Suara lengkingan yang sudah lama tak
terdengar itu kembali membisingkan rumah. Lengkara yang tengah memasak bersama
bunda dan Kinara terusik, namun mereka tak lagi menanyakan siapa pemilik empu
suara dari luar itu. Justru Kinara dan bunda menatap Lengkara meminta jawaban.
“Udah baikan.” Kata Lengkara dengan
senyumnya, menjawab tatapan mata penuh maksud dari bunda dan Kinara.
“Kapan?” tanya Kinara.
“Kemarin.”
“Alhamdulilah, untung bunda masak
makanan kesukaan Fera.” Bunda begitu antusias. Sedari dulu bunda memang telah
menganggap Fera sebagai anaknya sendiri. Namun semenjak hubungan Fera dan
Lengkara merenggang—bunda tahu itu dari Fera yang bercerita sendiri, bunda
begitu merindukan kehadiran Fera ke rumah. Akan tetapi ia tak berani bertanya
pada Lengkara yang saat itu menutup diri untuk siapapun.
“Kebetulan banget gak sih, bun?” seru
Kinara.
“KARAAAA!!! BUNDAA!!!!! KAK KINARA!!!!!”
Lengkara memijit kepalanya sambil
menutup telinganya yang berdengung karena suara yang mirip TOA itu. Dalam hati
ia berdoa, semoga tetangga tak ada yang protes karena merasa terganggu. “Ya
ampun nyesel gue baikan sama TOA kayak dia.” gerutunya. “Iya iya sebentar!
Berisik lo!”
Kinara dan bunda tertawa kecil.
“APA?!” ketus Lengkara saat membuka
pintu dan menampilkan Fera yang nyengir kuda. “Lo mau gue musuhin lagi, hah?
Datang-datang berisiknya minta di tendang ke Jerman.”
“Dih nyolot,” Fera mendelik, mendorong
Lengkara dan nyelonong masuk. “Hai bundaa!! Hai kak Kinara!” Fera bergantian
memeluk Kinara dan bunda alih-alih kepada Lengkara. “Ya ampun kangen banget,
udah lama gak ketemu gini.”
Bunda mengelus lembut rambut Fera. “Iya
bunda kangen juga, kabar kamu gimana?”
“Baik, bunda.”
Lengkara mendekat ke mereka dengan
bersedekap tangan dan senyumannya. Telah lama suasana seperti ini ia rindukan.
Seandainya dulu dia tak egois, mungkin Fera dan dirinya tak akan bermusuhan.
“Makin gendutan aja ini pipinya.” Kinara
mencubit pipi Fera dengan gemas. Selain sahabat Lengkara, Kinara pun menganggap
Fera sebagai adiknya.
“Aw! Kakak nih ya gak berubah, masih aja
ledekin aku!”
“Udah udah, mending sekarang kita makan.
Kebetulan bunda masakin makanan kesukaan kamu. Kayak jodoh banget.”
Fera begitu kegirangan mengetahui bunda
memasak risolles isi daging kesukaannya. Gadis itu terlihat tak sabar untuk
memakan risolles itu. Sementara Kinara, bunda, dan Fera yang telah duduk di
meja makan, Lengkara masih berdiri dan bersandar di tembok. Menatap ketiganya
dengan haru. Membayangkan bahwa suatu hari nanti ia tak akan ada di sini,
membuatnya menangis dan segera ia lap air mata yang lolos. Tak mau ketiganya
mengetahui Lengkara menangis.
Ya
Allah tetap berikan ketenangan dan kebahagiaan untuk mereka jika suatu hari
nanti aku tiada. Doanya dalam hati, sebelum Lengkara
bergabung bersama mereka semua.
.......
“Kar, rambut lo?” Fera tercekat, tak
sanggup melanjutkan perkataannya.
Lengkara tersenyum getir kala dirinya
melepas topi yang selalu ia kenakan. Topi ini adalah pemberian dari Aksa saat
mereka berjalan-jalan di mall. Topi baseball berwarna merah muda itu sangat
Lengkara sukai.
