“Kali ini gue pasti menang!” seru Novan penuh keyakinan. Sebelum melemparkan dadu, matanya mengedar pada ketiga temannya yang sedang menunggu-nunggu Novan melempar. Meski wajahnya sudah dipenuhi oleh lisptik milik Siska yang tertinggal di sekre, Novan tetap yakin bahwa dirinya kali ini akan menang.
“Cepatlah kau ni, lama kali!” Galen mulai kesal.
“Tinggal lempar aja banyak tingkah lo Udin!” semprot Sagara.
“Lama-lama gue lempar juga lo dari lantai dua!” kini yang bersuara adalah Agam.
Sebelum melempar dadu dan mempertaruhkan hidupnya, dalam hati Novan berseru. Berdoa sebisa mungkin dan berharap bisa menjadi pemenang. Namun kenyataan berkata lain, saat dadu terlempar, Novan harus menelan pil pahit tanpa dorongan air. Ia harus kalah dan bersiap mentlaktir teman-temannya makan mie ayam di kantin bawah. SEPUASNYA!
“Nah kan kalah lo! So soan mikir, sini muka lo, gue coret semua pake lisptik keramat!” Sagara nampak puas dengan kekalahan Novan. Dia pun paling banyak menyoretkan lipstik di wajah Novan meski Novan meronta dan protes.
Derit pintu terbuka menampilkan sosok Aksa yang baru muncul di sana. Pemandangan pertama yang ia lihat di sekretariat adalah teman-temannya yang sedang melingkar di lantai dengan coretan lipstik di wajah dan tangan mereka. “Kayak anak kecil aja main gituan.” Seloroh Aksa sembari meletakkan tas di atas nakas.
“Eh abang kulkas. Sini ikut main!” ajak Agam.
“Gak.” Singkat, padat dan jelas. Pemuda itu memilih untuk duduk memangku gitar.
“Lanjut main lagi aja dah!” seru Galen, menepuk pundak Agam untuk mengabaikan Aksa yang memang jarang bisa diajak bermain seperti ini.
Novan memasang ekspresi panik di wajah yang sudah dipenuhi lisptik itu. Hidupnya jelas akan terancam jika permainan tetap dilanjutkan. Sebab, kekalahan yang berulang membuat tingkat kepercayaan diri dan keyakinannya memudar. “Jangan-jangan! Kalau main lagi, terus gue kalah, ntar gue harus beliin makanan extra buat kalian dong! Gak-gak gue pengen berhenti! Mana muka gue udah kayak cepot! Merah semua!” geramnya. Seketika semua tertawa kecuali Aksa. Melihat bagaimana ekspresi wajah Novan yang sepenuhnya oleh lisptik. Diam-diam Agam mengabadikan itu untuk ia posting di akun sosial media. Sebagai balasan karena minggu lalu, Novan pernah melakukan hal yang sama ketika bermain ular tangga.
“Ah gak sportif lo! Kan udah sepakat diawal!” keluh Sagara.
Galen mengangguk, sebelumnya ia menarik nafas untuk menghentikan tawanya. “Kan udah kesepatakan dari awal. Suruh siapa pake main taruhan?”
“Ya tapi kalian.. main .. curang!” Novan terbata-bata, tak menerima kekalahannya. Kemudian ia mengacak-acak rambutnya frustasi. Dompetnya akan terkuras habis jika terus kalah dalam permainan.
“Ah gue gak mau tahu! Main lagi atau tlaktir gue ayam bakar sekarang juga! Pilih mana?” tanya Galen.
Meninggalkan perdebatan itu, Sagara duduk di samping Aksa yang tengah memainkan gitar. Sejenak, Sagara membalas pesan kekasihnya yang lupa ia kabari, dan kembali fokus kepada cara Aksa memainkan gitar.
“Gar?”
“Apa?”
“Rasanya jatuh cinta tuh kayak apa sih?” tanya Aksa tiba-tiba. Membuat seisi ruangan menjadi hening. Perdebatan antara Novan, Galen dan Agam terhenti. Dan semuanya menatap dengan raut tak percaya pada satu sosok, yakni Aksa Adinata. Sebuah hal yang mengemparkan bilamana seorang pemuda yang bahkan tak peduli dengan sesuatu yang berbau cinta, kini malah bertanya mengenai hal itu. Tentu membuat teman-temannya menatap Aksa dengan tatapan menelisik. Takut jika Aksa sebelum kemari kejedot pintu atau kecelakaan yang membuat kesadarannya akan ‘manusia diciptakan berpasang-pasangan’ akhirnya muncul.
