Satu pekan kemudian
Aksa mulai dihadapkan dengan latihan untuk menghadapi kejuaraan taekwondo yang
akan diselenggarakan bulan depan. Dengan didampingi beberapa dewan pelatih,
Aksa kini berada di ruangan luas khusus taekwondo beserta rekan-rekannya yang
juga akan tanding. Ada pula Novan, Galen dan Sagara di sana. Untuk Agam,
tadinya ia akan ikut turun tanding, namun karena pertandingan bertepatan dengan
olimpiade matematika yang ia ikuti, ia akhirnya tidak jadi ikut tanding.
Pertandingan dibagi
menjadi 2 macam, yakni kyorugi atau pertarungan adalah gerakan yang mengaplikasikan
teknik dasar atau poomse, dimana dua orang yang bertarung saling mempraktikkan
teknik serangan dan teknik pertahanan kaki. Dan yang kedua yaitu poomsae,
poomsae adalah gerakan-gerakan kombinasi yang dirancang untuk berlatih tanpa
instruktur, dengan menggunakan dasar kinerja yang tetap dari menyerang dan
bertahan. Ada banyak mahasiswa reguler maupun non reguler yang ikut serta dalam
perlombaan ini. Untuk poomsae dominan oleh mahasiswi. Sementara kyorugi dominan
oleh mahasiswa.
Saat ini Aksa beserta
yang lain telah berbaris rapih dengan memakai dobok masing-masing. Mereka
terlihat gagah dan berkarisma. Terutama Aksa yang memang memiliki tubuh yang
lebih tinggi besar dengan otot-otot yang membuatnya terlihat atletis dari yang
lain. Hal yang menjadi salah satu kenapa Aksa banyak digemari banyak perempuan
di kampusnya. Namun sayang, hanya Lengkara lah yang beruntung memiliki
Aksa—cinta pertamanya.
“Kita akan menghadapi
para atlet-atlet nasional yang tentunya lebih unggul kyorugi dan poomsae-nya.
Untuk itu saya harap kalian serius berlatih selama satu bulan penuh ini untuk
pertandingan bulan depan. Mungkin memang cukup singkat dengan latihan ekstra
yang hanya satu bulan ini, namun saya yakin, sebelum adanya pertandingan pun
kalian sudah berlatih keras dalam latihan rutinan. Sekarang kalian pemanasan
terlebih dahulu, setelah itu kita akan melakukan tendangan menggunakan target.
Sebelum itu apa ada yang mau ditanyakan?” ujar dewan pelatih.
“Siap tidak!” jawab
semuanya serentak.
“Baik kalau begitu,
langsung saja mulai! Charyeot, kyong rye!”
pelatih memberikan penghormatan dengan membungkukan setengah badan, diikuti
dengan para anggota taekwondo yang juga memberi hormat. Kemudian semua anggota
memulai pemanasan sesuai instruksi asisten pelatih.
Di lorong kampus,
Lengkara berjalan menuju GOR. Gadis yang kini memakai kacamata dan memutuskan
untuk selalu memakai topi dengan rambut dikepang kuda, terlihat berbeda dari
biasanya. Lengkara sebenarnya sedih dengan rambut yang semakin menipis dan
tubuhnya yang semakin kurus, namun Lengkara mencoba menerima dan menikmati
proses pengobatan.
Tidak hanya itu,
alasannya memakai topi adalah untuk menutupi bagian kepalanya yang botak pasca
operasi. Setelah istirahatnya selama beberapa hari, akhirnya Lengkara bisa
kembali ke kampus. Dosen dan hampir sebagian mahasiswa mengetahui penyakitnya,
berulang kali Lengkara mendapat doa dan sebuah pelukan dari teman-temannya saat
berpapasan di lorong. Sebenarnya Lengkara tidak menyukai hal ini, ia tak ingin
dipandang lemah oleh orang-orang. Namun apa daya, semua orang sudah tahu dan
Lengkara harus menghargai perhatian yang mereka berikan dalam bentuk doa dan
pelukan.
