih dulu. Kini hanya ada Lengkara dengan Sagara.

“Gue.. mau keluar dari kampus.”

“Hah?” Sagara melongo tak percaya. “Kenapa?”

“Lagian gue bakal mati. Buat apa gue terus ambil cuti atau tetep kuliah di sini?” ujarnya dengan senyum penuh luka.

Sagara masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Lengkara. Lengkara bisa seyakin itu jika ia akan meninggal dunia dengan cepat.

“Aksa punya cewek baru ya?” Lengkara mengalihkan. Pun sekalian ia ingin memastikan kebenaran itu.

“I-iya eh maksud gue—“

“Syukurlah.” Lengkara menggigit bibir bawahnya menahan desiran perih yang menyeruak dalam dada. “Sampein ke Aksa semoga langgeng. Kalau gitu gue pergi dulu ya? See u, Gar. Seneng bisa temenan baik sama lo dan kalian semua.”

“Kara..”

Panggilnya namun Lengkara terlanjur jauh dari jangkauan. Sagara hanya bisa termangu di tempat. Hingga semenit kemudian ia berlari menuju di mana pun Aksa berada. Untuk memberitahukannya perihal ini.

“AKSAA!”

Aksa terperanjat kala ia dikejutkan dengan munculnya Sagara dari luar. Bersamaan dengan dirinya baru saja keluar dari kelas setelah mata kuliah ke 3 selesai. Tidak hanya dirinya saja yang terkejut, teman-teman yang lain pun terkejut.

“Apa sih kayak dikejar setan aja lo.” Aksa berjalan tak peduli dengan Sagara yang meminta Aksa untuk mendengarkan.

“Sa, ini urgent.”

“Apa yang urgent?” tanya Aksa dingin. Aksa tetap berjalan hingga mereka memasuki gedung UKM.

“Lengkara mau keluar dari kampus.”

Langkah Aksa langsung terhenti. Matanya melebar dan jantungnya perlahan naik pada debaran yang lebih cepat lagi.

“Barusan gue ketemu dia di gedung deket ruang jurusan sastra, sama ibunya.” Lanjut Sagara.

Aksa kembali melangkah, Sagara yang melihatnya tak menduga Aksa akan tak acuh seperti ini. “Apa peduli gue sih. Biarinlah, itu urusan dia juga.” Sahutnya malas.

“Sa, gue ngasih tau ke lo karena ini penting!”

Aksa melirik malas Sagara. “Penting apanya?”

Sagara mendengus kasar, ia muak dengan drama yang diciptakan oleh Aksa. “Gue ngasih tahu ini karena gue gak mau lo menyesal suatu saat nanti, Sa, karena perbuatan dan perilaku lo sendiri.” Aksa berhenti, membelakangi Sagara. “Gue tahu lo selama ini cuman ngehindar, Sa. Lo gak bener-bener pergi dari Lengkara. Lo ngelakuin semua ini cuman karena lo gak mau terluka lebih dalam karena kehilangan Lengkara. Cukup, Aksa, jangan lanjutin apa yang malah bikin lo semakin terluka. Kembali kepada Lengkara sebelum semuanya terlambat.”

Aksa berbalik dengan tatapannya yang tajam. “Kenapa kalian selalu ikut campur urusan gue! Mau sama siapapun gue, mau apapun yang gue lakuin, itu terserah gue!” gertak Aksa tak tahan.

Sagara tak ingin kalah. Sebab ia melakukan ini untuk kebaikan Aksa juga—teman yang sudah ia anggap saudara sendiri. Ia tak ingin lagi melihat Aksa setiap hari hanya melamun dan diam-diam menangis. Tersiksa tanpa mau menceritakan kepada siapapun dan berakhir dengan solusi yang salah. Yang membuatnya malah makin terluka.

Sagara mempertipis jarak, seakan menantang Aksa. “Sekarang atau gak sama sekali! Apa lo mau menelan penyesalan selamanya karena lo gak nemuin Lengkara dan memperbaiki apa yang rusak dalam hubungan kalian? Lo gak sadar betapa parahnya kondisi Lengkara sekarang, Aksa? Bahkan saat ketemu tadi, gue hampir mau nangis karena lihat Lengkara. Dia gak sebugar dan seceria dulu.”

Setelah berkata itu, Sagara pergi meninggalkan Aksa. Tak peduli Aksa akan menemui Lengkara atau tidak. Yang terpenting ia telah melaksanakan apa yang seharusnya ia lakukan.

