Loading...
Logo TinLit
Read Story - AKSARA
MENU
About Us  

Suara lengkingan yang sudah lama tak terdengar itu kembali membisingkan rumah. Lengkara yang tengah memasak bersama bunda dan Kinara terusik, namun mereka tak lagi menanyakan siapa pemilik empu suara dari luar itu. Justru Kinara dan bunda menatap Lengkara meminta jawaban.

“Udah baikan.” Kata Lengkara dengan senyumnya, menjawab tatapan mata penuh maksud dari bunda dan Kinara.

“Kapan?” tanya Kinara.

“Kemarin.”

“Alhamdulilah, untung bunda masak makanan kesukaan Fera.” Bunda begitu antusias. Sedari dulu bunda memang telah menganggap Fera sebagai anaknya sendiri. Namun semenjak hubungan Fera dan Lengkara merenggang—bunda tahu itu dari Fera yang bercerita sendiri, bunda begitu merindukan kehadiran Fera ke rumah. Akan tetapi ia tak berani bertanya pada Lengkara yang saat itu menutup diri untuk siapapun.

“Kebetulan banget gak sih, bun?” seru Kinara.

“KARAAAA!!! BUNDAA!!!!! KAK KINARA!!!!!”

Lengkara memijit kepalanya sambil menutup telinganya yang berdengung karena suara yang mirip TOA itu. Dalam hati ia berdoa, semoga tetangga tak ada yang protes karena merasa terganggu. “Ya ampun nyesel gue baikan sama TOA kayak dia.” gerutunya. “Iya iya sebentar! Berisik lo!”

Kinara dan bunda tertawa kecil.

“APA?!” ketus Lengkara saat membuka pintu dan menampilkan Fera yang nyengir kuda. “Lo mau gue musuhin lagi, hah? Datang-datang berisiknya minta di tendang ke Jerman.”

“Dih nyolot,” Fera mendelik, mendorong Lengkara dan nyelonong masuk. “Hai bundaa!! Hai kak Kinara!” Fera bergantian memeluk Kinara dan bunda alih-alih kepada Lengkara. “Ya ampun kangen banget, udah lama gak ketemu gini.”

Bunda mengelus lembut rambut Fera. “Iya bunda kangen juga, kabar kamu gimana?”

“Baik, bunda.”

Lengkara mendekat ke mereka dengan bersedekap tangan dan senyumannya. Telah lama suasana seperti ini ia rindukan. Seandainya dulu dia tak egois, mungkin Fera dan dirinya tak akan bermusuhan.

“Makin gendutan aja ini pipinya.” Kinara mencubit pipi Fera dengan gemas. Selain sahabat Lengkara, Kinara pun menganggap Fera sebagai adiknya.

“Aw! Kakak nih ya gak berubah, masih aja ledekin aku!”

“Udah udah, mending sekarang kita makan. Kebetulan bunda masakin makanan kesukaan kamu. Kayak jodoh banget.”

Fera begitu kegirangan mengetahui bunda memasak risolles isi daging kesukaannya. Gadis itu terlihat tak sabar untuk memakan risolles itu. Sementara Kinara, bunda, dan Fera yang telah duduk di meja makan, Lengkara masih berdiri dan bersandar di tembok. Menatap ketiganya dengan haru. Membayangkan bahwa suatu hari nanti ia tak akan ada di sini, membuatnya menangis dan segera ia lap air mata yang lolos. Tak mau ketiganya mengetahui Lengkara menangis.

Ya Allah tetap berikan ketenangan dan kebahagiaan untuk mereka jika suatu hari nanti aku tiada. Doanya dalam hati, sebelum Lengkara bergabung bersama mereka semua.

.......

“Kar, rambut lo?” Fera tercekat, tak sanggup melanjutkan perkataannya.

Lengkara tersenyum getir kala dirinya melepas topi yang selalu ia kenakan. Topi ini adalah pemberian dari Aksa saat mereka berjalan-jalan di mall. Topi baseball berwarna merah muda itu sangat Lengkara sukai.