Fera begitu terkejut sekaligus merasa
sedih saat banyak sekali rambut Nara yang rontok terbawa oleh topi itu.
Alih-alih menangis, Lengkara justru terkekeh dan mengejek Fera kala gadis itu
menatapnya iba.
“Apaan sih, Fer. Biasa aja kali ah.”
“Kar, lo bilang biasa aja? Ini
penyakit—“
“Please,
perlakukan gue seakan gue sehat kayak lo.” Potong Lengkara dengan tatapan
datar. Ia begitu benci ketika orang-orang memperlakukannya seperti ini. Sedetik
kemudian senyumnya kembali, menampilkan Lengkara yang ceria dibalik sedihnya.
“Lo gak disuruh turun tanding sama pelatih, Fer?”
Fera berusaha membalikan keadaan meski
sebenarnya ia ingin menangis dan memeluk Lengkara. “Gue gak lolos poomsae waktu
pelatih ngadain seleksi calon atlet.”
“Serius? Bukannya lo bagus di poomsae?”
Fera mengedikan bahunya, “Mungkin ada
yang lebih bagus dari gue?”
Lengkara mengambil bantal dan
menyandarkan kepalanya di sana. Menatap Fera yang duduk bersila di ujung kasur.
“Terus pacar lo Gilang gimana? Kalian masih?”
“Jangan bahas dia ah!”
“Eh kenapa?”
“Lo tahu kan dari dulu dia playboy? Gue
kira sama gue dia berubah, eh ternyata makin parah.”
“Bukannya lo sama ya? Banyak cowoknya!
Pura-pura sedih, padahal dalem WA udah kayak asrama putra.” Kekeh Lengkara. Membeberkan
fakta mengenai sahabatnya yang memiliki banyak cabang.
Fera melayangkan pukulan dengan bantal
pada Lengkara. “Gue udah tobat, Kara!”
“Gak gue gak percaya! Lo tobat, gue
bakal naik tugu monas hari itu juga!”
Fera makin geram dan mereka saling
memukuli dengan bantal. “Heh, banyak cowok gapapa, asal jangan banyak pacar!”
Lengkara mendesis, “Dih sama aja kali!
Sukurin karma tuh jadi playboy Gilang kumat lagi!”
“Ih jangan asal ya, Kar! Rasain nih
pukulan gue buat mulut lo yang lemes!”
Tentu Fera tak terlalu memberikan tenaga
pada pukulannya, namun nampaknya Lengkara tak memberikan keringanan. Hingga
akhirnya peperangan terjadi dengan sengit. Diiringi tawa yang menggelegar,
kamar yang sekian lama sepi dan diisi dengan tangis itu kembali pada kehangatan
yang dulu selalu meramaikan.
Setelah dirasa lelah, mereka tidur
terlentang dengan pandangan mengarah ke langit-langit kamar. Nafas keduanya
menderu, lelah dengan peperangan bantal yang menjadikan kamar Lengkara seperti
kapal pecah.
“Kar, kenapa lo bisa sama Aksa? Bukannya
dia susah banget ya dideketin cewek?”
“Tahu! Tanya aja orangnya.” Jawab
Lengkara seadanya.
Fera membalikan badan menjadi telungkup.
“Tapi serius deh, Aksa tuh gue denger-denger emang susah banget dideketin
cewek. Dia bahkan gak pernah pacaran, dan lo pacar pertamanya.”
“Terus gue harus apa?” Lengkara
pura-pura tak peduli meski dalam hati ia berbunga mendengar itu. Jadi benar
bahwa ia adalah kekasih pertama Aksa?
Fera menjitak kepala Lengkara sampai
gadis itu mengaduh. “Kalau gue jadi lo, gue bersyukur lah, bego! Gue akan
merasa jadi cewek paling beruntung dapetin cowok yang kayak Aksa. Udah ganteng,
pinter, tinggi kekar, anggota taekwondo, ahh segalanya!”
