Read More >>"> AKSARA (Hilang Ingatan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - AKSARA
MENU
About Us  

Dua hari Aksa dirawat di rumah sakit, selama itu juga dia gunakan kesempatan untuk menunggu Lengkara. Setelah melakukan operasi, Lengkara kini tergeletak lemah dengan berbagai alat yang menempel di tubuhnya. Kabar yang diberikan dokter kali ini menciptakan luka dan duka untuk Aksa dan keluarga Lengkara. Kabar mengenai peningkatan stadium dan penyakit yang telah menyebar pada bagian tubuh lain. Hal itu sontak membuat bunda, Kinara, ayah, terutama Aksa yang diberitahu Kinara termangu dan menangis.

Mereka tak bisa melawan kuasa Sang Pencipta bagaimana pun caranya.

“Kami telah berusaha sebaik mungkin. Pun dengan pasien yang rutin menjalani pengobatan. Namun nampaknya sel-sel kanker telah menyebar dan sulit untuk ditangani. Setelah menjalani operasi, kemungkinan pasien akan mengalami amnesia.” Jelas dokter kemudian mendesah lemah. “Penyakit kanker otak merupakan penyakit yang mematikan. Hanya sedikitnya dari 100% untuk sembuh dari penyakit ini. Saya harap bapak dan ibu tabah untuk menghadapi semua ini. Dan kami akan tetap berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Lengkara. Bersamaan dengan itu, kita harus terus meminta pada Allah SWT.”

Bunda masih menangis, ia sangat terguncang dengan kenyataan ini, tak sanggup mendengar apalagi mempertanyakan mengenai puterinya. Ayah dengan sigap menenangkan meski ia sendiri butuh untuk ditenangkan. Puteri kecilnya, kebanggaannya, alasan ia bekerja keras, kini tengah menghadapi penyakit yang hendak merenggut nyawanya.

“Apakah ada celah untuk sembuh dokter?” tanya Kinara dengan hati yang resah. Meski sebenarnya tak perlu lagi dipertanyakan. Sebab pernyataan dokter sudah jelas bahwa tak ada harapan.

Sejenak dokter menampakkan raut tak yakin. “Sayangnya kanker otak telah mencapai stadium akhir, kemungkinan kecil untuk sembuh. Namun kami akan terus berusaha dengan memberikan pengobatan semaksimal mungkin kepada pasien.”

..........

Aksa menundukkan kepala, saat begini ia tak berani memasuki ruangan. Sebab yang lebih berduka pasti keluarga Lengkara. Mereka tengah berada di dalam ruangan, menunggu Lengkara sadar dari tidurnya. Aksa hanya bisa menangis dan berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Meski kata dokter kemungkinan Lengkara untuk sembuh itu kecil, ia yakin Allah pasti selalu mendengar doa hambaNya dan mengabulkannya.

Terkadang Aksa menunggu di luar ruangan saat ada keluarga Lengkara. Aksa memberikan kesempatan dan keleluasaan untuk keluarga Lengkara menengok gadis itu. Dalam diamnya, Aksa selalu menitikkan air mata. Setiap waktu ia hanya memikirkan gadis itu. Bahkan saat menunggu Lengkara, yang Aksa lakukan hanyalah diam seraya memandangi wajah kekasihnya itu.

“Sekarang, di mana pun kamu berada, kembali ke tubuh kamu, Kar. Bangun dan kita lakukan lagi semuanya. Karena ada beberapa keinginan kamu yang belum aku laksanakan.” Aksa menatap ponselnya gamang, di sana ada potret catatan Lengkara yang menuliskan list keinginan gadis itu. Aksa memotret catatan itu kala buku Lengkara hilang dan sampai padanya. Jauh sebelum ia dan Lengkara menjadi sepasang kekasih.

.........

Satu pekan telah berlalu begitu cepat, namun Lengkara belum juga bangun dari tidurnya. Kini Aksa sudah bisa berjalan seperti biasa, meski ada rasa yang mengganjal di kaki kirinya. Setiap seminggu dua kali, Aksa menjalani terapi khusus yang direkomendasikan oleh dokternya. Kemudian Aksa selalu datang ke rumah sakit sekedar menjenguk dan menunggu Lengkara bangun. Seringkali Aksa menungguinya sampai tertidur di samping Lengkara dalam posisi duduk dan menjadikan lengannya sebagai bantal. Terkadang dibangunkan oleh bunda, Kinara atau ayah Lengkara, bahkan pernah tidak dibangunkan sama sekali.

