Read More >>"> AKSARA (Kisah yang Didominasi Kesedihan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - AKSARA
MENU
About Us  

Aksa menghela nafas untuk sekian kalinya. Digenggamnya benda pipih berwarna hitam itu. Jempolnya terus menari di atas keyboard, mencoba menghubungi Lengkara berharap ada jawaban dari gadis itu. Sudah 3 hari Lengkara tak memberi kabar, bahkan saat Aksa mencoba menemui, Lengkara selalu menghindar. Aksa tak mengerti dengan apa yang terjadi. Ia tak tahu apa yang tengah Lengkara alami dan apa kesalahan dirinya kepada sang gadis. Ingin meluruskan, namun Lengkara tak memberikannya ruang. Aksa bingung harus bagaimana. Ia takut terjadi hal buruk kepada Lengkara sewaktu-waktu.

“Ada apa? Dari tadi perasaan resah banget lihatin HP-nya.” Bapak ikut bergabung bersama Aksa duduk di kursi belakang rumah yang menghadap langsung dengan kolam renang.

Seperti sore-sore lalu, ketika Aksa pulang cepat ke rumah, pemuda itu selalu menikmati senja di halaman belakang rumah. Selalu bersama bapak, sebab bapak adalah seorang guru SMA yang mentok-mentok pulang jam 4 sore. Jadi pria paruh baya itu punya waktu banyak dengan keluarganya.

“Ini pak, Lengkara gak ngerespon Aksa lewat pesan sama telepon. Bahkan ditemui pun Lengkara ngehindar terus. Aksa bingung, pak, Lengkara kenapa. Atau Aksa ngelakuin salah gitu ya, pak?” Aksa membuang nafas lesu, kontras dengan wajahnya yang nampak cemas bercampur bingung. Takut bila Lengkara menghindar karena alibi penyakitnya itu lagi.

“Ya kali kamu ngelakuin apa sampe dia diemin kamu?” bapak terkekeh, santai. Diseruputnya teh tawar buatan mama.

“Justru itu, pak, Aksa bingung. Perasaan Aksa gak ngelakuin kesalahan apapun.”

Bapak meletakan gelasnya di atas meja, lantas menatap lurus kolam dengan senyum yang terurai dibalik kumis tebal milik bapak. Orang-orang rumah menyebutnya kumis sakti. Entah darimana asalnya ide itu, yang pasti julukkan itu melekat pada bapak bahkan saat kumpul keluarga besar di hari raya. “Dulu mamamu juga begitu kalau marah sama bapak.” Bapak membuka ceritanya.

Aksa menoleh, dari tatapannya ia menuntut kelanjutan dari bapak.

Pandangan bapak menerawang, seakan tengah mengenang masa indah bersama mama saat muda. “Mamamu tuh kalau marah diem, ngehindar dan suka ngilang. Kalau anak zaman sekarang bilangnya apa? Ghosting? Nah mamamu juga gitu. Bapak gelisah banget, dulu gak ada telepon genggam ya kayak sekarang, bapak ampe bulak-balik ke telepon umum mencoba menghubungi telepon rumah mamamu, eh yang angkat selalu nenekmu.”

“Tau-tau pas mama luluh karena bapak gak berhenti membujuk dia, akhirnya nyerita kalau dia ternyata cemburu dan gak suka bapak deket-deket sama temen cewek bapak. Haduhh kalau ingat itu, bapak pengen banget cubit pipi mamamu sampai dia minta ampun. Masa cuman gara-gara bapak deket sama temen cewek bapak, mamamu sampai cuekin bapak seminggu? Ditemuin di rumah, sembunyi, ngehindar. Untung bapak waktu itu gak habis ide, bapak terus telponin dia, jemput dia pas pulang kerja, kasih dia makanan lewat nenekmu.” Paparnya panjang ditutup dengan senyuman. Seperti belasan tahun lalu, cintanya tak pernah pudar sedikitpun untuk sang istri.

“Jadi kesimpulannya, Lengkara mungkin cemburu sama Aksa?” jujur, Aksa awam dalam menjalani hubungan percintaan. Baginya, ini kali pertama Aksa pacaran. Jadi Aksa terkadang tak memahami bagaimana, kenapa dan apa soal hubungan.

