“Sekarang makan dulu.” Aksa terus
menyodorkan sendok ke mulut Lengkara yang terus menerus berusaha menjauh.
“Kara, kamu harus makan.” Titah Aksa diawali helaan nafas dalam.
“Udah kenyang.” Lengkara merengek,
menjauhkan sendok yang tengah Aksa sodorkan ke mulutnya.
Aksa dibuat geleng kepala dengan sikap
manja Lengkara. “Ya ampun Kara baru dua suap udah kenyang?”
Lengkara menghela nafas. Wajahnya
menekuk kesal karena tak mau makan. Sementara Aksa tak henti memaksanya untuk
makan. “Sa, ihh..”
“Kamu harus makan biar bisa minum obat.
Kemaren kamu gak check up sekarang
kamu gak makan? Kamu bandel banget ya!”
“Kamu udah kayak bunda aja deh.” Lengkara
kian mencebik, merasa jengkel dengan Aksa.
“Biarin, aku gini karena sayang kamu.
Nih buka mulutnya lebar-lebar.” Aksa tetap menyodorkan sendok ke mulut Lengkara
meski gadis itu ogah-ogahan.
Lengkara menggeleng, menjauhkan sendok
dari wajahnya. “Gak!” ketusnya.
Aksa jengah, entah harus melakukan apa
lagi agar kekasihnya ini makan. “Kamu maunya apasih?”
Lengkara menggerling jahil. “Kamu.”
“Mau aku?”
Lengkara mengangguk dengan senyum
jahilnya.
Aksa mengutas senyum miring, kemudian ia
tiba-tiba mendekatkan wajahnya yang tinggal beberapa senti dengan wajah
Lengkara. Membuat gadis itu membeku karena terkejut seketika.
“Kamu mau aku?” bahkan hembusan nafas Aksa
bisa Lengkara rasakan. Suaranya yang tiba-tiba serak dan terdengar menggoda
makin membuat Lengkara terpaku. Secara otomatis, degup jantungnya melaju
kencang. Berikut dengan nafasnya yang mulai tersekat.
Mendadak Lengkara terbata-bata karena
gugup dan kaget. “E-enggak enggak gitu.” kemudian gadis itu berlari masuk ke
dalam rumah meninggalkan Aksa seorang diri di taman belakang rumah Lengkara.
Aksa terkekeh kecil melihat tingkah laku
kekasihnya. “Katanya mau aku. Dideketin malah kabur, gimana sih.”
Beberapa saat kemudian Lengkara kembali
lagi dan duduk bergabung dengan Aksa yang sedari tadi menunggunya.
“Tadi kabur ke mana sih? Ke bulan? Ke
planet mars?” tanya Aksa menggoda Lengkara masih dengan kekehannya.
Lengkara melayangkan pukulan kecil pada
lengan bahu Aksa. “Mau tahu aja, mesum!”
tak ayal gadis itu masih saja salah tingkah dengan yang terjadi barusan.
“Dih kok bilang aku mesum? Emang aku
ngelakuin apa?”
“Tadi kamu mau cium aku kan?”
Aksa menahan tawanya, “Tadi katanya mau
aku? Yaudah hampir aku cium lah!”
Lengkara mencubit lengan Aksa sekuat
tenaga sampai pemuda itu meminta ampun dan nampak jelas rona merah di pipinya.
Makin membuat Aksa gencar untuk menggoda Lengkara.
“Mau aku cium beneran?”
“Gak! Kamu nyebelin!” Lengkara lantas
melancarkan balasannya dengan mencubit pinggang Aksa, gemas.
Aksa meringis tak bisa menahan diri.
“Aw! Aw! Sakit Kara! Hahaha.”
Lengkara terus mencubiti pinggang dan
perut Aksa, sementara pemuda itu terus tertawa karena geli juga sakit. “Ini
bayaran buat orang mesum kayak kamu!”
“Ampun hahaha, aku bercanda, sayang.
Serius. Aaw! Hahaha geli.”
Namun tiba-tiba Lengkara berhenti,
menatap sendu ke arah lain membuat Aksa penasaran.
“Kamu kenapa?” tanya Aksa.
“Sa, aku mau minta tolong boleh?”
“Boleh, apa?”
