Bukti bahwa Aksa mencintai Lengkara itu benar. Dengan bantuan teman-temannya, Aksa mulai kembali melancarkan aksinya untuk mendekati Lengkara. Berbagai upaya ia lakukan, mulai dari perhatian kecil sampai besar yang membuat semua orang tahu bahwa Aksa begitu mencintai Lengkara. Aksa tak pernah merasa canggung atau malu dengan memberikan perhatian lebih kepada Lengkara di depan umum. Salah satunya adalah memberikan minum kepada Lengkara setelah latihan taekwondo. Menjadi patner latihan meski bukan giliran Aksa melatih sabuk hijau. Dan menunggu gadis itu di depan GOR untuk pulang bersama. Serta hari ini di saat keempat temannya memberikan saran baru kepada Aksa yang merasa buntu.
“Sekarang kasihinnya?” tanya Aksa dengan tampang polosnya.
Sagara mendengus. “Yaiyalah ganteng! Masa harus nunggu dulu gue jadi sarjana? Ayok cepetan keburu Kara pergi!” pemuda itu terus berusaha mendorong Aksa untuk segera pergi menemui Lengkara.
“Tapi serius dia bakal suka ini? Bukannya coklat bikin gendut ya?”
Agam, Galen, Novan dan Sagara terlihat sangat geram terhadap Aksa. Namun mereka mewajarkan sebab Aksa baru kali pertama mendekati perempuan.
“Aksa ganteng, jangan banyak tanya. Kalau kita nyaranin A, berarti itu adalah saran yang tepat dan harus lo lakuin. Oke? Kalau nanya lagi kita berantem sekarang!” Agam berusaha menahan Galen yang sudah terlanjur gemas dengan Aksa. Meskipun itu sebenarnya pura-pura tapi tetap saja tampang polos Aksa cukup menyebalkan!
“Yaudah gue kasih.” Aksa melangkah ragu menuju rooftop, menghampiri Lengkara yang tengah merenung seorang diri di sana. Sementara teman-teman Aksa mengintip melalui celah pintu rooftop yang ditutup sedikit. Mereka berharap bahwa cara ini berhasil dan bisa meluluhkan hati Lengkara.
“Coklat segede gitu ya kali ditolak.” Gumam Novan.
“Pasti diterimalah, lumayan buat dicemilin selama sebulan.” Sahut Sagara.
“Kayaknya gue setahun deh. Sepotong aja tuh coklat kenyang banget kek nya.” Kini Agam yang bersuara.
“Kar?”
Lengkara menoleh. “Ngapain lo ke sini?” tanyanya to the point.
“Mau ngasih ini.” Aksa menyerahkan coklat silverqueen dengan panjang 2 meter kepala Lengkara. Tak tertinggal pita warna merah muda diikat indah di ujung coklat itu.
Lengkara tampak melongo alih-alih senang. Ia menatap bergantian antara coklat dengan Aksa.
“Nih..terima ya?” Aksa terlihat sangat gugup.
“Segede gini? Buat gue? Gak salah?”
“Iya, Kar. Nih..”
“Lo mau bikin gue gendut ya suruh makan coklat segede itu? Gara-gara badan gue kurus gini, lo suruh gue makan coklat sebanyak itu? Lo ngehina gue?” Lengkara menaikan nada bicaranya dengan tampang yang terlihat kesal. Ia sampai berkecak pinggang saking sebalnya.
Keempat orang yang tengah mengintip di balik pintu rooftop sama-sama terkejut. Kemudian mereka saling menyalahkan satu sama lain.
“Nah kan bener kata gua? Tadi saran siapa suruh beli coklat ampe panjangnya dua meter itu?” tanya Agam melihat ketiga temannya dengan berdecak pinggang.
“Bukan gue.” Sagara mengacungkan tangan lalu pergi.
Kemudian, “Bukan gue suer.” Galen mengikuti Sagara dengan sedikit berlari.
Kini hanya tersisa Novan, Agam melayangkan tatapan intimidasi dan curiga. “Gue? Kasih saran Aksa buat beli coklat segede gitu? Ya kali, bro.” Lalu Novan berlari terbirit.
“Makan aja tuh sendiri!” Lengkara pergi begitu saja dari sana.
