Read More >>"> AKSARA (Persahabatan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - AKSARA
MENU
About Us  

Satu pekan kemudian Aksa mulai dihadapkan dengan latihan untuk menghadapi kejuaraan taekwondo yang akan diselenggarakan bulan depan. Dengan didampingi beberapa dewan pelatih, Aksa kini berada di ruangan luas khusus taekwondo beserta rekan-rekannya yang juga akan tanding. Ada pula Novan, Galen dan Sagara di sana. Untuk Agam, tadinya ia akan ikut turun tanding, namun karena pertandingan bertepatan dengan olimpiade matematika yang ia ikuti, ia akhirnya tidak jadi ikut tanding.

Pertandingan dibagi menjadi 2 macam, yakni kyorugi atau pertarungan adalah gerakan yang mengaplikasikan teknik dasar atau poomse, dimana dua orang yang bertarung saling mempraktikkan teknik serangan dan teknik pertahanan kaki. Dan yang kedua yaitu poomsae, poomsae adalah gerakan-gerakan kombinasi yang dirancang untuk berlatih tanpa instruktur, dengan menggunakan dasar kinerja yang tetap dari menyerang dan bertahan. Ada banyak mahasiswa reguler maupun non reguler yang ikut serta dalam perlombaan ini. Untuk poomsae dominan oleh mahasiswi. Sementara kyorugi dominan oleh mahasiswa.

Saat ini Aksa beserta yang lain telah berbaris rapih dengan memakai dobok masing-masing. Mereka terlihat gagah dan berkarisma. Terutama Aksa yang memang memiliki tubuh yang lebih tinggi besar dengan otot-otot yang membuatnya terlihat atletis dari yang lain. Hal yang menjadi salah satu kenapa Aksa banyak digemari banyak perempuan di kampusnya. Namun sayang, hanya Lengkara lah yang beruntung memiliki Aksa—cinta pertamanya.

“Kita akan menghadapi para atlet-atlet nasional yang tentunya lebih unggul kyorugi dan poomsae-nya. Untuk itu saya harap kalian serius berlatih selama satu bulan penuh ini untuk pertandingan bulan depan. Mungkin memang cukup singkat dengan latihan ekstra yang hanya satu bulan ini, namun saya yakin, sebelum adanya pertandingan pun kalian sudah berlatih keras dalam latihan rutinan. Sekarang kalian pemanasan terlebih dahulu, setelah itu kita akan melakukan tendangan menggunakan target. Sebelum itu apa ada yang mau ditanyakan?” ujar dewan pelatih.

“Siap tidak!” jawab semuanya serentak.

“Baik kalau begitu, langsung saja mulai! Charyeot, kyong rye!” pelatih memberikan penghormatan dengan membungkukan setengah badan, diikuti dengan para anggota taekwondo yang juga memberi hormat. Kemudian semua anggota memulai pemanasan sesuai instruksi asisten pelatih.

Di lorong kampus, Lengkara berjalan menuju GOR. Gadis yang kini memakai kacamata dan memutuskan untuk selalu memakai topi dengan rambut dikepang kuda, terlihat berbeda dari biasanya. Lengkara sebenarnya sedih dengan rambut yang semakin menipis dan tubuhnya yang semakin kurus, namun Lengkara mencoba menerima dan menikmati proses pengobatan.

Tidak hanya itu, alasannya memakai topi adalah untuk menutupi bagian kepalanya yang botak pasca operasi. Setelah istirahatnya selama beberapa hari, akhirnya Lengkara bisa kembali ke kampus. Dosen dan hampir sebagian mahasiswa mengetahui penyakitnya, berulang kali Lengkara mendapat doa dan sebuah pelukan dari teman-temannya saat berpapasan di lorong. Sebenarnya Lengkara tidak menyukai hal ini, ia tak ingin dipandang lemah oleh orang-orang. Namun apa daya, semua orang sudah tahu dan Lengkara harus menghargai perhatian yang mereka berikan dalam bentuk doa dan pelukan.

