Read More >>"> AKSARA (Kita Sama-sama Takut) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - AKSARA
MENU
About Us  

Aku seharusnya menyadari sedari awal, jika semesta mengirimkannya padaku sebagai bentuk jawaban atas doa-doa yang kupanjatkan di sepertiga malam. Ia hadir bagai sinar mentari yang diseludupkan Tuhan ke dalam ruangan pengap nan gelap yang selama ini aku tinggali seorang diri. Senyumnya yang meneduhkan, menghempaskan segala lara yang mendekap dalam dada. Tatapannya yang tulus, membawa serta diriku ke dalam bahagia yang ia janjikan dan ciptakan dengan cara sederhananya. Caranya memperlakukanku, membuatku lupa akan keresahan yang bersemrawut dalam nurani. Aku terbuai dalam rasa yang begitu luar biasa. Dalam waktu singkat, aku dibuat jatuh dan terjebak pada ruang di hatinya. Di antara titik rasa bimbang yang tak berujung, dia datang sebagai penyelamat yang kutunggu sedari dulu.

“Hai, kamu cantik banget hari ini.” Aksa menyambut Lengkara yang baru saja muncul di balik pagar. Pemuda berpakaian hitam santai yang dipadukan dengan celana jeans serta sepatu kets, terlihat begitu mempesona dan tampan.

Namun entah suka atau duka yang kurasa. Tatkala bersamaan dengan itu semesta mengingatkanku dengan kematian. Aku dibuat buntu dan termangu dalam satu waktu. Haruskah aku menyirat luka yang begitu menyakitkan suatu hari nanti karena takdir pada Aksa? Haruskah aku biarkan diriku dan dirinya terjebak dalam cinta yang seharusnya tak pernah terjadi adanya? Haruskah aku bertindak sejahat ini untuk membiarkan dirinya memilikiku padahal suatu hari nanti aku pergi darinya?

“Kita mau ke mana hari ini?” tanya Lengkara. Gadis itu memakai dress hitam polkadot selutut yang mengekspos kaki indahnya. Juga rambut coklat yang ia biarkan tergerai begitu saja. Penampilan Lengkara hari ini sempat membuat Aksa terpaku beberapa detik.

“Ke tempat di mana kamu pasti bakal seneng.” Aksa merangkul, membukakan pintu mobil dan mempersilahkan Lengkara masuk.

Aku tak ingin menjadi egois. Namun rasa yang tumbuh dalam hati ini telah mengalahkan sukma. Menghancurkan segala bentuk pemikiran yang matang dalam kepala. Menjadikan hati sebagai arah tujuan utama. Bahwa yang harusnya didengar adalah suara hati, bukan logika yang selalu salah. Hingga aku hanya bisa berpasrah, berharap suatu hari nanti diriku maupun Aksa dapat menerima. Bahwa yang terjadi di antara aku dan dia sebatas kisah sesaat yang dikenang untuk selamanya. Aku dan dia, siap atas semua kemungkinan yang akan terjadi kedepannya.

“Kenapa kamu lihatin aku terus? Baru sadar ya cowok yang udah resmi jadi pacar kamu ini gantengnya melebihi Charlie Puth?” goda Aksa dengan sesekali melirik Lengkara yang duduk di sampingnya.

Lengkara tersenyum sumir, sendu tak ayal terpatri pada tatapannya. Gadis itu kembali melihat jalanan di balik jendela mobil yang tertutup. “Kenapa cowok seganteng kamu rela berjuang mati-matian untuk cewek kayak aku?” tanyanya pada semesta dan Aksa. Ia masih tak percaya bila seseorang seperti Aksa rela melakukan apapun sampai hal bodoh hanya untuk mencuri hatinya.

Aksa sekilas menoleh kepada Lengkara, ia tersenyum lebar karenanya. Diacak-acaknya rambut Lengkara dengan gemas. “Pertanyaannya bikin aku salah tingkah banget.”

“Apanya yang bikin salah tingkah?” Lengkara menautkan keningnya dengan tampang polos.

“Kamu bilang tadi ‘cowok seganteng kamu’ berarti kamu mengakui kalau aku ganteng?”

Selayaknya magnet, senyum Aksa menular padanya. “Kamu emang ganteng, Sa, dari dulu aku suka kamu.”