Sementara Aksa mendengus, mengumpati keempat temannya dan bersumpah dalam hati akan membunuh mereka secara bergantian.
........
Saat hujan turun dengan derasnya, dan saat Lengkara mulai melangkah menyusuri hujan menuju parkiran kampus yang berada di dekat gerbang utama, Aksa meneduhkannya dengan payung yang telah ia sediakan. Itu terjadi berulang kali di musim penghujan ini, sampai Lengkara sudah bosan berdebat dengan Aksa perkara hujan dan payung. Tidak hanya itu, Aksa tak pernah menyerah melakukan sesuatu untuk meluluhkan hatinya. Seperti memberikan Lengkara sarapan pagi dengan toping potongan sosis dan telur yang membentuk hati dengan minuman kesukaan Lengkara. Serta perhatian-perhatian kecil lainnya.
Lengkara dibuat jengah dengan sikap Aksa. Bagaimana ia tidak jatuh cinta kepada pemuda itu, bila dia terus-menerus mendapatkan perlakuan seperti ini. Namun Lengkara tetap teguh pada janjinya, ia bahkan tak memperlihatkan rasa senang, justru sebaliknya yang seringkali membuat Aksa patah hati.
Aksa tak menyerah, atas dukungan teman, bapak dan semangat yang membara dalam dirinya, Aksa terus berupaya mendekati Lengkara. Jatuh cinta memang segila ini, membuat Aksa terus berusaha meski seringkali mendapat penolakan. Seperti pagi ini, saat matahari tengah tersenyum di langit, saat suasana pagi begitu indah berseri, Aksa dengan kesiapannya menanti sang gadis tepat di samping pintu masuk kelas Lengkara. Banyak mahasiswi yang tidak asing lagi atas hadirnya Aksa di sini. Sebab ini kali kelima Aksa datang dan menemui Lengkara. Kabar mengenai kedekatan mereka pun telah terdengar sampai penjuru fakultas manapun di kampus ini. Namun Aksa tak ambil pusing, baginya itu hal yang wajar. Lagipula dia bukan aktor Korea yang kehidupannya mesti dipermasalahkan.
Dari jauh mata memandang, Aksa menemukan Lengkara yang baru saja muncul dari balik tembok. Gadis itu nampak sibuk dengan ponselnya sehingga tak menyadari bahwa lelaki jangkung ini tengah menantinya dengan sebuah senyum lebar.
“Hai.” Sapanya riang.
Lengkara menengadah, menemukan Aksa yang tersenyum padanya. Lantas keningnya bertaut, ekspresinya menampakkan kesal walau dadanya berdebar. “Ngapain lo di sini?”
“Mau lihat kamu, kangen.” Celetuknya.
Lengkara mendelik, “Sa, cukup deh.” Saat Lengkara hendak masuk, Aksa menghadang kemudian menarik Lengkara untuk diam di koridor. “Ngapain sih?”
“Nanti setelah kelas, kamu ada waktu gak?”
“Gak.”
“Kar,” Aksa merajuk.
Lengkara mendengus. “Kenapa emang?”
“Aku mau ajak kamu ke suatu tempat.”
“Ngapain?”
“Main, ya?”
“Gak.”
Aksa meraih tangan. “Kar, please.” Aksa memperlihatkan puppy eyesnya kepada Lengkara. Sungguh, Lengkara tak tahan melihat itu. Aksa terlalu gemas.
“Iya-iya oke.” Ujarnya seraya melepaskan pegangan Aksa pada tangannya. Kemudian gadis itu beranjak pergi meninggalkan Aksa yang tengah kesenangan.
........
Sudah satu jam berlalu semenjak kelas Lengkara selesai. Aksa menunggu tepat di depan kelas sang gadis, namun Lengkara tak nampak sama sekali. Aksa mulai resah, ia terus bertanya-tanya pada teman sekelas Lengkara atau siapapun mahasiswa yang melihat Lengkara. Akan tetapi mereka sama tidak tahu keberadaan gadis itu. Aksa menghela nafas dalam, ia kira hari ini Lengkara akan luluh dan mengikutinya sesuai rencana. Namun nampaknya Lengkara tetap pada pendiriannya untuk tidak memberikannya kesempatan.