Datang kemari Lengkara
tidak mengabari terlebih dahulu Aksa. Gadis itu sengaja untuk memberikan
kejutan kepada Aksa atas kehadirannya di tribun GOR nanti. Ia sudah
membayangkan bagaimana ekspresi Aksa saat menemukan Lengkara di sana. Gadis itu
pun tak lupa untuk membelikan Aksa minum dan membawakannya makanan yang ia
masak sendiri di rumah sebelum ke kampus.
Memasuki GOR olahraga,
Lengkara mengutas senyum dan berdecak kagum melihat Aksa yang begitu serius
berlatih di tengah lapang bersama yang lainnya. Tak menyesal ia dulu diam-diam
menyukai Aksa jauh sebelum Aksa menyadarinya bahwa mereka satu organisasi. Kemudian
Lengkara melangkah menaiki tangga menuju tribun bagian tengah agar dapat
melihat Aksa dengan jelas dari arah dekat. Lengkara sama sekali tak lepas
senyum dan pandang dari Aksa yang berada di bawah.
“Ganteng banget sih
pacar gue.” Gumamnya. Lalu Lengkara merogoh sakunya untuk mengambil ponsel,
memotret dan merekam Aksa yang tengah berlatih kemudian Lengkara posting di
akun sosial medianya dengan memberi tag ke akun sosial media Aksa.
Bersamaan dengan itu,
rasa sakit di kepalanya kembali muncul. Tangannya refleks memegang kepala,
merasakan nyeri yang luar biasa. Lantas dengan tertatih, Lengkara menuruni
tangga menuju toilet. Ia tak ingin Aksa atau siapapun tahu bahwa Lengkara
tengah kesakitan. Berulang kali Lengkara tak sengaja menabrak tong sampah dan tihang
karena ia berjalan tanpa melihat dan sempoyongan. Fokusnya teralihkan oleh rasa
sakit yang membabi buta dalam kepala, bahkan sampai air matanya mengalir karena
tak kuasa menahannya.
Memasuki toilet yang
berada di luar GOR, Lengkara memilih bilik yang kosong lalu menguncinya dari
dalam. Ia kemudian duduk di atas toilet dan merintih kesakitan. Menangis
sembari menahan isakan agar tidak terdengar orang.
Dengan gemetar disertai
keringat yang membasahi wajahnya yang telah memucat, Lengkara mengambil obat
dalam tas yang selalu ia bawa. Namun karena tangannya yang gemetar itu membuat
obat jatuh ke lantai. Bukannya memungut obat-obat itu, Lengkara malah menangis
dan menangkup wajahnya dengan tangan. Ia tak sanggup dengan apa yang ia alami
dan rasakan sekarang. Ingin rasanya Lengkara bisa sembuh, namun apa daya bila
penyakit mematikan ini semakin membuatnya tersiksa. Ia menekan kepalanya
berharap rasa sakit itu hilang meski yang ia lakukan adalah percuma. Sebab rasa
sakit itu belum hilang sama sekali.
Tanpa Lengkara ketahui,
Fera yang kebetulan ada di samping bilik toiletnya mendengar tangisan itu.
Panik, segera Fera keluar dan menggedor
bilik toilet yang Lengkara tempati. Membuat Lengkara terkesiap dan
mengangkat kepala, memasang pendengaran dengan tajam dan memastikan bahwa suara
yang ia dengar tidak salah—pemilik suara itu adalah Fera.
“Lengkara buka
pintunya! Please, Kar!” Fera terus
menggedor-gedor pintu. Jantungnya berdegup begitu kencang. Ia takut terjadi
sesuatu yang buruk dengan Lengkara.
Lengkara masih termangu
dengan apa yang ia dengar. Ia masih tak percaya jika itu adalah Fera. Padahal
jelas-jelas gadis itu selama ini membenci dirinya bahkan tak ingin bertemu
dengannya. Hingga hal itu membawanya jauh ke masa lalu, dimana Fera dan dirinya
masih bersahabat dekat. Menariknya masuk ke masa-masa indah diantarkan oleh
rasa sakit yang masih hinggap dalam kepala, diiringi mata yang perlahan
terpejam. Lengkara tak sadarkan diri.