Fera begitu terkejut sekaligus merasa sedih saat banyak sekali rambut Nara yang rontok terbawa oleh topi itu. Alih-alih menangis, Lengkara justru terkekeh dan mengejek Fera kala gadis itu menatapnya iba.

“Apaan sih, Fer. Biasa aja kali ah.”

“Kar, lo bilang biasa aja? Ini penyakit—“

Please, perlakukan gue seakan gue sehat kayak lo.” Potong Lengkara dengan tatapan datar. Ia begitu benci ketika orang-orang memperlakukannya seperti ini. Sedetik kemudian senyumnya kembali, menampilkan Lengkara yang ceria dibalik sedihnya. “Lo gak disuruh turun tanding sama pelatih, Fer?”

Fera berusaha membalikan keadaan meski sebenarnya ia ingin menangis dan memeluk Lengkara. “Gue gak lolos poomsae waktu pelatih ngadain seleksi calon atlet.”

“Serius? Bukannya lo bagus di poomsae?”

Fera mengedikan bahunya, “Mungkin ada yang lebih bagus dari gue?”

Lengkara mengambil bantal dan menyandarkan kepalanya di sana. Menatap Fera yang duduk bersila di ujung kasur. “Terus pacar lo Gilang gimana? Kalian masih?”

“Jangan bahas dia ah!”

“Eh kenapa?”

“Lo tahu kan dari dulu dia playboy? Gue kira sama gue dia berubah, eh ternyata makin parah.”

“Bukannya lo sama ya? Banyak cowoknya! Pura-pura sedih, padahal dalem WA udah kayak asrama putra.” Kekeh Lengkara. Membeberkan fakta mengenai sahabatnya yang memiliki banyak cabang.

Fera melayangkan pukulan dengan bantal pada Lengkara. “Gue udah tobat, Kara!”

“Gak gue gak percaya! Lo tobat, gue bakal naik tugu monas hari itu juga!”

Fera makin geram dan mereka saling memukuli dengan bantal. “Heh, banyak cowok gapapa, asal jangan banyak pacar!”

Lengkara mendesis, “Dih sama aja kali! Sukurin karma tuh jadi playboy Gilang kumat lagi!”

“Ih jangan asal ya, Kar! Rasain nih pukulan gue buat mulut lo yang lemes!”

Tentu Fera tak terlalu memberikan tenaga pada pukulannya, namun nampaknya Lengkara tak memberikan keringanan. Hingga akhirnya peperangan terjadi dengan sengit. Diiringi tawa yang menggelegar, kamar yang sekian lama sepi dan diisi dengan tangis itu kembali pada kehangatan yang dulu selalu meramaikan.

Setelah dirasa lelah, mereka tidur terlentang dengan pandangan mengarah ke langit-langit kamar. Nafas keduanya menderu, lelah dengan peperangan bantal yang menjadikan kamar Lengkara seperti kapal pecah.

“Kar, kenapa lo bisa sama Aksa? Bukannya dia susah banget ya dideketin cewek?”

“Tahu! Tanya aja orangnya.” Jawab Lengkara seadanya.

Fera membalikan badan menjadi telungkup. “Tapi serius deh, Aksa tuh gue denger-denger emang susah banget dideketin cewek. Dia bahkan gak pernah pacaran, dan lo pacar pertamanya.”

“Terus gue harus apa?” Lengkara pura-pura tak peduli meski dalam hati ia berbunga mendengar itu. Jadi benar bahwa ia adalah kekasih pertama Aksa?

Fera menjitak kepala Lengkara sampai gadis itu mengaduh. “Kalau gue jadi lo, gue bersyukur lah, bego! Gue akan merasa jadi cewek paling beruntung dapetin cowok yang kayak Aksa. Udah ganteng, pinter, tinggi kekar, anggota taekwondo, ahh segalanya!”