“Gak selalu seperti itu, Aksa. Setiap pasangan punya masalahnya masing-masing. Bapak cuman bercerita dan mungkin ya siapa tahu Lengkara juga lagi cemburu? Yang pengen bapak sampaikan ke kamu lewat cerita tadi adalah jangan pernah kamu berhenti berjuang kalau kamu memang mencintainya dengan tulus. Perempuan kalau lagi marah jangan dijauhi, tapi dibujuk. Terus dekati dia dan cari tahu apa penyebab dia berlaku seperti itu.” jelas bapak, memberikan pencerahan dalam kepala Aksa. Aksa selalu bersyukur memiliki bapak selayaknya sahabat. Bapak selalu memberikan jawaban-jawaban pada pertanyaan yang tak sanggup Aksa jawab.

...........

“Eh, Sa, ngapain di sini?” Tanya Diana, membuyarkan lamunan Aksa.

“Lagi nunggu Lengkara, Din. Lo dari mana?”

“Biasa dari sekre BEM habis rapat. Daritadi nih nungguin di sini?”

“Iya,” Aksa melihat jam di tangannya. “Belum bubar udah 20 menit.”

“Mau gak?” Diana menawarkan roti coklatnya kepada Aksa.

“Lo aja, Din.” Aksa menolak dengan sopan. Matanya sesekali tertuju pada kelas Lengkara, berharap gadis itu muncul dari sana.

“Ini ah, biasanya lo gak nolak. Bukannya lo juga suka roti coklat?”

“Yaudah deh, makasih ya.”

Diana tersenyum, “Sama-sama.”

“Itu kak Diana sama pacar lo lagi apa?” tanya Fera kala kelas baru saja bubar. Mata Lengkara yang tadinya fokus pada ponsel—membuka pesan yang dikirim Aksa, kini beralih menatap kedua insan yang tengah berbincang sambil memakan roti itu.

“Lo lihat sendiri kan mereka lagi ngobrol.” Lengkara menjawab pertanyaan itu dengan wajah datar. Ia kembali memasukan ponsel dan berjalan ke arah berbeda alih-alih kepada Aksa.

“Eh mau ke mana? Tuh doi nungguin.” Fera menahan Lengkara.

“Gue ada perlu.”

“Diem dulu, kenapa sih sama kalian? Maksud gue, lo. Kenapa? Ada masalah sama Aksa?”

Lengkara menghela nafas, belum dia berkata, Fera sudah menyela.

“Jangan ada rahasia di antara kita, Kar.” Fera mempertegas ucapannya seperti di UKS lalu.

“Aku gak mau kamu sembunyiin sesuatu dari aku.” Secara tiba-tiba ujaran Aksa terngiang di telinganya.

Lengkara menggeleng, “Gue sama Aksa cuman ada masalah kecil aja. Gue pergi dulu ya, buru-buru banget. Ntar malem kalau mau ke rumah kabarin dulu, dan jangan teriak-teriak!”

Kata terakhir membuat Fera nyengir kuda teirngat kebiasaan buruknya.

“Gue kira gak gitu sih soalnya..” Mata Aksa menangkap sosok Lengkara yang berjalan menjauh dari kelasnya. Gadis itu ternyata menghindari dirinya lagi untuk sekian kali. Lantas tanpa pamit, Aksa berlalu mengejar Lengkara yang terus berjalan tanpa menoleh sama sekali, menghiraukan panggilannya yang terus menerus menyebut namanya. Sementara Diana merasa kecewa sebab Aksa tak mendengar ceritanya dan memilih pergi begitu saja.

“Kara!” Aksa berhasil mencekal gadis itu dan membalikan tubuhnya. Kini mereka berdua saling berhadapan. “Kamu kenapa sih?”

“Kenapa? Maksud kamu?”

Aksa makin tak mengerti. “Kok nanya balik?”

Lengkara mencoba untuk terlihat seakan tak terjadi apapun. “Kamu yang kenapa, tiba-tiba nanya gitu.”

“Kalau emang gak ada apa-apa, kenapa kamu diemin aku selama 5 hari ini? Kenapa kamu ngehindarin aku?”

Lengkara mengedarkan pandangan, merasa tak nyaman saat orang-orang memperhatikan mereka. “Sa, ngobrolnya jangan di sini ya? Gak enak dilihat orang.”