Lengkara mengutas senyum, memandang
langit-langit seakan ada wajah Aksa di sana. “Gue gak tahu alasan kenapa dia
suka dan jatuh cinta sama gue sampai kita berdua pacaran. Yang pasti gue
bersyukur banget, Fer, dengan kehadiran Aksa di hidup gue. Dia selalu ada buat
gue setiap waktu, dia support system di saat gue terpuruk. Gue gak
ngerti lagi kenapa ada cowok seperfect
dia di dunia ini. Gue kira cowok kayak Aksa cuman ada di fiksi. Seandainya gue
punya waktu yang lebih banyak, mungkin gue akan merasa jadi cewek paling
beruntung bisa pacaran sama Aksa sampe nikah.” Mengatakan itu, hatinya serasa
diremas. Air matanya mengalir kontras dengan apa yang ia rasakan.
Fera tak bisa berkata apapun selain
memeluk Lengkara. Menyampaikan kasih dan sayang serta semangat yang ia miliki
untuk Lengkara melalui dekapan.
..........
Hari kedua pelatihan, setelah kelas
selesai Aksa langsung pergi ke GOR. Tadinya Aksa ingin menemui Lengkara, namun
gadis itu mengabari bahwa ia masih ada kelas. Setelah mengganti pakaian
casualnya dengan dobok, Aksa duduk di kursi samping lapang, menunggu
teman-temannya yang belum datang. Di sini hanya ada Aksa dan beberapa anggota
taekwondo yang hadir. Sementara yang lain dan pelatih belum datang.
“Hai, Sa.” Sapa seorang gadis. Aksa
tersenyum.
“Eh Diana.”
Gadis yang bernama Diana itu duduk di
samping Aksa. Diana adalah anggota taekwondo dengan sabuk merah. Gadis itu
selalu disebut-sebut sebagai pasangan yang cocok untuk Aksa—sebelum Aksa
akhirnya memantapkan hatinya kepada Lengkara. Sering kali pula orang-orang
menjodohkan mereka supaya menjalin hubungan lebih dari teman biasa. Namun
nampaknya hal itu tak membuat Aksa goyah. Pemuda itu tetap enggan dekat dengan
perempuan. Diana yang memang sudah suka dari lama kepada Aksa sedikit kecewa,
namun ia tak bisa melakukan apapun selain diam dan terus bersikap seperti biasa
bahkan saat mendengar Lengkara kini telah berhasil mencuri hati Aksa.
Jangan sampai perasaannya merusak
kedekatannya dengan Aksa. Sebab, Aksa tidak semudah itu untuk berbaur dengan
lawan jenis.
“Lo kok gak turun tanding sih, Din?
Sayang tahu udah sampai sabuk merah, gerakan bagus, dan udah ada perintah
tanding dari pelatih, lo malah nolak.” Ucap Aksa.
“Lo tahu sendiri kan, Sa, gue bantu
usaha keluarga. Kuliah sama latihan aja gue bolong-bolong, gimana nanti harus
tanding? Gue gak ada waktu untuk latihan full selama sebulan dari siang sampe
malem.” Jawab Diana.
Aksa manggut-manggut mengerti kondisi
Diana. “Iya sih cuman sayang aja, apalagi kalau pelatih udah kasih perintah
untuk tanding, berarti pelatih percaya sama lo kalau lo bisa.”
Diana menoleh, menatap Aksa dengan
kepala miring. “Kalau gitu kenapa kita gak adu skill aja?”
Aksa menaikan satu alisnya disertai
senyum, “Gue gak lawan perempuan, Din.”
Mendengar itu Diana tertawa kecil, “Ya
ampun Aksa lo masih aja megang prinsip itu! Ini kan taekwondo, kalau lo di
lapangan gak peduli lawan lo cowok atau cewek! Gue jadi ragu sama kemampuan lo,
Sa.” Ujarnya dengan tatapan meremehkan.
Aksa berdiri, merasa tertantang dengan
apa yang Diana katakan barusan. “Yaudah cepet pake dobok, gue ambil body.”
“Oke.”
.........
“Kar, mau ke mana? Pulang?” tanya Fera
setelah kelas selesai.
“Gue mau ke GOR, nemuin Aksa.”