“Kara, please! Are u okay?” suara Fera terdengar putus asa bercampur cemas, namun
Lengkara tak kunjung menjawab. Tak punya pilihan, Fera merusak kenop pintu
dengan batu yang ia ambil terlebih dahulu dari luar. Saat berhasil, Fera
membuka pintu dan mendapati Lengkara yang sudah tak sadarkan diri dengan
wajah yang pucat pasi. Belum lagi
obat-obat yang berserakan di kakinya.
“Kara! Ya ampun!”
dipeluknya Lengkara diiringi tangis dan jantung yang berdegup dua kali lebih
cepat. “Kar! Bangun, Kar!” lalu Fera ke luar untuk mencari bantuan. Ia meminta
tolong kepada para mahasiswa yang kebetulan tengah berada berkumpul tak jauh
dari toilet.
Membawa Lengkara menuju
UKS, Fera bingung harus melakukan apa. Ia begitu panik sampai dia tak bisa
berpikir jernih. Digenggam erat tangan Lengkara, terus menangis dan memohon
pada Lengkara untuk segera bangun. Kemudian baru terpikirkan kalau ia harus
menghubungi orangtua Lengkara, namun saat hendak memijit nomor bunda, tangan
Lengkara balik menggenggam tangan Fera.
“Jangan, Fer.” Ujarnya
begitu lemah dengan mata yang masih terpejam.
“Lo gak apa-apa, Kar?!”
Dengan mata yang masih
terpejam Lengkara menganggukan kepalanya. “Jangan bikin mereka khawatir, gue
gak apa-apa kok. Sakit di kepala gue udah hilang.”
“Bener, Kar?”
Lengkara mengangguk
lemah. “Makasih ya?”
Alih-alih membalas
ucapan terima kasih Lengkara, Fera malah menangis dan menenggelamkan wajahnya
di kasur. Merasa bodoh karena tak mengetahui dan tak menyadari bahwa sahabatnya
itu sakit. Jika saja Fera menyadari sedari dulu, mungkin ia akan selalu
mendampingi Lengkara dalam keadaan apapun. Meski sebetulnya di sini Fera tidak
salah sepenuhnya, hal ini juga disebabkan oleh Lengkara yang menggunakan cara
yang salah walaupun sebelumnya ia berpikir apa yang ia lakukan untuk
orang-orang terkasihnya itu benar.
“Maafin gue, Kar, gue
gak nyadar kalau lo selama ini sakit.” Ujarnya disela tangis yang juga
memancing Lengkara untuk ikut dalam tangisnya.
Perlahan Lengkara
merubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Memegang bahu Fera membuat gadis
itu kini duduk tegak menghadapnya, kemudian Lengkara menarik Fera dalam
pelukan. Keduanya sama-sama menangis, menumpahkan rindu, rasa sesal dan syukur
secara bersamaan.
“Lo gak salah, Fer.
Justru gue yang salah, seharusnya gue gak ngelakuin hal yang bikin lo benci sama
gue. Maaf, Fer, maaf. Waktu itu gue gak bisa berpikir jernih sampe ngelakuin
hal bodoh ke lo.”
Fera makin mengeratkan
pelukannya. Dia tak bisa mengatakan apapun lagi selain menangis dan menangis.
Dalam hati ia berdoa, berharap Allah memberikan kesempatan untuk Lengkara
menapaki dunia lebih lama dan melenyapkan penyakit mematikan yang kini menyiksa
sahabatnya itu. Ia tak rela jika harus melihat Lengkara kesakitan.
“Gue belum mati ya
ampun, kenapa lo nangis sebegitunya?” Lengkara terkekeh. Ia terus berupaya
menenangkan Fera yang belum juga reda dari tangisnya. “Aw! Sakit Fera!” tegur
Lengkara saat Fera memukul lengannya.