Bahkan melalui telepon pun, Lengkara sulit dihubungi. Aksa jengah, ia melampiaskannya dengan mengacak-acak rambutnya sendiri. Entah harus bagaimana lagi ia membujuk Lengkara dan meyakinkan gadis itu bahwa Aksa pantas untuk mencintainya.
“Sampai kapan lo ngehindarin gue, Kar? Hampir sebulan lo giniin gue.” Aksa bergumam sendiri seraya duduk di bangku koridor.
Sementara Aksa tidak tahu bila Lengkara dari kejauhan melihat pemuda itu yang tengah menantinya. Hanya uraian air mata yang mampu menjelaskan apa yang dirasakan oleh Lengkara saat ini. Ia memang tetap teguh pada janjinya untuk tidak memberikan Aksa ruang untuk masuk dalam hatinya. Meski sebenarnya Aksa sudah menjadi pemenang dan satu-satunya yang ada di hatinya, namun Lengkara memilih menyimpan ini sendirian.
“Maafin aku, Sa, aku terlalu egois. Tapi aku ngelakuin ini biar kamu gak terluka.” Lirihnya.
.........
Esoknya,
Aksa tersenyum kala menemukan Lengkara yang tengah membaca novel ai rooftop. Dugaannya benar, pasti Lengkara ada di sini sore ini setelah dirinya mencari Lengkara ke tempat-tempat di mana Lengkara selalu singgah setelah mengikuti perkuliahan.
“Lengkara.” Lirihnya lembut sampai terdengar ke telinga Lengkara. Kemudian Aksa berjalan mendekat berniat duduk di samping sang gadis. Namun Lengkara malah berdiri, hendak pergi dari rooftop.
“Kar,” Aksa terus menghadang Lengkara, mencoba membuat gadis itu berhenti melangkah.
“Apa sih, Sa? Awas gak?”
“Kenapa kamu kemaren ngilang dan susah dihubungi?”
“Bukan urusan lo.” Lengkara kembali menghindar, namun Aksa tetap menghadang.
“Kar, sampai kapan sih kamu giniin aku?”
“Sampai lo sadar, kalau kita gak akan pernah bisa bersama.” Hardiknya dengan sorot mata yang tajam.
Aksa menghela nafas, ia benar-benar buntu. “Coba bilang ke aku, apa yang harus aku lakuin biar aku bisa dapetin hati kamu, Kar?” tanyanya dengan penuh permohonan. Aksa sungguh mencintai Lengkara sampai ia rela mengejar gadis itu seperti ini. Ia sudah tak perduli perihal harga diri dan batasan dalam mencintai. Sebab bagi Aksa, sebuah rasa tak memiliki batasan. Ia akan melakukan berbagai cara demi meluluhkan hati Lengkara. Karena Aksa sendiri yakin, jika suatu hari Lengkara akan balik mencintainya.
Lengkara memejamkan mata sebelum ia berbicara. Pengap dirasanya saat harus kembali menghadapi Aksa yang tak kunjung menyerah. Semakin ia menghindar, semakin cekatan Aksa mendekat. Sampai dirinya bingung harus berbuat apalagi agar Aksa menjauh. Dengan lesu ia menatap mata Aksa yang menawarkan banyak kebahagiaan di sana. Banyak mimpi yang lelaki itu rencanakan untuknya.
“Sa, lo ganteng, pinter, terkenal, banyak yang suka sama lo, bahkan terang-terangan deketin lo dengan berbagai cara. Tapi kenapa yang lo mau itu gue, Sa? Udah hampir sebulan lo terus ngejar gue walau lo selalu dapat penolakan yang sama. Sampai kapan lo bakal bersikap bodoh seperti ini?” tanya Lengkara tak percaya.
“Kalau aku punya alasan untuk mencintai kamu, mungkin dari waktu itu aku bilang, Kar.”
Gemas, Lengkara mengacak-acak rambutnya sendiri. “Kenapa lo keras kepala, Sa?”
“Yang keras kepala di sini siapa, Kar?” Tanya balik Aksa yang lantas membuat Lengkara bungkam. “Kamu cuman takut dan selalu menyangkut pautkan dengan penyakit kamu, Kar. Kamu sebenernya sayang sama aku kan?” Aksa menatapnya penuh harap.
Lengkara ingin mengiyakan, namun ia tak bisa. “Mulai hari ini tolong jangan deketin gue, Sa, gue mohon.”