Datang kemari Lengkara tidak mengabari terlebih dahulu Aksa. Gadis itu sengaja untuk memberikan kejutan kepada Aksa atas kehadirannya di tribun GOR nanti. Ia sudah membayangkan bagaimana ekspresi Aksa saat menemukan Lengkara di sana. Gadis itu pun tak lupa untuk membelikan Aksa minum dan membawakannya makanan yang ia masak sendiri di rumah sebelum ke kampus.

Memasuki GOR olahraga, Lengkara mengutas senyum dan berdecak kagum melihat Aksa yang begitu serius berlatih di tengah lapang bersama yang lainnya. Tak menyesal ia dulu diam-diam menyukai Aksa jauh sebelum Aksa menyadarinya bahwa mereka satu organisasi. Kemudian Lengkara melangkah menaiki tangga menuju tribun bagian tengah agar dapat melihat Aksa dengan jelas dari arah dekat. Lengkara sama sekali tak lepas senyum dan pandang dari Aksa yang berada di bawah.

“Ganteng banget sih pacar gue.” Gumamnya. Lalu Lengkara merogoh sakunya untuk mengambil ponsel, memotret dan merekam Aksa yang tengah berlatih kemudian Lengkara posting di akun sosial medianya dengan memberi tag ke akun sosial media Aksa.

Bersamaan dengan itu, rasa sakit di kepalanya kembali muncul. Tangannya refleks memegang kepala, merasakan nyeri yang luar biasa. Lantas dengan tertatih, Lengkara menuruni tangga menuju toilet. Ia tak ingin Aksa atau siapapun tahu bahwa Lengkara tengah kesakitan. Berulang kali Lengkara tak sengaja menabrak tong sampah dan tihang karena ia berjalan tanpa melihat dan sempoyongan. Fokusnya teralihkan oleh rasa sakit yang membabi buta dalam kepala, bahkan sampai air matanya mengalir karena tak kuasa menahannya.

Memasuki toilet yang berada di luar GOR, Lengkara memilih bilik yang kosong lalu menguncinya dari dalam. Ia kemudian duduk di atas toilet dan merintih kesakitan. Menangis sembari menahan isakan agar tidak terdengar orang.

Dengan gemetar disertai keringat yang membasahi wajahnya yang telah memucat, Lengkara mengambil obat dalam tas yang selalu ia bawa. Namun karena tangannya yang gemetar itu membuat obat jatuh ke lantai. Bukannya memungut obat-obat itu, Lengkara malah menangis dan menangkup wajahnya dengan tangan. Ia tak sanggup dengan apa yang ia alami dan rasakan sekarang. Ingin rasanya Lengkara bisa sembuh, namun apa daya bila penyakit mematikan ini semakin membuatnya tersiksa. Ia menekan kepalanya berharap rasa sakit itu hilang meski yang ia lakukan adalah percuma. Sebab rasa sakit itu belum hilang sama sekali.

Tanpa Lengkara ketahui, Fera yang kebetulan ada di samping bilik toiletnya mendengar tangisan itu. Panik, segera Fera keluar dan menggedor  bilik toilet yang Lengkara tempati. Membuat Lengkara terkesiap dan mengangkat kepala, memasang pendengaran dengan tajam dan memastikan bahwa suara yang ia dengar tidak salah—pemilik suara itu adalah Fera.

“Lengkara buka pintunya! Please, Kar!” Fera terus menggedor-gedor pintu. Jantungnya berdegup begitu kencang. Ia takut terjadi sesuatu yang buruk dengan Lengkara.

Lengkara masih termangu dengan apa yang ia dengar. Ia masih tak percaya jika itu adalah Fera. Padahal jelas-jelas gadis itu selama ini membenci dirinya bahkan tak ingin bertemu dengannya. Hingga hal itu membawanya jauh ke masa lalu, dimana Fera dan dirinya masih bersahabat dekat. Menariknya masuk ke masa-masa indah diantarkan oleh rasa sakit yang masih hinggap dalam kepala, diiringi mata yang perlahan terpejam. Lengkara tak sadarkan diri.