Untuk sesaat Lengkara memejamkan mata
yang terasa panas. Ia menarik nafas dalam, terasa berat untuk mengatakan hal
ini kepada Aksa. Terlebih ia begitu menjaga baik rambut yang selalu ia
agung-agungkan sebagai mahkota dan objek yang membuatnya terlihat cantik. Namun
kini ia harus merelakan itu karena penyakit yang menggerogoti hidupnya.
“Aku..”
“Kok kamu malah nangis, Kar?” Aksa mulai
khawatir.
“Potongin rambut aku ya?”
Jantung Aksa mencelos saat mendengar
permintaan yang bernada permohonan itu. Tersirat banyak luka menyertai setiap
kata yang keluar dari mulut Lengkara. Begitu terdengar berat bagai sesuatu yang
tak mampu ia relakan. Sesak pun terasa, seakan dirinya sudah terkoneksi dengan
baik pada hati Lengkara. Teringat kembali bahwa Lengkara kian kemari kian
melemah. Membuat sisi terlemah Aksa hampir saja meledak bila pemuda itu tidak
menahannya. Ia tak ingin membuat Lengkara makin berat karena kesedihannya. Ia
ingin terus kuat seakan tak ada kesedihan dan duka yang menyelimuti, agar
Lengkara semangat menjalani hari demi hari yang makin membebani.
“Hei, kenapa mau potong rambut? Kamu
bagus gini loh.” Aksa mengelus rambut Lengkara yang rontok begitu banyak di
tangannya. Aksa hanya bisa tertegun dengan dada yang sesak. Haruskah Lengkara
menanggung rasa sakit ini?
Lengkara menarik tangan Aksa yang masih
asik mengelus rambutnya. Dan ia pun melihat sendiri sekaligus membuktikan
kepada Aksa bahwa rambutnya hampir habis. “Bahkan rambut aku dengan mudah
keambil di tangan kamu. Padahal kamu gak sengaja ngambil.” Ujarnya dengan nada
parau dan senyum getirnya. “Kebetulan ayah aku punya alat pencukur rambut. Aku
ambil dulu, ya?”
Aksa tak bisa menolak atau berkata
apapun lagi. Ia hanya diam seribu bahasa membiarkan Lengkara pergi ke dalam
untuk mengambil pencukur rambut. Saat matanya terpejam, air mata ke luar begitu
saja. Ia sudah tak sanggup menahan air mata yang mengenang di pelupuk. Berbagai
pertanyaan menyeruak dalam kepala. Mempertentangkan takdir kejam yang harus
Lengkara jalani.
Haruskah Lengkara mengalami kondisi yang
begitu berat dan sakit ini? Salah dia apa sehingga diberikan cobaan yang begitu
berat? Gadis itu masih memiliki masa depan yang panjang, harapan dan mimpi yang
belum tercapai. Tapi kenapa harus mendapatkan penyakit seperti ini?
Pertanyaan demi pertanyaan itu tak bisa
ia jawab bahkan sampai Lengkara datang menghampiri. Sebelum Lengkara mengetahui
Aksa tengah menangis, Aksa buru-buru mengelap air matanya dan menetralkan nafas
di dadanya. Kemudian ia mengulas senyum kepada sang gadis yang juga menampilkan
senyum palsu. Aksa tahu itu.
“Kamu serius?” tanya Aksa sekali lagi,
berharap Lengkara hanya bercanda atau menarik lagi permintaannya.
Lengkara mengangguk masih dengan
disertai senyumnya.
“Tapi rambut kamu masih bagus kok.” Sekali
lagi Aksa membelai rambut kekasihnya itu yang sudah kembali duduk di
sampingnya.
“Aku tahu kamu bohong Aksa.” Katanya
dengan getir. Aksa menyadari kepala Lengkara sebagian telah botak. Makanya
gadis itu tak pernah lepas dari topi saat berada di luar rumah. Lengkara
memasang colokan ke terminal dan memberikan pencukur rambut itu kepada Aksa.
“Bantuin aku, ya?”
Untuk sesaat yang Aksa lakukan hanya
menatap pencukur rambut itu dengan perasaan yang begitu berat. Ia memposisikan
diri sebagai Lengkara dan membayangkan sesakit apa gadis itu saat rambutnya
harus ia cukur habis?