“Terus di mana? Apa kamu mau ngehindarin aku lagi?” Aksa mulai jengah dengan sikap Lengkara yang seperti ini. Selalu menyembunyikan banyak hal dan memilih diam seribu bahasa.

“Sa..” suara Lengkara begitu pelan, berharap Aksa sedikit tenang.

“Aku khawatir sama kamu, Lengkara, kenapa kamu gak paham sih?”

“Oke aku paham, jangan di sini ya ngobrolnya gak enak.”

“Yaudah ayok.” Aksa menuntun Lengkara menuju rooftop tempat mereka menghabiskan waktu bersama. “Sekarang, jelasin ke aku.” Kini mereka berdiri saling berhadapan lagi dan Aksa menuntut jawaban dari Lengkara.

“Apa yang perlu dijelasin, Sa?” Lengkara terkekeh. “Selama itu aku ngejalanin pengobatan seperti biasa dari dokter. Kamu tahu sendiri kondisi aku makin memburuk dan aku perlu istirahat. Apa bagian itu harus aku jelasin lagi ke kamu, Aksa?”

“Terus kenapa kamu selalu ngehindarin aku, Kar? Kenapa setiap aku mau nemuin kamu, kamu selalu pergi atau beralasan. Kamu marah sama aku?” Aksa begitu putus asa. Ia tak nyaman jika terus menghadapi Lengkara yang semakin lama semakin ia tak mengerti. Perubahan Lengkara terlalu mengejutkannya.

Sejenak Lengkara terdiam. Ia sebenarnya tak tega memperlakukan Aksa seperti ini. Padahal pemuda ini begitu tulus mencintainya. Namun Lengkara ingin kembali egois demi kebaikan Aksa. Bagaimana pun Lengkara ingin memberikan Aksa ruang untuk dekat dengan Diana. Membiasakan diri dengan gadis itu yang memang notabenennya sebelum bersamanya, Aksa dikabarkan dekat dengan Diana meski hanya kabar simpang siur.

“Kar..” suara Aksa melembut dengan pandangan memelas.

“Sa, aku udah bilang kalau aku gapapa, oke?”

Aksa mengacak-acak rambutnya frustasi. Pikiran Lengkara adalah sebuah puzzle yang sulit ia susun secara sempurna. “Kalau kamu gapapa, kenapa kamu gak ajak lagi aku untuk pergi sama kamu ke rumah sakit?! Kenapa kamu gak nemenin aku latihan?! Kenapa kamu selalu pergi saat aku bilang mau ke rumah kamu?! Kenapa kamu gak pernah jawab telepon atau balas pesan aku padahal kamu selalu baca pesan aku?! Apa salah aku, Lengkara?!”

“Karena aku gak mau kamu terus menerus membiasakan diri dengan aku, Aksa!” bentak Lengkara. Suaranya begitu parau, terlontar sudah duka dalam hatinya disertai tangis yang berderai. “Aku gak mau kamu ngerasa kehila—“

“Terus sebut itu, terus!” sela Aksa dengan geram. Ia sudah jengah dan muak mendengar perkataan Lengkara yang mengarah pada kematian. “Sampe kapan kamu bilang hal itu, Kar, sampai kapan?! Sekali aja kamu mikir kalau kamu itu bakalan sembuh! Aku capek dengernya, Kar! Kamu seakan menjadikan itu alasan untuk jauhin orang-orang!”

Lengkara menatap Aksa tak percaya. “Kamu gak ngerasain apa yang aku rasaian, Aksa! Gimana rasanya aku gak bisa raih mimpi. Gimana rasanya aku gak bisa bareng selamanya sama orang-orang yang aku sayang. Gimana rasanya aku gak bisa dampingin kamu sampai kita tua. KAMU GAK AKAN PERNAH RASAIN ITU, AKSA!!” teriak Lengkara diiringi tangisnya. Suaranya terdengar sangat serak karena berteriak.

Aksa selangkah lebih maju, mengikis jarak di antara mereka. Memberikan tatapan tulusnya pada gadis yang selama ini menjadi kekasihnya. “Iya aku emang gak ngerasain, Kar. Itu alasan kenapa aku selalu ada di samping kamu, karena aku ingin tahu rasanya gimana. Setelah itu aku ingin menjadi obat supaya sakit kamu reda, dengan cara aku. Membahagiakan kamu dan menjadikan kamu ratu buat aku.” Aksa memegang kedua bahu Lengkara, gadis yang tengah menunduk dengan tangisnya itu. “Sekarang jelasin ke aku, kenapa kamu ngehindarin aku, Kar?”