“Lo masih bercanda
dalam keadaan lo yang udah kayak gini?” omelnya tak habis pikir dengan gadis
yang ada di hadapannya ini.
“Gitu aja marah, gue
yang sakit aja santai, Fer.” Lengkara masih mengelus-ngelus lengannya yang tadi
dipukul Fera.
“Di saat yang lain
khawatir lo malah kayak gini?!” cecarnya lagi.
Alih-alih tersinggung,
Lengkara justru tersenyum. Ia merasa Fera telah kembali menjadi sahabatnya.
Gadis yang selalu marah ketika Lengkara melakukan kesalahan meski kecil ini
telah kembali kepada kehidupannya setelah 1 tahun lebih mereka tidak dekat.
“Nah sekarang lo
senyum-senyum sendiri!”
Lengkara menarik
kembali Fera ke dalam pelukan, memberikan tepukan pelan yang menyampaikan
ribuan kasih sayang yang ia punya untuk sahabatnya ini. “Makasih udah kembali
ke gue, Fer. Maaf kalau gue selalu nyakitin lo.”
Fera membalas pelukan
itu. “Seharusnya lo gak bohong sama gue, Kar. Lo gak perlu nyembunyiin banyak
hal dari gue, kita kan janji kalau gak akan pernah ada rahasia di antara kita?”
Lengkara mengangguk, ia
merasa bersalah. “Maafin gue, Fer.”
“Jangan lagi ya? Mulai
sekarang apapun keadaan lo, seberat apapun itu, walaupun ada hal gak penting
yang menurut lo gak perlu orang lain tahu, tetep lo harus terbuka sama gue.”
Fera melepas pelukan itu, memegang kedua lengan bahu Lengkara, sedikit
menengadah karena posisi Lengkara ada di brankar, sementara ia di kursi. “Kita
sahabat, Kar, selamanya kita sahabat.”
Lengkara mengangguk
setuju, air matanya kembali mengalir menyirat syukur yang terus berseru dalam
hati. Akhirnya masalah terakhir berhasil ia selesaikan setelah berdamai dengan
dirinya sendiri dan keluarganya. Kini tugas Lengkara hanya mengikuti segala
pengobatan, membahagiakan keluarga, Aksa dan Fera. Hanya itu, sebelum Sang
Pencipta alam semesta memanggilnya untuk pulang.
.........
Lengkara kembali ke GOR
pada sore hari setelah ia menghabiskan waktu dengan berbincang bersama Fera. Di
GOR kegiatan latihan masih berlangsung. Para calon atlet terlihat sangat
kelelahan namun tekad untuk menang tak membuat mereka goyah. Nampak jelas
semangat yang membara pada diri mereka masing-masing. Lengkara tersenyum getir,
jauh sebelum penyakit ini ada, ia bercita-cita untuk menjadi atlet taekwondo.
Kembali ke tempat di mana
tadi ia duduk, ia melihat kotak makannya sudah tak ada isinya. Ia terkejut,
takut ada seseorang yang memakannya. Lengkara berdecak dan menggerutu pada
seseorang yang berani memakan masakan yang seharusnya untuk Aksa ini. Di waktu
yang sama seseorang menutup matanya dengan tangan, membuat Lengkara gelagapan
dan berusaha menjauhkan tangan itu dari matanya. Namun kala dia mendengar suara
yang ia kenali, Lengkara mengulas senyum lebar.
“Aksa..”
Aksa menjauhkan
tangannya dan beralih merangkul gadis itu setelah duduk. “Kamu ke sini gak
bilang-bilang.”
“Kan biar surprise! Tapi..” Lengkara menekukkan
wajahnya saat memperlihatkan kotak makan yang ia bawa telah kosong. “Aku
tadinya masakin buat kamu, terus aku ke luar dulu ketemu Fera, pas aku balik
lagi ke sini kotak makannya udah kosong. Gak tahu siapa yang makan, maaf ya,
Sa?”
Alih-alih terkejut dan
sedih, Aksa malah mencium sekilas pipi gadisnya itu. “Itu aku yang makan.”