“Aksa..” suara lembut yang membuat Aksa
menatapnya sendu. “Aku cuman pengen rambut aku dicukur habis, biar aku gak
sedih terus karena gak perlu lihat rambut aku rontok lagi. Bantuin aku ya?”
Akhirnya Aksa mengangguk. Kemudian Lengkara
duduk membelakangi Aksa dan memejamkan mata. Ia mencoba menguatkan hatinya
untuk ikhlas dan menerima kondisinya kini. Meski sebenarnya ia ingin
memberontak dan menangisi keadaan. Sementara Aksa terus-menerus menghela nafas
untuk meyakinkan dirinya bahwa ia harus mengikuti keinginan Lengkara hari ini.
Lantas Aksa menyalakan mesin pencukur
rambut itu dan perlahan melahap habis rambut Lengkara sampai kandas. Setiap
rambut yang jatuh ke pangkuannya, Lengkara meneteskan air mata. Berdoa dalam
hati bahwa pada setiap rambut yang jatuh, maka bebannya berkurang. Belum
selesai mencukur, Aksa menyempatkan untuk mengecup kepala Lengkara, membuat
tangis Lengkara pecah karena merasa terpancing. Aksa mendekap Lengkara dari
belakang. Menguatkan kekasihnya itu.
“Kamu harus kuat, Kar, kamu harus kuat.”
Lengkara tak menjawab. Hanya suara
isakan yang terdengar.
“Ada aku di sini yang gak akan pernah
ninggalin kamu, Kar. Aku janji.”
Aksa menjauhkan diri dari Lengkara dan
kembali untuk menyelesaikan pekerjaannya. Beberapa menit kemudian akhirnya kepala
Lengkara benar-benar botak. Tak ada satu helai rambut pun yang tertanam di
kepalanya. Lengkara berbalik, meski matanya bersedih namun Lengkara tetap
mengulas senyumnya. Hal itu justru membuat Aksa merasa sangat bersalah dan
cemas terhadap Lengkara.
“Makasih ya udah bantuin aku.” Suaranya
begitu parau dan serak layaknya orang selesai menangis.
Tanpa diduga Aksa mencukur rambutnya
sendiri tepat di depan Lengkara. Gadis itu sontak saja terkejut dan menutup
mulutnya sendiri. Perasaan berkecamuk dalam dada, antara sedih dan haru ia
rasakan bersamaan. Sementara Aksa hanya tersenyum dan terus menyelesaikan
cukurannya. Sebenarnya Aksa agak kesulitan karena tak ada cermin besar. Namun
ia tak habis akal, diraihnya ponsel dan ia bercermin pada kamera sendiri.
“Aksa..”
Aksa tersenyum kala kepala mereka
sama-sama botak. Bukan tanpa alasan, ia ingin memberikan semangat kepada
Lengkara lewat apa yang ia lakukan. Dan menyampaikan bahwa ia benar-benar tulus
mencintai Lengkara. Tanpa sebab, tanpa alasan. Bahkan saat tahu Lengkara sakit,
Aksa tak pernah meninggalkannya sedikitpun. Meski terkadang Aksa merasa
tersiksa dengan menyaksikan kondisi Lengkara yang semakin memburuk.
Tatapannya pun kini begitu tulus
terhadap Lengkara, seakan membuktikan bahwa ia tak pernah main-main dengan
perasaannya. Lengkara, cinta pertamanya, gadis pertama yang ia cintai dan
membuatnya jatuh cinta setengah mati.
“Aksa kenapa kamu ngelakuin ini?”
Aksa menyentuh pipi Lengkara, matanya
berkaca-kaca. “Karena aku sayang kamu, Kar.” Hanya itu yang mampu Aksa
sampaikan. Selanjutnya mereka tenggelam dalam pelukan yang begitu hangat.
Menabur cinta melalui detakan jantung keduanya yang begitu dekat. Hingga tanpa
mereka ketahui hal itu disaksikan oleh bunda dan Kinara. Keduanya menangis
menyaksikan adegan itu. Aksa dan Lengkara sama-sama mencukur rambut untuk
saling menguatkan diri.
........