Alih-alih menjawab, Lengkara justru makin tenggelam dalam tangisnya.

“Kar, please.”

Dengan nada paraunya, Lengkara bertanya, “Apa yang kamu harepin dari aku, Aksa? Gadis penyakitan yang selalu nyusahin kamu. Kenapa kamu terus menerus membuat aku ngerasa bersalah?”

Mata Aksa memanas, ia rasa akan menangis. “Kar, kenapa kamu bilang gitu?”

Pundak Lengkara gemetar kontras dengan isak tangisnya yang masih berlangsung. Ingin rasanya ia diam dan menghabiskan dukanya sampai kandas. Namun ada banyak hal yang mesti ia sampaikan kepada Aksa. Supaya pemuda itu mengerti dengan tindakannya. “Aku cuman cewek penyakitan yang nyusahin orang, Aksa. Kenapa kamu mau sama aku yang bahkan gak tahu hidupnya sampai kapan. Seharusnya kamu pergi dari awal, Aksa. Bahkan ketika kamu tahu aku punya kanker, seharusnya kamu gak mencintai aku.”

“Kar, maksud kamu apa?” dalam diri Aksa, pemuda itu merasa tak menerima perkataan Lengkara. Kata demi kata yang keluar itu bagaikan tombak yang melukai hati Aksa.

Lengkara menengadah menatap wajah Aksa yang sudah memerah, “Seharusnya kita gak pacaran, Aksa. Seharusnya kita tetep jadi dua orang asing dalam satu lingkungan dan kamu pacaran sama Diana yang jelas-jelas bisa temenin kamu sampai kapanpun.”

Aksa beringsut menjauh. Melepas pegangannya di pundak Lengkara dan menatap Lengkara tak percaya. “Kamu ngeraguin aku, Kar? Jadi apa yang aku lakuin ini sia-sia buat kamu?”

Lengkara menunduk kembali, ia menangis lagi.

“Kenapa kamu mesti mempertanyakan dan memutuskan seenaknya soal perasaan aku, Kar? Kenapa? Aku tulus sama kamu, aku sayang sama kamu. Gak peduli besok ataupun lusa kamu pergi, aku tetap berada di sisi kamu. Tapi ini balesan dari kamu? Ini hadiah yang aku terima setelah perjuangan aku selama ini, Lengkara?”

Aksa mendengus, ia benar-benar tak menyangka akan seperti ini. “Cuman karena gak mau aku ngerasa kehilangan, kamu berpikir dangkal seperti itu? Aku tahu kamu mikirin perasaan aku selama ini, tapi gak kayak gini caranya, Kara! Kamu gak berhak mengatur ke mana perasaan dan hati aku berlabuh! Sekalipun pada orang yang udah gak ada di dunia ini, kamu gak berhak, Kara!” Intonasi suara Aksa meninggi bersamaan dengan rasa kecewanya yang melambung. “Kenapa kamu kembali jadi Lengkara yang asing di mata aku?! Ke mana Lengkara yang aku kenal?!”

Lengkara tak bisa lagi berkata apapun kepada Aksa. Pun ia tak berani menatap mata Aksa yang begitu terluka karenanya. Kembali, Lengkara menyakiti perasaan orang-orang terkasihnya. Dengan alibi ingin membiasakan Aksa untuk tak bersamanya dan memberikan ruang untuk dekat dengan Diana. Lengkara tak berpikir dua kali tentang konsekuensi dari apa yang ia lakukan. Salah satunya melukai hati Aksa.

Ia kembali menjadi egois.

“Terkadang egois itu perlu, Kar. Salah satunya egois untuk mikirin diri sendiri dan bukan orang lain. Seharusnya kamu fokus pada diri sendiri, bukan terus-menerus memikirkan kemungkinan yang belum tentu terjadi pada orang lain. Dan malah menyakiti orang lain dengan apa yang kamu lakukan. Jujur, aku capek, Kar, aku memang selalu mengeluh dan menangis dengan kondisi kamu, terus berdoa mengharap kesembuhan kamu. Terkadang juga aku pengen pergi ninggalin kamu dan hidup seperti sebelumnya. Tapi apa yang aku lakuin? Aku tetap berada di samping kamu kan? Seharusnya kamu berpikir beberapa kali untuk melakukan sesuatu.”