Hari ini Aksa tak sengaja tertidur lagi di brankar Lengkara, bunda yang melihatnya lalu membangunkan Aksa.  Bukan tanpa alasan, bunda ingin berbicara dengan pemuda itu.

“Aksa..” bunda menepuk pelan tubuh Aksa.

Aksa melenguh pelan, matanya mengerjap mulai mencari sosok yang mengusik tidurnya. “Hmm? Ehh iya, bunda? Ada apa?” Aksa mengucek matanya dan memfokuskan pandangan. “Maaf, bun, Aksa ketiduran lagi. Semalam gak bisa tidur.”

Bunda tersenyum, “Maaf bunda bangunin Aksa, ada yang mau bunda bicarakan.” Ucapnya.

“Boleh, bun. Gimana?”

Bunda duduk di sofa yang tak jauh dari brankar. Diikuti Aksa yang duduk di samping bunda. “Aksa, kamu sayang sama Lengkara?”

“Iya, bunda.” Sudah tentu dan tak perlu lagi dipertanyakan.

Bunda menghela nafas, ia sebenarnya bingung sekaligus merasa kasihan terhadap Aksa. “Kenapa kamu memilih dia, nak?”

“Aksa gak tahu, bun.” Jawabnya jujur. Aksa meremat tangannya, membahas tentang Lengkara selalu membuatnya berdebar sekaligus khawatir.

“Kamu jangan salah paham dulu, bunda mengatakan ini karena bunda kasihan sama kamu. Kondisi Lengkara terus menurun, bahkan sekarang telah mencapai stadium akhir. Apa kamu siap nanti kehilangan—“ bunda memejamkan matanya, menggantungkan ucapan yang begitu menyakitkan untuknya. Bukannya bunda ingin mendoakan Lengkara yang tidak-tidak. Namun sejak semalam bunda, ayah dan Kinara pasrah dan menyerahkan segalanya kepada Allah. Mereka percaya dan yakin bahwa Allah akan memberikan yang terbaik untuk Lengkara.

Bunda melanjutkan dengan suara yang tercekat, “Kamu masih muda, bunda harap mulai sekarang kamu menjalani hidup yang semestinya lagi. Tinggalkan Lengkara, nak. Bukan bunda melarang kalian bersama. Tapi keadaan yang bunda kira kamu harus pisah sama Lengkara.” ujar bunda dengan berat hati. Ia tak ingin Aksa terluka suatu hari nanti, ia ingin Aksa bahagia dan menjalani kehidupan seperti biasa. Kehadiran Aksa cukup membuat puterinya bahagia, kini giliran Aksa yang mesti bahagia.

Aksa menggeleng, ia mengerti maksud bunda, karena itupun untuk kebaikannya. Namun Aksa tak siap untuk hal itu dan tak akan meninggalkan Lengkara bagaimanapun keadaannya. “Maaf bunda, Aksa gak bisa.” Dengan nada paraunya, Aksa menahan air mata untuk tidak jatuh.

Bunda menatap Aksa tak percaya.

“Rasa sayang Aksa tulus kepada Lengkara. Bagaimanapun keadaannya, Aksa gak akan pernah ninggalin Lengkara. Aksa udah janji, bun, sama Lengkara untuk selalu sama dia. Jadi izinkan Aksa bertahan sampai Lengkara bebas dari penyakitnya.” Kata terakhir yang ia ucapkan beriringan dengan air mata yang mengalir. Melihat tatapan dan perkataan itu membuat bunda merasa bersalah terhadap Aksa.

Ya, Aksa sudah ikhlas, bagaimanapun akhirnya nanti, Aksa sudah siap. Meski terkadang ia digoyahkan oleh rasa takut yang membuatnya menjadi plin-plan.

Sampai lenguhan yang berasal dari Lengkara membuat keduanya berlari menghampiri brankar.

“Kar? Alhamdulilah!” seru Aksa tak percaya.

Bunda tersenyum haru, dalam hati ia begitu bersyukur dan berterima kasih kepada Allah. Dikecupnya pipi sang anak dengan tetesan air mata yang mengenai wajah Lengkara. “Alhamdulilah akhirnya kamu sadar, sayang.”

“Kara, gimana keadaan kamu?” tanya Aksa.

Alih-alih memberikan senyuman atau menyapa, Lengkara malah mengerutkan kening kepada kedua orang yang selama ini menantinya.