Esok harinya Lengkara menemani Aksa
untuk pergi ke toko olahraga. Setelahnya Aksa mampir ke salah satu toko penjual
pernak-pernik. Lengkara hanya diam saat melihat Aksa melihat-lihat bagian yang
memajang banyak sekali topi. Kemudian Aksa memilihkan dua buah kupluk berwarna
dan model yang sama dan memakaikan kepada Lengkara setelah melepas topi yang
dipakai gadis itu.
“Bagus banget. Coba lihat sendiri.” Aksa
membalikan badan Lengkara untuk berkaca pada cermin. “Cocok kan?”
Lengkara tersenyum dan mengangguk.
“Nah cocok gak kalau buat aku?” tanya
Aksa.
“Kamu serius mau pake itu?”
“Kenapa? Jelek ya?”
“Nggak bukan gitu maksud aku. Tapi
aku...” Nara menggantungkan ucapannya. Ia malah menundukkan kepala dan merasa
sedih.
Aksa lantas mengangkat kepala gadis itu
dan menatapnya lekat. “Kamu tahu sendiri kan aku kalau pake topi koboi
sekalipun tetep ganteng!” guraunya untuk mencairkan kembali suasana.
Lengkara terkekeh, memang benar Aksa
tampan. Namun cara pemuda itu mengakui begitu menggelikan. “Percaya diri
banget!” gadis itu menyentil pinggang Aksa.
“Iya dong kan pacar kamu! Jadi cocok gak
ini buat aku?” Aksa menunjuk kupluk yang ia kenakan dengan alis yang
dinaikturunkan.
Lengkara mengangguk. “Cocok. Tapi emang
gak malu kalau kita pake kupluk yang sama?”
“Ngapain malu?” Aksa merangkul Lengkara.
“Kan kamu pacar aku.”
Pipi Lengkara langsung bersemu merah.
“Ciyee salting!” goda Aksa.
“Ih Aksa!!”
Aksa menghindar dari Lengkara yang
berusaha mencubit pinggangnya.
“Oiya ada sesuatu buat kamu.” Kata Aksa
saat mereka telah berada di luar toko.
“Apalagi? Kamu banyak kejutan banget sih
buat aku. Jadi seneng.”
Perlahan Aksa mengeluarkan sesuatu dari
jaketnya, Lengkara begitu penasaran ingin segera melihatnya. Namun nampaknya
Aksa seperti sengaja memperlambat tempo gerakan tangannya. Gadis itu sampai
jengah dan menarik tangan Aksa sampai memperlihatkan sesuatu yang membuatnya
menutup mulut.
“Ya ampun Aksa! Tiket konser Fiersa
Besari?!” saking takjubnya gadis itu sampai menutup mulutnya yang menganga.
Aksa mengangguk antusias. “Malam ini,
mau?”
“Siapa yang gak mau!” Lengkara
jingkrak-jingkrak kemudian memeluk Aksa. “Makasih banyak Aksa!”
Aksa merasa senang melihat kebahagiaan
yang terpancar pada Lengkara. Ini yang ia harapkan daripada melihat Lengkara
menangis. “Kalau mau setelah magrib aku jemput kamu, ya?”
Lengkara mengangguk cepat. “Siap bos!”
dan ia makin mengeratkan pelukan sampai Aksa kehabisan nafas.
..........
“Sebelum
pergi jangan lupa minum obat dulu.”
“Iya..”
“Makan
juga jangan lupa.”
“Iyaa..”
“Pokoknya
pas aku jemput nanti kamu harus udah makan dan minum obat.”
“Iya,
Aksa..”
Waktu telah menunjukkan pukul 18.30
sore. Buru-buru Lengkara habiskan makanannya yang tinggal satu suap nasi.
“Tinggal minum obat.” Lengkara lantas pergi ke kamarnya untuk mencari obat yang
harus ia minum. Sedari tadi hanya Lengkara lah yang kalang kabut sendiri. Gadis
itu terus bulak-balik dapur dan kamar dengan diperhatikan oleh bunda, Kinara
dan ayah yang tengah berkumpul di ruang keluarga. Sudah dua kali Lengkara
hampir saja terjatuh karena tak sengaja menendang kakinya sendiri. Ayah dan
bunda sampai kaget serta Kinara hampir tersedak minuman karena tertawa.
“Kamu mau ke mana sih, Kara? Daritadi
perasaan sibuk bener.” Komen ayah pada akhirnya.
“Biasa, yah, masa gak tahu anak muda.