Aksa berkecak pinggang. Bersamaan dengan kepala yang menunduk, air mata runtuh begitu saja. Ia jelas sangat kecewa dengan Lengkara. Gadis itu berubah menjadi seseorang yang tanpa gadis itu sadari perlakuannya menyakiti orang lain. Aksa merasa perjuangannya tak dihargai jika Lengkara terus berlaku seperti ini. Ia merasa gagal menjadi seorang kekasih yang baik untuk gadis itu.

“Aku pergi, Kar. Kasih aku waktu untuk nenangin diri. Terkadang aku juga pengen dipahami, bukan kamu terus yang harus aku pahami. Semoga setelah ini kamu ngerti semuanya tanpa harus aku kasih tahu lagi. Kita ngejalanin hubungan berdua, seharusnya kita seimbang, Kar.” Kemudian Aksa pergi dan menghilang di balik pintu akses rooftop. Meninggalkan Lengkara seorang diri dengan tangis yang berkelanjutan.

Ada sesal terpatri di benak Lengkara. Seharusnya ia berpikir beberapa kali untuk melakukan sesuatu. Seharusnya ia tak langsung menganggap bahwa Diana pantas untuk Aksa. Seharusnya ia tak menghindari pemuda yang terus-menerus berusaha membujuknya. Pemuda yang tulus mencintainya kini tengah terluka karenanya. Namun apa salah memikirkan kehidupan Aksa selanjutnya setelah ia tiada? Apa salah Lengkara menginginkan Aksa bahagia tanpa harus terus bersedih karena kehilangannya? Bukannya Lengkara melangkahi Sang Pencipta dengan berspekulasi bahwa waktu ia hidup tak akan lama lagi. Namun hasil tes setiap check up membuat Lengkara yakin bahwa dirinya tak akan bertahan lama. Ia semakin melemah setiap waktu.

Aksa tak benar-benar pergi. Ia masih berada di balik pintu dan menangis tanpa suara. Apa yang Lengkara lakukan memang melukai hatinya, namun apa yang ia katakan kepada Lengkara pasti melukai hati gadis itu. Aksa memang muak dengan alasan demi alasan yang sama dari mulut Lengkara. Seakan gadis itu membenarkan semua yang ia lakukan. Mungkin niatnya baik, namun cara yang digunakannya kembali salah. Aksa tak pernah mengira bahwa jatuh cinta akan serumit ini. Bersama Lengkara, adalah cinta pertamanya. Seharusnya momen indah penuh setiap waktu. Namun ternyata tidak. Justru kesedihan yang mendominasi hubungan mereka berdua.

..........

Sudah dua hari yang Lengkara lakukan hanyalah berbaring di kasur tanpa melakukan apapun. Bunda, Kinara dan ayah kewalahan membujuk Lengkara untuk pergi check up ke rumah sakit. Bahkan untuk sekedar makan pun Lengkara menolak. Gadis itu hanya diam mengabaikan siapapun yang mencoba mengajaknya berbicara. Setelah kejadian ia dan Aksa bertengkar, Lengkara seakan kehilangan semangat melakukan apapun. Ia tak lagi menangis, namun kesedihan dan penyesalan masih terpatri di wajahnya.

Begitu pula dengan Aksa yang dua hari ini tak fokus latihan. Entah sudah keberapa kali pelatih memarahi Aksa yang kyorugi-nya tak sebagus kemarin. Aksa mendengus, dalam bilik kamar mandi ia berteriak mengeluarkan amarah yang masih hinggap dalam diri. Ia marah pada diri sendiri karena telah mengatakan apa yang seharusnya tak ia katakan kepada Lengkara.

......

“Sa, mending lo temuin Kara, ngobrol sama dia. Daripada lo kayak gini terus, jatuhnya jadi gak fokus buat latihan sama kuliah.” Ujar Sagara, pemuda itu tengah mendata mooks yang rusak dan masih layak pakai untuk nantinya dilaporkan kepada penanggung jawab divisi sebagai laporan mingguan.

