Read More >>"> AKSARA (Sampai Habis Tak Tersisa) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - AKSARA
MENU
About Us  

“Sekarang makan dulu.” Aksa terus menyodorkan sendok ke mulut Lengkara yang terus menerus berusaha menjauh. “Kara, kamu harus makan.” Titah Aksa diawali helaan nafas dalam.

“Udah kenyang.” Lengkara merengek, menjauhkan sendok yang tengah Aksa sodorkan ke mulutnya.

Aksa dibuat geleng kepala dengan sikap manja Lengkara. “Ya ampun Kara baru dua suap udah kenyang?”

Lengkara menghela nafas. Wajahnya menekuk kesal karena tak mau makan. Sementara Aksa tak henti memaksanya untuk makan. “Sa, ihh..”

“Kamu harus makan biar bisa minum obat. Kemaren kamu gak check up sekarang kamu gak makan? Kamu bandel banget ya!”

“Kamu udah kayak bunda aja deh.” Lengkara kian mencebik, merasa jengkel dengan Aksa.

“Biarin, aku gini karena sayang kamu. Nih buka mulutnya lebar-lebar.” Aksa tetap menyodorkan sendok ke mulut Lengkara meski gadis itu ogah-ogahan.

Lengkara menggeleng, menjauhkan sendok dari wajahnya. “Gak!” ketusnya.

Aksa jengah, entah harus melakukan apa lagi agar kekasihnya ini makan. “Kamu maunya apasih?”

Lengkara menggerling jahil. “Kamu.”

“Mau aku?”

Lengkara mengangguk dengan senyum jahilnya.

Aksa mengutas senyum miring, kemudian ia tiba-tiba mendekatkan wajahnya yang tinggal beberapa senti dengan wajah Lengkara. Membuat gadis itu membeku karena terkejut seketika.

“Kamu mau aku?” bahkan hembusan nafas Aksa bisa Lengkara rasakan. Suaranya yang tiba-tiba serak dan terdengar menggoda makin membuat Lengkara terpaku. Secara otomatis, degup jantungnya melaju kencang. Berikut dengan nafasnya yang mulai tersekat.

Mendadak Lengkara terbata-bata karena gugup dan kaget. “E-enggak enggak gitu.” kemudian gadis itu berlari masuk ke dalam rumah meninggalkan Aksa seorang diri di taman belakang rumah Lengkara.

Aksa terkekeh kecil melihat tingkah laku kekasihnya. “Katanya mau aku. Dideketin malah kabur, gimana sih.”

Beberapa saat kemudian Lengkara kembali lagi dan duduk bergabung dengan Aksa yang sedari tadi menunggunya.

“Tadi kabur ke mana sih? Ke bulan? Ke planet mars?” tanya Aksa menggoda Lengkara masih dengan kekehannya.

Lengkara melayangkan pukulan kecil pada lengan bahu Aksa. “Mau tahu  aja, mesum!” tak ayal gadis itu masih saja salah tingkah dengan yang terjadi barusan.

“Dih kok bilang aku mesum? Emang aku ngelakuin apa?”

“Tadi kamu mau cium aku kan?”

Aksa menahan tawanya, “Tadi katanya mau aku? Yaudah hampir aku cium lah!”

Lengkara mencubit lengan Aksa sekuat tenaga sampai pemuda itu meminta ampun dan nampak jelas rona merah di pipinya. Makin membuat Aksa gencar untuk menggoda Lengkara.

“Mau aku cium beneran?”

“Gak! Kamu nyebelin!” Lengkara lantas melancarkan balasannya dengan mencubit pinggang Aksa, gemas.

Aksa meringis tak bisa menahan diri. “Aw! Aw! Sakit Kara! Hahaha.”

Lengkara terus mencubiti pinggang dan perut Aksa, sementara pemuda itu terus tertawa karena geli juga sakit. “Ini bayaran buat orang mesum kayak kamu!”

“Ampun hahaha, aku bercanda, sayang. Serius. Aaw! Hahaha geli.”

Namun tiba-tiba Lengkara berhenti, menatap sendu ke arah lain membuat Aksa penasaran.