“Mimpi apa gue semalem, Len?” seru Novan dengan masih mempertahankan ekspresi melongo di wajahnya. “Aksa nanyain hal gitu?” ia masih tak percaya, benar-benar tak percaya!
“Gue gak salah denger kan?” tanya Agam entah pada siapa.
Aksa menatap satu persatu temannya dengan raut menyebalkan. “Berlebihan kalian.”
Kemudian ketiganya bergabung bersama Aksa dan Sagara di sofa. Kini Aksa benar-benar menjadi pusat perhatian mereka. Tak peduli dengan wajah dan tangan yang masih berlepotan lisptik keramat milik Siska.
“Sebutin nama cewek yang bikin lo jatuh cinta!” Agam tak sabar. Siapa tahu ada seorang gadis yang membuka kesadaran Aksa sehingga membuat Aksa penasaran mengenai bagaimana rasanya jatuh cinta, karena Aksa mulai jatuh cinta.
Galen mendukung perkataan Agam. “Siapa? Gue mau selametin dia dan keliling semua fakultas. Hal luar biasa sosok Aksa jatuh cinta sama cewek!”
Aksa mulai geram, ia menepis tangan-tangan yang mengguncang tubuhnya menuntut jawaban. “Apaan sih kalian! Gue pergi nih!”
“Eh jangan-jangan!” ujar serentak keempatnya, menahan Aksa yang hendak berdiri.
“Yaudah lanjutin pertanyaan tadi? Tentang gimana rasanya jatuh cinta?” tanya Sagara.
Meski kesal Aksa tetap mengangguk dan ingin tahu. Sebab, ia ingin memastikan rasanya terhadap Lengkara.
“Nah dia nih yang bisa jawab, soalnya bucin banget sama ceweknya.” Agam menyenggol Sagara yang langsung konek dan nyengir.
“Gimana?” Aksa nampak tak sabar.
“Wohoo! Jatuh cinta bikin Aksa si kulkas berjalan jadi beda! Pantes aja dia rela hujan-hujanan demi nyuruh Lengkara neduh!” seru Agam hiperbola.
Kening Aksa berkerut. “Kok kalian tahu?”
Galen menggeplak paha Aksa sampai membuat Aksa meringis kesakitan. “Bro, walaupun lo saat itu jalan pintas, tetep aja orang-orang lihat lo gendong Lengkara sambil hujan-hujanan. Ya kali beritanya gak nyebar? Lo tahu sendiri anak-anak zaman sekarang, rasanya ada yang kurang kalau gak ngegibah atau ngerumpi.”
Aksa menyandarkan punggungnya pada kursi.
“Bener! Lagian kayak di film-film aja gendong-gendongan gitu! Gimana kagak heboh sekampus.” Novan menambahkan.
“Ciri-ciri jatuh cinta adalah lo selalu punya rasa peduli terhadap orang itu,” Kata Sagara mulai membuka pengetahuan umumnya kepada Aksa. Aksa membayangkan kejadian demi kejadian dirinya yang memberikan perhatian kepada Lengkara secara tidak langsung. “Kemudian, lo selalu mikirin tuh cewek setiap waktu.” Aksa membayangkan juga tentang hari-harinya yang dipenuhi oleh sosok Lengkara. “Dan satu hal lagi yang lebih menunjukkan kalau lo jatuh cinta sama dia adalah saat kalian bertemu sekalipun itu tanpa disengaja, jantung lo selalu berdebar lebih cepat dari biasanya.”
Aksa refleks menyentuh dadanya, pada bagian ini ia belum merasakan hal itu saat berpapasan atau berbicara dengan Lengkara. Apakah benar bahwa rasa yang tumbuh dalam hatinya hanya sekedar rasa penasaran saja?
“Gimana? Udah ngerasain ketiganya?” tanya Sagara, memastikan. Ketiga temannya yang lain nampak tak sabar menunggu jawaban Aksa.
“Untuk bagian akhir, gue belum ngerasain. Bagian jantung gue berdebar saat ketemu dia.” jawab Aksa.
“Lo gak nyadar kali ah!” seru Agam. Aksa mengedikkan bahu.
“Coba temuin dia sekarang sekali lagi, pastiin apa jantung lo berdebar kencang pas ketemu dia atau enggak? Gue yakin sih berdebar! Itu ciri-ciri jatuh cinta!” kata Galen.