Agam mengangguk setuju. “Bener, Sa, gue yakin Lengkara ngelakuin hal demikian karena dia terlalu sayang sama lo. Mending sekarang temuin dia dan baikan lagi.”

Aksa tetap diam. Jemarinya sibuk memainkan gitar dengan nada sendu. Mewakili hatinya yang gundah gulana. Jauh dalam benaknya berputar tentang Lengkara beserta momen-momen yang pernah mereka lakukan. Dalam pikirannya timbul banyak pertanyaan, tentang bagaimana keadaan gadis itu sekarang? Apa dia masih susah minum obat dan makan dengan teratur? Hari ini adalah jadwal check up nya, apa gadis itu pergi sendiri tanpa harus dibujuk atau dipaksa?

“Baikan aja sama Lengkara sebelum lo nyesel, Sa.” Kini Novan yang angkat suara. “Gue yakin sekarang dia sama kayak lo, galau. Dan apa jadinya kalau lo beneran pergi dari hidup dia, Sa? Sebelum ada lo, Lengkara bahkan gak kelihatan semangat ngejalanin hidup. Lo rela dia gitu lagi? Bagi gue adalah hal yang wajar Lengkara nyuruh lo pacaran sama Diana. Karena dia pengen lo bahagia saat dia nanti pergi. Dia gak mau lo terpuruk atau sedih berkepanjangan. Dia mau lo ngejalanin hidup seperti biasa. Walaupun kita gak tahu sampai kapan Lengkara hidup. Karena kematian itu di tangan Tuhan, bukan dokter.”

Perkataan Novan mengingatkannya saat Lengkara hendak meloncat dari rooftop karena keputusasaannya. Dan saat Lengkara begitu terpuruk dengan kondisinya. Tak menunggu lama, takut Lengkara kembali melakukan hal-hal buruk yang mencelakakan dirinya sendiri, Aksa memutuskan untuk pergi menemui Lengkara di rumah gadis itu. Meminta maaf dan memulai semuanya kembali seperti semula.

“Gue kira sikap dinginnya akan ngaruh ke hubungan, ternyata gue salah. Aksa lebih bucin daripada gue.” Ucap Galen seraya memandangi tubuh Aksa yang perlahan mengecil dilahap jarak.

“Len, kadang cover gak mencerminkan dalemnya. Apa yang kita anggap buruk, belum tentu dalemnya buruk. Aksa yang kita anggap bakal dingin dan cuek ke cewek, ternyata dia begitu tulus dan perhatian sama ceweknya. Kalau gue ada di posisi Lengkara pasti gue bersyukur banget dapet cowok kayak Aksa. Gue aja suka iri sama cara dia sayang ke Lengkara. Karena gue belum tentu bisa kayak Aksa.” Balas Sagara panjang lebar mewakili setiap pemikirannya mengenai Aksa selama ini.

“Tapi kalau Aksa beneran kehilangan..” Novan menggantungkan ucapannya, ia sendiri tak sanggup membayangkan hal itu. Padahal dia tadi meyakinkan Aksa bahwa kematian ada di tangan Tuhan.

“Seperti apa kata Sagara di rumah sakit, kita cuman berharap pada Allah untuk memberikan kesembuhan kepada Lengkara. Dan bagaimana pun kita akan mengalami sebuah kehilangan. Mati itu gak selalu harus penyakitan dulu, Van.” Agam tidak hanya bijak dalam memimpin, namun ia juga bijak dalam menyikapi hubungan. Hal yang paling disukai oleh teman-temannya. Agam bisa berperan layaknya ayah yang memberi saran kepada anak-anaknya. Menjadi pendengar yang baik dan tak pernah lelah membantu mereka.

Dan Aksa, di mata mereka kini Aksa begitu luar biasa. Perjuangan pemuda itu dalam mencintai dan memperlakukan Lengkara begitu membuat mereka terkejut. Pasalnya, Aksa tak menunjukkan sifatnya itu pada mereka. Mungkin juga karena faktor Aksa belum pacaran pada saat itu, jadi sifat dingin dan santai yang mereka tahu.

.........