“Kamu kenapa?” tanya Aksa.

“Sa, aku mau minta tolong boleh?”

“Boleh, apa?”

Untuk sesaat Lengkara memejamkan mata yang terasa panas. Ia menarik nafas dalam, terasa berat untuk mengatakan hal ini kepada Aksa. Terlebih ia begitu menjaga baik rambut yang selalu ia agung-agungkan sebagai mahkota dan objek yang membuatnya terlihat cantik. Namun kini ia harus merelakan itu karena penyakit yang menggerogoti hidupnya.

“Aku..”

“Kok kamu malah nangis, Kar?” Aksa mulai khawatir.

“Potongin rambut aku ya?”

Jantung Aksa mencelos saat mendengar permintaan yang bernada permohonan itu. Tersirat banyak luka menyertai setiap kata yang keluar dari mulut Lengkara. Begitu terdengar berat bagai sesuatu yang tak mampu ia relakan. Sesak pun terasa, seakan dirinya sudah terkoneksi dengan baik pada hati Lengkara. Teringat kembali bahwa Lengkara kian kemari kian melemah. Membuat sisi terlemah Aksa hampir saja meledak bila pemuda itu tidak menahannya. Ia tak ingin membuat Lengkara makin berat karena kesedihannya. Ia ingin terus kuat seakan tak ada kesedihan dan duka yang menyelimuti, agar Lengkara semangat menjalani hari demi hari yang makin membebani.

“Hei, kenapa mau potong rambut? Kamu bagus gini loh.” Aksa mengelus rambut Lengkara yang rontok begitu banyak di tangannya. Aksa hanya bisa tertegun dengan dada yang sesak. Haruskah Lengkara menanggung rasa sakit ini?

Lengkara menarik tangan Aksa yang masih asik mengelus rambutnya. Dan ia pun melihat sendiri sekaligus membuktikan kepada Aksa bahwa rambutnya hampir habis. “Bahkan rambut aku dengan mudah keambil di tangan kamu. Padahal kamu gak sengaja ngambil.” Ujarnya dengan nada parau dan senyum getirnya. “Kebetulan ayah aku punya alat pencukur rambut. Aku ambil dulu, ya?”

Aksa tak bisa menolak atau berkata apapun lagi. Ia hanya diam seribu bahasa membiarkan Lengkara pergi ke dalam untuk mengambil pencukur rambut. Saat matanya terpejam, air mata ke luar begitu saja. Ia sudah tak sanggup menahan air mata yang mengenang di pelupuk. Berbagai pertanyaan menyeruak dalam kepala. Mempertentangkan takdir kejam yang harus Lengkara jalani.

Haruskah Lengkara mengalami kondisi yang begitu berat dan sakit ini? Salah dia apa sehingga diberikan cobaan yang begitu berat? Gadis itu masih memiliki masa depan yang panjang, harapan dan mimpi yang belum tercapai. Tapi kenapa harus mendapatkan penyakit seperti ini?

Pertanyaan demi pertanyaan itu tak bisa ia jawab bahkan sampai Lengkara datang menghampiri. Sebelum Lengkara mengetahui Aksa tengah menangis, Aksa buru-buru mengelap air matanya dan menetralkan nafas di dadanya. Kemudian ia mengulas senyum kepada sang gadis yang juga menampilkan senyum palsu. Aksa tahu itu.

“Kamu serius?” tanya Aksa sekali lagi, berharap Lengkara hanya bercanda atau menarik lagi permintaannya.

Lengkara mengangguk masih dengan disertai senyumnya.

“Tapi rambut kamu masih bagus kok.” Sekali lagi Aksa membelai rambut kekasihnya itu yang sudah kembali duduk di sampingnya.

“Aku tahu kamu bohong Aksa.” Katanya dengan getir. Aksa menyadari kepala Lengkara sebagian telah botak. Makanya gadis itu tak pernah lepas dari topi saat berada di luar rumah. Lengkara memasang colokan ke terminal dan memberikan pencukur rambut itu kepada Aksa. “Bantuin aku, ya?”