Apalagi Kara lagi bucin sama Aksa.” Balas Kinara dengan kekehannya.
Lengkara nyengir kuda, kemudian ia
menatap bunda dengan memelas. “Bunda lihat kaus kaki Kara gak?” tanya Kara yang
terlihat putus asa.
“Biasanya kamu simpan di rak, Kara.”
“Tapi gak ada, bun. Udah Lengkara cari.”
Bunda menghela nafas dan berjalan menuju
kamar Lengkara dibuntuti gadis itu. “Ini apa, Kara? Sebegitu banyak dan
tersusun dekat lemari baju kamu, masa gak kelihatan?”
Lengkara menggaruk-garuk tengkuknya.
Serius demi apapun ia tadi tak melihat kaus kakinya ada di sana!
Bunda menggeleng heran, “Kebiasaan,
kalau mau pergi sama Aksa suka ngedadak pelupa sama gak lihat apa-apa.” Kekeh
bunda. “Emang mau ke mana sih? Dandannya sampe cantik gini.”
Dengan rasa senang yang tak bisa ia
sembunyikan Lengkara mengatakan, “Mau nonton konser musik kesukaan Kara, bunda!
Aksa kasih kejutan tadi siang!”
Bunda turut senang melihat anaknya
sampai tak berhenti menyurutkan senyum. “Kalau gitu hati-hati. Jangan sampe
jauh dari Aksa, ntar kalau hilang gimana?”
“Jangan sampe dong, bun.” Lengkara
mengerucutkan bibirnya.
Bunda terkekeh, bersamaan dengan itu
suara salam Aksa membuat bunda dan Lengkara menoleh pada pintu kamar yang
terbuka.
“Cepet siap-siapnya, Aksa udah ke sini.”
Ujar bunda seraya berlalu untuk menemui Aksa. Sementara Lengkara menyelesaikan
tahap akhir persiapannya.
.........
Lengkara sampai tak bisa menutup mulutnya
saat melihat panggung besar konser Fiersa Besari yang begitu megah dari
kejauhan. Belum lagi ramai orang-orang yang mengantri memasuki area konser
dengan menunjukkan tiket mereka. Setelah mengantri kurang lebih 15 menit, kini
Aksa dan Lengkara berada di barisan paling depan. Aksa rela mengeluarkan uang
banyak agar kekasihnya itu bisa melihat lebih dekat penyanyi yang begitu
diidolakannya.
“Aksa aku masih gak percaya ini nyata!” sudah
sedari tadi Lengkara tak berhenti bertingkah senang. Gadis itu sampai loncat-loncat
saking gembiranya.
Aksa mengecup sekilas kepala Lengkara
yang tertutupi kupluk. “Harus percaya karena ini emang nyata dan sebentar lagi
Fiersa muncul.” Tuturnya.
Jika saja Aksa tak merangkulnya dengan
erat, Lengkara yakin dirinya akan terbang ke langit saking bahagianya bertemu
dengan Fiersa Besari yang sangat diinginkannya sedari dulu. Sebenarnya bisa
saja Lengkara pergi sendiri atau bersama Fera, namun karena terlanjur
mengetahui bahwa ia memiliki penyakit kanker otak, Lengkara malas melakukan
apapun. Yang ia lakukan hanyalah diam dan merenungi nasibnya sebelum Aksa
datang.
Mendengarkan pembukaan dari MC,
pandangan Lengkara mengedar dan ia melotot kaget saat menemukan Fera yang
berada di sampingnya. Nampaknya Fera sendiri tidak mengetahui bahwa ia
bersampingan dengan sahabatnya.
“Lo?!” ucap keduanya bersamaan. Kemudian
keduanya berpelukan sambil loncat-loncat. Sebenarnya agak sulit, sebab sudah
menjadi tradisi pada konser semua orang akan berdesak-desakan.
“Lo ngapain di sini?” tanya Lengkara
dengan polosnya.
Fera menekukkan wajah. “Lagi main bola!
Ya nonton konserlah! Eh Aksa,” Fera mengulurkan tangan bermaksud mengajak Aksa
bersalaman. “sama cowok lo juga ternyata, Kar.”
Kara mengangguk, “Hah Galen?!” ia
kembali terkejut saat menemukan Galen berada di samping Fera. “ngapain lo di sini?”