Aksa kini ada di depan pintu kamar Lengkara. Setelah dipersilahkan masuk oleh keluarga Lengkara yang kebetulan sudah akrab dengannya, Aksa menatap Lengkara yang tengah terbaring membelakangi dirinya. Kebetulan pintu kamar terbuka sedikit. Memberikan ruang untuk Aksa menatap Lengkara dari luar.

Lengkara tak memejamkan mata sama sekali. Gadis itu hanya diam menatap kosong ke arah jendela dengan tirai yang terbuka lebar. Semilir angin menyapu tirai pada jendela lain yang terbuka. Menyejukkan kamar yang terlihat sederhana namun indah dan nyaman. Bayang-bayang kehidupannya, keluarganya, sahabatnya, dan Aksa terus menyeruak dalam kepala. Terlihat tenang dari luar, namun liar di dalam. Ingin sekali rasanya ia menghubungi Aksa, meminta maaf dan menceritakan segala gundahnya pada Aksa seperti biasa. Namun yang ia lakukan hanya diam dan tetap diam.

Rindu telah menggebu, pertengkaran itu nyatanya menumbuhkan rasa yang tak bisa ia tahan. Akan tetapi rasa malu dan sesal masih menggerubungi diri. Hingga akhirnya ego berhasil menguasai. Dalam hati Lengkara selalu bertanya-tanya,

Apa kabar, Aksa?

Sekarang dia sedang apa?

Apa Aksa masih marah padanya?

Pertanyaan yang sesungguhnya akan terjawab jika saja Lengkara menyadari bahwa pemuda yang berputar dalam kepalanya kini tengah duduk di ujung ranjang—di belakang gadis itu. Menatap sendu Lengkara dengan penuh rindu. Tak mengusik gadis itu dan memilih diam seraya merasakan kesedihan dan kekosongan yang diakibatkan dari pertengkaran dua hari lalu.

Dilihatnya foto dirinya dan Lengkara yang sengaja gadis itu pajang di dekat cermin. Senyum lantas terukir indah. Menyirat kebahagiaan tersendiri yang diciptakan tanpa sengaja oleh Lengkara. Seandainya hari itu Aksa tak tersulut emosi dan mencoba memahami Lengkara, mungkin perang dingin ini tak akan terjadi. Padahal sebelumnya dalam hubungannya selama ini bersama Lengkara, tak ada masalah apapun selain keras kepalanya Lengkara saat hendak berobat dan makan dengan teratur.

Setelah 10 menit diam, Aksa memberanikan diri untuk bersuara. Memanggil nama kekasihnya dengan lembut berulang kali sampai pemilik nama menyadari bahwa yang ia dengar adalah nyata. Bukan mimpi belaka. Lengkara pun duduk dan menatap Aksa dengan terperangah. Sejak kapan pemuda itu ada di sini? Apakah ini bagian dari mimpinya karena dirinya tak sengaja terlelap?

“Maafin aku, Kar. Aku salah.” Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Aksa. Seakan menyampaikan maksud dalam hatinya semenjak ia memutuskan untuk menemui Lengkara.

Alih-alih membalas perkataan Aksa, Lengkara malah menghambur dalam pelukan Aksa. Mendekap erat pemuda itu, menyampaikan rindu serta lantunan maaf yang ia tumpahkan melalui tangis. Aksa pun melakukan hal yang sama. Bahkan air matanya pun mengalir. Menyiratkan rindu yang terpatri untuk Lengkara. Menghempas segala hal yang membuat dirinya ingin pergi dari Lengkara dan kembali mengukir rasa demi hubungannya dengan Lengkara. Kemudian dikecupnya kening Lengkara lebih lama disertai tetesan air mata yang mengalir di pipinya. Aksa seakan mengatakan dengan isyarat betapa ia mencintai gadis ini.

“Maafin aku, Aksa. Maaf..”

Aksa menganggukan kepalanya, diusapnya sisa air mata yang ada di pipi Lengkara. “Lain kali jangan gitu ya? Aku tahu kamu peduli sama aku dan takut suatu hari nanti aku ngerasa kesepian dan kehilangan. Tapi kita abaikan dulu hal itu. Lebih baik kita fokus untuk pengobatan kamu dan hubungan kita. Kita ukir sebanyak-banyaknya kenangan sampai kita gak punya lagi waktu untuk melakukannya, oke?”

Lengkara mengangguk setuju. Dipeluknya kembali Aksa. “Maaf, Sa.”