Untuk sesaat yang Aksa lakukan hanya menatap pencukur rambut itu dengan perasaan yang begitu berat. Ia memposisikan diri sebagai Lengkara dan membayangkan sesakit apa gadis itu saat rambutnya harus ia cukur habis?

“Aksa..” suara lembut yang membuat Aksa menatapnya sendu. “Aku cuman pengen rambut aku dicukur habis, biar aku gak sedih terus karena gak perlu lihat rambut aku rontok lagi. Bantuin aku ya?”

 Akhirnya Aksa mengangguk. Kemudian Lengkara duduk membelakangi Aksa dan memejamkan mata. Ia mencoba menguatkan hatinya untuk ikhlas dan menerima kondisinya kini. Meski sebenarnya ia ingin memberontak dan menangisi keadaan. Sementara Aksa terus-menerus menghela nafas untuk meyakinkan dirinya bahwa ia harus mengikuti keinginan Lengkara hari ini.

Lantas Aksa menyalakan mesin pencukur rambut itu dan perlahan melahap habis rambut Lengkara sampai kandas. Setiap rambut yang jatuh ke pangkuannya, Lengkara meneteskan air mata. Berdoa dalam hati bahwa pada setiap rambut yang jatuh, maka bebannya berkurang. Belum selesai mencukur, Aksa menyempatkan untuk mengecup kepala Lengkara, membuat tangis Lengkara pecah karena merasa terpancing. Aksa mendekap Lengkara dari belakang. Menguatkan kekasihnya itu.

“Kamu harus kuat, Kar, kamu harus kuat.”

Lengkara tak menjawab. Hanya suara isakan yang terdengar.

“Ada aku di sini yang gak akan pernah ninggalin kamu, Kar. Aku janji.”

Aksa menjauhkan diri dari Lengkara dan kembali untuk menyelesaikan pekerjaannya. Beberapa menit kemudian akhirnya kepala Lengkara benar-benar botak. Tak ada satu helai rambut pun yang tertanam di kepalanya. Lengkara berbalik, meski matanya bersedih namun Lengkara tetap mengulas senyumnya. Hal itu justru membuat Aksa merasa sangat bersalah dan cemas terhadap Lengkara.

“Makasih ya udah bantuin aku.” Suaranya begitu parau dan serak layaknya orang selesai menangis.

Tanpa diduga Aksa mencukur rambutnya sendiri tepat di depan Lengkara. Gadis itu sontak saja terkejut dan menutup mulutnya sendiri. Perasaan berkecamuk dalam dada, antara sedih dan haru ia rasakan bersamaan. Sementara Aksa hanya tersenyum dan terus menyelesaikan cukurannya. Sebenarnya Aksa agak kesulitan karena tak ada cermin besar. Namun ia tak habis akal, diraihnya ponsel dan ia bercermin pada kamera sendiri.

“Aksa..”

Aksa tersenyum kala kepala mereka sama-sama botak. Bukan tanpa alasan, ia ingin memberikan semangat kepada Lengkara lewat apa yang ia lakukan. Dan menyampaikan bahwa ia benar-benar tulus mencintai Lengkara. Tanpa sebab, tanpa alasan. Bahkan saat tahu Lengkara sakit, Aksa tak pernah meninggalkannya sedikitpun. Meski terkadang Aksa merasa tersiksa dengan menyaksikan kondisi Lengkara yang semakin memburuk.

Tatapannya pun kini begitu tulus terhadap Lengkara, seakan membuktikan bahwa ia tak pernah main-main dengan perasaannya. Lengkara, cinta pertamanya, gadis pertama yang ia cintai dan membuatnya jatuh cinta setengah mati.

“Aksa kenapa kamu ngelakuin ini?”

Aksa menyentuh pipi Lengkara, matanya berkaca-kaca. “Karena aku sayang kamu, Kar.” Hanya itu yang mampu Aksa sampaikan. Selanjutnya mereka tenggelam dalam pelukan yang begitu hangat. Menabur cinta melalui detakan jantung keduanya yang begitu dekat. Hingga tanpa mereka ketahui hal itu disaksikan oleh bunda dan Kinara. Keduanya menangis menyaksikan adegan itu. Aksa dan Lengkara sama-sama mencukur rambut untuk saling menguatkan diri.