Pemuda itu sedikit terkejut dengan pernyataan Lengkara. “Dari kapan?” Aksa penasaran.

“Dari awal aku lihat kamu di zoom jadi panitia oprec. Tapi dulu cuman suka sesaat.”

“Sekarang?” Aksa memberi tatapan menggoda. Lalu ia kembali memerhatikan jalanan.

Lengkara menunduk dengan senyum salah tingkah. “Gak perlu ditanya.” Membuat Aksa ikut tersenyum penuh salah tingkah.

Setelah 30 menit melalui jalanan lenggang Bandung, mereka akhirnya sampai di pelataran parkir toko buku terbesar di sana. Lengkara sempat terperangah, mengetahui Aksa membawanya kemari. Senyum yang tadinya biasa saja kini lebar sampai memperlihatkan geligi putihnya. Gadis itu sangat antusias dan senang bila dibawa ke tempat seperti ini, gedung yang penuh dengan buku-buku. Dan saat itulah Aksa mulai menyadari bahwa debaran itu muncul kala menyaksikan kebahagiaan terpatri di wajah Lengkara. Debaran yang selalu ia nantikan  kala bersama Lengkara.

“Wah!” Lengkara tidak berhenti terperangah takjub ketika dirinya dan Aksa telah sepenuhnya masuk ke dalam toko buku. Saking senangnya, tanpa gadis itu sadari, ia menarik Aksa dan berlari kecil menghampiri buku-buku sesuai dengan genre yang selalu Lengkara baca. Aksa tentu tidak menolak, baginya ini kesempatan untuk membuat Lengkara bahagia. Sebab itulah tujuan Aksa sedari awal.

“Aku bingung pilih yang mana, bagus semua!” Lengkara menutup mulutnya sendiri. Ia terjebak dalam kebimbangan harus memilih buku yang mana untuk dibawa pulang.

“Ambil semuanya aja. Kalau perlu satu rak buku ini, kamu boleh ambil semua. Soal pembayaran, serahkan ke aku.” Ujar Aksa dengan penuh percaya diri. Ia menepuk-nepuk dadanya berlagak sombong.

Lengkara menatapnya tak percaya. “Sa?”

“Kamu gak perlu khawatir. Kalau kamu emang suka semuanya, ambil aja. Tapi sebentar, aku bawa keranjang bukunya dulu ya?”

Lengkara menatap Aksa yang melenggang pergi dengan keterkejutan yang masih hinggap pada dirinya. Sungguhkah Aksa akan membelikan semua buku yang ia suka? Apa tidak berlebihan?

“Kenapa masih diem aja?” tanya Aksa saat kembali dengan membawa keranjang. “Ayok cepet ambil buku-bukunya. Jangan pikirin soal pembayarannya pokonya mah, ya?”

“Sa, serius?”

Aksa mengelus rambut Lengkara dengan lembut. “Kar, mencintai kamu aja aku bisa serius, apalagi beli buku doang? Cepet pilih bukunya, biar aku yang bawain keranjangnya.”

30 buku berhasil masuk ke dalam dua keranjang yang Aksa bawa. Lengkara sempat ragu karena takut berlebihan dan kembali menyimpan buku-buku yang dipilihnya, namun Aksa malah mengambil kembali buku yang disimpan lagi oleh Lengkara ke rak. Sebab ia tak mau Lengkara melakukan itu. Aksa memang sengaja membawa Lengkara kemari untuk membeli banyak buku sepuas yang Lengkara inginkan. Maka ia tak rela jika Lengkara berupaya mengembalikan buku-buku pada rak. Setelah itu Aksa membawa Lengkara menuju kafe yang berada di Braga.

Memarkiran mobil, Aksa menggandeng Lengkara menuju kafe yang dia maksud. Kafe yang sering Aksa lihat dan lewati saat bermain ke Braga, namun belum sempat ia kunjungi. Dan kini bersama orang terkasihnya, ia akan mengunjungi tempat itu. Kafe itu menyediakan tempat yang langsung menghadap ke jalanan Braga yang dipenuhi kepadatan dan tatanan bangunan klasik. Membuat keduanya nampak menikmati sore menjelang malam dengan penuh antusias. Mereka bertukar cerita tentang apapun untuk saling mengenal satu sama lain. Sesekali menggelakan tawa kala Aksa melemparkan candaan yang menggelitik perutnya.