“Terus gue harus gimana? Kalian tahu kan gue gak pernah deketin cewek. Gue aja bingung nentuin perasaan gue sendiri.” Kata Aksa polos, membuat keempat temannya geram dan sama-sama berkeluh.
“Ganteng-ganteng bego!” ceplos Novan. “Harusnya manfaatin tuh muka buat gebet banyak cewek. Mubazir banget ya ampun!” diakhir kalimat ia menggeleng-gelengkan kepala. Memiliki teman setampan Aksa, membuatnya nyaris menganggap Aksa ‘gay’ karena tidak pernah tertarik terhadap perempuan. Bagaimana tidak? Setiap gadis yang mendekatinya, Aksa selalu memberikan respon cuek bahkan nyaris tak peduli. Setiap gadis yang memberinya makanan sebagai ‘confess’ pemuda itu malah menyumbangkan makanan itu kepada teman-temannya yang dengan senang hati menerima.
“Makanya pacaran jangan sama buku, taekwondo, dan gitar mulu! Lo harus belajar membuka diri untuk lawan jenis, masa udah 22 tahun masih aja jomblo. Nih ya suatu saat nanti yang lo nikahin itu cewek, bukan gitar atau buku!” timpal Agam makin membuat Aksa menekukkan wajah. Bukannya memberi saran, mereka malah mengejeknya. Meski memang ada benarnya.
Novan mengambil posisi, temannya yang satu ini benar-benar membutuhkan bantuan. Jangan sampai Aksa jadi jomblo seumur hidup! “Sini kita-kita ajarin gimana caranya deketin cewek!”
“Eits! Tapi kasih tahu dulu siapa ceweknya!” seru Sagara kepada Aksa. Hingga mau tak mau Aksa harus mengatakan siapa nama gadis itu kepada mereka semua.
“Bener tuh! Kasih tahu siapa?” imbuh Agam.
“Lengkara.”
.........
“Pertama-tama, jangan ragu untuk deketin dia walaupun lo malu.”
Aksa mengetahui dari teman kelas Lengkara, bahwa gadis itu kini ada di ruang perpustakaan. Dengan gusar, Aksa memasuki ruangan dan mencari sosok Lengkara. Debaran memang belum ia rasakan, namun rasa gugup telah memenuhi dirinya. Biasanya Aksa tak segelisah ini bertemu Lengkara. Namun entah mengapa hari ini, kala ia mulai menjalankan saran dari teman-temannya, rasa gugup itu muncul begitu saja.
Dengan membawa minuman yang disarankan oleh teman-temannya, Aksa meyakinkan dirinya sendiri bahwa Lengkara akan menyukai apa yang ia bawa. Lantas beberapa saat kemudian, Aksa menemukan Lengkara yang tengah membaca buku seorang diri di meja baca. Gadis itu nampak serius membaca tiap kalimat yang ada dalam buku. Hanyut dalam imajinasi sehingga tak menyadari bahwa beberapa detik yang lalu, Aksa telah menarik kursi dan duduk di samping Lengkara.
“Diminum.” Aksa menyodorkan minuman sampai menyenggol lengan Lengkara. Gadis itu terusik dan menoleh pada pemuda yang kini duduk tegak tanpa melihat kearahnya.
“Gue gak minta.” Lengkara kembali pada bukunya.
“Gue inisiatif.” Kata Aksa dengan senyum yang terasa kaku.
“Tapi gue gak mau dan gak suka.”
“Lo gak suka?”
Lengkara geming, mengabaikan Aksa.
“Terus apa yang lo suka?”
Dengan malas Lengkara menatap Aksa. “Yang gue suka adalah jauh dari lo!” kemudian gadis itu beranjak bersama bukunya meninggalkan Aksa yang melongo.
Percobaan pertama, gagal!
.......
“Kasih dia perhatian lebih. Gue yakin, lama-lama Lengkara bakal luluh.”
“Nah hari ini kita akan melakukan semi sparing. Kalian gak boleh sampai memberi pukulan satu sama lain. Ini hanya mempraktekan gerakan demi gerakan yang telah kita pelajari. Tapi tetap harus menggunakan kecepatan untuk menghindari lawan, karena kalau kalian gak cepat menghindar dan gak fokus, alhasil kalian akan kena pukulan.” Interupsi Aksa kepada anggota bersabuk hijau polos dan hijau strip.