Lengkara mengutas senyum, memandang langit-langit seakan ada wajah Aksa di sana. “Gue gak tahu alasan kenapa dia suka dan jatuh cinta sama gue sampai kita berdua pacaran. Yang pasti gue bersyukur banget, Fer, dengan kehadiran Aksa di hidup gue. Dia selalu ada buat gue setiap waktu, dia support system di saat gue terpuruk. Gue gak ngerti lagi kenapa ada cowok seperfect dia di dunia ini. Gue kira cowok kayak Aksa cuman ada di fiksi. Seandainya gue punya waktu yang lebih banyak, mungkin gue akan merasa jadi cewek paling beruntung bisa pacaran sama Aksa sampe nikah.” Mengatakan itu, hatinya serasa diremas. Air matanya mengalir kontras dengan apa yang ia rasakan.

Fera tak bisa berkata apapun selain memeluk Lengkara. Menyampaikan kasih dan sayang serta semangat yang ia miliki untuk Lengkara melalui dekapan.

..........

Hari kedua pelatihan, setelah kelas selesai Aksa langsung pergi ke GOR. Tadinya Aksa ingin menemui Lengkara, namun gadis itu mengabari bahwa ia masih ada kelas. Setelah mengganti pakaian casualnya dengan dobok, Aksa duduk di kursi samping lapang, menunggu teman-temannya yang belum datang. Di sini hanya ada Aksa dan beberapa anggota taekwondo yang hadir. Sementara yang lain dan pelatih belum datang.

“Hai, Sa.” Sapa seorang gadis. Aksa tersenyum.

“Eh Diana.”

Gadis yang bernama Diana itu duduk di samping Aksa. Diana adalah anggota taekwondo dengan sabuk merah. Gadis itu selalu disebut-sebut sebagai pasangan yang cocok untuk Aksa—sebelum Aksa akhirnya memantapkan hatinya kepada Lengkara. Sering kali pula orang-orang menjodohkan mereka supaya menjalin hubungan lebih dari teman biasa. Namun nampaknya hal itu tak membuat Aksa goyah. Pemuda itu tetap enggan dekat dengan perempuan. Diana yang memang sudah suka dari lama kepada Aksa sedikit kecewa, namun ia tak bisa melakukan apapun selain diam dan terus bersikap seperti biasa bahkan saat mendengar Lengkara kini telah berhasil mencuri hati Aksa.

Jangan sampai perasaannya merusak kedekatannya dengan Aksa. Sebab, Aksa tidak semudah itu untuk berbaur dengan lawan jenis.

“Lo kok gak turun tanding sih, Din? Sayang tahu udah sampai sabuk merah, gerakan bagus, dan udah ada perintah tanding dari pelatih, lo malah nolak.” Ucap Aksa.

“Lo tahu sendiri kan, Sa, gue bantu usaha keluarga. Kuliah sama latihan aja gue bolong-bolong, gimana nanti harus tanding? Gue gak ada waktu untuk latihan full selama sebulan dari siang sampe malem.” Jawab Diana.

Aksa manggut-manggut mengerti kondisi Diana. “Iya sih cuman sayang aja, apalagi kalau pelatih udah kasih perintah untuk tanding, berarti pelatih percaya sama lo kalau lo bisa.”

Diana menoleh, menatap Aksa dengan kepala miring. “Kalau gitu kenapa kita gak adu skill aja?”

Aksa menaikan satu alisnya disertai senyum, “Gue gak lawan perempuan, Din.”

Mendengar itu Diana tertawa kecil, “Ya ampun Aksa lo masih aja megang prinsip itu! Ini kan taekwondo, kalau lo di lapangan gak peduli lawan lo cowok atau cewek! Gue jadi ragu sama kemampuan lo, Sa.” Ujarnya dengan tatapan meremehkan.

Aksa berdiri, merasa tertantang dengan apa yang Diana katakan barusan. “Yaudah cepet pake dobok, gue ambil body.”

“Oke.”

.........

“Kar, mau ke mana? Pulang?” tanya Fera setelah kelas selesai.