Dua insan itu terhanyut dalam cerita yang membawa mereka pada kisah-kisah lalu. Merekatkan keduanya dalam rasa yang semakin membara. Tanpa mereka sadari, setiap waktu kebersamaan membawa cinta itu pada rasa yang semakin dalam. Rasa takut kehilangan tak ayal terpatri pada keduanya. Bahagia pun telah mendekap setelah melewati duka yang begitu rumit. Aksa sendiri nampak senang dengan perjuangannya yang membuahkan hasil. Akhirnya ia mendapatkan hati Lengkara. Gadis yang begitu ia cintai dan sayangi. Dan Lengkara lupa pada rasa takut yang selama ini menghantuinya setiap waktu. Ia lupa bahwa dirinya terjebak dalam ranjau yang begitu sulit untuk ia lewati. Sekedar menghampiri orang-orang terkasihnya yang ada di seberang sana. Jauh dari Lengkara yang berusaha keluar dari jebakan.

Jadi, beginikah rasanya jatuh cinta?

.........

Keputusasaan yang seharusnya hanya Lengkara rasakan, ternyata dirasakan juga oleh seluruh keluarganya. Semenjak Lengkara diagnosa mengalami kanker otak itu, semua menjadi kacau. Ayah tak bisa fokus pada pekerjaannya, bunda selalu merasa resah setiap waktu, dan Kinara bahkan sampai mengundurkan hari pertunangannya bersama sang kekasih. Semua karena Lengkara yang keras kepala. Tak mau menjalani pengobatan sesuai anjuran dokter. Gadis itu masih kukuh pada pendiriannya sehingga membuat semua orang dalam rumah merasa buntu.

Sebenarnya Lengkara tak ingin hal ini terjadi. Ia ingin melihat keadaan keluarganya seperti biasa, bukan malah sekacau ini. Berat badan bunda bahkan menurun karena selalu terlambat makan dan terus memikirkan Lengkara. Melihat itu membuat Lengkara tersiksa dan tanpa sadar bahwa ia telah menyebabkan luka pada orang-orang terkasihnya bahkan sebelum Lengkara benar-benar pergi.

“Lengkara, kamu mau ke mana?”

“Mau keluar sebentar, bunda.” Lengkara hendak menyalami bunda, namun terhenti saat bunda bertanya—

“Kamu tahu hari ini hari apa?”

Lengkara menghela nafas. “Bun—“

“Lengkara, jangan percaya apa kata dokter. Dia bukan Tuhan yang seenaknya memperkirakan berapa lama kamu hidup. Ayok kita ke rumah sakit, nak, kita harus berusaha supaya kamu sembuh ya?” Bunda menarik tangan Lengkara, namun gadis itu menahan.

“Bun—“

“Jangan keras kepala Lengkara!” Kinara membentak. Wanita berusia 24 tahun itu datang dari bilik kamar. Begitu mendengar permohonan bunda, Kinara langsung keluar dari kamar. “Kita semua kayak gini karena mencemaskan kamu, Kara! Kalau kamu terus kayak gini, apa kamu bisa sembuh?”

“Pertanyaannya, apa iya aku bisa sembuh kak?” tanya Lengkara dengan mata yang berkaca-kaca. Pertanyaan itu bagai sebuah tombak yang langsung menancap di dada Kinara dan bunda, menyakitkan. Apalagi melihat ekspresi putus asa Lengkara. Gadis yang selama ini ceria, kini diliputi kesedihan yang berkepanjangan. Kinara, bunda, dan ayah tak ingin egois. Namun mereka melakukan ini untuk kesembuhan Lengkara.

“Kamu belum tahu hasilnya gimana Lengkara. Itu cuman pikiran kamu. Kamu bahkan pergi saat dokter baru mendiagnosis kamu memiliki penyakit itu, bahkan setelah itu kamu gak mau kontrol sama sekali untuk melihat perkembangan penyakit kamu. Gimana kamu mau tahu kalau kamu terus melarikan diri seperti ini? Sampai kapan, Lengkara? Sampai kapan kamu mau bikin semua jadi kacau begini?” omel Kinara panjang lebar. Ia menggelengkan kepala dan mengacak rambutnya frustasi. Ia buntu untuk sekedar mencari ide agar Lengkara menurut.