“Kara, please! Are u okay?” suara Fera terdengar putus asa bercampur cemas, namun Lengkara tak kunjung menjawab. Tak punya pilihan, Fera merusak kenop pintu dengan batu yang ia ambil terlebih dahulu dari luar. Saat berhasil, Fera membuka pintu dan mendapati Lengkara yang sudah tak sadarkan diri dengan wajah  yang pucat pasi. Belum lagi obat-obat yang berserakan di kakinya.

“Kara! Ya ampun!” dipeluknya Lengkara diiringi tangis dan jantung yang berdegup dua kali lebih cepat. “Kar! Bangun, Kar!” lalu Fera ke luar untuk mencari bantuan. Ia meminta tolong kepada para mahasiswa yang kebetulan tengah berada berkumpul tak jauh dari toilet.

Membawa Lengkara menuju UKS, Fera bingung harus melakukan apa. Ia begitu panik sampai dia tak bisa berpikir jernih. Digenggam erat tangan Lengkara, terus menangis dan memohon pada Lengkara untuk segera bangun. Kemudian baru terpikirkan kalau ia harus menghubungi orangtua Lengkara, namun saat hendak memijit nomor bunda, tangan Lengkara balik menggenggam tangan Fera.

“Jangan, Fer.” Ujarnya begitu lemah dengan mata yang masih terpejam.

“Lo gak apa-apa, Kar?!”

Dengan mata yang masih terpejam Lengkara menganggukan kepalanya. “Jangan bikin mereka khawatir, gue gak apa-apa kok. Sakit di kepala gue udah hilang.”

“Bener, Kar?”

Lengkara mengangguk lemah. “Makasih ya?”

Alih-alih membalas ucapan terima kasih Lengkara, Fera malah menangis dan menenggelamkan wajahnya di kasur. Merasa bodoh karena tak mengetahui dan tak menyadari bahwa sahabatnya itu sakit. Jika saja Fera menyadari sedari dulu, mungkin ia akan selalu mendampingi Lengkara dalam keadaan apapun. Meski sebetulnya di sini Fera tidak salah sepenuhnya, hal ini juga disebabkan oleh Lengkara yang menggunakan cara yang salah walaupun sebelumnya ia berpikir apa yang ia lakukan untuk orang-orang terkasihnya itu benar.

“Maafin gue, Kar, gue gak nyadar kalau lo selama ini sakit.” Ujarnya disela tangis yang juga memancing Lengkara untuk ikut dalam tangisnya.

Perlahan Lengkara merubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Memegang bahu Fera membuat gadis itu kini duduk tegak menghadapnya, kemudian Lengkara menarik Fera dalam pelukan. Keduanya sama-sama menangis, menumpahkan rindu, rasa sesal dan syukur secara bersamaan.

“Lo gak salah, Fer. Justru gue yang salah, seharusnya gue gak ngelakuin hal yang bikin lo benci sama gue. Maaf, Fer, maaf. Waktu itu gue gak bisa berpikir jernih sampe ngelakuin hal bodoh ke lo.”

Fera makin mengeratkan pelukannya. Dia tak bisa mengatakan apapun lagi selain menangis dan menangis. Dalam hati ia berdoa, berharap Allah memberikan kesempatan untuk Lengkara menapaki dunia lebih lama dan melenyapkan penyakit mematikan yang kini menyiksa sahabatnya itu. Ia tak rela jika harus melihat Lengkara kesakitan.

“Gue belum mati ya ampun, kenapa lo nangis sebegitunya?” Lengkara terkekeh. Ia terus berupaya menenangkan Fera yang belum juga reda dari tangisnya. “Aw! Sakit Fera!” tegur Lengkara saat Fera memukul lengannya.

“Lo masih bercanda dalam keadaan lo yang udah kayak gini?” omelnya tak habis pikir dengan gadis yang ada di hadapannya ini.