“Hemm pantesan tadi sibuk banget pinjem
baju gue!” kata Aksa yang lansung dipelototi oleh Galen.
“Gu-gue..” Galen gagap, seperti ada yang
disembunyikan.
Dan kecurigaan itu Lengkara tujukan pada
Fera. Ia menyipitkan mata pada sahabatnya itu dengan tajam seakan menuntut
penjelasan.
Fera nyengir kuda dengan
kecanggungannya, persis seperti anak SD yang ketahuan mengambil 5 gorengan tapi
bayarnya 3. “Gue sama Galen pacaran, oke?”
“What?
Terus Gilang?”
“Dah putus.” Jawabnya enteng.
Geram dan tak habis pikir, Lengkara
menjitak kepala Fera sampai gadis itu mengaduh. “Ya ampun Fera! Penyakit lo
kumat ya! Jujur sama gue, Galen cowok yang ke—umh!”
“Jangan sampe doi baru gue denger!”
bisik Fera tepat di telinga Lengkara. Kemudian ia menjauhkan tangannya dari
bibir Lengkara.
Lengkara mendelik, sifat Fera
benar-benar sulit diubah. Daripada mempermasalahkan Fera yang banyak cowoknya,
Lengkara fokus menatap ke depan ketika MC dengan semangat memanggil Fiersa
Besari untuk naik ke panggung. Sontak saja sorak sorai dari ribuan penonton
terdengar begitu riuh, memanggil nama Fiersa Besari dengan kompak.
Lagu pertama pun dinyanyikannya dengan
indah. Diiringi alunan musik yang menghanyutkan suasana. Lembayung, lagu yang dibawakannya. Lautan manusia ini ikut serta
menyanyikan lagu yang telah hafal di luar kepala. Suara khas dan makna setiap
bait lagu seakan menarik setiap insan masuk ke dalam kisah yang dimaksudkan.
Kemudian lagu berganti, menyanyikan dengan sendu Waktu yang Salah. Mengikutsertakan penonton untuk terbawa arus
perasaan sedih dan kecewa. Memancing tangis dari orang-orang yang kisahnya
sama. Termasuk Lengkara yang begitu semangat dan antusias ikut bernyanyi seraya
menyandarkan kepala di pelukan Aksa. Sangat nyaman. Lengkara rela berdiri
lama-lama begini asalkan dengan pemuda itu.
Di antara ribuan manusia yang menyalakan
senter ponsel hingga menghasilkan lautan cahaya, Aksa tersenyum haru. Dielusnya
lengan bahu Lengkara. Tidak seperti Lengkara dan penonton lain, Aksa hanya diam
tanpa ikut bernyanyi. Ia hanya memejamkan mata, membayangkan setiap senyum yang
sukarela Lengkara perlihatkan. Membayangkan bahagia yang mereka ciptakan. Meski
lagu yang dibawakan bermakna rasa sakit dan kecewa.
Hingga saat pertengahan, Fiersa Besari
mulai kembali berbaur dengan penonton. Mengobrol random dan dijawab secara
kompak oleh ribuan orang. Sesekali tertawa dan bercanda, sesekali bercerita.
Itulah yang disukainya dari Fiersa Besari. Seseorang yang menginspirasinya
untuk berkecinampungan dalam dunia tulisan. Bahkan Lengkara hampir saja membeli
alat-alat pendaki yang harganya mahal untuk mendaki gunung seperti apa yang
dilakukan oleh Fiersa Besari. Namun karena penyakit terkutuk ini, Lengkara
harus mengubur dalam-dalam keinginannya.
Kemudian hal yang mengejutkan terjadi.
Kala Fiersa Besari tiba-tiba menunjuk dan memanggil nama Lengkara. Lantas
seluruhnya menjadi hening. Lengkara sendiri sampai dibuat termangu dan bingung dengan
apa yang terjadi. Sementara Aksa tersenyum sebab tahu apa yang selanjutnya akan
terjadi.
“Ada pesan dari seseorang untuk kamu,
Lengkara Mahreen Khansa.” Ujar Fiersa yang sontak membuat para penonton
bersorak heboh. Sebagian atau mungkin seluruh penonton yang ada di sana merasa
iri terhadap Lengkara.