........

Esok harinya Lengkara menemani Aksa untuk pergi ke toko olahraga. Setelahnya Aksa mampir ke salah satu toko penjual pernak-pernik. Lengkara hanya diam saat melihat Aksa melihat-lihat bagian yang memajang banyak sekali topi. Kemudian Aksa memilihkan dua buah kupluk berwarna dan model yang sama dan memakaikan kepada Lengkara setelah melepas topi yang dipakai gadis itu.

“Bagus banget. Coba lihat sendiri.” Aksa membalikan badan Lengkara untuk berkaca pada cermin. “Cocok kan?”

Lengkara tersenyum dan mengangguk.

“Nah cocok gak kalau buat aku?” tanya Aksa.

“Kamu serius mau pake itu?”

“Kenapa? Jelek ya?”

“Nggak bukan gitu maksud aku. Tapi aku...” Nara menggantungkan ucapannya. Ia malah menundukkan kepala dan merasa sedih.

Aksa lantas mengangkat kepala gadis itu dan menatapnya lekat. “Kamu tahu sendiri kan aku kalau pake topi koboi sekalipun tetep ganteng!” guraunya untuk mencairkan kembali suasana.

Lengkara terkekeh, memang benar Aksa tampan. Namun cara pemuda itu mengakui begitu menggelikan. “Percaya diri banget!” gadis itu menyentil pinggang Aksa.

“Iya dong kan pacar kamu! Jadi cocok gak ini buat aku?” Aksa menunjuk kupluk yang ia kenakan dengan alis yang dinaikturunkan.

Lengkara mengangguk. “Cocok. Tapi emang gak malu kalau kita pake kupluk yang sama?”

“Ngapain malu?” Aksa merangkul Lengkara. “Kan kamu pacar aku.”

Pipi Lengkara langsung bersemu merah.

“Ciyee salting!” goda Aksa.

“Ih Aksa!!”

Aksa menghindar dari Lengkara yang berusaha mencubit pinggangnya.

“Oiya ada sesuatu buat kamu.” Kata Aksa saat mereka telah berada di luar toko.

“Apalagi? Kamu banyak kejutan banget sih buat aku. Jadi seneng.”

Perlahan Aksa mengeluarkan sesuatu dari jaketnya, Lengkara begitu penasaran ingin segera melihatnya. Namun nampaknya Aksa seperti sengaja memperlambat tempo gerakan tangannya. Gadis itu sampai jengah dan menarik tangan Aksa sampai memperlihatkan sesuatu yang membuatnya menutup mulut.

“Ya ampun Aksa! Tiket konser Fiersa Besari?!” saking takjubnya gadis itu sampai menutup mulutnya yang menganga.

Aksa mengangguk antusias. “Malam ini, mau?”

“Siapa yang gak mau!” Lengkara jingkrak-jingkrak kemudian memeluk Aksa. “Makasih banyak Aksa!”

Aksa merasa senang melihat kebahagiaan yang terpancar pada Lengkara. Ini yang ia harapkan daripada melihat Lengkara menangis. “Kalau mau setelah magrib aku jemput kamu, ya?”

Lengkara mengangguk cepat. “Siap bos!” dan ia makin mengeratkan pelukan sampai Aksa kehabisan nafas.

..........

“Sebelum pergi jangan lupa minum obat dulu.”

“Iya..”

“Makan juga jangan lupa.”

“Iyaa..”

“Pokoknya pas aku jemput nanti kamu harus udah makan dan minum obat.”

“Iya, Aksa..”

Waktu telah menunjukkan pukul 18.30 sore. Buru-buru Lengkara habiskan makanannya yang tinggal satu suap nasi. “Tinggal minum obat.” Lengkara lantas pergi ke kamarnya untuk mencari obat yang harus ia minum. Sedari tadi hanya Lengkara lah yang kalang kabut sendiri. Gadis itu terus bulak-balik dapur dan kamar dengan diperhatikan oleh bunda, Kinara dan ayah yang tengah berkumpul di ruang keluarga. Sudah dua kali Lengkara hampir saja terjatuh karena tak sengaja menendang kakinya sendiri. Ayah dan bunda sampai kaget serta Kinara hampir tersedak minuman karena tertawa.