“Serius? Tapi kok kamu
tahu—“
“Gimana aku gak tahu
kalau di atas kotak makan itu ada catatan ‘Untuk Aksa, semangat latihannya!’”
“Siapa tahu itu tulisan
dari cewek-cewek yang suka sama kamu kan?”
Aksa terkekeh pelan,
mencubit hidung gadis itu gemas. “Ya kali aku gak kenal sama tulisan pacar aku
sendiri?”
Lengkara menunduk,
menyembunyikan rona merah yang terpampang jelas di wajahnya. Aksa melihat itu
dan mencubit gemas pipi kanan Lengkara sampai gadis itu meringis dan balik
memukul Aksa.
“Kamu emang suka banget
ya cubit-cubit bagian muka aku!” protes Lengkara. Aksa malah tertawa.
“Habis kamu gemes
banget. Eh iya, dari kapan kamu di sini?” tanya Aksa.
“Aku datang pagi, cuman
tadi keluar dulu karena..” Lengkara tak ingin Aksa tahu bahwa alasan ia keluar
dari GOR yaitu rasa sakit di kepalanya kembali kambuh dan ia berlari ke toilet.
“Aku tadi mau ketemu Fera.”
“Kalian udah baikan?”
Lengkara mengangguk
penuh antusias, senyumnya kembali mengembang. “Udah, tadi kami sempet ngobrol
banyak banget. Aku seneng banget akhirnya bisa sahabatan lagi sama Fera.”
Aksa ikut senang
mendengar itu, lantas dielusnya rambut Lengkara. “Selamat untuk damainya
persahabatan kalian. Jangan musuh-musuhan lagi ya? Mending musuhan sama si
Saga, biar kalau kamu kesel tinggal tendang.” Ujarnya menunjuk Sagara, saat
pemuda itu hendak turun ke lapangan.
“Apa? Gue?” Sagara
menunjuk dirinya sendiri dengan cengo.
Melihat itu membuat
Lengkara tertawa, ekspresi Sagara begitu menggelitik perutnya.
“Iya lo, bau badan!” balas
Aksa semena-mena
Sagara berdecak,
melempar handuk kecilnya kepada Aksa yang langsung ditangkap Aksa.
“Sembarangan! Badan gue sewangi bunga kantil!”
“Dih horor!” kata
Lengkara disela tawanya.
“Sa?”
“Hmm?”
“Enggak tahu kenapa
setiap aku ke sini aku selalu inget setiap momen yang pernah kita lalui,
seperti pertama kali aku lihat kamu yang lagi beresin target dan alat-alat
lain, saat kamu jadi asisten pelatih dan ngelatih aku, dan saat kamu nyuruh aku
berhenti lari keliling lapangan malam-malam. Semua itu kayak sebuah film yang
berputar di kepala aku, ngingetin masa-masa dimana dulu aku sama kamu. Padahal
kita cuman dua orang yang gak saling kenal sampai akhirnya semesta
mempersatukan kita dalam sebuah ikatan.” Tuturnya dengan pandangan menerawang.
Mengingat itu semua, Lengkara begitu rindu.
Aksa tersenyum simpul,
hatinya terasa berbunga mendengar penuturan Lengkara.
“Dan hal itu pula yang
membuat aku bersyukur punya kamu, Sa. Semesta menghadiahkan kamu yang udah
lebih dari segalanya buat aku. Aku gak butuh apa-apa lagi, Sa. Karena aku udah
punya kamu.” Lanjut Lengkara dengan tatapan yang begitu tulus pada Aksa.
Aksa mengelus rambut
Lengkara, menanggapi masih dengan senyum yang terpatri. Ia pun sebegitu
bersyukurnya memiliki Lengkara. Gadis yang hebat dan luar biasa baginya. “Aksa
sayang Kara.” Ujarnya, mereka tak lepas pandang.
“Kara sayang Aksa.”
“Mau ikut gak?”
“Ke mana? Emangnya udah
selesai latihannya? Ini kan masih jam 5 sore, bukannya sampe malem ya?”