“Gitu aja marah, gue yang sakit aja santai, Fer.” Lengkara masih mengelus-ngelus lengannya yang tadi dipukul Fera.

“Di saat yang lain khawatir lo malah kayak gini?!” cecarnya lagi.

Alih-alih tersinggung, Lengkara justru tersenyum. Ia merasa Fera telah kembali menjadi sahabatnya. Gadis yang selalu marah ketika Lengkara melakukan kesalahan meski kecil ini telah kembali kepada kehidupannya setelah 1 tahun lebih mereka tidak dekat.

“Nah sekarang lo senyum-senyum sendiri!”

Lengkara menarik kembali Fera ke dalam pelukan, memberikan tepukan pelan yang menyampaikan ribuan kasih sayang yang ia punya untuk sahabatnya ini. “Makasih udah kembali ke gue, Fer. Maaf kalau gue selalu nyakitin lo.”

Fera membalas pelukan itu. “Seharusnya lo gak bohong sama gue, Kar. Lo gak perlu nyembunyiin banyak hal dari gue, kita kan janji kalau gak akan pernah ada rahasia di antara kita?”

Lengkara mengangguk, ia merasa bersalah. “Maafin gue, Fer.”

“Jangan lagi ya? Mulai sekarang apapun keadaan lo, seberat apapun itu, walaupun ada hal gak penting yang menurut lo gak perlu orang lain tahu, tetep lo harus terbuka sama gue.” Fera melepas pelukan itu, memegang kedua lengan bahu Lengkara, sedikit menengadah karena posisi Lengkara ada di brankar, sementara ia di kursi. “Kita sahabat, Kar, selamanya kita sahabat.”

Lengkara mengangguk setuju, air matanya kembali mengalir menyirat syukur yang terus berseru dalam hati. Akhirnya masalah terakhir berhasil ia selesaikan setelah berdamai dengan dirinya sendiri dan keluarganya. Kini tugas Lengkara hanya mengikuti segala pengobatan, membahagiakan keluarga, Aksa dan Fera. Hanya itu, sebelum Sang Pencipta alam semesta memanggilnya untuk pulang.

.........

Lengkara kembali ke GOR pada sore hari setelah ia menghabiskan waktu dengan berbincang bersama Fera. Di GOR kegiatan latihan masih berlangsung. Para calon atlet terlihat sangat kelelahan namun tekad untuk menang tak membuat mereka goyah. Nampak jelas semangat yang membara pada diri mereka masing-masing. Lengkara tersenyum getir, jauh sebelum penyakit ini ada, ia bercita-cita untuk menjadi atlet taekwondo.

Kembali ke tempat di mana tadi ia duduk, ia melihat kotak makannya sudah tak ada isinya. Ia terkejut, takut ada seseorang yang memakannya. Lengkara berdecak dan menggerutu pada seseorang yang berani memakan masakan yang seharusnya untuk Aksa ini. Di waktu yang sama seseorang menutup matanya dengan tangan, membuat Lengkara gelagapan dan berusaha menjauhkan tangan itu dari matanya. Namun kala dia mendengar suara yang ia kenali, Lengkara mengulas senyum lebar.

“Aksa..”

Aksa menjauhkan tangannya dan beralih merangkul gadis itu setelah duduk. “Kamu ke sini gak bilang-bilang.”

“Kan biar surprise! Tapi..” Lengkara menekukkan wajahnya saat memperlihatkan kotak makan yang ia bawa telah kosong. “Aku tadinya masakin buat kamu, terus aku ke luar dulu ketemu Fera, pas aku balik lagi ke sini kotak makannya udah kosong. Gak tahu siapa yang makan, maaf ya, Sa?”

Alih-alih terkejut dan sedih, Aksa malah mencium sekilas pipi gadisnya itu. “Itu aku yang makan.”

“Serius? Tapi kok kamu tahu—“

“Gimana aku gak tahu kalau di atas kotak makan itu ada catatan ‘Untuk Aksa, semangat latihannya!’”