Aksa memejamkan mata, bersamaan dengan kepalan di tangannya. Selain sifat cinta yang bisa merubah seseorang, bukankah cinta itu tidak bersifat memaksa? Lantas, bukankah ini keputusan yang harus Aksa ambil ketika mendapat penolakan berulang kali dari Lengkara?
Meski berat, tetap akan Aksa lakukan. Sebab, ia tak mau Lengkara merasa tertekan karena kehadirannya. “Oke aku bakal menjauh dari kamu, Kar.”
Langkah Lengkara terhenti kala Aksa mengatakan itu. Jantungnya lantas berdegup dengan cepat melebihi normal. Ia mulai merasa takut lebih dulu kehilangan Aksa.
“Kalau itu mau kamu, aku bakal pergi.” Aksa mengepalkan tangannya, menahan emosi yang kini telah mencapai ubun-ubun. “Ternyata selama hampir sebulan ini perjuangan aku gak menumbuhkan hasil yang baik. Apa yang selama ini aku kasih ke kamu, gak bikin kamu sayang sama aku. Tapi aku gak menyesal, Kar, pernah mencintai kamu sedalam ini. Karena kamu adalah perempuan kedua setelah ibu yang aku cintai. Kamu adalah perempuan pertama yang akhirnya bikin aku jatuh cinta dan berlaku sebodoh ini.” setitik air mata mengalir tanpa diketahui Lengkara. Rasa sakit menjalar di hatinya kala mengatakan itu. Setulus ini rasa kepada Lengkara ia berikan. Namun nampaknya belum cukup meruntuhkan tembok pertahanan yang Lengkara bangun.
Mata Lengkara berkaca-kaca. Ia sebenarnya tak rela jika harus begini akhirnya. Namun dirinya tak ingin egois untuk membiarkan Aksa tenggelam dalam rasa yang lebih besar. Dan merasakan luka tiada akhir kala dirinya dan Aksa tak akan pernah bisa lagi bersama.
Hendak kembali melanjutkan langkah, rasa sakit hinggap di kepalanya. Lengkara mengerang kala rasa sakit itu mulai merajalela. Aksa yang melihatnya dengan sigap menangkap Lengkara yang hampir terjatuh. Namun saat tertangkap, Lengkara malah menghempaskan Aksa di tengah sakit yang ia rasakan.
“Kar, kamu bawa obatnya?” tanya Aksa panik.
“Jangan ikut campur, Sa! Mending lo pergi!” sentaknya disela rasa sakit yang kian menggerogoti isi kepala.
“Di saat kayak gini kamu masih bersikap gitu, Kar?” Aksa benar-benar tak habis pikir.
“Arrghh!”
Aksa makin panik, ia bingung harus melakukan apa. Nafasnya menderu, jantungnya berdebar hebat, bersamaan dengan itu sekelebat memori masa lalu memenuhi kepalanya. Tentang kejadian yang pernah dialaminya dengan rasa panik yang sama. Aksa sungguh ketakutan, ia tak ingin apa yang dulu pernah terjadi kembali terjadi hari ini.
“Kar, mana obat kamu?” Aksa mengacak-ngacak isi ransel Lengkara namun ia tak menemukan obat yang seharusnya Lengkara miliki.
“Sa! Please!” Lengkara menggeliat, keringat dingin bercucuran berlomba dengan air matanya. Wajah Lengkara bahkan terlihat merah, menahan rasa sakit yang dengan kejam menyakiti Lengkara, seperti hendak meremukan kepalanya. Lengkara sungguh tak kuasa bila sakit ini kembali kambuh di waktu yang tidak menentu.
Aksa mendekati Lengkara, hendak menggendongnya untuk membawa gadis itu ke rumah sakit.
“Don’t tuch me!” pekik Lengkara dengan nada parau.
“Jangan keras kepala, Lengkara!” bentak Aksa. “Kali ini please, lo nurut sama gue!” Aksa menelan salivanya kuat, dirinya semakin gemetar sebab seperti dejavu, Aksa mengalami hal yang sama seperti dulu.
“Pergi, Sa..”
“Kar..”
Lengkara menangis tersedu-sedu. “Pergi..”
Aksa ikut menangis, ia perlahan membawa Lengkara ke dalam pelukannya meski Lengkara sempat memberontak dengan sisa tenaganya. “Kita ke rumah sakit ya, Kar?”