“Kar, kamu kenapa?” tanya bunda mulai cemas. Beriringan dengan degup jantung yang semakin kencang.

Lengkara benar-benar kebingungan. Ditiliknya kembali dua orang di hadapannya, mencoba mengenali mereka, namun gagal. “Kalian— siapa?” ia tak mengenali dua orang dihadapannya.

........

Aksa meremas kuat-kuat tangannya menahan emosi yang hampir meluap. Giginya menggertak berusaha untuk tidak menangis dan mencoba menguatkan dirinya. Ia menghela nafas dalam lantas menghembuskannya dengan perlahan. Matanya telah memanas dan berembun, Aksa menengadah agar air matanya tak jatuh.

“Kamu siapa?”

Cara Lengkara menatapnya, cara Lengkara berbicara padanya, dan dari ekspresi kebingungan Lengkara, membuat Aksa begitu bersedih mengetahui bahwa kanker otaknya telah berpengaruh pada ingatan Lengkara. Itu artinya kanker yang dialami Lengkara telah menyebar ke sel-sel bagian otak lainnya. Aksa berupaya menahan diri, namun kesedihannya mengalahkan sukma. Ia menangis sejadi-jadinya di rooftop seorang diri. Merintih sampai suaranya terdengar sangat pilu. Dadanya terasa sesak kala menerima kenyataan bahwa kondisi Lengkara kian memburuk. Aksa bingung ia harus melakukan apa jika keadaannya sudah begini. Aksa tak bisa berpikir jernih. Yang di kepalanya hanya berputar bahwa ia takut kehilangan Lengkara.

Kini ikhlas itu meluap, perasaan takut membuatnya mengalahkan bahwa dirinya memang harus menerima keadaan. Aksa memang tak pernah benar-benar ikhlas. Dia hanya terpaksa ikhlas.

Jauh dalam lubuk hatinya, Aksa mengharapkan Lengkara sembuh. Setiap waktu untuk menenangkan dirinya karena rasa takut kehilangan itu, Aksa selalu membaca artikel dan menonton tayangan yang memaparkan bahwa kanker otak stadium 4 bisa sembuh. Namun pada kenyataannya yang ia hadapi, alih-alih membaik, kondisi Lengkara malah memburuk. Gadis itu sering pingsan dengan darah yang muncul dari hidungnya. Sering mengeluhkan sakit kepala dan sakit di bagian tubuh lainnya. Sering sulit berbicara sampai pernah Lengkara menuliskan kata-kata yang jelas melalui pesan saat bersama Aksa. Bahkan penglihatannya mulai mengabur, membuat Lengkara harus menggunakan kacamata untuk dapat melihat dengan fokus.

Aksa tak kuasa menahan semua ini. Ingin rasanya ia pergi dan menghilang. Pun dengan ingatannya bersama Lengkara selama ini. Akan tetapi semakin ia berusaha untuk pergi, semakin ia tak tega meninggalkan Lengkara dalam keadaan begini. Aksa merasa jahat dan menjadi pengecut bila ia melarikan diri seperti waktu itu. Hingga pada akhirnya Aksa akan menghukum dirinya sendiri sebab berniat meninggalkan Lengkara.

Kala tangisnya masih pecah di antara semilir angin puncak gedung rumah sakit, hari-hari indah bersama Lengkara melintas di benaknya. Kenangan yang semakin membuat Aksa merasakan ketakutan yang luar biasa. Ia belum siap untuk kehilangan gadis itu. Ia masih ingin bersamanya. Masih banyak hal yang mesti ia lakukan dengan Lengkara.

“Kita mau ke mana sih?” tanya Lengkara saat Aksa membawanya naik ke lift lantai paling atas.

Aksa bungkuk, mensejajarkan tingginya dengan Lengkara yang duduk di kursi roda. “Ada sesuatu yang mau aku tunjukkin ke kamu.”

Lengkara hanya mengerutkan kening dan memilih sabar untuk mengetahui rencana dan apa yang akan diperlihatkan Aksa padanya. Gadis itu telah pulih dari serangkaian pengobatan yang melelahkan. Setelah 2 hari dirawat di rumah sakit, Lengkara merasa bosan dan mengeluh kepada Aksa. Sebab gadis itu hanya diam di ruang rawat inap tanpa bergerak sedikitpun. Hingga satu ide melintas dipikiran Aksa. Dan kini, Aksa merealisasikan itu untuk kekasihnya.

Sebelum sampai di lantai teratas, Aksa mengeluarkan kain panjang untuk menutupi mata Lengkara.