Fera menggerlingkan mata, “Ciyee
sekarang udah punya cowok hobinya ngapel ya! Dulu lo ledek gue terus ‘pacaran mulu’, sekarang lo sendiri
ngalamin.”
Lengkara tak bisa menahan salah
tingkahnya. Ia mengulas senyum yang sebenarnya ingin ia tahan. “Diem lo! Semua
akan punya pacar pada waktunya.”
“Bukan gitu kali, ‘semua akan luluh sama cowok ganteng pada waktunya’.” Kemudian Fera
tertawa.
Lengkara menggeleng dengan kekehan
kecilnya melihat tingkah laku Fera. “Apaan sih, Fer. Lo mau ikut gue gak?
Bukannya nanti sore latihan ya?”
“Gue mau kumpul BEM dulu, sekarang kan
masih jam 2 siang.”
“Yaudah gue duluan ya?”
Fera mengacungkan jempol. “Inget jangan
mojok ya!” teriaknya membuat Lengkara melotot padanya.
“Sialan, Fer!”
Fera menggelakan tawa.
Sebelum ke GOR, Lengkara sengaja mampir
ke kantin untuk membelikan Aksa air mineral dan beberapa cemilan untuknya agar
tidak suntuk menunggu Aksa selesai latihan. Setelah bertransaksi dengan pemilik
kantin, Lengkara melangkah dengan senyumnya menuju GOR. Hari ini dia nampak
cantik dengan sweeter berwarna abu oversize yang dipadukan dengan celana
kulot denim. Topi tak lepas dari kepalanya, menambah kesan casual yang
membuatnya enak dipandang.
Baru saja memasuki GOR, Lengkara telah
disuguhkan dengan pemandangan yang lantas membuatnya terpaku di tempat. Senyum
sumir yang terlukis di wajahnya perlahan surut. Dilihatnya Aksa bersama
Diana—kakak tingkatnya yang seangkatan dengan Aksa tengah melakukan sparing
sembari tertawa. Hal yang membuat Lengkara merasa tertampar adalah ketika
melihat tawa Aksa yang membuatnya menyadari bahwa bersamanya Aksa belum pernah
terlihat demikian. Aksa terlihat sangat bahagia dan lepas. Pemuda itu seakan
melupakan beban yang menumpuk di bahunya.
Alih-alih marah atau pergi ke luar GOR,
Lengkara justru naik ke tribun dan duduk di sana. Melihat dengan seksama
kebahagiaan yang terjadi di lapangan. Meski merasa sakit hati, namun Lengkara
begitu tenang kala melihat tawa di wajah Aksa. Lantas banyak sekali tanya yang
menyerang kepala Lengkara. Saling berpacu cepat demi sampai pada logika.
Menuntut penjelasan pada diri Lengkara yang bahkan tak mampu menjawabnya.
Apa selama ini Aksa tersiksa bersamanya?
Apa selama ini Aksa tak bahagia
bersamanya?
Apa hanya kesedihan yang Aksa rasakan
dibalik senyum yang selalu ia tampilkan kepada Lengkara?
Lengkara menundukkan kepalanya. Ia tak
menangis, hanya saja dadanya terasa sangat sesak. Ingin rasanya menjadi egois
dan marah selayaknya gadis pada umumnya, namun Lengkara tak bisa melakukan hal
demikian mengingat bahwa memang seharusnya Aksa mencari seseorang sebagai
pengganti saat Lengkara tiada nanti.
“Eh eh berani ya nyerang cewek!” canda
Diana, hal itu hanya untuk membuat Aksa mengalah dan kalah.
“Din, kata lo bilang tadi ketika di
lapangan gak perlu peduliin lawan lo cewek atau cowok!” Aksa menggeleng tak
paham, ia berkecak pinggang dengan nafas menderu. Melawan Diana yang terus
mengecohkannya dengan ocehan demi ocehan, membuat Aksa kewalahan. Tidak hanya
itu, pasalnya Aksa tak berani melawan perempuan, jadi Aksa hanya melakukan
perlindungan daripada menyerang.
Diana tertawa, dia pun sama lelahnya. “Payah
lo, Sa! Ayo dong lagi!”