“Kamu mau ke mana sih, Kara? Daritadi perasaan sibuk bener.” Komen ayah pada akhirnya.

“Biasa, yah, masa gak tahu anak muda. Apalagi Kara lagi bucin sama Aksa.” Balas Kinara dengan kekehannya.

Lengkara nyengir kuda, kemudian ia menatap bunda dengan memelas. “Bunda lihat kaus kaki Kara gak?” tanya Kara yang terlihat putus asa.

“Biasanya kamu simpan di rak, Kara.”

“Tapi gak ada, bun. Udah Lengkara cari.”

Bunda menghela nafas dan berjalan menuju kamar Lengkara dibuntuti gadis itu. “Ini apa, Kara? Sebegitu banyak dan tersusun dekat lemari baju kamu, masa gak kelihatan?”

Lengkara menggaruk-garuk tengkuknya. Serius demi apapun ia tadi tak melihat kaus kakinya ada di sana!

Bunda menggeleng heran, “Kebiasaan, kalau mau pergi sama Aksa suka ngedadak pelupa sama gak lihat apa-apa.” Kekeh bunda. “Emang mau ke mana sih? Dandannya sampe cantik gini.”

Dengan rasa senang yang tak bisa ia sembunyikan Lengkara mengatakan, “Mau nonton konser musik kesukaan Kara, bunda! Aksa kasih kejutan tadi siang!”

Bunda turut senang melihat anaknya sampai tak berhenti menyurutkan senyum. “Kalau gitu hati-hati. Jangan sampe jauh dari Aksa, ntar kalau hilang gimana?”

“Jangan sampe dong, bun.” Lengkara mengerucutkan bibirnya.

Bunda terkekeh, bersamaan dengan itu suara salam Aksa membuat bunda dan Lengkara menoleh pada pintu kamar yang terbuka.

“Cepet siap-siapnya, Aksa udah ke sini.” Ujar bunda seraya berlalu untuk menemui Aksa. Sementara Lengkara menyelesaikan tahap akhir persiapannya.

.........

Lengkara sampai tak bisa menutup mulutnya saat melihat panggung besar konser Fiersa Besari yang begitu megah dari kejauhan. Belum lagi ramai orang-orang yang mengantri memasuki area konser dengan menunjukkan tiket mereka. Setelah mengantri kurang lebih 15 menit, kini Aksa dan Lengkara berada di barisan paling depan. Aksa rela mengeluarkan uang banyak agar kekasihnya itu bisa melihat lebih dekat penyanyi yang begitu diidolakannya.

“Aksa aku masih gak percaya ini nyata!” sudah sedari tadi Lengkara tak berhenti bertingkah senang. Gadis itu sampai loncat-loncat saking gembiranya.

Aksa mengecup sekilas kepala Lengkara yang tertutupi kupluk. “Harus percaya karena ini emang nyata dan sebentar lagi Fiersa muncul.” Tuturnya.

Jika saja Aksa tak merangkulnya dengan erat, Lengkara yakin dirinya akan terbang ke langit saking bahagianya bertemu dengan Fiersa Besari yang sangat diinginkannya sedari dulu. Sebenarnya bisa saja Lengkara pergi sendiri atau bersama Fera, namun karena terlanjur mengetahui bahwa ia memiliki penyakit kanker otak, Lengkara malas melakukan apapun. Yang ia lakukan hanyalah diam dan merenungi nasibnya sebelum Aksa datang.

Mendengarkan pembukaan dari MC, pandangan Lengkara mengedar dan ia melotot kaget saat menemukan Fera yang berada di sampingnya. Nampaknya Fera sendiri tidak mengetahui bahwa ia bersampingan dengan sahabatnya.

“Lo?!” ucap keduanya bersamaan. Kemudian keduanya berpelukan sambil loncat-loncat. Sebenarnya agak sulit, sebab sudah menjadi tradisi pada konser semua orang akan berdesak-desakan.

“Lo ngapain di sini?” tanya Lengkara dengan polosnya.