“Sa, kita mau ngapain sih? Kenapa kamu tutupin mata aku?”

“Diem aja ya? Nanti kamu juga tahu kok.”

Kemudian pintu lift terbuka. Aksa mendorong kembali kursi roda dan membawa Lengkara tepat di tengah-tengah rooftop yang luas ini.

“Sebelum aku buka, aku mau ngomong sesuatu sama kamu.” Aksa berjongkok, ia mengikis jarak untuk berbisik tepat di samping telinga Lengkara.

“Apa?”

“Aku sayangg banget sama kamu, Kar, makasih udah jadi perempuan yang bikin aku jatuh cinta sedalam ini ke kamu. Maaf kalau aku ada salah ataupun pernah nyakitin kamu.” Ujarnya begitu terdengar tulus sampai mengukir senyum indah di wajah Lengkara.

Perasaan Lengkara tiba-tiba tak enak saat Aksa mengatakan itu. “Kamu kok tiba-tiba bilang gitu?”

Aksa tak menjawab, ia malah membuka ikatan yang menutupi mata Lengkara. “Dalam hitungan 3 kamu buka mata ya? Satu... dua..tigaa!!”

“HALO KARA!!” serentak Fera, Sagara, Galen, Agam, dan Novan. Masing-masing dari mereka memegang setidaknya 5 balon berwarna-warni. Kecuali Fera yang memegang buket coklat dan boneka kucing yang menggemaskan.

Lengkara terperangah takjub, ia begitu bahagia sekaligus terkejut dengan semua ini. “Aksa ini dalam rangka apa?”

“Dalam rangka mencintai kamu lah!” jawab Aksa penuh percaya diri.

“Dih bucin!” sindir Agam dengan delikan tajamnya.

“Es batu dah cair!” seru Novan melebih-lebihkan.

Lengkara tak bisa menahan senyumnya lagi. Mungkin hal ini terbilang sederhana. Namun baginya bertemu teman-temannya secara lengkap merupakan kebahagiaan tersendiri. Dan Aksa selalu tahu apa yang membuatnya bahagia.

Aksa meraih satu balon dan note yang dipegang oleh Galen. Kemudian ia berjongkok di hadapan Lengkara. “Sekarang kamu tulis harapan kamu di sini, lalu kita sama-sama terbangkan balon ini ke udara.”

Mendengar itu senyum Lengkara surut. Ia merasa tidak memiliki harapan apapun semenjak ia sakit. Menyadari perubahan ekspresi Lengkara, Aksa menyentuh pipinya lembut.

“Jangan putus asa, Kara. Aku tahu, jauh di lubuk hati kamu yang terdalam pasti ada 1 harapan yang ingin kamu wujudkan. Sekarang tulis di sini, aku ataupun yang lain gak bakal lihat. Nih pulpennya.” Ujarnya. Lalu Aksa dan yang lain berbalik badan, memberi peluang untuk Lengkara menulis harapannya tanpa takut dilihat mereka.

“Udah?” tanya Aksa.

“Belum.”

“Kalau udah bilang, ya?”

Lengkara menggulung note itu. “Udah.”

“Nah sekarang kita terbangin ke udara sama-sama.” ucap Aksa.

“Ya Allah semoga harapan hamba bisa kaya raya minimal seperti Rafi Ahmad tercapai ya Allah!” seru Galen mengundang gelak tawa.

“Gak main-main emang harapan lo!” kata Agam dengan decak kagumnya.

“Kalau gue sih gak neko-neko. Jadi CEO pabrik uang ajalah.” Sahut Novan.

“Bisa tuh nanti gue minta THR ke lo?” Sagara menaikturunkan alisnya kepada Novan bermaksud menggoda.

“Dih jangan harap! Bayar dulu hutang lo!” ketusnya yang langsung dicekik oleh Sagara sampai Novan merengek minta dilepaskan.

“Ribut mulu kalian! Cepet nih gue udah gak sabar terbangin balonnya!” tegur Fera.

“Kamu siap?” tanya Aksa kepada Lengkara.

Lengkara mengangguk mantap, dalam hati ia mengamini setiap harapan teman-temannya, dan satu harapan yang ia tulis di kertasnya. “Siap.”

Aksa memberikan aba-aba. “Satu.. dua.. tiga!”