Lengkara menautkan kening, ia selangkah lebih maju mendekati kakaknya. “Aku bikin kekacauan? Kalau kakak ada di posisi aku, apa kakak akan santai dan senang-senang? Apa kakak akan tertawa dan bahagia ketika tahu kakak mengalami penyakit yang mengancam nyawa kakak dan menghancurkan mimpi-mimpi kakak?” air mata Lengkara tak berhenti mengalir. Dadanya terasa sesak seakan oksigen di ruangan ini hampir habis. “Kenapa pikiran kakak selama ini ke Lengkara gitu? Kakak, ayah dan bunda gak ngerasain apa yang aku rasain!”

PLAKKK!

Bunda terkesiap sampai menahan Kinara yang dikuasai oleh aramah. Juga dengan Lengkara yang merasakan pipinya yang kebas dengan jantung yang berdegup begitu kencang. Ia terkejut ketika untuk kali pertamanya sang kakak menamparnya seperti ini.

Mata Kinara memerah begitu juga dengan wajahnya yang diliputi amarah. “Kamu bilang kami gak ngerasain apa yang kamu rasain? Kamu ada diambang kematian Lengkara! Setiap hari kakak, ayah dan bunda mencari cara untuk kesembuhan kamu! Kakak bahkan ngajuin peminjaman ke bank supaya kamu bisa dirawat di luar negeri dengan pengobatan yang lebih baik! Tapi apa kata kamu tadi? Kami gak ngerasain apa yang kamu rasain?!”

Suasana semakin tegang. Ditambah dengan permohonan bunda kepada anak-anaknya untuk tidak melanjutkan perdebatan. “Kinar, sudah.” Bunda berupaya menenangkan. Bunda masih terisak. Namun dengan sisa tenaganya, bunda mencoba melerai pertengkaran kedua anaknya.

“Nggak, bun, ini sudah gak bisa ditoleran. Lengkara sudah keterlaluan.” Kinara kembali menatap nyalang Lengkara dengan mata yang memerah karena menangis. “Selama ini kamu berubah karena kamu terpuruk? Kamu kira kami semua senang karena penyakit itu? Kamu kira selama ini kakak, ayah dan bunda tenang-tenang aja? Kara, kamu gak sadar keadaan di rumah kita berubah semenjak kamu menjadi orang yang berbeda?!”

Lengkara semakin tenggelam dalam tangisnya. Perkataan demi perkataan Kinara seperti sebuah tamparan untuknya dan seperti sebuah tombak yang menusuk-nusuk dadanya secara berulang tanpa henti. Ia sadar jika dirinya salah. Niatnya untuk tak membuat orang terluka karena kehilangannya suatu hari nanti, malah dibuat terluka bahkan sebelum Lengkara benar-benar pergi.

Kinara memegang kedua lengan bahu Lengkara, menatap sang adik dengan tatapan sendu. “Kita semua berusaha untuk cari cara supaya kamu sembuh, Kara. Kita gak mau kehilangan kamu secepat itu. Kami semua tahu betul betapa terpuruknya kamu, tapi gak kayak gini caranya Lengkara. Kamu juga harus berusaha untuk sembuh.”

“Tapi Kara takut, kak.” Lengkara terisak. Gadis itu masih menundukkan kepalanya.

“Kamu harus bisa menghadapi rasa takut itu. Selain ada kakak, ayah dan bunda, ada Allah yang selalu bersama kita semua.”

Lengkara merasa malu, ia merasa jadi manusia paling bodoh di muka bumi. Tak seharusnya dia berbuat seperti itu. Melukai orang-orang yang ia cintai dengan cara seperti ini. Ia sadar akan perubahan suasana rumah yang ia sebabkan. Namun ia terlalu hanyut dalam kesedihan akan penyakit yang hadir dan menghancurkan segala mimpinya. Sampai ia lupa, bahwa keegoisan secara menyeluruh menguasai dirinya. Mengabaikan perjuangan orang-orang yang ia cintai terluka secara perlahan karenanya.

Kemudian tangan Kinara naik ke pipi Lengkara, mengangkat kepala sang adik secara perlahan dan menatap kedua matanya. “Kara, kamu harus percaya kalau keajaiban itu ada. Kamu harus yakin kalau kamu akan sembuh, ya? Sekarang yang kamu lakukan cuman nurut sama kakak, ayah dan bunda untuk melakukan pengobatan. Ya?”

