Jarang-jarang lab praktik hening seperti sekarang. Biasanya, selain saat sepi, tempat itu pasti bising karena ulah anak TSM yang mengotak-atik mesin dan bahan bongkaran lain. Meski cuma dua orang sekalipun, enggak semestinya suara knalpot dari jalan raya lebih mendominasi ruangan ini. Geboy sendiri juga heran, kenapa gurunya lama sekali memeriksa pekerjaannya? Apakah ada yang salah? Bagian mana? Kenapa?
Lelaki yang mengenakan seragam jurusan itu lantas mengusap keningnya menggunakan handuk kecil, lupa kalau ia baru saja mengelap jok motor dengan itu. Alhasil, kini separuh mukanya cemong dan makin lusuh. Perpaduan yang pas dengan keringat yang masih mengucur di sana-sini. Ia belum tahu apa-apa karena enggak ada kaca di sana--kecuali spion. Geboy hanya mendengkus lalu menelan ludah, mulai lelah dengan ketelitian Pak Bonang hari ini.
"Bagus sih, Boy, tapi nggak rapi."
"Apanya, Pak?"
"Hasilnya."
Ya ngerti, batin Geboy. Ia sontak memutar bola matanya malas. Hal yang perlu dibahas adalah detail letak yang mesti dibenahi, bukan sekadar garis besar yang poinnya saja enggak jelas di mana. Kalau begitu, bagaimana ia bisa memperbaiki dengan benar? Heran. Kadang rambut botak lelaki tua itu enggak jadi justifikasi kalau ia super-jenius dan bisa diandalkan.
"Lihat, ini masih kendor. Kamu buru-buru banget ngerjainnya, jadi nggak maksimal. Bisa mati anak orang kalau servisan motor mereka kayak gini."
"Maaf, Pak. Lain kali saya akan lebih teliti."
"Nggak cuma teliti, Boy, tapi telaten. Udah beberapa kali Bapak lihat kamu macam dikejar setan. Pelan-pelan aja. Toh, ini masih latihan."
Geboy menunduk. Memang titisan setan, sih, yang selalu membayanginya. (re: Randu)
"Iya, Pak. Kalau gitu, saya ulangi dulu."
"Nggak. Nggak usah. Kamu istirahat aja sana. Ngopi-ngopi atau makan gorengan di kantin. Kalau udah mendingan baru boleh pegang alat. Fokusmu dari tadi lari-larian, Bapak nggak mau buang-buang waktu nungguin kerjaan orang yang nggak fit pikirannya."
"Makasih, Pak. Maaf sekali lagi."
Guru pembimbing itu mengangguk kecil, lalu mengusir Geboy dari sana. Anak itu pun menurut. Mau tetap di sana bakal sia-sia karena apa yang dikatakan Pak Bonang ada benarnya. Selain lelah--mengingat hampir dua jam ia mengurung diri di lab--Geboy juga lapar. Dari pagi, hanya sepotong roti dengan selai melon yang ia makan. Agaknya mendoan panas plus siraman bumbu kacang bisa mengobati kekacauan ini. Harapannya.
Usai mencuci muka di wastafel, Geboy menuju kantin sekolah, tepatnya di kedai paling ujung yang jadi langganan anak jurusan Teknik Sepeda Motor. Ia duduk di deretan bangku Komal dkk tanpa salam, kemudian berteriak 'kayak biasa' ke Mak Tun yang baru saja menaruh dua gelas es teh ke sebelah.
"Kepleh ya, Le?"
"Iya, Mak. Sama es jeruk juga, ya."
"Oke, siap."
Geboy tersenyum lima detik. Raut mukanya lekas kembali menekuk. Ia bahkan enggak sadar membenturkan wajah di meja berkali-kali sambil menggumamkan kata yang entah apa bunyinya. Komal pun refleks geleng-geleng, lalu mengambil es batu dari gelas--dengan cara diobok--dan meletakkan itu di tengkuk Geboy.
"Ngadem dulu."
"Yang panas otaknya, Mal."
"Oo, gue kira hati lo."
Geboy seketika bangkit. "Nggak."
"Lo kenapa? Dateng-dateng tampang kayak pantat panci abis dikerok. Diapain lo sama Pak Bonang?"
"Nggak apa-apa sih, dikritik doang."
"Karena?"
"Kurang rapi hasilnya," jawab Geboy jujur.
Percakapan mereka sempat terhenti saat Mak Tun menyuguhkan pesanan Geboy yang masih mengepulkan asap. Lelaki itu enggak lupa berterima kasih, sebelum kembali menghadap Komal dan mengabaikan tempe letoy super-menggiurkan yang dilumuri saus dan kecap manis. Nafsu makannya menurun drastis kalau sudah membahas hal-hal kayak gini.
"Gue tebak, lo grasak-grusuk lagi, ya?"