Aksa masih berdiri terpaku di tempatnya. Pemuda itu tengah berperang dengan pikirannya sendiri. Kini logika, hati dan ego beradu mulut membahas mengenai Lengkara. Haruskah ia kejar? Atau biarkan saja? Hingga sebuah kenangan melintas begitu saja. Seakan menampilkan sosok dirinya dengan Lengkara yang tengah berebut eskrim di sampingnya.

“Aksa itu eskrim aku!” rengek Lengkara tak terima.

“Ini bagian aku hei! Gak kenyang apa makan 3 corn eskrim?”

Aksa terus menghindar sementara Lengkara berusaha menggapai corn eskrimnya. “Kamu makannya kelamaan, jadi aku pengen lagi!”

“Gak! Ini punya aku!” Aksa semakin berjingjit agar eskrim yang ingin digapai Lengkara sulit diambilnya.

Lengkara mulai jengkel, namun ia terus berusaha meraih eskrim vanila itu. Tak peduli sudah 3 corn ia habiskan saat di kedai depan kampus tadi. Salah siapa Aksa malah menggodanya makan eskrim.

“Aksa!” Lengkara loncat-loncat. “Siniin.”

“Asalkan dengan satu syarat.”

“Apa?”

Aksa menunjuk pipinya yang langsung dimengerti oleh Lengkara. Lalu dengan semena-menanya Lengkara menginjak kaki Aksa dan berhasil meraih eskrim itu saat Aksa sedikit membungkuk karena sakit di kakinya.

“Dasar mesum! Yeay! Aku dapet eskrim.” Lengkara menjulurkan lidah dan berlari meninggalkan Lengkara.

“Kara! Awas kamu ya!”

Bayangan Aksa dan Lengkara menghilang lenyap termakan jarak. Meninggalkan Aksa yang kini masih berdiam dengan pikirannya sendiri.

Tangan Aksa mengepal, semakin jauh ia melangkah menghindari sosok Lengkara yang membuatnya jatuh cinta setengah mati, begitu sulit. Kini ia sudah tak sanggup lagi menahan dirinya. Bagaimanapun resiko nanti yang ia rasakan, Aksa tak peduli. Maka daripada itu, langkahnya mantap menuju tempat yang dikatakan Sagara barusan. Menemui Lengkara dan meminta maaf sebesar-besarnya terhadap gadis itu. Ia berjanji pada dirinya sendiri dan pada Lengkara nanti. Bahwa ia tak akan pernah lagi melarikan diri meski sebentar saja. Selamanya, ia akan bersama Lengkara, di samping gadis itu.

........

“Kenapa? Kok berhenti?” tanya bunda saat menyadari Lengkara hanya diam.

“Bunda duluan aja ke mobil, Lengkara mau pamit dulu ke temen-temen Lengkara.”

Bunda mengangguk, meninggalkan jejak usapan lembut di kepala Lengkara. Lalu melangkah menuju pelataran parkir kampus. Seperginya bunda, Lengkara berbalik menuju gedung fakultasnya. Bukan untuk menemui teman-teman, melainkan Aksa, bermaksud sebagai pertemuan terakhirnya bersama pemuda itu. Belum jauh melangkah, beberapa meter di depannya muncul Aksa dengan nafas terengah. Mereka saling bersitatap dalam jarak yang lumayan dekat. Menyalurkan magnet rindu yang selama ini disekap oleh keadaan.

“Kara..” Aksa melangkah perlahan. Menggapai sang pujaan dengan jutaan rindu yang ia sembunyikan dibalik ego. Matanya berembun, menyiratkan penyesalan tiada akhir. Menyesal telah melakukan hal bodoh yang menyakiti Lengkara. Sementara Lengkara hanya tersenyum tipis dengan air mata yang tertampung di pelupuk.

“Hai.” Sapa Lengkara seakan tak terjadi apapun di antara mereka. “Apa kabar?” bibir pucatnya itu melengkung ke atas membentuk senyuman termanis yang ia punya.

Alih-alih menjawab, Aksa mengatakan, “Maafin aku, Kar. Aku salah, aku bodoh. Aku gak becus, yang bisa aku lakuin cuman nyakitin kamu..”

Sementara Aksa terus mengoceh seraya menundukkan kepala, tak sanggup menatap mata Lengkara karena rasa sesal yang membebaninya. Lengkara menghampiri Aksa dan membawa Aksa ke dalam pelukannya. Aksa lantas menangis dalam pelukan Lengkara, menumpahkan sesal serta rindu yang tertahan.

“Maaf aku mengingkari janji.” Lanjut Aksa disela tangisnya.

“Gapapa, Sa, kamu berhak lakuin itu dan memang seharusnya kamu ngelakuin itu.” jawab Lengkara dengan derai air matanya disertai senyum penuh luka yang ia tampakkan.