Fera menekukkan wajah. “Lagi main bola! Ya nonton konserlah! Eh Aksa,” Fera mengulurkan tangan bermaksud mengajak Aksa bersalaman. “sama cowok lo juga ternyata, Kar.”

Kara mengangguk, “Hah Galen?!” ia kembali terkejut saat menemukan Galen berada di samping Fera. “ngapain lo di sini?”

“Hemm pantesan tadi sibuk banget pinjem baju gue!” kata Aksa yang lansung dipelototi oleh Galen.

“Gu-gue..” Galen gagap, seperti ada yang disembunyikan.

Dan kecurigaan itu Lengkara tujukan pada Fera. Ia menyipitkan mata pada sahabatnya itu dengan tajam seakan menuntut penjelasan.

Fera nyengir kuda dengan kecanggungannya, persis seperti anak SD yang ketahuan mengambil 5 gorengan tapi bayarnya 3. “Gue sama Galen pacaran, oke?”

What? Terus Gilang?”

“Dah putus.” Jawabnya enteng.

Geram dan tak habis pikir, Lengkara menjitak kepala Fera sampai gadis itu mengaduh. “Ya ampun Fera! Penyakit lo kumat ya! Jujur sama gue, Galen cowok yang ke—umh!”

“Jangan sampe doi baru gue denger!” bisik Fera tepat di telinga Lengkara. Kemudian ia menjauhkan tangannya dari bibir Lengkara.

Lengkara mendelik, sifat Fera benar-benar sulit diubah. Daripada mempermasalahkan Fera yang banyak cowoknya, Lengkara fokus menatap ke depan ketika MC dengan semangat memanggil Fiersa Besari untuk naik ke panggung. Sontak saja sorak sorai dari ribuan penonton terdengar begitu riuh, memanggil nama Fiersa Besari dengan kompak.

Lagu pertama pun dinyanyikannya dengan indah. Diiringi alunan musik yang menghanyutkan suasana. Lembayung, lagu yang dibawakannya. Lautan manusia ini ikut serta menyanyikan lagu yang telah hafal di luar kepala. Suara khas dan makna setiap bait lagu seakan menarik setiap insan masuk ke dalam kisah yang dimaksudkan. Kemudian lagu berganti, menyanyikan dengan sendu Waktu yang Salah. Mengikutsertakan penonton untuk terbawa arus perasaan sedih dan kecewa. Memancing tangis dari orang-orang yang kisahnya sama. Termasuk Lengkara yang begitu semangat dan antusias ikut bernyanyi seraya menyandarkan kepala di pelukan Aksa. Sangat nyaman. Lengkara rela berdiri lama-lama begini asalkan dengan pemuda itu.

Di antara ribuan manusia yang menyalakan senter ponsel hingga menghasilkan lautan cahaya, Aksa tersenyum haru. Dielusnya lengan bahu Lengkara. Tidak seperti Lengkara dan penonton lain, Aksa hanya diam tanpa ikut bernyanyi. Ia hanya memejamkan mata, membayangkan setiap senyum yang sukarela Lengkara perlihatkan. Membayangkan bahagia yang mereka ciptakan. Meski lagu yang dibawakan bermakna rasa sakit dan kecewa.

Hingga saat pertengahan, Fiersa Besari mulai kembali berbaur dengan penonton. Mengobrol random dan dijawab secara kompak oleh ribuan orang. Sesekali tertawa dan bercanda, sesekali bercerita. Itulah yang disukainya dari Fiersa Besari. Seseorang yang menginspirasinya untuk berkecinampungan dalam dunia tulisan. Bahkan Lengkara hampir saja membeli alat-alat pendaki yang harganya mahal untuk mendaki gunung seperti apa yang dilakukan oleh Fiersa Besari. Namun karena penyakit terkutuk ini, Lengkara harus mengubur dalam-dalam keinginannya.

Kemudian hal yang mengejutkan terjadi. Kala Fiersa Besari tiba-tiba menunjuk dan memanggil nama Lengkara. Lantas seluruhnya menjadi hening. Lengkara sendiri sampai dibuat termangu dan bingung dengan apa yang terjadi. Sementara Aksa tersenyum sebab tahu apa yang selanjutnya akan terjadi.