“Gue mau ke GOR, nemuin Aksa.”

Fera menggerlingkan mata, “Ciyee sekarang udah punya cowok hobinya ngapel ya! Dulu lo ledek gue terus ‘pacaran mulu’, sekarang lo sendiri ngalamin.”

Lengkara tak bisa menahan salah tingkahnya. Ia mengulas senyum yang sebenarnya ingin ia tahan. “Diem lo! Semua akan punya pacar pada waktunya.”

“Bukan gitu kali, ‘semua akan luluh sama cowok ganteng pada waktunya’.” Kemudian Fera tertawa.

Lengkara menggeleng dengan kekehan kecilnya melihat tingkah laku Fera. “Apaan sih, Fer. Lo mau ikut gue gak? Bukannya nanti sore latihan ya?”

“Gue mau kumpul BEM dulu, sekarang kan masih jam 2 siang.”

“Yaudah gue duluan ya?”

Fera mengacungkan jempol. “Inget jangan mojok ya!” teriaknya membuat Lengkara melotot padanya.

“Sialan, Fer!”

Fera menggelakan tawa.

Sebelum ke GOR, Lengkara sengaja mampir ke kantin untuk membelikan Aksa air mineral dan beberapa cemilan untuknya agar tidak suntuk menunggu Aksa selesai latihan. Setelah bertransaksi dengan pemilik kantin, Lengkara melangkah dengan senyumnya menuju GOR. Hari ini dia nampak cantik dengan sweeter berwarna abu oversize yang dipadukan dengan celana kulot denim. Topi tak lepas dari kepalanya, menambah kesan casual yang membuatnya enak dipandang.

Baru saja memasuki GOR, Lengkara telah disuguhkan dengan pemandangan yang lantas membuatnya terpaku di tempat. Senyum sumir yang terlukis di wajahnya perlahan surut. Dilihatnya Aksa bersama Diana—kakak tingkatnya yang seangkatan dengan Aksa tengah melakukan sparing sembari tertawa. Hal yang membuat Lengkara merasa tertampar adalah ketika melihat tawa Aksa yang membuatnya menyadari bahwa bersamanya Aksa belum pernah terlihat demikian. Aksa terlihat sangat bahagia dan lepas. Pemuda itu seakan melupakan beban yang menumpuk di bahunya.

Alih-alih marah atau pergi ke luar GOR, Lengkara justru naik ke tribun dan duduk di sana. Melihat dengan seksama kebahagiaan yang terjadi di lapangan. Meski merasa sakit hati, namun Lengkara begitu tenang kala melihat tawa di wajah Aksa. Lantas banyak sekali tanya yang menyerang kepala Lengkara. Saling berpacu cepat demi sampai pada logika. Menuntut penjelasan pada diri Lengkara yang bahkan tak mampu menjawabnya.

Apa selama ini Aksa tersiksa bersamanya?

Apa selama ini Aksa tak bahagia bersamanya?

Apa hanya kesedihan yang Aksa rasakan dibalik senyum yang selalu ia tampilkan kepada Lengkara?

Lengkara menundukkan kepalanya. Ia tak menangis, hanya saja dadanya terasa sangat sesak. Ingin rasanya menjadi egois dan marah selayaknya gadis pada umumnya, namun Lengkara tak bisa melakukan hal demikian mengingat bahwa memang seharusnya Aksa mencari seseorang sebagai pengganti saat Lengkara tiada nanti.

“Eh eh berani ya nyerang cewek!” canda Diana, hal itu hanya untuk membuat Aksa mengalah dan kalah.

“Din, kata lo bilang tadi ketika di lapangan gak perlu peduliin lawan lo cewek atau cowok!” Aksa menggeleng tak paham, ia berkecak pinggang dengan nafas menderu. Melawan Diana yang terus mengecohkannya dengan ocehan demi ocehan, membuat Aksa kewalahan. Tidak hanya itu, pasalnya Aksa tak berani melawan perempuan, jadi Aksa hanya melakukan perlindungan daripada menyerang.