Kemudian semua balon berterbangan bebas ke udara. Saling berlomba-lomba untuk terlebih dahulu naik ke langit dan berbaur dengan awan. Semuanya menengadah dengan seurai senyum. Berdoa dalam hati semoga harapan-harapan mereka terkabul. Alih-alih tersenyum, justru Lengkara menangis. Namun segera gadis itu singkap air mata agar tidak disadari oleh Aksa.

Tangisnya mulai mereda. Setelah mengingat momen hangat itu, Aksa perlahan beranjak dari duduknya untuk menemui Lengkara. Meski sesungguhnya berat untuknya, namun Aksa tak bisa melarikan diri begitu saja. Hatinya sudah terlanjur menetap untuk Lengkara.

Berjalan lemas menuju ruangan inap Lengkara menaiki lift melewati belasan lantai, ia mengintip melalui kaca di pintu, melihat Lengkara yang hanya diam dengan pandangan kosong di atas brankar.  Aksa tahu pasti Lengkara tengah berperang dengan dirinya sendiri. Gadis itu bahkan tak mengenali siapa bunda dan dirinya sendiri. Hal yang sempat membuat Lengkara merasa tertekan, menangis dan berteriak. Hingga akhirnya dokter terpaksa memberikan suntik bius agar Lengkara kembali tenang.

Menjadi Lengkara pasti sangat sulit. Ia harus melawan penyakit ganas yang hinggap di dalam kepalanya, dan kini dihadapkan dengan ingatan kosong. Dalam diamnya, Aksa yakin Lengkara berusaha mengingat-ngingat hal yang tak bisa ia ingat sama sekali. Terlihat pula dari cara Lengkara memukul kepalanya seraya menangis.

Melihat Lengkara semakin menyakiti dirinya, Aksa berlari masuk dan mencekal tangan Lengkara. “Kara! Stop!”

“Kenapa lo ke sini lagi!” teriak Lengkara putus asa seiring dengan air matanya yang terus mengalir. “Gue gak kenal sama lo! Bahkan gue gak kenal diri gue sendiri!”

Aksa menahan Lengkara yang terus meronta-ronta. “Lengkara, nama kamu Lengkara.” bisik Aksa, ia ikut menangis. Dipeluknya Lengkara sekuat tenaga saat gadis itu masih terus meronta. “Lengkara Mahreen Khansa. Nama yang pernah bikin aku kagum. Bukan cuman pada nama, tapi pada orangnya.”

Perlahan Lengkara melemah, yang terdengar hanya isak tangis yang terdengar pelan.

“Jangan paksakan diri kamu untuk ingat semuanya. Sekarang kamu fokus aja sama diri kamu sendiri ya?”

“Terus kamu siapa?”

“Aku Aksa Adinata.” Aksa kembali memperkenalkan diri dengan dada yang sesak. Lengkara masih terlihat bingung. Aksa melanjutkan, “Mulai hari ini kita temenan, oke?”

Dengan ragu sekaligus bingung Lengkara menganggukkan kepalanya. Sedetik kemudian senyumnya perlahan terlihat dan mengembang.

........

Tunjukkan cara agar aku bisa tegar untuk siap kehilanganmu. Tunjukkan cara agar aku bisa sebiasa mungkin saat melihat ragamu yang perlahan rapuh. Tunjukkan cara agar aku bisa menahan tangis yang setiap kali pecah kala mengingatmu. Meski dirimu masih ada, namun rasanya aku belum siap untuk suatu hari melihat dunia tanpa hadirmu. Tanpa tawamu, tanpa senyumanmu, dan segala hal yang indah kulakukan tanpamu. Seringkali aku meminta Tuhan untuk menyudahi sakit di tubuhmu, agar kau bisa bernafas lega dan tenang. Tapi pada kenyataanya, tubuhmu perlahan rapuh. Tenagamu perlahan luruh.

Maaf bila aku belum mampu menjadi lelaki sempurna untukmu. Aku hanya bisa mencintai dan menemanimu sampai penghujung hari dimana kita dipisahkan kembali oleh semesta yang begitu kejam.

Aksa

Jemarinya melemah, pulpen yang ia genggam terjatuh ke lantai. Dalam ruang gelap yang hanya disinari oleh rembulan malam, rintihan memilukan terdengar begitu jelas. Punggungnya gemetar hebat. Suara senggukannya terdengar menyakitkan. Ia duduk memeluk lutut di pinggir kasur. Menunduk dengan tangisan pilu. Dalam kepala, berputar sosok Lengkara yang begitu ia cinta. Gadis yang selalu tersenyum meski penuh dengan luka dan rasa sakit yang tak terkira.