Lengkara menggeleng lemah. Nafasnya memburu selayaknya orang yang baru saja lari maraton. Keringat dan air matanya pun sukses membasahi wajahnya. Lengkara benar-benar lemah setelah melewati rasa sakit luar biasa itu yang kini mulai mereda. Ia bahkan tak punya tenaga lagi untuk menjauh dari Aksa yang memeluknya dalam posisi duduk sementara Lengkara berbaring dipangkuannya.
“Nanti juga hilang, Sa.”
Mendengar Lengkara berbicara dengan nada parau makin membuat Aksa terpukul dan takut. “Nanti makin parah, Kar.”
“Biar terus dalam posisi gini, Sa.” Rasa nyeri dalam kepalanya perlahan menghilang. Namun seiring dengan itu, kondisi Lengkara saat ini mulai melemah. Gadis itu bahkan tak bisa membuka mata seperti biasa. Bukan mengantuk, namun Lengkara tak sanggup lagi berbuat apa-apa bahkan hanya untuk melihat dunia dan keindahan yang tengah di dekapnya. Aksa.
“Kar, kenapa kamu keras kepala?”
“Karena semuanya percuma, Aksa.” Jawabnya setengah berbisik.
“Semua gak akan jadi percuma kalau kita berusaha.”
“Suttt.. biarin aku tidur, Sa. Jangan nangis.”
Aksa tak sanggup menghadapi ini. Tangannya terkepal sampai uratnya terlihat. Air mata tak berhenti mengalir. Dalam kepalanya, Aksa dihantui oleh kenangan masa lalu. Kenangan yang begitu menyakitkan, membuatnya tak sanggup membayangkan bila yang lalu terjadi hari ini kepada orang yang ia cintai. Lantas Aksa memeluk Lengkara lebih erat, berharap kepada Yang Kuasa memberikannya kesempatan untuk hidup lebih lama.
“Aku sayang kamu, Lengkara.”
Tanpa Aksa ketahui Lengkara tersenyum dengan setitik air mata yang muncul dari sudut matanya. Aku juga sayang kamu, Aksa. Terima kasih telah datang ke dalam hidupku.
Tak ada lagi erangan rasa sakit, tak ada lagi berontakan dari Lengkara. Gadis itu pingsan dipangkuan Aksa.
.........
Matanya mengerjap secara perlahan. Mencoba fokus untuk memandang sekitar. Dalam proses memfokuskan objek demi objek yang dipandangnya, Lengkara menyadari bahwa ini bukan tempat terakhir dirinya dan Aksa berada. Melainkan tempat yang ia sebut sebagai neraka. Pertanyaannya, siapa yang membawanya kemari?
Tak perlu jawaban, sebab saat ia bisa melihat semuanya dengan jelas, Aksa menghampiri dengan kecemasan yang terpatri. Hanya ada pemuda itu di sini dan dirinya yang masih terbaring lemah.
“Ngapain lo bawa gue ke sini?” dengan tenaga yang masih ia miliki, Lengkara bangkit dan melepas paksa jarum impus yang tertancap di tangannya. Ia tak peduli darah bercucuran di mana-mana.
Aksa terkejut melihat itu. “Kara!”
“Udah gue bilang berhenti campuri kehidupan gue!” Hendak pergi, Aksa menahannya.
“Kamu sakit, Lengkara!”
“Gue tahu, dan gak perlu diingetin!” Lengkara menghentakan tangan Aksa. Menatapnya tajam dengan wajah yang memucat. “Seharusnya lo gak ada di hidup gue, Sa! Kalau lo mau tahu, tempat ini adalah tempat yang menyakitkan buat gue. Di tempat ini, gue dapat kabar kalau hidup gue gak akan lama lagi dan di tempat ini juga segala upaya akan menjadi percuma. Karena penyakit yang ada di kepala gue ini, gak akan bisa tertolong Aksa. Makanya kenapa gue bersikeras untuk gak mau datang ke sini!” teriak Lengkara diakhir dengan air mata yang mulai membasahi pipinya.
Pertahanan gadis itu rubuh. Ia berjongkok seraya memegangi kepalanya. Menangis sampai punggungnya gemetar. Melihat itu Aksa melemah, hendak meraih Lengkara, namun gadis itu menjauh dengan cepat.