“Ada pesan dari seseorang untuk kamu, Lengkara Mahreen Khansa.” Ujar Fiersa yang sontak membuat para penonton bersorak heboh. Sebagian atau mungkin seluruh penonton yang ada di sana merasa iri terhadap Lengkara.

Termasuk Fera yang berteriak seraya mengguncangkan tubuh Lengkara seraya berkata, “LO BERUNTUNG, KARA!!”

“Sa,” Lengkara tak bisa menahan senangnya. Mimpi apa dia semalam sampai bisa disapa langsung oleh idolanya?

“Terima kasih sudah mencintai karya-karya saya, Lengkara. Dan terima kasih juga telah mencintai dan membuatnya jatuh cinta.” Kata Fiersa lagi, melanjutkan.

Bingung, Lengkara menengadah pada Aksa. “Sa, ini ka—“

Belum selesai bicara, fotonya muncul pada proyektor layar panggung. Lengkara tercengang—berkali-kali lipat tercengang. Begitupun dengan orang-orang yang bersorak ria, memberikan selamat dan bertepuk tangan. Seakan malam ini bukan hanya konser milik Fiersa Besari, melainkan juga konser miliknya. Saat melihat berbagai foto yang selalu ada Aksa di sana, Lengkara mendekap erat Aksa. Menangis terharu di dadanya. Ia tak mengira bahwa Aksa akan melakukan hal di luar dugaannya. Pemuda itu benar-benar niat dalam membahagiakannya.

Slide foto pada layar proyektor menampilkan setiap momen yang Aksa abadikan dalam ponselnya. Saat dirinya dan Lengkara pergi ke taman bermain, saat dirinya menemani Lengkara kemoterapi, saat keduanya sama-sama botak, saat Lengkara menemaninya latihan, dan saat-saat indah lainnya yang sudah Aksa rencanakan untuk hal ini. Pada slide terakhir, memutar vidio Aksa yang mengatakan—

“Aku sayang kamu, Kar. Maaf kalau aku belum bisa menjadi seseorang yang sempurna di mata kamu. Tapi aku selalu berusaha untuk membahagiakan kamu dengan cara aku. Aku tahu, apa yang kamu rasakan itu berat, tapi aku harap kamu bisa dengan ikhlas jalani semuanya. Dan aku gak akan pernah pergi ninggalin kamu. Jadi jangan khawatir. Kalau ada apa-apa, langsung cari aku.”

Ribuan orang begitu terharu dengan apa yang Aksa lakukan. Apalagi Lengkara, yang tak mampu lagi menahan tangis karena bahagia bercampur sedih sebab waktunya tak lama lagi untuk bersama Aksa. Pemuda yang nanti akan sendirian. Sampai sebegitunya Aksa membuatnya bahagia.

“Makasih banyak, sayang, makasih.” Lirihnya dalam pelukan.

“Sama-sama, sayang. Apapun akan aku lakuin buat kamu.”

“Semoga Lengkara cepat pulih dari penyakitnya,” ujar Fiersa, diamini ribuan orang. “dan semoga hubungannya dengan Aksa sampai pada pelaminan.” Orang-orang kembali mengamini. Lengkara dan Aksa tersenyum bahagia saat menerima doa-doa itu. “Oke selanjutnya adalah lagu khusus Aksa dan Lengkara yang tengah memadu asmara. Tahu gak judulnya apa?”

“TANPA KARENA!!!” teriak orang-orang yang mengerti makna pada lagu itu.

“Kita nyanyi bareng-bareng ya?” musik kembali mengiringi lagu yang dinyanyikan. Kali ini Lengkara tak ikut menyanyi dan loncat-loncat. Dia malah menggelayut manja dalam pelukan Aksa.

Masih terbayang di benaknya tentang apa yang Aksa lakukan hari ini padanya. Memori terindah yang tak akan pernah Lengkara lupakan. Dengan Aksa, semuanya menjadi sangat indah dan sempurna. Puzzle yang ia cari bagian akhirnya kini ia temukan. Bagian terakhir itu adalah Aksa. Pemuda yang menjadikan hidupnya berarti dan berwarna di saat Lengkara tengah menghadapi penyakitnya.