“Siapa tahu itu tulisan dari cewek-cewek yang suka sama kamu kan?”

Aksa terkekeh pelan, mencubit hidung gadis itu gemas. “Ya kali aku gak kenal sama tulisan pacar aku sendiri?”

Lengkara menunduk, menyembunyikan rona merah yang terpampang jelas di wajahnya. Aksa melihat itu dan mencubit gemas pipi kanan Lengkara sampai gadis itu meringis dan balik memukul Aksa.

“Kamu emang suka banget ya cubit-cubit bagian muka aku!” protes Lengkara. Aksa malah tertawa.

“Habis kamu gemes banget. Eh iya, dari kapan kamu di sini?” tanya Aksa.

“Aku datang pagi, cuman tadi keluar dulu karena..” Lengkara tak ingin Aksa tahu bahwa alasan ia keluar dari GOR yaitu rasa sakit di kepalanya kembali kambuh dan ia berlari ke toilet. “Aku tadi mau ketemu Fera.”

“Kalian udah baikan?”

Lengkara mengangguk penuh antusias, senyumnya kembali mengembang. “Udah, tadi kami sempet ngobrol banyak banget. Aku seneng banget akhirnya bisa sahabatan lagi sama Fera.”

Aksa ikut senang mendengar itu, lantas dielusnya rambut Lengkara. “Selamat untuk damainya persahabatan kalian. Jangan musuh-musuhan lagi ya? Mending musuhan sama si Saga, biar kalau kamu kesel tinggal tendang.” Ujarnya menunjuk Sagara, saat pemuda itu hendak turun ke lapangan.

“Apa? Gue?” Sagara menunjuk dirinya sendiri dengan cengo.

Melihat itu membuat Lengkara tertawa, ekspresi Sagara begitu menggelitik perutnya.

“Iya lo, bau badan!” balas Aksa semena-mena

Sagara berdecak, melempar handuk kecilnya kepada Aksa yang langsung ditangkap Aksa. “Sembarangan! Badan gue sewangi bunga kantil!”

“Dih horor!” kata Lengkara disela tawanya.

“Sa?”

“Hmm?”

“Enggak tahu kenapa setiap aku ke sini aku selalu inget setiap momen yang pernah kita lalui, seperti pertama kali aku lihat kamu yang lagi beresin target dan alat-alat lain, saat kamu jadi asisten pelatih dan ngelatih aku, dan saat kamu nyuruh aku berhenti lari keliling lapangan malam-malam. Semua itu kayak sebuah film yang berputar di kepala aku, ngingetin masa-masa dimana dulu aku sama kamu. Padahal kita cuman dua orang yang gak saling kenal sampai akhirnya semesta mempersatukan kita dalam sebuah ikatan.” Tuturnya dengan pandangan menerawang. Mengingat itu semua, Lengkara begitu rindu.

Aksa tersenyum simpul, hatinya terasa berbunga mendengar penuturan Lengkara.

“Dan hal itu pula yang membuat aku bersyukur punya kamu, Sa. Semesta menghadiahkan kamu yang udah lebih dari segalanya buat aku. Aku gak butuh apa-apa lagi, Sa. Karena aku udah punya kamu.” Lanjut Lengkara dengan tatapan yang begitu tulus pada Aksa.

Aksa mengelus rambut Lengkara, menanggapi masih dengan senyum yang terpatri. Ia pun sebegitu bersyukurnya memiliki Lengkara. Gadis yang hebat dan luar biasa baginya. “Aksa sayang Kara.” Ujarnya, mereka tak lepas pandang.

“Kara sayang Aksa.”

“Mau ikut gak?”

“Ke mana? Emangnya udah selesai latihannya? Ini kan masih jam 5 sore, bukannya sampe malem ya?”

Aksa berdiri, ia terkekeh pelan. “Bawel banget sih. Sama pelatih di kasih waktu istirahat satu jam, jadi aku mau manfaatin itu buat ajak kamu ke suatu tempat.”