“Udah dulu, pelatih belum dateng keburu
cape nanti pas latihan.” Aksa melepas body
yang ia pakai, kemudian mengedarkan pandangan mencari Lengkara, siapa tahu
gadis itu sudah tiba. Dan benar saja, Aksa menemukan Lengkara yang tengah duduk
di tribun dengan kepala menunduk. Meski begitu, Aksa cukup mengenali pakaian,
topi dan tubuh mungil itu.
“Gue ke sana dulu ya?” kata Aksa kepada
Diana.
Diana menyurutkan senyumnya berganti
jadi ekspresi datar. Meski ia menerima Aksa dan Lengkara berpacaran, tetap saja
melihat mereka berdua membuatnya sakit hati. “Oke.” Balasnya singkat.
Perlahan, Aksa menaiki tangga menuju
tribun dan dari kejauhan memanggil Lengkara. Lengkara yang tengah merenung
lantas mengangkat kepala dan tersenyum.
“Kamu kenapa?” tanya Aksa yang menyadari
senyum Lengkara tak setulus biasanya. Seperti ada sesuatu yang tengah gadis itu
sembunyikan.
“Aku? Gapapa. Kok kamu tanya gitu?”
“Beneran?”
Lengkara mengangguk cepat. Sekali lagi
ia sumirkan senyum yang mengembang. Meyakinkan bahwa ia baik-baik saja kepada
Aksa.
“Yaudah kalau gitu, tapi kalau ada
apa-apa cerita ya? Jangan sampe kamu sembunyiin sesuatu dari aku.” Kata Aksa
yang diangguki Lengkara. “Kamu daritadi di sini?” tanyanya.
“Oh baru aja kok. Tadi emang mata kuliahnya
bikin pusing banget, pas keluar rasanya beuhhh lega banget. Emang deh ya mata
kuliah bu Risma itu bikin sesak nafas.”
Aksa terkekeh melihat ekspresi Lengkara
ketika membicarakan dosennya itu.
“Oiya ini aku bawain buat kamu.”
Lengkara menyerahkan air mineral dan beberapa cemilan yang tadinya untuknya.
“Makasih, sayang.”
“Sama-sama.”
Aksa membuka tutup botol dan meneguk air
mineral itu sampai tersisa setengah.
“Sa?”
“Hmm?”
“Aku hari ini ada janji sama dokter.”
Aksa mengerutkan keningnya. “Kok
mendadak? Biasanya hari kamis kan?”
Lengkara mengedikan bahunya, dalam hati
ia merasa bersalah jika harus berbohong kepada Aksa. Namun ia merasa harus
melakukan ini. “Mungkin ada suatu hal yang mau dokter sampaikan.”
“Yaudah aku ganti baju dulu ya?”
“Sa,” Lengkara mencekal tangan Aksa yang
hendak berdiri dan pergi untuk mengganti pakaian. “Aku bisa sendiri ke rumah
sakitnya.”
“Gak, Kar, sama aku perginya.”
“Sa..” Lengkara memberikan tatapan penuh
permohonan, berharap Aksa kali ini luluh.
“Kalau kamu kenapa-napa di jalan
gimana?”
Lengkara menghela nafas dalam. Ia
memikirkan cara agar Aksa tak ikut bersamanya yang padahal tidak akan ke mana-mana.
“Jangan jadikan aku sebagai halangan untuk kamu meraih mimpi kamu, Aksa.”
Aksa menghela nafas, ia tangkup wajah
cantik kekasihnya itu. “Kata siapa kamu jadi penghalang aku, Kar? Enggak kok.
Bentar ya?”
“Sa!” Lengkara mencekal kembali tangan
Aksa. Kini menahannya. “Aku bakal minta Fera buat anterin aku, kamu gak perlu
khawatir ya?”
“Tapi—“
“Kamu di sini aja fokus latihan buat
tanding nanti, oke? Kalau aku udah sampai ke rumah sakit dan kalau ada apa-apa
pasti aku kabarin kamu.”