Lengkara akhirnya mengangguk lemah. Membuat bunda dan Kinara bernafas lega. Kemudian mereka bertiga berpelukan, hanyut dalam tangis akan kerinduan yang selama ini tertahan sebab Lengkara yang selalu menghindar. Dalam peluk dan tangis yang terdengar itu, ada harapan pada jiwa-jiwa yang rapuh. Akan kesembuhan seorang Lengkara yang masih memiliki banyak mimpi yang belum terwujud. Berharap pada Sang Pencipta ada keajaiban tak terduga. Memberikan kesempatan untuk hambaNya menjalani hidup sebagai manusia di bumi ini.

.......

Menungggu beberapa puluh menit setelah menjalani check up bersama dokter spesialis, ketiganya duduk di ruang tunggu. Kinara tak henti-hentinya memberi semangat untuk Lengkara yang sebenarnya hanyut dalam kecemasan. Bunda pun tak henti memberikan sentuhan kasih sayang dengan hati yang kisruh. Sementara ayah, memberi pesan penuh doa dari jauh. Ayah tak bisa datang, sebab ada beberapa pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan.

Saat asisten dokter memanggil ketiganya untuk masuk, Lengkara memejamkan mata sesaat, berdoa pada Yang Kuasa untuk memberikannya sebuah kejutan yang menenangkan, bukan menyedihkan. Namun kala mendapati raut wajah dokter yang nampak tak sesuai harapan, rasa takut kembali menyeruak dalam diri Lengkara.

“Gimana dok?” tanya bunda tak sabar. Sementara Lengkara menunduk pasrah dengan tangan yang gemetar hebat di kursi bagian belakang Kinara dan bunda.

Sebelum berbicara dokter itu menghela nafas. Nampak sekali ia begitu berat untuk mengatakan hasil tes kepada mereka. Lengkara makin takut dibuatnya. “Kita cuman bisa berdoa pada Yang Kuasa untuk diberikan mukjizat.” Dokter menyerahkan surat hasil tes kepada bunda.

Segera bunda buka dengan tergesa-gesa. Dalam hati ia berharap Lengkara masih bisa diselamatkan, namun saat isi surat sudah terbaca, hanya tangis yang bisa mewakili. Bunda lantas memohon kepada dokter untuk membantunya memberikan pengobatan yang bagus kepada Lengkara demi kesembuhan anaknya itu. Namun dokter hanya memberikan harapan-harapan yang belum tentu bisa ia wujudkan untuk pasiennya.

“Kanker telah menyebar ke organ tubuh lainnya, kita tidak bisa mencegahnya lagi dan ini sudah menginjak stadium 3. Satu-satunya jalan adalah nona Lengkara harus menjalani kemoterapi.” Tutur dokter yang merasa kecewa karena tak bisa membantu menyembuhkan penyakit pasiennya.

Lengkara tersenyum tipis di antara air mata yang menitik. Ia sudah mengira bahwa akan menjadi seperti ini. Alasan mengapa dirinya tak ingin pergi kontrol ke rumah sakit untuk mengetahui perkembangan atau kesembuhan penyakitnya. Karena pasti tangis dan rasa tidak terima yang akan ia rasakan. Seperti saat ini, kala Kinara memeluknya erat, kala suara tangis bunda yang memecah ruangan, Lengkara hanya diam dengan pandangan kosong. Meski air matanya terus mengalir bak air terjun, gadis itu tak mau berkata-kata atau sekedar menjawab Kinara yang berulang kali memanggilnya. Yang dilihat Lengkara kini hanyalah kematian yang akan menjemputnya sebentar lagi. Dan semua mimpi-mimpi yang hancur luruh  bergabung dengan angin. Dibuatnya dengan penuh semangat, lalu dipatahkan oleh kematian yang akan datang.

Sesak di dadanya terus terasa, hingga panggilan kakaknya yang kelima menyadarkan Lengkara dari lamunan yang panjang. Gadis itu menatap sendu sang kakak, bergantian dengan bunda yang kini menangis di bahunya. Ia tak pernah mengira bahwa suatu hari nanti akan pergi lebih dulu dari mereka. Meninggalkan duka alih-alih suka. Menyiratkan luka dalam kerinduan yang tak akan pernah mampu Lengkara balas. Semua sudah kehendak Yang Kuasa. Manusia hanya berencana dan menjalani apa yang telah ditentukanNya. Lengkara pasrah atas segala kemungkinan yang akan datang. Meski sebenarnya ia merasa sedih dan terluka hebat.

