Setelahnya Vitto pun berpamitan dan beranjak meninggalkannya, menghilang. Bergantian, muncul sinar yang sama, memerlihatkan sosoknya yang mungil. Siapa lagi Kalau bukan Khalisya. Gadis kecil tersebut muncul sembari tersenyum.
"Hai, Bee!" sapanya, bila bertemu.
"Hai," jawab Bee.
"Bang Vitto jelek katanya habis ke sini, ya?"
"Betul."
Bee tidak kaget mereka telah melakukan perjanjian saat mengunjungi dirinya. Ada hubungan terikatan yang solid bila mereka berhubungan dengannya. Yah, karena Bee adalah pengarangnya. Bukan hubungan solid seperti bak sepasang kekasih embel-embel. Terikatannya dengan para karakter yang diciptakan sangat memengaruhi jiwa dan pikirannya.
"Bee, kata Bang Vitto jelek, kamu janganlah diremehkan. Kamu dilihat-lihat memang selalu dipandang remeh. Sebelumnya kamu pernah bercerita soal ini padamu. Orang-orang disekelilingmu menganggap kamu bukan apa-apa. Ya, memang, dilihat dari statusmu yang menjadi pengangguran selama ini."
"Itu tahu," kata Bee. Gadis kecilnya ini selalu mengatakannya dengan telak dan tentu selalu benar.
"Kamu itu sebenarnya ada kemampuan. Kenapa kemampuanmu mesti diremehin? Kamu jalani saja dulu. Pasti akan ada kok orang-orang hebat yang mengakui kemampuanmu. Bee, selain menulis, kamu kan bisa menggambar anime?"
"Menggambar cuma hobi. Gambarku masih abal-abal."
"Seenggaknya mereka ada yang tahu. Kamu pernah kemampuan menggambarmu diketahui oleh orang lain atau teman-temanmu dari penghuni media sosial?"
"Ada."
"Tanggapannya?"
"Dia suka sama gambarku, Ke." Bee teringat pernah memberikan sebuah gambar yang digambarnya dulu kepada salah satu temannya yang memiliki perkerjaan komikus.
"Woow. Cuma itu?"
"Iya. Katanya gambarku bagus. Padahal itu gambar abal-abal."
"Berarti temanmu itu enggak meremehkan kemampuanmu. Bukan malah mengejek."
"Pokoknya senang disukai sama dia! Aku tambah semakin semangat dalam menulis. Aku juga mendukung cerita-cerita setiap kali dia bikin karya baru."
"Memangnya gambarnya seperti apa orangnya menggambar? Kayak gambar model-model manga, begitu?"
"He-eh. Bagus gambarnya, Ke!" kata Bee."Karyanya sudah ada di terbitkan di penerbit besar."
"Keren!"
"Makanya itu. Aku senang berteman dengannya."
"Hahaha. Teruskanlah berteman Bee jika itu positif bagimu. Siapa tahu kamu ketularan bisa menggambar manga."
Bee ikut tertawa.
"Ada-ada saja kamu, Ke."
"Kamu kan bisa menggambar! Kenapa enggak mencoba bikin komik?"
"Sudah kubilang, aku bikin komik abal-abal. Dulu pernah bikin komik sewaktu SMA kelas 3. Sudah lulus mungkin... Tapi gerakannya masih nyontek."
"Komik apa itu?"
"Battle sama fight."
"Kayak komik bela diri sama gelut, begitu?"
"Iya."
"Terus, aku pernah bikin komik berseri dulu. Pas magang kuliah satu bulan. Tapi komiknya khusus buat anak-anak sama remaja. Cuma dipajang doang."
"Yang penting karyamu bisa dibaca sama orang."
"Memang. Tapi aku enggak dibayar sama bosku waktu magang. Cuma perusahaan kecil. Temanku yang jurusannya sama, sekelas pula magang di perusahaan besar digaji mungkin."
"Magang di mana dulu?"
"Kayaknya magang di studio desain karakter sama 3D."
"3D? Yang kayak animasi semodel Final Fantasy?"
"Yups."
"Pasti menyenangkan. Magang eh bisa dapat duit!"
"Enak ya enak. Tapi, kalau lagi ngerjain yang namanya skripsi, jangan ditanya!"
"Eh?"
"Waktu ngerjain skripsi kudu bikin animasinya segala."
"Bikin animasi?!" seru Khalisya."Jurusanmu Desain grafis, kok bikin animasi? Itu bukannya khusus jurusan animasi?"
"Ada animasilah! Tapi animasinya pakai Adobe Flash. Itu semacam aplikasi bikin animasi di komputer. Pasti jurusan animasi tahu apa aplikasi itu."
Khalisya manggut-manggut. Jelasnya dia tak tahu aplikasi apa yang dimaksud Bee.
"Enak mana desain sama bikin animasi?"