Aksa menghela nafas dalam. Sebenarnya ia
tak mau melepas Lengkara begitu saja. Namun kala gadis itu mengatakan akan bersama
Fera, Aksa sedikit lega. Kekhawatirannya lebur dan berakhir dengan persetujuan.
Pemuda itu mengelus kepala Lengkara, “Hati-hati, ya? Inget jangan lupa
kabarin.” Pesannya.
Lengkara mengangguk. “Iya siap.”
“Kalau perlu apapun hubungi aku.”
“Iya Aksa.”
“Inget ya?”
Lengkara tertawa kecil. “Iya Aksa
sayangggggg.”
Aksa terkekeh dan merasa senang kala
mendengar Lengkara mengatakan itu. Lalu ia berdiri, menggandeng tangan Lengkara
dan mengantarkan gadis itu ke parkiran. Namun Lengkara menolak dan meminta untuk
diantarkan sampai ke pintu GOR saja. Kebetulan pelatih datang, membuat Aksa tak
bisa menolak permintaan Lengkara.
“Semangat latihannya.” Lengkara menepuk
lengan bahu Aksa.
Aksa mengangguk. “Hati-hati ya
pokoknya.”
“Iya, Aksa.” Kemudian Lengkara berbalik,
tapi Aksa memanggilnya. “Kenapa lagi?”
“Pamitnya gitu aja?”
Mengerti dengan apa yang Aksa maksud,
Lengkara mengatakan, “Kara sayang Aksa.”
Aksa terkekeh, salah tingkah. “Aksa
sayang Kara.”
Lengkara berbalik disertai senyumnya
yang menyurut. Menjauh dari Aksa yang masih menatapnya dengan senyuman.
Menyampaikan segala bentuk doa melalui tatapan. Hingga gadis itu menghilang
dibalik tikungan.
Lengkara memejamkan mata. Gadis itu
berhenti melangkah dan menghela nafas beratnya. Ia cemburu, namun bersamaan
dengan rasa itu, ada ketenangan yang terpatri. Ia tak perlu lagi khawatir Aksa
akan kesepian kala tak lagi bersamanya. Meski sebenarnya Lengkara ingin berlaku
layaknya perempuan pada umumnya. Hari berikutnya Aksa masih bercengkrama dengan
Diana saat latihan berlangsung. Mereka berdua seperti patner dekat yang selalu
mengiringi tawa ditiap tendangan yang dilayangkan pada target. Lengkara yang
menatapnya dari kejauhan semakin yakin bahwa Diana pantas menjadi orang yang
Aksa cintai.
Dilihatnya botol air mineral untuk Aksa.
Ada desiran perih dalam hatinya. Lengkara yang tadinya hendak menemui Aksa
seperti biasa, berbalik dan keluar dari GOR. Setetes air mata membasahi
pipinya, mengiringi langkah yang semakin naik menelusuri anak tangga. Kini ia
sampai di tempat biasa ia menghamburkan gundah, melepas lara dan menikmati
sejuknya udara. Rooftop yang jadi
tempat perbincangan demi perbincangan indah dengan Aksa, kini menjadi tempatnya
lagi untuk berduka.
Ia tangisi kondisi dirinya yang tak bisa
berlaku semestinya. Lengkara hanya bisa pasrah dan diam. Menelan bulat-bulat
takdir yang hinggap dalam hidupnya. Mengikuti alur waktu yang semakin menipis,
dan rotasinya yang semakin mendesak dada. Pengap, perih, sakit. Itu yang
Lengkara rasakan. Deretan mimpi, momen, rencana, yang ingin ia lakukan dan
rasakan hanya jadi sebuah kenangan yang tak akan pernah terwujud. Bahkan
bersama Aksa, hanya bisa ia rasakan di waktu yang singkat. Pemuda itu hanya
menemani disisa waktu terakhir. Tak selamanya, tak sampai menua.
Lengkara hanya bisa menangis dengan
duduk di atas pembatas rooftop.
Helaian rambutnya tersapu angin, seakan semesta tengah menenangkan sang gadis
yang tengah gundah gulana. Mencoba menyemangatinya lewat udara sejuk.