Diana tertawa, dia pun sama lelahnya. “Payah lo, Sa! Ayo dong lagi!”

“Udah dulu, pelatih belum dateng keburu cape nanti pas latihan.” Aksa melepas body yang ia pakai, kemudian mengedarkan pandangan mencari Lengkara, siapa tahu gadis itu sudah tiba. Dan benar saja, Aksa menemukan Lengkara yang tengah duduk di tribun dengan kepala menunduk. Meski begitu, Aksa cukup mengenali pakaian, topi dan tubuh mungil itu.

“Gue ke sana dulu ya?” kata Aksa kepada Diana.

Diana menyurutkan senyumnya berganti jadi ekspresi datar. Meski ia menerima Aksa dan Lengkara berpacaran, tetap saja melihat mereka berdua membuatnya sakit hati. “Oke.” Balasnya singkat.

Perlahan, Aksa menaiki tangga menuju tribun dan dari kejauhan memanggil Lengkara. Lengkara yang tengah merenung lantas mengangkat kepala dan tersenyum.

“Kamu kenapa?” tanya Aksa yang menyadari senyum Lengkara tak setulus biasanya. Seperti ada sesuatu yang tengah gadis itu sembunyikan.

“Aku? Gapapa. Kok kamu tanya gitu?”

“Beneran?”

Lengkara mengangguk cepat. Sekali lagi ia sumirkan senyum yang mengembang. Meyakinkan bahwa ia baik-baik saja kepada Aksa.

“Yaudah kalau gitu, tapi kalau ada apa-apa cerita ya? Jangan sampe kamu sembunyiin sesuatu dari aku.” Kata Aksa yang diangguki Lengkara. “Kamu daritadi di sini?” tanyanya.

“Oh baru aja kok. Tadi emang mata kuliahnya bikin pusing banget, pas keluar rasanya beuhhh lega banget. Emang deh ya mata kuliah bu Risma itu bikin sesak nafas.”

Aksa terkekeh melihat ekspresi Lengkara ketika membicarakan dosennya itu.

“Oiya ini aku bawain buat kamu.” Lengkara menyerahkan air mineral dan beberapa cemilan yang tadinya untuknya.

“Makasih, sayang.”

“Sama-sama.”

Aksa membuka tutup botol dan meneguk air mineral itu sampai tersisa setengah.

“Sa?”

“Hmm?”

“Aku hari ini ada janji sama dokter.”

Aksa mengerutkan keningnya. “Kok mendadak? Biasanya hari kamis kan?”

Lengkara mengedikan bahunya, dalam hati ia merasa bersalah jika harus berbohong kepada Aksa. Namun ia merasa harus melakukan ini. “Mungkin ada suatu hal yang mau dokter sampaikan.”

“Yaudah aku ganti baju dulu ya?”

“Sa,” Lengkara mencekal tangan Aksa yang hendak berdiri dan pergi untuk mengganti pakaian. “Aku bisa sendiri ke rumah sakitnya.”

“Gak, Kar, sama aku perginya.”

“Sa..” Lengkara memberikan tatapan penuh permohonan, berharap Aksa kali ini luluh.

“Kalau kamu kenapa-napa di jalan gimana?”

Lengkara menghela nafas dalam. Ia memikirkan cara agar Aksa tak ikut bersamanya yang padahal tidak akan ke mana-mana. “Jangan jadikan aku sebagai halangan untuk kamu meraih mimpi kamu, Aksa.”

Aksa menghela nafas, ia tangkup wajah cantik kekasihnya itu. “Kata siapa kamu jadi penghalang aku, Kar? Enggak kok. Bentar ya?”

“Sa!” Lengkara mencekal kembali tangan Aksa. Kini menahannya. “Aku bakal minta Fera buat anterin aku, kamu gak perlu khawatir ya?”

