Loading...
Logo TinLit
Read Story - Asoy Geboy
MENU
About Us  

Perseteruan Geboy dan Randu bukan hal baru di Geng Senter, tapi ini kali pertama mereka adu pukul di Warung Abah. Komal lekas menyeret sahabatnya menjauh, meski lelaki itu masih terus mencoba mendorong dan menginjak tubuh Randu yang terkapar. Sebenarnya ia enggak kalah babak belur. Sobekan kecil di sudut bibir kanannya masuk ke rentetan daftar (calon) bekas luka di wajah. Tapi, Randu tentu jauh lebih memprihatinkan. Rambutnya kini bercampur pasir dan kerikil karena terlalu lama di bawah. Bahkan kaus oblongnya berubah lusuh dan terdapat jejak Geboy di mana-mana.

Salah seorang senior membantu Randu untuk berdiri. Mereka membawa keduanya ke dalam warung dan langsung didudukkan saat itu juga. Syukurlah ada mantan ketua dua tahun lalu yang singgah dan mendapati peristiwa itu. Kalau enggak, bisa-bisa Geboy memanfaatkan jabatannya untuk abai dan balik tanpa penyelesaian apa-apa.

"Kalau ada masalah, bicara baik-baik. Kita ini keluarga. Jangan malah berantem kayak gini."

Geboy mendengkus. Berbicara tentang itu memang enggak salah. Terlepas dari Geng Senter, secara biologis ia dan Randu berada di garis keturunan yang sama. Tapi, justru makna saudara itu sendiri yang sudah kabur dari pikirannya.

Apa Randu pernah menganggapnya sebagai sepupu? Kayaknya enggak, pikir Geboy. Dari kecil, mereka selalu rebutan mainan, saingan nilai, malah sampai taruhan cewek pas kelas 8 SMP--waktu itu Randu lagi yang menang. Mereka enggak pernah benar-benar akur. Jadi, dari segi mana bisa dikatakan 'saudara'? Justru orang yang benar-benar Geboy anggap keluarga adalah anggota Geng Senter. Mereka yang selama ini melihat eksistensinya, hal yang belum pernah papanya banggakan.

"Jelasin, ada masalah apa?"

Geboy masih menunduk, sedangkan Randu bersandar pada lemari mi instan milik Abah. Mereka saling tatap cukup dalam sebelum memalingkan wajah dan sama-sama mendengkus. Sang senior pun memutar bola matanya lalu mengambil kursi. Ia duduk di depan Geboy dan menepuk pundak lelaki itu.

"Oke kalau kalian nggak mau cerita. Nggak apa-apa. Itu urusan kalian. Tapi sebagai ketua, seharusnya lo merangkul seluruh anggota, Boy. Yang begini nggak seharusnya terjadi, apalagi di depan warga kayak tadi. Nama geng kita bisa rusak. Paham, kan?"

"Iya, Bang. Maaf."

"Gue harap ke depannya lo lebih bisa kontrol diri. Jangan kebiasaan pake kekerasan buat menyelesaikan masalah." Boni pun bangkit. "Lo juga, Ndu."

Randu bergeming. Entah karena pusing, mual, sakit, atau malas menanggapi senior mereka itu, Geboy enggak tahu. Jelasnya, ia lekas meminta maaf tanpa berjanji enggak akan mengulanginya lagi--karena belum tentu si Randu enggak bikin ulah. Kemudian ia mengantar Boni ke depan dan memanggil Komal untuk masuk.

"Gimana? Udah dingin kepala lo?" tanya lelaki itu to the point setelah di dalam. Sekilas ia menengok Randu yang memejamkan mata, lalu menatap Geboy lagi.

"Lumayan. Minta tolong bawa dia ke dokter. Gue mau balik."

"Oke, kalau gitu--"

"Nggak usah sok peduli," potong Randu ketus.