“Maaf juga, Kar.”

........

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Gloomy
528      337     0     
Short Story
Ketika itu, ada cerita tentang prajurit surga. Kisah soal penghianatan dari sosok ksatria Tuhan.
Perahu Waktu
360      240     1     
Short Story
Ketika waktu mengajari tentang bagaimana hidup diantara kubangan sebuah rindu. Maka perahu kehidupanku akan mengajari akan sabar untuk menghempas sebuah kata yang bernama rindu
AUNTUMN GARDENIA
104      90     1     
Romance
Tahun ini, dia tidak datang lagi. Apa yang sedang dia lakukan? Apa yang sedang dia pikirkan? Apakah dia sedang kesulitan? Sweater hangat berwarna coklat muda bermotif rusa putih yang Eliza Vjeshte kenakan tidak mampu menahan dinginnya sore hari ini. Dengan tampang putus asa ia mengeluarkan kamera polaroid yang ada di dalam tasnya, kemudian menaiki jembatan Triste di atas kolam ikan berukura...
fall
3838      1157     3     
Romance
Renata bertemu dua saudara kembar yang mampu memporak-porandakan hidupnya. yang satu hangat dengan segala sikap manis yang amat dirindukan Renata dalam hidupnya. satu lagi, dingin dengan segudang perhatian yang tidak pernah Renata ketahui. dan dia Juga yang selalu bisa menangkap renata ketika jatuh. apakah ia akan selamanya mendekap Renata kapanpun ia akan jatuh?
Lost in Drama
1687      641     4     
Romance
"Drama itu hanya untuk perempuan, ceritanya terlalu manis dan terkesan dibuat-buat." Ujar seorang pemuda yang menatap cuek seorang gadis yang tengah bertolak pinggang di dekatnya itu. Si gadis mendengus. "Kau berkata begitu karena iri pada pemeran utama laki-laki yang lebih daripadamu." "Jangan berkata sembarangan." "Memang benar, kau tidak bisa berb...
Secret World
3039      994     6     
Romance
Rain's Town Academy. Sebuah sekolah di kawasan Rain's Town kota yang tak begitu dikenal. Hanya beberapa penduduk lokal, dan sedikit pindahan dari luar kota yang mau bersekolah disana. Membosankan. Tidak menarik. Dan beberapa pembullyan muncul disekolah yang tak begitu digemari. Hanya ada hela nafas, dan kehidupan monoton para siswa kota hujan. Namun bagaimana jika keadaan itu berputar denga...
Iblis Merah
8044      2214     2     
Fantasy
Gandi adalah seorang anak yang berasal dari keturunan terkutuk, akibat kutukan tersebut seluruh keluarga gandi mendapatkan kekuatan supranatural. hal itu membuat seluruh keluarganya dapat melihat makhluk gaib dan bahkan melakukan kontak dengan mereka. tapi suatu hari datang sesosok bayangan hitam yang sangat kuat yang membunuh seluruh keluarga gandi tanpa belas kasihan. gandi berhasil selamat dal...
Baret,Karena Ialah Kita Bersatu
675      395     0     
Short Story
Ini adalah sebuah kisah yang menceritakan perjuangan Kartika dan Damar untuk menjadi abdi negara yang memberi mereka kesempatan untuk mengenakan baret kebanggaan dan idaman banyak orang.Setelah memutuskan untuk menjalani kehidupan masing - masing,mereka kembali di pertemukan oleh takdir melalui kesatuan yang kemudian juga menyatukan mereka kembali.Karena baret itulah,mereka bersatu.
karena Aku Punya Papa
436      312     0     
Short Story
Anugrah cinta terindah yang pertama kali aku temukan. aku dapatkan dari seorang lelaki terhebatku, PAPA.
Summer Whispering Steam
1331      684     0     
Romance
Mereka menyebutnya Nagisano Shizuka, sebuah kedai kopi yang berlokasi di garis pantai Okinawa, Jepang, permata tersembunyi di tepian Samudera Pasifik yang menawarkan tempat peristirahatan sempurna dari hiruk-pikuk duniawi. Perpaduan sempurna antara estetika tradisional Jepang dan suasana pantai membuatnya dikenal sebagai “Mimpi Panjang di Musim Panas Semesta.” Seorang Manajer bernama Yuki ...