“Tapi—“

“Kamu di sini aja fokus latihan buat tanding nanti, oke? Kalau aku udah sampai ke rumah sakit dan kalau ada apa-apa pasti aku kabarin kamu.”

Aksa menghela nafas dalam. Sebenarnya ia tak mau melepas Lengkara begitu saja. Namun kala gadis itu mengatakan akan bersama Fera, Aksa sedikit lega. Kekhawatirannya lebur dan berakhir dengan persetujuan. Pemuda itu mengelus kepala Lengkara, “Hati-hati, ya? Inget jangan lupa kabarin.” Pesannya.

Lengkara mengangguk. “Iya siap.”

“Kalau perlu apapun hubungi aku.”

“Iya Aksa.”

“Inget ya?”

Lengkara tertawa kecil. “Iya Aksa sayangggggg.”

Aksa terkekeh dan merasa senang kala mendengar Lengkara mengatakan itu. Lalu ia berdiri, menggandeng tangan Lengkara dan mengantarkan gadis itu ke parkiran. Namun Lengkara menolak dan meminta untuk diantarkan sampai ke pintu GOR saja. Kebetulan pelatih datang, membuat Aksa tak bisa menolak permintaan Lengkara.

“Semangat latihannya.” Lengkara menepuk lengan bahu Aksa.

Aksa mengangguk. “Hati-hati ya pokoknya.”

“Iya, Aksa.” Kemudian Lengkara berbalik, tapi Aksa memanggilnya. “Kenapa lagi?”

“Pamitnya gitu aja?”

Mengerti dengan apa yang Aksa maksud, Lengkara mengatakan, “Kara sayang Aksa.”

Aksa terkekeh, salah tingkah. “Aksa sayang Kara.”

Lengkara berbalik disertai senyumnya yang menyurut. Menjauh dari Aksa yang masih menatapnya dengan senyuman. Menyampaikan segala bentuk doa melalui tatapan. Hingga gadis itu menghilang dibalik tikungan.

Lengkara memejamkan mata. Gadis itu berhenti melangkah dan menghela nafas beratnya. Ia cemburu, namun bersamaan dengan rasa itu, ada ketenangan yang terpatri. Ia tak perlu lagi khawatir Aksa akan kesepian kala tak lagi bersamanya. Meski sebenarnya Lengkara ingin berlaku layaknya perempuan pada umumnya. Hari berikutnya Aksa masih bercengkrama dengan Diana saat latihan berlangsung. Mereka berdua seperti patner dekat yang selalu mengiringi tawa ditiap tendangan yang dilayangkan pada target. Lengkara yang menatapnya dari kejauhan semakin yakin bahwa Diana pantas menjadi orang yang Aksa cintai.

Dilihatnya botol air mineral untuk Aksa. Ada desiran perih dalam hatinya. Lengkara yang tadinya hendak menemui Aksa seperti biasa, berbalik dan keluar dari GOR. Setetes air mata membasahi pipinya, mengiringi langkah yang semakin naik menelusuri anak tangga. Kini ia sampai di tempat biasa ia menghamburkan gundah, melepas lara dan menikmati sejuknya udara. Rooftop yang jadi tempat perbincangan demi perbincangan indah dengan Aksa, kini menjadi tempatnya lagi untuk berduka.

Ia tangisi kondisi dirinya yang tak bisa berlaku semestinya. Lengkara hanya bisa pasrah dan diam. Menelan bulat-bulat takdir yang hinggap dalam hidupnya. Mengikuti alur waktu yang semakin menipis, dan rotasinya yang semakin mendesak dada. Pengap, perih, sakit. Itu yang Lengkara rasakan. Deretan mimpi, momen, rencana, yang ingin ia lakukan dan rasakan hanya jadi sebuah kenangan yang tak akan pernah terwujud. Bahkan bersama Aksa, hanya bisa ia rasakan di waktu yang singkat. Pemuda itu hanya menemani disisa waktu terakhir. Tak selamanya, tak sampai menua.