........

Di antara duka yang tercipta hari ini, ada suka yang Aksa rencanakan sebaik mungkin. Sudah satu hari ini ia sengaja tak menghubungi Lengkara untuk sekedar menanyakan kabar. Rencananya, ia akan membuat kejutan kecil di hari ulang tahun kekasihnya itu yang ke 20. Dengan bantuan teman-temannya, Aksa telah menyiapkan segalanya. Mulai dari dekorasi ala dinner romantis, hadiah-hadiah sesuai kesukaan Lengkara, dan masakannya yang ia buat spesial. Ia ingin hari ini dikenang oleh Lengkara, menjadi hari terbaik selama hidupnya.

“Wah gila sih! Keren!” seru Sagara kala melihat hasil tangan mereka semua telah siap. Pemuda itu berdecak kagum sambil menggeleng-geleng. Sungguh melebihi ekspetasi dekorasi di hadapan mereka kini.

“Perjuangan 3 jam dekor, ini sih harus sesuai sama komisi yang kita dapet.” Novan menaikturunkan alisnya seraya menatap Aksa. Berharap Aksa peka dengan kode yang ia berikan.

“Tenang, masalah itu gampang. Pokoknya gue mau bikin cewek gue seneng dulu!” seru Aksa.

Agam menepuk-nepuk bahu Aksa. Ia merasa bangga sekaligus tak percaya dengan teman satunya ini. “Gue kira cowok kulkas 12 pintu kayak lo gak bisa romantis, ternyata gue salah, lo lebih bucin dan romantis dari kita semua.”

Aksa tersenyum simpul, ia pun merasa begitu. Padahal dulu dirinya sangat tidak suka dengan hal-hal yang menyusahkan dirinya sendiri. Tidak terlalu tertarik untuk mencari kekasih atau sampai berjuang habis-habisan seperti waktu itu ia berusaha untuk mendapatkan Lengkara.

Namun Lengkara membuatnya seromantis ini.

“Gue kalau jadi Lengkara, pasti merasa seneng banget. Mana ada cewek yang gak suka diginiin? Udah kayak film-film tahu gak!” ujar Galen mencak-mencak.

Aksa melihat jam tangannya, waktu telah menunjukkan pukul 8 malam. Kemudian ia meraih ponsel untuk menghubungi Lengkara. Sambil menunggu gadis itu menerima teleponnya, Aksa meminta teman-temannya untuk menjagakan tempat selama Aksa menjemput Lengkara. Namun saat Aksa telah masuk ke dalam mobilnya, Lengkara tak jua menerima panggilan.

“Kamu ke mana, Kar.” Gumamnya. Pemuda itu melajukan mobil untuk kemudian menjemput sang kekasih.

Ia mengira gadis itu mungkin telah tertidur atau sibuk membaca novel sampai tidak mendengar panggilannya. Sepanjang jalan, Aksa mengulas senyum. Ia salah tingkah sendiri membayangkan raut bahagia Lengkara nanti. Apalagi saat gadis itu memakai dress hitam elegan yang sengaja Aksa beli sesuai ukuran gadis itu. Malam di ulang tahun Lengkara ini akan menjadi sejarah terindah dalam hidupnya. Dan semoga untuk Lengkara juga.

Sampai di depan rumahnya, Aksa menekan bel berulang kali. Beberapa saat kemudian seorang pembantu rumah tangga membukakan pintu pagar.

“Lengkara-nya ada?” tanya Aksa.

“Gak ada, mas. Di dalam cuman ada tuan dan nyonya.”

Aksa mengerutkan keningnya. “Ibu tahu ke mana Lengkara?”

“Kurang tahu, mas. Perginya sudah 1 jam yang lalu.”

Aksa mulai cemas. “Sendirian?”

“Iya, mas.”

“Bawa kendaraan gak?”

Sejenak pembantu rumah tangga itu menoleh ke belakang, celingak-celinguk mencari kendaraan yang selalu dipakai Lengkara. “Kayaknya nggak, mas. Tuh motornya ada di sana.”