Termasuk Fera yang berteriak seraya
mengguncangkan tubuh Lengkara seraya berkata, “LO BERUNTUNG, KARA!!”
“Sa,” Lengkara tak bisa menahan
senangnya. Mimpi apa dia semalam sampai bisa disapa langsung oleh idolanya?
“Terima kasih sudah mencintai
karya-karya saya, Lengkara. Dan terima kasih juga telah mencintai dan
membuatnya jatuh cinta.” Kata Fiersa lagi, melanjutkan.
Bingung, Lengkara menengadah pada Aksa.
“Sa, ini ka—“
Belum selesai bicara, fotonya muncul
pada proyektor layar panggung. Lengkara tercengang—berkali-kali lipat
tercengang. Begitupun dengan orang-orang yang bersorak ria, memberikan selamat
dan bertepuk tangan. Seakan malam ini bukan hanya konser milik Fiersa Besari,
melainkan juga konser miliknya. Saat melihat berbagai foto yang selalu ada Aksa
di sana, Lengkara mendekap erat Aksa. Menangis terharu di dadanya. Ia tak
mengira bahwa Aksa akan melakukan hal di luar dugaannya. Pemuda itu benar-benar
niat dalam membahagiakannya.
Slide
foto pada layar proyektor menampilkan setiap momen yang Aksa abadikan dalam
ponselnya. Saat dirinya dan Lengkara pergi ke taman bermain, saat dirinya
menemani Lengkara kemoterapi, saat keduanya sama-sama botak, saat Lengkara
menemaninya latihan, dan saat-saat indah lainnya yang sudah Aksa rencanakan
untuk hal ini. Pada slide terakhir,
memutar vidio Aksa yang mengatakan—
“Aku
sayang kamu, Kar. Maaf kalau aku belum bisa menjadi seseorang yang sempurna di
mata kamu. Tapi aku selalu berusaha untuk membahagiakan kamu dengan cara aku.
Aku tahu, apa yang kamu rasakan itu berat, tapi aku harap kamu bisa dengan
ikhlas jalani semuanya. Dan aku gak akan pernah pergi ninggalin kamu. Jadi
jangan khawatir. Kalau ada apa-apa, langsung cari aku.”
Ribuan orang begitu terharu dengan apa
yang Aksa lakukan. Apalagi Lengkara, yang tak mampu lagi menahan tangis karena
bahagia bercampur sedih sebab waktunya tak lama lagi untuk bersama Aksa. Pemuda
yang nanti akan sendirian. Sampai sebegitunya Aksa membuatnya bahagia.
“Makasih banyak, sayang, makasih.” Lirihnya
dalam pelukan.
“Sama-sama, sayang. Apapun akan aku
lakuin buat kamu.”
“Semoga Lengkara cepat pulih dari
penyakitnya,” ujar Fiersa, diamini ribuan orang. “dan semoga hubungannya dengan
Aksa sampai pada pelaminan.” Orang-orang kembali mengamini. Lengkara dan Aksa
tersenyum bahagia saat menerima doa-doa itu. “Oke selanjutnya adalah lagu
khusus Aksa dan Lengkara yang tengah memadu asmara. Tahu gak judulnya apa?”
“TANPA KARENA!!!” teriak orang-orang
yang mengerti makna pada lagu itu.
“Kita nyanyi bareng-bareng ya?” musik
kembali mengiringi lagu yang dinyanyikan. Kali ini Lengkara tak ikut menyanyi
dan loncat-loncat. Dia malah menggelayut manja dalam pelukan Aksa.
Masih terbayang di benaknya tentang apa
yang Aksa lakukan hari ini padanya. Memori terindah yang tak akan pernah
Lengkara lupakan. Dengan Aksa, semuanya menjadi sangat indah dan sempurna. Puzzle yang ia cari bagian akhirnya kini
ia temukan. Bagian terakhir itu adalah Aksa. Pemuda yang menjadikan hidupnya
berarti dan berwarna di saat Lengkara tengah menghadapi penyakitnya.
Aksa menjadikan kesedihan sebagai objek
kesenangan. Bukan menyepelekan, namun Aksa menunjukkan bahwa tak semua masalah
harus dibawa larut dalam pikiran. Aksa mengajarkan dengan caranya sendiri bahwa
masalah itu dihadapi dan dibawa senang saja.
...........