“Ke mana?”

“Udah ikut aja.”

Lengkara menahan diri sampai Aksa menoleh karena gadis yang digandengnya itu tak mengikutinya. “Kamu masa mau pake oblong sama celana dobok? Gak ganti dulu?”

“Iya kan aku mau ganti dulu,” Aksa mendekat menggerlingkan mata genitnya. “Dianterin kamu ke toiletnya.” Candanya membuat Lengkara refleks memukul lengan Aksa.

“Dasar!”

Aksa terkekeh, kemudian ia mengejar Lengkara yang telah berjalan mendahuluinya. Saat berjalan ke parkiran, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Aksa refleks menarik Lengkara untuk berteduh di gajebo, namun gadis itu malah sengaja hujan-hujanan.

“Kar, sini!” teriak Aksa membelah suara derasnya hujan.

Lengkara merentangkan tangannya, tersenyum dan berputar seakan tengah menikmati hujan yang turun dari langit. “Gak mau!”

“Ya ampun.” Aksa terpaksa menerobos hujan untuk menjemput Lengkara, namun gadis itu menahan dirinya kala Aksa menarik Lengkara. “Kamu kenapa sih suka banget hujan-hujanan, nanti kamu sakit!” omel Aksa, ia terlalu khawatir dengan kesehatan Lengkara, terutama Lengkara kini memang tengah sakit. Ia tak mau terjadi apapun dengan Lengkara.

“Aku pengen ngerasain air hujan seakan besok aku gak bisa ngerasainnya lagi.” ujar Lengkara. Aksa tertegun mendengarnya. “Dari dulu hujan tuh kayak sahabat aku, dia selalu ada, dia selalu menenangkan dan dia selalu menawarkan ketentraman buat aku. Alasan aku kenapa suka hujan-hujanan kalau lagi terpuruk.” Lengkara tersenyum getir.

“Kar, tapi—“

Lengkara menangkup wajah Aksa. “Sa, aku mau diperlakukan selayaknya manusia yang sehat. Jangan pandang aku dengan tatapan itu. Aku gak suka, Sa. Aku tahu kamu khawatir, gak mau aku kenapa-napa, tapi apa perlu kamu setiap waktu begitu ke aku, seakan kamu hanya kasihan, bukan sayang sama aku?”

Aksa menghela nafasnya, kini mereka berdua telah basah kuyup di bawah hujan yang deras.

“Sesuai saran kamu, aku udah menerima takdir yang Allah berikan ke aku. Dan sekarang aku ingin menikmati waktu-waktu yang tersisa. Jangan halangin aku, Sa. Aku tahu mana yang baik dan buruk buat aku. Kamu cuman harus nemenin aku ke mana pun dan selalu ada di samping aku. Itu aja, Sa.” Lanjut Lengkara.

Aksa akhirnya mengangguk menyetujui permintaan Lengkara. Meski tersirat dalam hatinya ia begitu khawatir dengan kondisi Lengkara dan takut apa yang ia lakukan kini berdampak seperti kejadian di masa lalu. Namun saat menatap wajah Lengkara, entah mengapa Aksa melemah. Seakan tatapan itu membungkam keegoisan Aksa dan mempersilahkan diri Lengkara untuk menguasainya.

Lengkara merasa senang, ditariknya Aksa dan mereka berputar di tengah hujan. Menari-nari seakan ada musik yang mengiringi. Dan sesekali tertawa dengan keusilan masing-masing. Tak ada beban di pundak keduanya kini. Beban itu seakan memberi kesempatan untuk keduanya mengukir kenangan indah sederhana dengan langit yang tak henti meruntuhkan airnya.

........