Geboy melirik dan kembali menghela napas. Tenaganya terkuras setelah menghajar Randu habis-habisan. Ditambah mendengar ocehan Boni yang cukup menamparnya makin bikin mood enggak karuan. Ia malas berdebat. Meladeni Randu sama saja bunuh diri karena akan memancing emosi.

Lelaki itu memilih keluar dan menghampiri Abah, juga warga yang menunggu pengerjaan motor mereka. Ia segera membungkuk dan meminta maaf berulang kali atas kegaduhan yang terjadi. Abah terus berkata 'enggak apa-apa' dan memaklumi hal itu. Darah muda, katanya. Selama bisa dilerai dan diselesaikan secara damai, penduduk sekitar sini enggak akan melapor ke mana-mana.

"Kamu nggak ikut berobat juga, Le?" tanya Abah saat melihat Randu dibopong Komal menuju puskesmas terdekat.

"Nggak, Bah. Langsung pulang aja." Geboy tersenyum tipis.

"Oo, ya udah, hati-hati."

Usai mengangguk, Geboy menepuk pundak rekannya dan mengucapkan terima kasih karena sudah menggantikan tugasnya. Ia lalu beranjak ke parkiran, menyalakan mesin, dan segera melesat ke jalan raya. Ia bahkan malu untuk menyalami anak-anak yang lain. Mereka juga diam saja, membiarkan sang ketua menenangkan pikiran dengan caranya sendiri.

Saat menyetir, fokus Geboy di ambang batas. Sekitar lima kali ia diklakson oleh pengendara di belakang karena melamun di lampu merah. Ia bahkan hampir menabrak motor di depannya karena telat mengerem. Enggak kehitung pula berapa kali orang mengumpat sebab ia tiba-tiba ke kanan atau kiri tanpa sein. Untung saja ia enggak berakhir mencium aspal, dan sampai rumah dengan selamat.

Mobil orang tua Geboy sudah terparkir di garasi. Ia pun mendengkus, berharap papanya ada di kamar atau ruang kerja, jadi enggak perlu repot-repot bertemu dengan tampang seperti ini. Sayang, keberuntungan Geboy sudah dihabiskan di jalan tadi, sehingga yang ia dapati kini baik papa dan mamanya ada di ruang tamu sedang membahas sesuatu--terdapat banyak berkas di meja.

"Astaga, kamu berantem lagi, Boy."

Tyas segera menghampiri putranya. Ia refleks meringis dan mengabsen wajah anak itu. Terdapat lebam sana sini, tapi bagian bibir paling kacau. Geboy segera menjauhkan tangan mamanya dan membuang muka.

"Aku nggak apa-apa, Ma."

"Nggak apa-apa gimana? Ini masih baru semua lukanya. Sini duduk. Mama ambilkan obat merah dulu."

"Nggak usah, Ma."

"Udah cepet, nggak usah banyak protes."

Geboy diseret ke sofa. Mau enggak mau, ia sekarang duduk berhadapan dengan papanya. Sungguh malas. Tyas bergegas ke kamar dan mengambil kotak P3K sebelum anaknya itu berubah pikiran dan mengunci kamar seperti yang sudah-sudah.

Abi masih diam saja saat Geboy diurusi mamanya tadi. Tapi kini, ia melepas kacamata dan memperhatikan putranya lekat-lekat. Ia enggak pernah marah kalau Geboy bertarung ke sana kemari. Toh, pikirnya anak cowok memang wajar begitu. Lain hal kalau ternyata itu melibatkan keponakan kesayangannya. Dilihat dari kekesalan Geboy, ia bisa memastikan arah masalahnya ada di sana.

"Berantem sama siapa kamu?" tanya Abi memastikan.

Geboy tetap bodo amat. Sedetik pun ia enggak melihat papanya.

"Jawab, Boy!"

Bentakan Abi menggelegar hingga seisi rumah. Geboy sontak mengusap wajah dan mengembuskan napas panjang. Ia pun menghadap papanya yang mengerutkan kening. Enggak heran lagi.

"Randu."

"Randu?" Abi terbelalak.