Perasaannya tidak enak, ia berfirasat bahwa terjadi sesuatu dengan Lengkara. Tak banyak pikir, Aksa masuk ke dalam mobilnya dan mulai mencari Lengkara menyusuri jalan Bandung.

“Kar, kamu ke mana sih? Aku khawatir.” Ujarnya sambil terus mencoba menghubungi Lengkara. Padahal Aksa tidak tahu, bahwa Lengkara sengaja meninggalkan ponselnya di kamarnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Our Different Way
3605      1517     0     
Romance
Novel ini mengisahkan tokoh utama bernama Haira, seorang siswa SMA berusia tujuh belas tahun yang baru saja rujuk kembali dengan pacarnya, Gian. Mereka berdua tentu senang karena bisa kembali merajut kasih setelah tidak pernah bertemu lebih dari setahun akibat putus. Namun, di tengah hubungan yang sedang hangat-hangatnya, mereka diterpa oleh permasalahan pelik yang tidak pernah mereka bayangk...
"Mereka" adalah Sebelah Sayap
420      300     1     
Short Story
Cinta adalah bahasan yang sangat luas dan kompleks, apakah itu pula yang menyebabkan sangat sulit untuk menemukanmu ? Tidak kah sekali saja kau berpihak kepadaku ?
Just For You
4118      1619     1     
Romance
Terima kasih karena kamu sudah membuat hidupku menjadi lebih berarti. (Revaldo) *** Mendapatkan hal yang kita inginkan memang tidak semudah membalik telapak tangan, mungkin itu yang dirasakan Valdo saat ingin mendapatkan hati seorang gadis cantik bernama Vero. Namun karena sesuatu membuatnya harus merelakan apa yang selama ini dia usahakan dan berhasil dia dapatkan dengan tidak mudah. karen...
The DARK SWEET
398      329     2     
Romance
°The love triangle of a love story between the mafia, secret agents and the FBI° VELOVE AGNIESZKA GOVYADINOV. Anggota secret agent yang terkenal badas dan tidak terkalahkan. Perempuan dingin dengan segala kelebihan; Taekwondo • Karate • Judo • Boxing. Namun, seperti kebanyakan gadis pada umumnya Velove juga memiliki kelemahan. Masa lalu. Satu kata yang cukup mampu melemahk...
Mysterious Call
439      283     2     
Short Story
Ratusan pangilan asing terus masuk ke ponsel Alexa. Kecurigaannya berlabuh pada keisengan Vivian cewek populer yang jadi sahabatnya. Dia tidak sadar yang dihadapinya jauh lebih gelap. Penjahat yang telah membunuh teman dekat di masa lalunya kini kembali mengincar nyawanya.
Sahabat Selamanya
1154      693     2     
Short Story
cerpen ini bercerita tentang sebuah persahabatan yang tidak ernah ada akhirnya walaupun mereka berpisah jauh
Kungfu boy
2288      886     2     
Action
Kepalanya sudah pusing penglihatannya sudah kabur, keringat sudah bercampur dengan merahnya darah. Dirinya tetap bertahan, dia harus menyelamatkan Kamalia, seniornya di tempat kungfu sekaligus teman sekelasnya di sekolah. "Lemah !" Musuh sudah mulai menyoraki Lee sembari melipat tangannya di dada dengan sombong. Lee sudah sampai di sini, apabila dirinya tidak bisa bertahan maka, dirinya a...
Seperti Cinta Zulaikha
1777      1151     3     
Short Story
Mencintaimu adalah seperti takdir yang terpisahkan. Tetapi tuhan kali ini membiarkan takdir itu mengalir membasah.
Snow White Reborn
564      315     6     
Short Story
Cover By : Suputri21 *** Konyol tapi nyata. Hanya karena tertimpa sebuah apel, Faylen Fanitama Dirga mengalami amnesia. Anehnya, hanya memori tentang Rafaza Putra Adam—lelaki yang mengaku sebagai tunangannya yang Faylen lupakan. Tak hanya itu, keanehan lainnya juga Faylen alami. Sosok wanita misterius dengan wajah mengerikan selalu menghantuinya terutama ketika dia melihat pantulannya di ce...
A Day With Sergio
1165      569     2     
Romance