Kemudian Aksa memasangkan setiap anggota untuk nantinya akan ditandingkan. Setelah beberapa anggota telah melakukan semi sparing, kini giliran Lengkara dan satu anggota perempuan lain untuk melakukannya. Pada menit pertama, Lengkara dapat menaklukan lawan. Namun pada menit kedua, kaki gadis itu terkilir dan jatuh ke lantai. Semua nampak terkejut, namun yang panik sepanik-paniknya adalah Aksa. Pemuda itu lantas menghampiri Lengkara dan menanyakan dengan heboh perihal keadaan Lengkara.
“Lo gapapa kan? Mana yang sakit? Ini? Coba lurusin kaki lo, Kar!”
Lengkara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “G-gue gapapa kok, serius. Orang cuman jatuh biasa.”
“Tapi lo harus dibawa ke UKS!” seru Aksa.
“Ya ampun, kak, gue cuman jatuh biasa, bukan patah kaki!” ia mengatakannya penuh penekanan dengan geram meski senyum tak lepas dari wajahnya. Menurutnya, Aksa terlalu berlebihan. Lalu Lengkara berdiri, berjalan seperti biasa karena memang ia hanya terjatuh biasa, tidak sampai merasakan sakit pada bagian kaki atau tubuh lainnya.
Aksa merasa lagi-lagi ia melakukan hal bodoh. Namun ia tak ingin menyerah untuk mendapatkan hati Lengkara. Dan percobaan kedua, gagal!
........
Di rumah saat kumpul keluarga seperti biasa, keluarga Adinata akan saling bertukar cerita mengenai apa yang telah dilakukan mereka selama seharian penuh. Setelah giliran bapak, kini Aksa yang bercerita. Bukan lagi tentang buku di perpustakaan yang telah Aksa baca, bukan lagi tentang nada yang baru ia ciptakan untuk lagunya, dan bukan tentang lagi olahraga taekwondo. Melainkan tentang seorang gadis yang dengan malu-malu Aksa ceritakan. Sebab ini kali pertama ia menceritakan tentang gadis kepada orangtuanya secara terang-terangan. Tentu keduanya bahagia mendengar kabar itu.
“Terus kapan jadiin Kara pacar dan bawa ke rumah?” goda mama, pipi Aksa makin semerah tomat.
“Tapi bapak masih bingung, apa ya yang bikin kamu jatuh cinta sama Kara? Apa dia secantik mamamu? Atau dia punya sesuatu hal yang bikin kamu jatuh cinta? Mungkin, hal yang gak perempuan lain miliki? Seperti mamamu, yang spesial di hati bapak.” Bapak tak henti menggoda mama, yang dibalas mama dengan cubitan kecil. Pemandangan itu begitu menghangatkan hati Aksa. Ia bersyukur diberikan keluarga seharmonis ini.
Aksa tak bisa lagi menyembunyikan senyumnya hanya dengan membayangkan wajah Lengkara. “Aksa sendiri masih bingung sama perasaan Aksa, Pak. Tapi kata temen Aksa, Aksa jatuh cinta sama Kara.”
“Kamu seharusnya mastiin dulu sebelum berani berjuang. Takutnya nanti saat Lengkara mulai jatuh cinta, ternyata rasa yang hinggap di hati kamu selama ini cuman penasaran aja. Jangan sampai kamu nyakitin dia karena rasa penasaran kamu. Ingat, kalau kamu nyakitin perempuan, sama aja kamu nyakitin mama.” Pesan bapak langsung memukul kesadaran Aksa. “Tapi bapak yakin, kalau kamu udah mau berjuang seperti ini, itu artinya kamu udah jatuh cinta sama Kara. Cuman kamu masih belum percaya sama diri kamu sendiri. Ya faktornya karena ini pertama kali kamu jatuh cinta kan?”
Aksa mengangguk setuju. “Mungkin iya, pak.”
Bapak tersenyum. Perilaku Aksa kini seperti ia dulu saat mencoba menaklukan hati istrinya. “Kalau kamu jatuh cinta, perjuangkan sampai dapat. Setelah dapat jangan dilepas. Cintai dia seperti kamu mencintai diri kamu sendiri dan keluarga.”
“Aksa gak janji, tapi Aksa akan berusaha sebaik mungkin.” Itu tekadnya, dan semoga Lengkara orang yang tepat.
“Ini baru anak bapak. Sekali lagi ingat, jangan pernah kamu berani menyakiti hati perempuan. Cintai dia, sayangi dia selayaknya kamu mencintai bapak dan mamamu.”
