PUKUL dua tengah malam. Napas Naru terengah-engah. Seluruh tubuhnya berpeluh keringat. Naru merebahkan tubuhnya di atas rerumputan yang tumbuh di tengah bangunan. Reza yang baru sampai mengikutinya dengan duduk di sampingnya.
“Kau benar. Ada sesuatu yang mengusikku akhir-akhir ini.” Seru Naru tiba-tiba tanpa melihat ke arah Reza. Matanya sibuk melihat kerlipan bintang-gemintang di langit yang gelap gulita. Reza tersenyum.
“Aku akan mendengarkan.” Jawab Reza bersimpati.
“Selain perjodohan yang dilakukan oleh orang tuaku yang tiba-tiba. Di sekolah aku bertemu dengan seorang gadis dengan pakaiannya yang aneh yang akhir-akhir ini menganggu kehidupanku.
Aku tak terima jika Geng Perfect atau kamu yang mengolok-olokku dengan mengatakan jika aku telah jatuh cinta. Tidak. Melainkan… entahlah.
Aku juga tak tahu harus menyebutnya apa. Namun yang jelas karenanya, lebih tepatnya karena suaranya. Hati dan pikiranku sedikit berbeda dari biasanya.” Reza berusaha mencerna setiap kata-kata Naru dengan menganggukkan kepalanya takzim.
“Apa maksudmu dengan pakaian aneh dan suaranya?”
“Ya. Dia memakai pakaian serba tertutup. Jika Geng Perfect menyebutnya dengan memakai seragam tertutup. Lengan dan rok yang panjang. Sebuah kain juga menutupi seluruh kepalanya yang mereka sebut dengan jilbab.” Jawab Naru seraya memeragakannya di udara dengan memainkan jari-jemari di kedua tangannya.
“Lalu, suaranya terdengar sangat indah ketika dia bersenandung. Atau bernyanyi? Atau istilah yang mereka katakan adalah mengaji. Ya. Begitulah.” Lanjut Naru kini memainkan telunjuknya menari-nari di udara. Membentuk sebuah irama bergelombang.
Reza tersenyum setelah mendengar penjelasannya. Perlahan dia mengeluarkan sebuah telepon genggam yang sudah butut dan memencet beberapa tombol di layarnya. Kini sayup-sayup sebuah suara terdengar dari telepon genggamnya.
“Apakah maksudmu suara ini?” Tanya Reza membuat Naru terkesiap seketika. Dia terbangun dari rebahannya seraya mengambil telepon genggam Reza dengan tiba-tiba. Kedua matanya terlihat terkejut.
“Ya! Ini! Suaranya sangat indah dan merdu seperti ini! Apakah nama lagunya mengaji juga?” Tanya Naru antusias. Reza terkekeh sebentar kemudian menggeleng dengan cepat.
“Ini bukan lagu. Judulnya pun bukan mengaji. Tapi ini suara orang sedang mengaji. Suara orang sedang membaca sebuah kitab bernama Al Quran. Kitabnya agama Islam.
Sekarang serba canggih. Kau bisa menemukannya di mana saja termasuk di telepon genggam sekalipun. Tidak hanya di sekolah ketika gadis yang kau ceritakan itu mengaji saja.” Naru terlihat terperangah. Dari kedua matanya dia terlihat semakin terkejut mendengar penjelasan Reza.
“Jadi ternyata dia beragama Islam…” Lirih Naru membuat Reza kini yang terkesiap terkejut.
“Jangan bilang kalau kau…”
“Apakah kau bisa mengaji juga, Reza? Apakah kau juga Islam?” Tanya Naru memotong pertanyaan Reza. Dia menelan ludah mendengarnya. Akhirnya Reza menganggukkan kepala.
“Jadi kau bisa mengaji juga ternyata?!”
“Eee… Aku hanya menjawab pertanyaanmu jika aku beragama Islam.” Jawab Reza berkeringat dingin. Dengan cepat dia memasukkan telepon genggam yang Naru pegang sedari tadi. Memasukkannya ke dalam saku celananya lagi. Naru memandangnya tak mengerti.
“Tapi aku tidak… Maksudku belum bisa mengaji. Jadi selama ini aku hanya mendengarkannya melalui telepon butut ini.” Lanjut Reza menggaruk kepalanya yang tak gatal. Naru mengangguk-anggukkan kepalanya berusaha mengerti.