“Aku salah, Kar..”

“Kamu gak salah, Aksa.” Lengkara mengelap air matanya lalu melerai pelukan mereka. Kini mereka saling bersitatap. “Kamu berhak ngelakuin apapun untuk melanjutkan hidup. Karena aku gak bisa menjamin untuk selalu sama kamu, Sa. Makanya aku gak marah sama sekali ke kamu karena kamu gak salah.” Lengkara mengusap sisa air mata di pipi Aksa.

Aksa kembali menarik Lengkara ke dalam pelukan. “Aku gak akan ninggalin kamu lagi, Kar, aku janji.” Lengkara menarik nafas untuk menahan sesak di dadanya. “Aku janji akan selalu sama kamu gak peduli suatu hari kita dipisahkan maut.”

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Mimpi Milik Shira
469      256     6     
Short Story
Apa yang Shira mimpikan, tidak seperti pada kenyataannya. Hidupnya yang pasti menjadi tidak pasti. Begitupun sebaliknya.
Mars
906      501     2     
Romance
Semenjak mendapatkan donor jantung, hidup Agatha merasa diteror oleh cowok bermata tajam hitam legam, tubuhnya tinggi, suaranya teramat halus; entah hanya cewek ini yang merasakan, atau memang semua merasakannya. Dia membawa sensasi yang berbeda di setiap perjumpaannya, membuat Agatha kerap kali bergidik ngeri, dan jantungnya nyaris meledak. Agatha tidak tahu, hubungan apa yang dimiliki ole...
Kenangan Hujan
466      343     0     
Short Story
kisah perjuangan cinta Sandra dengan Andi
Kinara
2823      1224     0     
Fantasy
Kinara Denallie, seorang gadis biasa, yang bekerja sebagai desainer grafis freelance. Tanpa diduga bertemu seorang gadis imut yang muncul dari tubuhnya, mengaku sebagai Spirit. Dia mengaku kehilangan Lakon, yang sebenarnya kakak Kinara, Kirana Denallie, yang tewas sebagai Spirit andal. Dia pun ikut bersama, bersedia menjadi Lakon Kinara dan hidup berdampingan dengannya. Kinara yang tidak tahu apa...
Ada Cinta Dalam Sepotong Kue
4574      1541     1     
Inspirational
Ada begitu banyak hal yang seharusnya tidak terjadi kalau saja Nana tidak membuka kotak pandora sialan itu. Mungkin dia akan terus hidup bahagia berdua saja dengan Bundanya tercinta. Mungkin dia akan bekerja di toko roti impian bersama chef pastri idolanya. Dan mungkin, dia akan berakhir di pelaminan dengan pujaan yang diam-diam dia kagumi? Semua hanya mungkin! Masalahnya, semua sudah terlamba...
ALIF
1145      537     1     
Romance
Yang paling pertama menegakkan diri diatas ketidakadilan
Fighting!
476      321     0     
Short Story
Kelas X IPA 3 merupakan swbuah kelas yang daftar siswanya paling banyak tidak mencapai kkm dalam mata pelajaran biologi. Oleh karena itu, guru bidang biologi mereka memberikan tantangan pada mereka supaya bisa memenuhi kkm. Mereka semua saling bekerja-sama satu sama lain agar bisa mengenapi kkm.
DanuSA
26893      3804     13     
Romance
Sabina, tidak ingin jatuh cinta. Apa itu cinta? Baginya cinta itu hanya omong kosong belaka. Emang sih awalnya manis, tapi ujung-ujungnya nyakitin. Cowok? Mahkluk yang paling dia benci tentu saja. Mereka akar dari semua masalah. Masalalu kelam yang ditinggalkan sang papa kepada mama dan dirinya membuat Sabina enggan membuka diri. Dia memilih menjadi dingin dan tidak pernah bicara. Semua orang ...
Kesetiaan
392      280     0     
Short Story
Cerita tersebut menceritakan tentang kesetiaan perasaan seorang gadis pada sahabat kecilnya
Bisakah Kita Bersatu?
556      307     5     
Short Story
Siapa bilang perjodohan selalu menguntungkan pihak orangtua? Kali ini, tidak hanya pihak orangtua tetapi termasuk sang calon pengantin pria juga sangat merasa diuntungkan dengan rencana pernikahan ini. Terlebih, sang calon pengantin wanita juga menyetujui pernikahan ini dan berjanji akan berusaha sebaik mungkin untuk menjalani pernikahannya kelak. Seiring berjalannya waktu, tak terasa hari ...