"Enak bikin desain. Karena alasannya waktu bebas daripada di animasi?" keinginan yang sedari dulu sudah ada sejak sekolah, dunia animasi yang diidam-idamkan telah pupus karena kemampuannya yang kurang. Selain keinginannya telah pupus, tapi harapannya sama sekali tidak akan hilang. Selain kemampuannya yang kurang itu, ia selalu saja diremehkan oleh saudara-saudaranya. Ya, ia kerap ragu terhadap hal yang akan dilakukannya. Seperti sekarang. Apakah ia yakin kemampuannya dapat mengubah hidupnya? Keinginannya yang pupus? Entahlah. Justru setiap keteguhan yang dimiliki kalah oleh remehan yang selalu datang padanya. Ia mengakui, dirinya memang benar-benar berbeda dari saudara-saudaranya. Dari segi finansial, justru masih di bawah finansial saudara-saudaranya. Entah dari saudara keponakannya ataupun dari saudara sepupunya. Kadang, rasa malu sering datang.
"Kenapa ya, Bee," tanya Khalisya.
"Kenapa apanya?"
"Kamu itu sering banget diremehin? Kamu pernah cerita setiap berkumpul, kamu kerap minder," kata Khalisya menjadi sebal sendiri.
"Aku orangnya memang begitu. Enggak selevel dengan mereka. Lihat, Ke, saudara-saudaraku kehidupannya enak dan mewah? Sedangkan aku, hidupku serba sederhana dan berkecukupan. Tapi aku tetap bersyukur, hidupku kayak begini, enggak ada perubahan, enggak neko-neko kayak yang lain."
"Iya. Kamu masih bersyukur."
Khalisya sangat menyukai sifat kesederhanaan pengarangnya. Dibilang berbeda iya. Di sana masih ada cewek-cewek yang hidupnya seperti Bee. Mengirit dalam finansial dan menabung untuk kebutuhan esok.
"Selama kamu menjadi saudara, menjadi bagian dari keluarga pihak dari keluarga ayah dan ibumu, berarti mereka sering meremehkanmu, dong?"
"Jangan ditanya, mereka sering kayak begitu."
"Masih ada ya orang-orang yang masih meremehkanmu?" kata Khlisya,"Kamu itu aslinya itu mau melawan, tapi enggak bisa karena kamu menjaga omongan agar orang-orang di sekitarmu, enggak tersinggung."
Perkataan Khalisya memang tepat. Ia tak ingin melukai hati orang-orang di sekitarnya. Di-ghibah, ia cuek saja, balik dirinya meng-gibah orang lain. Ghibah dalam hal fakta. Seperti berita yang dicari, diriset dengan akurat.
"Mereka enggak tahu kemampuan di balik setiap para penulis. Penulis yang sudah berada di ujung tanduk, sakit hati diremehkan, maka, diam-diam mereka akan membuat karyanya yang diambil dari orang yang meremehkannya. Dan orang tersebut, akan dibuat, diambil untuk bahan ceritanya dan akan menjelaskan fakta siapa sebenarnya dirinya. Selamanya akan diingat dan dikenang selamanya dalam karyanya."
"Seribu buat kamu!" Bee mengacungkan jempol padanya. Jempol dua pula.
"Seratus, tahu! Yang benar seratus!"
"Kutambahin menjadi seribu, deh."
Mereka pun tertawa.
"Hahaha. Kamu lucu!" kata Khalisya, yang hari ini memakai daster berwarna biru laut bertema laut. Memakai sendal berbulu. Sandalnya terlalu besar untuk ukuran kakinya yang mungil."Emm, sudah, ya. Aku balik dulu. Besok-besok aku ke sini lagi," katanya lagi.
"Ya."
"Bye, Bee!" melambaikan tangannya. Tiba-tiba muncul sinar di seluruh tubuhnya, mengisapnya hingga tidak berbekas meninggalkannya.
Untung saja, tiga hari ini ia bisa terbebas dari ketiga adik sepupunya. Karena mereka bertiga diajak jalan-jalan papa mereka untuk berenang dan sekadar menginap hotel selama dua hari dua malam. Wuih, betapa senangnya hari ini ia! Tidak ada suara berisik dan tawa tidak berguna adik sepupu laki-laki tiap malam bergadang bermain game, ber-voice call dengan temannya di kamar sebelah. Tidak ada suara yang selalu menonton di handpone. Suara teriakan sang adik sepupu yang tukang suruh dan manja. Tidak ada adik sepupu perempuannya yang bertelepon maupun ber-video call dengan teman laki-laki dan pacarnya. Bebas sebebasnya. Cuma tiga hari, ia tidak ingin menyia-nyiakan momen penting ini. Ia seperti kembali dulu, yang tidak ada sama sekali ketiga adik sepupunya. Hanya ia dan Dee.