Haruskah suatu hari Aksa benar-benar siap untuk kehilangan Lengkara sepenuhnya? Siapkah dirinya menjalani hari-hari tanpa sosok Lengkara yang selalu mengisi harinya? Kuatkah ia jika suatu hari nanti senyum dan tawa itu tak lagi ia dengar tepat di telinganya?

Aksa hanya mampu menangis malam itu. Setelah mengetahui detail tentang kondisi Lengkara dari apa yang ia lihat dan ia dengar, Aksa semakin takut. Ia takut tak bisa hidup tanpa Lengkara dan takut kehilangan Lengkara selamanya. Aksa begitu mencintai Lengkara sampai ia lupa bahwa suatu hari mereka akan dipisahkan oleh semesta.

........

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Our Different Way
3605      1517     0     
Romance
Novel ini mengisahkan tokoh utama bernama Haira, seorang siswa SMA berusia tujuh belas tahun yang baru saja rujuk kembali dengan pacarnya, Gian. Mereka berdua tentu senang karena bisa kembali merajut kasih setelah tidak pernah bertemu lebih dari setahun akibat putus. Namun, di tengah hubungan yang sedang hangat-hangatnya, mereka diterpa oleh permasalahan pelik yang tidak pernah mereka bayangk...
"Mereka" adalah Sebelah Sayap
420      300     1     
Short Story
Cinta adalah bahasan yang sangat luas dan kompleks, apakah itu pula yang menyebabkan sangat sulit untuk menemukanmu ? Tidak kah sekali saja kau berpihak kepadaku ?
Just For You
4118      1619     1     
Romance
Terima kasih karena kamu sudah membuat hidupku menjadi lebih berarti. (Revaldo) *** Mendapatkan hal yang kita inginkan memang tidak semudah membalik telapak tangan, mungkin itu yang dirasakan Valdo saat ingin mendapatkan hati seorang gadis cantik bernama Vero. Namun karena sesuatu membuatnya harus merelakan apa yang selama ini dia usahakan dan berhasil dia dapatkan dengan tidak mudah. karen...
The DARK SWEET
398      329     2     
Romance
°The love triangle of a love story between the mafia, secret agents and the FBI° VELOVE AGNIESZKA GOVYADINOV. Anggota secret agent yang terkenal badas dan tidak terkalahkan. Perempuan dingin dengan segala kelebihan; Taekwondo • Karate • Judo • Boxing. Namun, seperti kebanyakan gadis pada umumnya Velove juga memiliki kelemahan. Masa lalu. Satu kata yang cukup mampu melemahk...
Mysterious Call
439      283     2     
Short Story
Ratusan pangilan asing terus masuk ke ponsel Alexa. Kecurigaannya berlabuh pada keisengan Vivian cewek populer yang jadi sahabatnya. Dia tidak sadar yang dihadapinya jauh lebih gelap. Penjahat yang telah membunuh teman dekat di masa lalunya kini kembali mengincar nyawanya.
Sahabat Selamanya
1154      693     2     
Short Story
cerpen ini bercerita tentang sebuah persahabatan yang tidak ernah ada akhirnya walaupun mereka berpisah jauh
Kungfu boy
2288      886     2     
Action
Kepalanya sudah pusing penglihatannya sudah kabur, keringat sudah bercampur dengan merahnya darah. Dirinya tetap bertahan, dia harus menyelamatkan Kamalia, seniornya di tempat kungfu sekaligus teman sekelasnya di sekolah. "Lemah !" Musuh sudah mulai menyoraki Lee sembari melipat tangannya di dada dengan sombong. Lee sudah sampai di sini, apabila dirinya tidak bisa bertahan maka, dirinya a...
Seperti Cinta Zulaikha
1777      1151     3     
Short Story
Mencintaimu adalah seperti takdir yang terpisahkan. Tetapi tuhan kali ini membiarkan takdir itu mengalir membasah.
Snow White Reborn
564      315     6     
Short Story
Cover By : Suputri21 *** Konyol tapi nyata. Hanya karena tertimpa sebuah apel, Faylen Fanitama Dirga mengalami amnesia. Anehnya, hanya memori tentang Rafaza Putra Adam—lelaki yang mengaku sebagai tunangannya yang Faylen lupakan. Tak hanya itu, keanehan lainnya juga Faylen alami. Sosok wanita misterius dengan wajah mengerikan selalu menghantuinya terutama ketika dia melihat pantulannya di ce...
A Day With Sergio
1165      569     2     
Romance