Lengkara hanya bisa menangis dengan duduk di atas pembatas rooftop. Helaian rambutnya tersapu angin, seakan semesta tengah menenangkan sang gadis yang tengah gundah gulana. Mencoba menyemangatinya lewat udara sejuk.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Never Let Me Down
506      384     2     
Short Story
Bisakah kita memutar waktu? Bisakah kita mengulang semua kenangan kita? Aku rindu dengan KITA
IDENTITAS
711      486     3     
Short Story
Sosoknya sangat kuat, positif dan merupakan tipeku. Tapi, aku tak bisa membiarkannya masuk dan mengambilku. Aku masih tidak rela menjangkaunya dan membiarkan dirinya mengendalikanku.
DocDetec
587      361     1     
Mystery
Bagi Arin Tarim, hidup hanya memiliki satu tujuan: menjadi seorang dokter. Identitas dirinya sepenuhnya terpaku pada mimpi itu. Namun, sebuah tragedi menghancurkan harapannya, membuatnya harus menerima kenyataan pahit bahwa cita-citanya tak lagi mungkin terwujud. Dunia Arin terasa runtuh, dan sebagai akibatnya, ia mengundurkan diri dari klub biologi dua minggu sebelum pameran penting penelitian y...
Bukan kepribadian ganda
9658      1873     5     
Romance
Saat seseorang berada di titik terendah dalam hidupnya, mengasingkan bukan cara yang tepat untuk bertindak. Maka, duduklah disampingnya, tepuklah pelan bahunya, usaplah dengan lembut pugunggungnya saat dalam pelukan, meski hanya sekejap saja. Kau akan terkenang dalam hidupnya. (70 % TRUE STORY, 30 % FIKSI)
THROUGH YOU
1346      855     14     
Short Story
Sometimes beautiful things are not seen; but felt.
Shane's Story
2602      1016     1     
Romance
Shane memulai kehidupan barunya dengan mengubur masalalunya dalam-dalam dan berusaha menyembunyikannya dari semua orang, termasuk Sea. Dan ketika masalalunya mulai datang menghadangnya ditengah jalan, apa yang akan dilakukannya? apakah dia akan lari lagi?
Sampai Kau Jadi Miliku
1738      810     0     
Romance
Ini cerita tentang para penghuni SMA Citra Buana dalam mengejar apa yang mereka inginkan. Tidak hanya tentang asmara tentunya, namun juga cita-cita, kebanggaan, persahabatan, dan keluarga. Rena terjebak di antara dua pangeran sekolah, Al terjebak dalam kesakitan masa lalu nya, Rama terjebak dalam dirinya yang sekarang, Beny terjebak dalam cinta sepihak, Melly terjebak dalam prinsipnya, Karina ...
A Slice of Love
299      252     2     
Romance
Kanaya.Pelayan cafe yang lihai dalam membuat cake,dengan kesederhanaannya berhasil merebut hati seorang pelanggan kue.Banyu Pradipta,seorang yang entah bagaimana bisa memiliki rasa pada gadis itu.
My SECRETary
572      367     1     
Romance
Bagi Bintang, menjadi sekretaris umum a.k sekum untuk Damar berarti terus berada di sampingnya, awalnya. Tapi sebutan sekum yang kini berarti selingkuhan ketum justru diam-diam membuat Bintang tersipu. Mungkinkah bunga-bunga yang sama juga tumbuh di hati Damar? Bintang jelas ingin tahu itu!
Take It Or Leave It
6382      2041     2     
Romance
"Saya sadar...." Reyhan menarik napasnya sejenak, sungguh ia tidak menginginkan ini terjadi. "Untuk saat ini, saya memang belum bisa membuktikan keseriusan saya, Sya. Tapi, apa boleh saya meminta satu hal?" Reyhan diam, sengaja menggantungkan ucapannya, ia ingin mendengar suara gadis yang saat ini akhirnya bersedia bicara dengannya. Namun tak ada jawaban dari seberang sana, Aisyah sepertinya masi...