"Iya."

"Gimana bisa kamu berantem sama saudara sendiri, hah? Pasti kamu yang cari masalah. Randu anaknya pendiem dan nggak neko-neko. Jujur, ada masalah apa? Kamu tersinggung sama pertanyaan Papa kemarin? Jadi iri dan marah ke dia, gitu?"

Geboy spontan terkikik, lalu menyeringai. Ia geleng-geleng dan menghela napas, lagi. Abi makin enggak ngerti.

"Bukannya jawab malah cengengesan," sambung sang kepala keluarga.

Tyas baru sampai bawah saat Geboy berdiri. Anaknya itu menatap papanya dari atas dan enggak segan menunjuk-nunjuk saat berbicara. Meski bergetar, intonasinya makin tinggi seiring pelampiasan emosi yang keluar.

"Emang siapa yang bikin aku kayak gini? Papa yang selalu bandingin aku sama dia. Dikira enak? Nggak cuma Papa kok yang pengen anak kayak Randu. Aku juga nggak mau kali jadi anak Papa."

"Geboy!" Abi refleks berdiri dan menampar anak itu.

"Mas!"

Tyas segera menghampiri putranya yang tengah mengusap pipi. Tapi, sudah terlambat. Hawa panas di antara mereka telanjur besar untuk dipadamkan. Sulit dan sudah menyebar ke dasar hati.

Deru napas Geboy kian cepat. Jantungnya juga berdegup enggak normal. Perih di area bibir belum hilang, kini pipinya ikut berdenyut. Sontak linu di bagian pelipis--karena membentur tembok--dan nyeri di bawah perut--sempat dipukul Randu--kembali meronta dan menguasai tubuh. Lelaki itu hendak beranjak tanpa memedulikan siapa pun, tapi Abi seakan belum puas dan menahannya lagi.

"Kalau kamu bisa memenuhi ekspektasi Papa dari dulu, Papa nggak bakal bandingin kamu sama dia. Tapi apa? Bahkan kakekmu lebih percaya sama Om Pram buat handle perusahaan, biar nantinya bisa menurun ke Randu."

Geboy mencengkeram pahanya kuat-kuat, lalu berbalik. "Sekarang apa mau Papa? Aku capek, mau tidur. Buruan ngomong."

"Buktiin kalau kamu bisa lebih dari dia, tanpa harus adu jotos kayak gini. Nggak gentleman."

"Oke, aku bakal buktiin itu."

Abi sedikit tertawa. "Papa harap itu bukan bualanmu aja."

Geboy enggak menjawab lagi. Ia segera ke kamar dan membaringkan tubuh di kasur. Tyas mengikutinya dan meminta izin untuk masuk, sekadar mengobati luka lalu keluar lagi--enggak mau mengganggu. Setelah itu, Geboy mengistirahatkan tubuh, pikiran, dan hatinya dari segala huru-hara hari ini.