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Gloomy
528      337     0     
Short Story
Ketika itu, ada cerita tentang prajurit surga. Kisah soal penghianatan dari sosok ksatria Tuhan.
Perahu Waktu
360      240     1     
Short Story
Ketika waktu mengajari tentang bagaimana hidup diantara kubangan sebuah rindu. Maka perahu kehidupanku akan mengajari akan sabar untuk menghempas sebuah kata yang bernama rindu
AUNTUMN GARDENIA
104      90     1     
Romance
Tahun ini, dia tidak datang lagi. Apa yang sedang dia lakukan? Apa yang sedang dia pikirkan? Apakah dia sedang kesulitan? Sweater hangat berwarna coklat muda bermotif rusa putih yang Eliza Vjeshte kenakan tidak mampu menahan dinginnya sore hari ini. Dengan tampang putus asa ia mengeluarkan kamera polaroid yang ada di dalam tasnya, kemudian menaiki jembatan Triste di atas kolam ikan berukura...
fall
3840      1159     3     
Romance
Renata bertemu dua saudara kembar yang mampu memporak-porandakan hidupnya. yang satu hangat dengan segala sikap manis yang amat dirindukan Renata dalam hidupnya. satu lagi, dingin dengan segudang perhatian yang tidak pernah Renata ketahui. dan dia Juga yang selalu bisa menangkap renata ketika jatuh. apakah ia akan selamanya mendekap Renata kapanpun ia akan jatuh?
Lost in Drama
1690      643     4     
Romance
"Drama itu hanya untuk perempuan, ceritanya terlalu manis dan terkesan dibuat-buat." Ujar seorang pemuda yang menatap cuek seorang gadis yang tengah bertolak pinggang di dekatnya itu. Si gadis mendengus. "Kau berkata begitu karena iri pada pemeran utama laki-laki yang lebih daripadamu." "Jangan berkata sembarangan." "Memang benar, kau tidak bisa berb...
Secret World
3041      996     6     
Romance
Rain's Town Academy. Sebuah sekolah di kawasan Rain's Town kota yang tak begitu dikenal. Hanya beberapa penduduk lokal, dan sedikit pindahan dari luar kota yang mau bersekolah disana. Membosankan. Tidak menarik. Dan beberapa pembullyan muncul disekolah yang tak begitu digemari. Hanya ada hela nafas, dan kehidupan monoton para siswa kota hujan. Namun bagaimana jika keadaan itu berputar denga...
Iblis Merah
8045      2214     2     
Fantasy
Gandi adalah seorang anak yang berasal dari keturunan terkutuk, akibat kutukan tersebut seluruh keluarga gandi mendapatkan kekuatan supranatural. hal itu membuat seluruh keluarganya dapat melihat makhluk gaib dan bahkan melakukan kontak dengan mereka. tapi suatu hari datang sesosok bayangan hitam yang sangat kuat yang membunuh seluruh keluarga gandi tanpa belas kasihan. gandi berhasil selamat dal...
Baret,Karena Ialah Kita Bersatu
675      395     0     
Short Story
Ini adalah sebuah kisah yang menceritakan perjuangan Kartika dan Damar untuk menjadi abdi negara yang memberi mereka kesempatan untuk mengenakan baret kebanggaan dan idaman banyak orang.Setelah memutuskan untuk menjalani kehidupan masing - masing,mereka kembali di pertemukan oleh takdir melalui kesatuan yang kemudian juga menyatukan mereka kembali.Karena baret itulah,mereka bersatu.
karena Aku Punya Papa
436      312     0     
Short Story
Anugrah cinta terindah yang pertama kali aku temukan. aku dapatkan dari seorang lelaki terhebatku, PAPA.
Summer Whispering Steam
1336      687     0     
Romance
Mereka menyebutnya Nagisano Shizuka, sebuah kedai kopi yang berlokasi di garis pantai Okinawa, Jepang, permata tersembunyi di tepian Samudera Pasifik yang menawarkan tempat peristirahatan sempurna dari hiruk-pikuk duniawi. Perpaduan sempurna antara estetika tradisional Jepang dan suasana pantai membuatnya dikenal sebagai “Mimpi Panjang di Musim Panas Semesta.” Seorang Manajer bernama Yuki ...