Aksa berdiri, ia
terkekeh pelan. “Bawel banget sih. Sama pelatih di kasih waktu istirahat satu
jam, jadi aku mau manfaatin itu buat ajak kamu ke suatu tempat.”
“Ke mana?”
“Udah ikut aja.”
Lengkara menahan diri
sampai Aksa menoleh karena gadis yang digandengnya itu tak mengikutinya. “Kamu
masa mau pake oblong sama celana dobok? Gak ganti dulu?”
“Iya kan aku mau ganti
dulu,” Aksa mendekat menggerlingkan mata genitnya. “Dianterin kamu ke
toiletnya.” Candanya membuat Lengkara refleks memukul lengan Aksa.
“Dasar!”
Aksa terkekeh, kemudian
ia mengejar Lengkara yang telah berjalan mendahuluinya. Saat berjalan ke
parkiran, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Aksa refleks menarik Lengkara
untuk berteduh di gajebo, namun gadis itu malah sengaja hujan-hujanan.
“Kar, sini!” teriak
Aksa membelah suara derasnya hujan.
Lengkara merentangkan
tangannya, tersenyum dan berputar seakan tengah menikmati hujan yang turun dari
langit. “Gak mau!”
“Ya ampun.” Aksa
terpaksa menerobos hujan untuk menjemput Lengkara, namun gadis itu menahan
dirinya kala Aksa menarik Lengkara. “Kamu kenapa sih suka banget hujan-hujanan,
nanti kamu sakit!” omel Aksa, ia terlalu khawatir dengan kesehatan Lengkara,
terutama Lengkara kini memang tengah sakit. Ia tak mau terjadi apapun dengan
Lengkara.
“Aku pengen ngerasain
air hujan seakan besok aku gak bisa ngerasainnya lagi.” ujar Lengkara. Aksa
tertegun mendengarnya. “Dari dulu hujan tuh kayak sahabat aku, dia selalu ada,
dia selalu menenangkan dan dia selalu menawarkan ketentraman buat aku. Alasan
aku kenapa suka hujan-hujanan kalau lagi terpuruk.” Lengkara tersenyum getir.
“Kar, tapi—“
Lengkara menangkup
wajah Aksa. “Sa, aku mau diperlakukan selayaknya manusia yang sehat. Jangan
pandang aku dengan tatapan itu. Aku gak suka, Sa. Aku tahu kamu khawatir, gak
mau aku kenapa-napa, tapi apa perlu kamu setiap waktu begitu ke aku, seakan
kamu hanya kasihan, bukan sayang sama aku?”
Aksa menghela nafasnya,
kini mereka berdua telah basah kuyup di bawah hujan yang deras.
“Sesuai saran kamu, aku
udah menerima takdir yang Allah berikan ke aku. Dan sekarang aku ingin
menikmati waktu-waktu yang tersisa. Jangan halangin aku, Sa. Aku tahu mana yang
baik dan buruk buat aku. Kamu cuman harus nemenin aku ke mana pun dan selalu
ada di samping aku. Itu aja, Sa.” Lanjut Lengkara.
Aksa akhirnya
mengangguk menyetujui permintaan Lengkara. Meski tersirat dalam hatinya ia
begitu khawatir dengan kondisi Lengkara dan takut apa yang ia lakukan kini
berdampak seperti kejadian di masa lalu. Namun saat menatap wajah Lengkara, entah
mengapa Aksa melemah. Seakan tatapan itu membungkam keegoisan Aksa dan
mempersilahkan diri Lengkara untuk menguasainya.
Lengkara merasa senang,
ditariknya Aksa dan mereka berputar di tengah hujan. Menari-nari seakan ada
musik yang mengiringi. Dan sesekali tertawa dengan keusilan masing-masing. Tak
ada beban di pundak keduanya kini. Beban itu seakan memberi kesempatan untuk
keduanya mengukir kenangan indah sederhana dengan langit yang tak henti
meruntuhkan airnya.
........