Aksa menjadikan kesedihan sebagai objek kesenangan. Bukan menyepelekan, namun Aksa menunjukkan bahwa tak semua masalah harus dibawa larut dalam pikiran. Aksa mengajarkan dengan caranya sendiri bahwa masalah itu dihadapi dan dibawa senang saja.

...........

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Our Different Way
3605      1517     0     
Romance
Novel ini mengisahkan tokoh utama bernama Haira, seorang siswa SMA berusia tujuh belas tahun yang baru saja rujuk kembali dengan pacarnya, Gian. Mereka berdua tentu senang karena bisa kembali merajut kasih setelah tidak pernah bertemu lebih dari setahun akibat putus. Namun, di tengah hubungan yang sedang hangat-hangatnya, mereka diterpa oleh permasalahan pelik yang tidak pernah mereka bayangk...
"Mereka" adalah Sebelah Sayap
420      300     1     
Short Story
Cinta adalah bahasan yang sangat luas dan kompleks, apakah itu pula yang menyebabkan sangat sulit untuk menemukanmu ? Tidak kah sekali saja kau berpihak kepadaku ?
Just For You
4119      1620     1     
Romance
Terima kasih karena kamu sudah membuat hidupku menjadi lebih berarti. (Revaldo) *** Mendapatkan hal yang kita inginkan memang tidak semudah membalik telapak tangan, mungkin itu yang dirasakan Valdo saat ingin mendapatkan hati seorang gadis cantik bernama Vero. Namun karena sesuatu membuatnya harus merelakan apa yang selama ini dia usahakan dan berhasil dia dapatkan dengan tidak mudah. karen...
The DARK SWEET
398      329     2     
Romance
°The love triangle of a love story between the mafia, secret agents and the FBI° VELOVE AGNIESZKA GOVYADINOV. Anggota secret agent yang terkenal badas dan tidak terkalahkan. Perempuan dingin dengan segala kelebihan; Taekwondo • Karate • Judo • Boxing. Namun, seperti kebanyakan gadis pada umumnya Velove juga memiliki kelemahan. Masa lalu. Satu kata yang cukup mampu melemahk...
Mysterious Call
439      283     2     
Short Story
Ratusan pangilan asing terus masuk ke ponsel Alexa. Kecurigaannya berlabuh pada keisengan Vivian cewek populer yang jadi sahabatnya. Dia tidak sadar yang dihadapinya jauh lebih gelap. Penjahat yang telah membunuh teman dekat di masa lalunya kini kembali mengincar nyawanya.
Sahabat Selamanya
1154      693     2     
Short Story
cerpen ini bercerita tentang sebuah persahabatan yang tidak ernah ada akhirnya walaupun mereka berpisah jauh
Kungfu boy
2288      886     2     
Action
Kepalanya sudah pusing penglihatannya sudah kabur, keringat sudah bercampur dengan merahnya darah. Dirinya tetap bertahan, dia harus menyelamatkan Kamalia, seniornya di tempat kungfu sekaligus teman sekelasnya di sekolah. "Lemah !" Musuh sudah mulai menyoraki Lee sembari melipat tangannya di dada dengan sombong. Lee sudah sampai di sini, apabila dirinya tidak bisa bertahan maka, dirinya a...
Seperti Cinta Zulaikha
1777      1151     3     
Short Story
Mencintaimu adalah seperti takdir yang terpisahkan. Tetapi tuhan kali ini membiarkan takdir itu mengalir membasah.
Snow White Reborn
564      315     6     
Short Story
Cover By : Suputri21 *** Konyol tapi nyata. Hanya karena tertimpa sebuah apel, Faylen Fanitama Dirga mengalami amnesia. Anehnya, hanya memori tentang Rafaza Putra Adam—lelaki yang mengaku sebagai tunangannya yang Faylen lupakan. Tak hanya itu, keanehan lainnya juga Faylen alami. Sosok wanita misterius dengan wajah mengerikan selalu menghantuinya terutama ketika dia melihat pantulannya di ce...
A Day With Sergio
1165      569     2     
Romance