“Kau mungkin tahu kehidupanku bagaimana sebelum bertemu denganmu kan? Sebutan ketua geng raja motor jalanan yang akhirnya kau rebut itu dulu adalah milikku.
Aku hidup di jalanan. Tepatnya di bangunan ini bersama dengan saudara dan teman-temanku yang memiliki kehidupan menyedihkan. Kami tak memiliki orang tua.
Maka kami bisa bertahan hidup dan menjalaninya dengan baik adalah suatu berkah ketika kami akhirnya bertemu denganmu yang berhasil mengalahkanku dalam pertandingan motor satu tahun yang lalu.
Pertemuanku denganmulah yang membuat jalanku dan juga teman-teman yang lain menjadi kembali benar.
Kau tahu, jika saat itu aku yang menang dan kau tidak bisa mengalahkan kami dengan sikap sombong dan rasa percaya diri tingkat tinggimu saat itu. Aku tak tahu apa yang akan terjadi.
Walaupun begitu dengan sikap supel, ramah dan sukap dermawan darimulah kami merasa kau adalah saudara kami.
Aku tak tahu apa yang akan terjadi pada kami saat ini jika… Ah. Lupakan saja. Lagi pula kami tidak bisa selamanya mengandalkanmu. Intinya kami sangat berterimakasih padamu, Naru.” Naru hanya tersenyum dan menganggukkan kepala melihat kedua mata Reza yang berkaca-kaca.
“Kau tahu? Walaupun kami tak memiliki orang tua bahkan kartu identitas. Entah kenapa kami merasa beragama Islam. Yah walaupun kami masih suka bolong-bolong untuk salat.
Lalu entah kenapa akhir-akhir ini aku sering mengunduh suara mengaji lewat internet. Rasanya jadi tenang saja.” Cerita Reza panjang lebar. Naru terkesima mendengarnya. Beberapa saat kemudian mereka hanya diam sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Hei, apa itu salat?” Tanya Naru tiba-tiba. Kediaman Reza goyah ketika mendengar pertanyaan Naru.
“Eee.. Tentu saja cara kami orang beragama Islam beribadah.” Jawab Reza berkeringat dingin. Naru terdiam lagi untuk beberapa saat.
“Ngomong-ngomong apakah kau juga beragama Islam sama sepertiku?” Akhirnya Reza memberanikan diri bertanya. Keringat dingin di dahinya belum hilang ketika justru Naru terlihat terkejut mendengar pertanyaannya.
Naru masih diam memandang Reza lama dengan tatapan penuh pertanyaan. Walaupun dengan lirih hampir tak terdengar Naru akhirnya menjawab.
“Aku tak tahu…”
Reza terlihat tak enak hati ketika melihat raut wajah Naru yang berubah seketika. Dia memandang rerumputan hijau yang bahkan tidak ada apapun yang menarik di atasnya cukup lama.
Kedua sorot matanya terlihat sedang berpikir keras dengan pertanyaan yang baru saja dia ajukan. Reza mencari akal agar suasana canggung itu segera berakhir.
“Jadi, siapa nama gadis yang telah membuat ketua raja jalanan dan geng motor ini terlihat antusias?” Tanya Reza menyiku lengan Naru penuh canda.
“Ah, iya. Namanya… Namanya Eri.” Jawab Naru masih datar tanpa ekspresi.
“Wah, sepertinya dia gadis yang cantik. Apakah aku boleh berkenalan dengannya? Mungkin saja dia tertarik untuk…” Belum selesai Reza melanjutkan kata-katanya. Naru terlihat menengadahkan wajahnya dan memandang Reza dengan tatapan kesal.
“Enak saja!” Wajah Naru terlihat merah padam seperti udang rebus. Sepertinya dia marah. Namun Reza tak peduli. Dia masih ingin menjahili ketua geng motor sekaligus raja jalananan yang bahkan terkadang membuat Reza tak bisa melawan.
“Jadi, kau benar menyukainya? Kau jatuh cinta pada gadis bernama E-” Reza berhenti bicara setelah melihat raut wajah Naru yang justru kini malah kembali seperti semula. Terdiam dan melamun memandang rerumputan yang sama sekali tak bergerak walaupun udara dingin berhembus menembus hingga ke tulang mereka.
“Aku, juga tak tahu.” Lirih Naru lagi hampir tak terdengar.
π₯