***

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 1
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Premium
Aksara yang Tak Mampu Bersuara
20131      1916     0     
Romance
Ini aku. Aku yang selalu bersembunyi dibalik untaian kata indah yang menggambarkan dirimu. Aku yang diam-diam menatapmu dari kejauhan dalam keheningan. Apakah suatu saat nanti kau akan menyadari keberadaanku dan membaca semua tulisanku untukmu?
KSATRIA DAN PERI BIRU
181      149     0     
Fantasy
Aku masih berlari. Dan masih akan terus berlari untuk meninggalkan tempat ini. Tempat ini bukan duniaku. Mereka menyebutnya Whiteland. Aku berbeda dengan para siswa. Mereka tak mengenal lelah menghadapi rintangan, selalu patuh pada perintah alam semesta. Tapi tidak denganku. Lalu bagaimana bisa aku menghadapi Rick? Seorang ksatria tangguh yang tidak terkalahkan. Seorang pria yang tiba-tiba ...
ARMY or ENEMY?
14706      4168     142     
Fan Fiction
Menyukai idol sudah biasa bagi kita sebagai fans. Lantas bagaimana jika idol yang menyukai kita sebagai fansnya? Itulah yang saat ini terjadi di posisi Azel, anak tunggal kaya raya berdarah Melayu dan Aceh, memiliki kecantikan dan keberuntungan yang membawa dunia iri kepadanya. Khususnya para ARMY di seluruh dunia yang merupakan fandom terbesar dari grup boyband Korea yaitu BTS. Azel merupakan s...
Lebih Dalam
184      159     2     
Mystery
Di sebuah kota kecil yang terpencil, terdapat sebuah desa yang tersembunyi di balik hutan belantara yang misterius. Desa itu memiliki reputasi buruk karena cerita-cerita tentang hilangnya penduduknya secara misterius. Tidak ada yang berani mendekati desa tersebut karena anggapan bahwa desa itu terkutuk.
Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
7650      2529     22     
Romance
Kenangan pahit yang menimpanya sewaktu kecil membuat Daniel haus akan kasih sayang. Ia tumbuh rapuh dan terus mendambakan cinta dari orang-orang sekitar. Maka, ketika Mara—sahabat perempuannya—menyatakan perasaan cinta, tanpa pikir panjang Daniel pun menerima. Sampai suatu saat, perasaan yang "salah" hadir di antara Daniel dan Mentari, adik dari sahabatnya sendiri. Keduanya pun menjalani h...
Jelek? Siapa takut!
3503      1493     0     
Fantasy
"Gue sumpahin lo jatuh cinta sama cewek jelek, buruk rupa, sekaligus bodoh!" Sok polos, tukang bully, dan naif. Kalau ditanya emang ada cewek kayak gitu? Jawabannya ada! Aine namanya. Di anugerahi wajah yang terpahat hampir sempurna membuat tingkat kepercayaan diri gadis itu melampaui batas kesombongannya. Walau dikenal jomblo abadi di dunia nyata, tapi diam-diam Aine mempunyai seorang pac...
A Freedom
151      131     1     
Inspirational
Kebebasan adalah hal yang diinginkan setiap orang. Bebas dalam menentukan pilihan pun dalam menjalani kehidupan. Namun sayang kebebasan itu begitu sulit bagi Bestari. Seolah mendapat karma dari dosa sang Ayah dia harus memikul beban yang tak semestinya dia pikul. Mampukah Bestari mendapatkan kebebasan hidup seperti yang diinginkannya?
Kala Badai Menerpa
1386      659     1     
Romance
Azzura Arraya Bagaswara, gadis kelahiran Bandung yang mencari tujuan dirinya untuk tetap hidup di dunia ini. Masalah-masalah ia hadapi sendiri dan selalu ia sembunyikan dari orang-orang. Hingga pada akhirnya, masa lalunya kembali lagi untuknya. Akankah Reza dapat membuat Raya menjadi seseorang yang terbuka begitu juga sebaliknya?
Kembali Utuh
788      472     1     
Romance
“Sa, dari dulu sampai sekarang setiap aku sedih, kamu pasti selalu ada buatku dan setiap aku bahagia, aku selalu cari kamu. Begitu juga dengan sebaliknya. Apa kamu mau, jadi temanku untuk melewati suka dan duka selanjutnya?” ..... Irsalina terkejut saat salah satu teman lama yang baru ia temui kembali setelah bertahun-tahun menghilang, tiba-tiba menyatakan perasaan dan mengajaknya membi...
Diary Ingin Cerita
3428      1630     558     
Fantasy
Nilam mengalami amnesia saat menjalani diklat pencinta alam. Begitu kondisi fisiknya pulih, memorinya pun kembali membaik. Namun, saat menemukan buku harian, Nilam menyadari masih ada sebagian ingatannya yang belum kembali. Tentang seorang lelaki spesial yang dia tidak ketahui siapa. Nilam pun mulai menelusuri petunjuk dari dalam buku harian, dan bertanya pada teman-teman terdekat untuk mendap...