“Cukup, Sa, bukannya lo mau pergi dari hidup gue?” Lengkara memutar kembali perdebatan tadi sebelum ia tak sadarkan diri.
“Kara—“
“Pergi, Sa, jangan pernah lo berani hadir dalam hidup seorang gadis yang penyakitan ini. Lo cuman ngelukain diri lo sendiri, Sa. Lo cuman akan nyiksa diri lo sendiri. Apalagi kalau suatu saat nanti gue bener-bener udah gak ada di dunia ini. Jangan berani masuk ke dalam cerita yang berakhir tragis, Sa. Lo seharusnya mencari cerita yang indah daripada ini.”
“Aku sayang—“
“Sayang gak akan cukup, Aksa. Setelah gue mati, lo bakal gimana?!”
Aksa menunduk, menggigit bibir bawahnya menahan tangis yang begitu menyesakkan. Mengapa harus sesakit ini cinta pertamanya?
Lengkara menyeka air matanya. Luka di hatinya semakin terbuka. Apalagi melihat ekspresi sedih Aksa yang kian menyayat hatinya. Kenapa cinta datang di waktu yang tidak tepat? “Lo harus belajar lupain gue, Sa. Anggap kita gak pernah saling mengenal. Cintai seseorang yang bisa sama lo dalam waktu yang lama. Jangan bikin diri lo sendiri hancur hanya karena ini.”
Aksa mengepalkan tangannya. Ia muak dengan semua dalih yang Lengkara lontarkan. Tanpa menghargai semua perjuangannya yang tak kenal lelah. Hingga beberapa saat kemudian emosinya meledak. Luruh sudah apa yang selama ini ia tahan tepat di depan empunya—Lengkara. “KENAPA MATI DAN MATI YANG TERUS LO BICARAIN, LENGKARA!” bentak Aksa sampai membuat Lengkara terkejut. Dengan amarah yang telah mencapai ubun-ubun, kesabaran yang telah habis, Aksa mendekati Lengkara sampai gadis itu beringsut mundur. “Gue cape denger itu. Gue muak denger lo bicara mati dan mati! Sekali aja lo lihat perjuangan gue, Lengkara. Gimana cara gue buat bisa bikin lo jatuh cinta sampai lo lupa sama apa yang lo alami. Gimana cara gue memperjuangkan lo yang terus menghindar dari gue. Buka mata lo sekali aja!” Aksa mengguncangkan bahu Lengkara dengan nafas yang menderu sebab emosi. “Harus berapa kali kalau gue bilang, gue sayang sama lo bukan karena kasihan, bukan karena gue pengen nyiksa diri gue. Tapi gue emang sayang sama lo tanpa alasan. Apa itu gak cukup? Kita gak bisa nentuin kepada siapa kita jatuh cinta. Dan kita juga gak bisa menghapus perasaan yang tiba-tiba muncul gitu aja di hati kita untuk seseorang!”
“Kenapa harus maksa, Aksa? Kenapa?” tanya Lengkara disela tangisnya.
“Karena gue tahu, Kar, lo juga sayang sama gue.” Jawab Aksa. Ia sadar terlalu egois dan memaksa Lengkara untuk mencintainya. Lengkara yang jelas menolak dan menghindarinya, malah terus ia kejar sampai sekarang. Ia juga tak mengerti dengan perasaannya sendiri. Mengapa harus memiliki perasaan yang luar biasa seperti ini kepada Lengkara? Kenapa harus sampai berlebihan seperti ini?
“Gue gak mau lo terluka saat gue pergi, Aksa.” Rintihannya itu diiringi dengan isakan tangis yang mulai terdengar. Ada nada permohonan di sana untuk Aksa. Agar pemuda itu segera mundur dan menjalani kehidupannya tanpa harus melibatkan Lengkara.
Aksa menarik Lengkara ke dalam pelukannya. Membiarkan Lengkara menangis sepuasnya di dadanya. Dan dirinya hanyut dalam tangis yang begitu menyesakkan sebab untuk kesekian kali, Lengkara mengatakan hal yang sama yang malah membuatnya terluka. “Jangan bilang itu lagi, Kar. Jangan.”
Untuk pertama kalinya, Lengkara membalas dekapan Aksa.