Aksa mengangguk, dalam hati ia mengamini apa yang bapak katakan dengan senyum yang tak surut serta bayang Lengkara yang tak lekang oleh waktu.
.........
Sementara Lengkara harus terus berperang dengan dirinya sendiri perihal rasa senang akan Aksa yang semakin hari semakin menaiki benteng pertahanannya. Lelaki itu tak pernah menyerah sekalipun Lengkara menghindar. Aksa selalu punya cara untuk membuat hati Lengkara terombang-ambing. Namun lagi-lagi Lengkara dihadapkan dengan kenyataan yang begitu pahit. Ia bingung harus berbuat apa. Menerima kehadiran Aksa atau membuatnya menjauh dan membenci dirinya?
Hidup Lengkara telah terlampau kacau balau. Tak ada lagi celah untuknya mengecap kebahagiaan meski sesaat. Selalu ada bayang-bayang kematian yang memenuhi isi kepalanya saat dirinya hendak memaksakan diri untuk menyelami kebahagiaan. Hingga menyendiri adalah jalan terbaik untuknya terbiasa tanpa siapapun. Bahkan keluarga.
Sebuah ketukan lantas membuat lamunannya pada pekatnya malam buyar begitu saja. Ternyata bunda menerobos masuk setelah mengetuk pintu. Lengkara tak terusik, ia kembali melanjutkan aktivitasnya untuk merenungi berbagai hal dengan memandang langit malam.
“Kamu belum makan, nak.” Lirih bunda seraya menjatuhkan diri di samping Lengkara.
“Kara gak lapar, bun.”
Bunda menghela nafasnya. “Dari siang kamu gak makan.”
“Kalau lapar pasti Kara makan kok, bun. Bunda jangan khawatir.”
“Kalau kamu gak makan tepat waktu, gimana kamu mau minum obat tepat waktu juga?”
Lengkara menundukkan kepalanya. Ingin rasanya ia melupakan suatu hal yang memberatkan hidupnya. “Lengkara sengaja biar gak dipaksa minum obat.” Ucapnya parau.
Bunda dengan hati yang terasa sakit, menyentuh kepala sang anak keduanya dengan penuh kasih sayang. Ia pun tak pernah mengira bahwa anak gadisnya ini akan mengalami hal yang merenggut masa mudanya. Tak ayal derai air mata menyertai bayang-bayang yang tak ia harapkan menjadi kenyataan. Ia ingin Lengkara kembali menjadi gadis seceria dulu yang tak lelah meramaikan suasana rumah yang kini telah sepi nan sunyi.
“Kalau kamu mau sembuh—“
“Lengkara gak sakit, bunda. Lengkara sehat. Buat apa Lengkara minum obat sebanyak itu kalau kondisi Lengkara baik-baik aja?” kemudian Lengkara beranjak dari balkon untuk merebahkan diri di atas ranjang.
Bunda menyeka air matanya, ia tak sanggup lagi dengan keadaan yang begitu menyesakkan ini. Jika bisa meminta pada Allah, bunda ingin penyakit itu diberikan padanya saja, tidak kepada Lengkara.
.........
Lengkara menengadah, mendapati langit tak secerah siang tadi. Sore menjelang, selayaknya waktu senja akan tiba. Sebab langit telah mendominasi dengan abu-abunya. Lengkara menundukkan kepala, masih terbayang jelas beban yang ia pikul seorang diri. Pandangannya kosong, mengarah pada sepatunya. Di saat seperti itu, seseorang datang menghampiri. Tiba-tiba memberikannya sebuah payung, membuat Lengkara tertarik untuk melihat siapa itu.
“Gue tahu lo bakal hujan-hujanan, jadi gue bawain ini.” ujar Aksa.
Lengkara geming, ia bahkan tak menerima payung itu.
Aksa menarik tangan Lengkara, memaksa gadis itu untuk menerimanya. “Gue sekarang gak akan paksa lo untuk neduh sampe gendong lo. Terserah lo mau jalan di bawah hujan sampe berkilo-kilo meter, yang penting lo pake ini, Kar.” Ujarnya diakhiri senyuman.
Lengkara tak mengatakan sepatah katapun kecuali diam dan memandangi Aksa diakhiri dengan helaan nafas lelah. Aksa kembali mengusik harinya, membuat hatinya goyah dan semakin membebaninya dengan berbagai pilihan.
Menerima kehadirannya, atau membuat Aksa benci padanya?