Seperti ditembak tepat pada sasaran, Geboy enggak berkutik. Ia diam saja, yang membuat Komal makin enggak ngerti lagi dengan kelakuan kawan karibnya itu.
"Anjir, lagu lama banget dari kapan hari nggak beres-beres. Kenapa sih, Boy? Walaupun bener entar timing juga ngaruh, kan nggak harus lo ngebut banget ngerjainnya."
Geboy berdecak. "Gue nggak ngerasa buru-buru amat kok, Mal. Biasa aja."
"Tapi nyatanya?"
"Ya gitu."
Desahan pasrah pun muncul lagi. Apa boleh buat, antara otak dan tangan Geboy kadang enggak sinkron. Bukan kadang, tapi sering. Seperti tadi, ia sudah cukup memperhatikan detail dan menyelesaikan tugas sesuai prosedur. Tapi, eksekusinya bisa melampaui perkiraan hingga dua kali lipat. Katakanlah, ketika orang biasa menggosok sesuatu butuh waktu sepuluh detik, Geboy kelar lima detik lebih awal. Bukannya bersih, yang ada cuma kelewat sekenanya.
Geboy tahu itu, tapi ia perlu meningkatkan kecepatan.
"Lo abis nonton reels terbarunya SMK Makmur, ya?"
Komal bertanya, tapi lelaki yang diajak bicara masih bergeming dan menatap piringnya dengan kosong. Lagi, Komal berteriak di samping telinga Geboy sambil memegangi kepalanya.
"Hah? Apa?" sahut bocah yang kesadarannya berhasil muncul lagi.
"Lo lihat video Randu yang baru, kan?"
"Iya. Tadi pas istirahat pertama."
"Pantes. Perkara lama bisa makin menjadi-jadi. Ada trigger-nya ternyata. Come on, Boy. Lo nggak harus saingan terus sama dia."
"Lo lupa? Kalau gue nggak serius di LKS ini, dia bisa-bisa menang dan jadi ketua Geng Senter. Lo sama anak-anak sendiri yang bilang kalau nggak mau itu sampai kejadian."
Komal mengerti. "Gue paham, tapi jangan anggap beban gitu lah, yang ada malah lo makin berantakan. Jadiin motivasi aja."
"Motivasi bapak lo! Ngomong doang enak."
Geboy mulai mengumpat. Meja sebelah seketika berbisik-bisik. Bodo amat, pikirnya. Kang gosip di sekolah mereka bisa berasal dari berbagai jenis makhluk hidup. Mungkin semut yang rebutan kremesan itu juga membicarakan kadar insecure-nya.
Terus berseteru, ponsel Geboy berdering dan memecah fokus. Ia pun menutup mulut lalu segera membuka chat masuk. Hm, cakep, papanya mengirim pesan berupa link Instagram yang menampakkan muka Randu segede layar. Tai memang, Geboy lagi-lagi mengumpat dalam hati.
(Bukan) Papa saya
Dari sekolahmu nggak bikin ini juga? Atau kamu-nya yang belum bener praktiknya, jadi nggak ada konten?
Geboy mengusap wajah. Kalau jujur, ada kemungkinan papanya membalas dengan kalimat yang lebih makan oli, seperti Randu memang lebih oke daripada kamu dari segi apa pun, atau, bisa-bisa setelah ini kamu lengser dari Senter secara estetis.
Dari kecil, Randu selalu di atasnya. Apa pun. Nilai, skill, jumlah teman, bahkan tampangnya lebih ganteng. Satu-satunya hal yang enggak lelaki itu punya adalah jabatan ketua Geng Senter. Tapi, kalau gini ceritanya, the one and only kebanggaan Geboy dapat beralih tangan dengan mudah.
Melihat penampakan kawannya yang jauh lebih pucat dari lima menit sebelumnya, Komal langsung menepuk-nepuk punggung Geboy. Ia juga sesekali mengelusnya, lalu merangkul pundak. Sekilas ia bisa membaca pesan yang dikirim Abi. Perlakuan spesial lelaki itu pada keponakannya bukanlah rahasia keluarga. Hampir seluruh anak tongkrongan Geboy mengetahuinya, dan Komal paling khatam.
"Kalau sumpek, cerita aja, Boy."
"Bosen. Itu-itu mulu kasusnya."
Komal manggut-manggut. "Kayaknya lo butuh amunisi tambahan, deh. Pak Bonang kurang jelas ngajarnya. Coba lo cari mentor."
Geboy sontak menoleh. "Mentor?"
"Iya, kayak guru les, tapi yang udah pengalaman di lomba kompetensi ini. Barangkali dia banyak masukan kan, jadi lo nggak kosongan banget."
"Boleh sih, tapi siapa?"
Komal menyeringai. "Ya siapa lagi? Ketua tahun lalu, lah. Kan dia menang."
"Iya juga, ya."
Geboy mengembuskan napas panjang. Ia pun tersenyum dan menyalami Komal dengan semangat.
***