[Dorothea’s pov]
June 24th, 2003
Hari kelulusan angkatan 2002/2003 telah tiba. Kuremas jari-jari tangaku hingga memerah. Aku sangat gugup. Bukan, bukan karena sebentar lagi aku akan berjalan ke depan dan menerima surat kelulusan, tetapi waktu acara yang akan berakhir dalam tiga puluh menit. Seluruh murid angkatan duduk sesuai nama jurusan masing-masing, serta diurutkan berdasarkan nama seperti saat absensi di kelas.
Aku tidak bisa duduk berdekatan dengan Ivy, bahkan Este. Berhubung di kelas ada sembilan orang yang namanya berawalan huruf D, termasuk diriku, maka kursi Este berjarak dua bari dari tempatku. Sementara Ivy yang bernama asli Augustine Howard duduk di baris kedua dari depan. Keningku mengernyit bingung melihat Ivy yang mengobrol terlalu akrab dengan sang ketua kelas—yang juga baru saja mendapatkan trofi penghargaan sebagai murid dengan nilai ujian tertinggi di jurusan IPS—Alessandra James. Murid-murid kelas kami terbiasa memanggilnya AJ. Siswi itu sendiri yang mengatakan di depan kelas—saat perkenalan diri pertama setelah pengambilan minat dan jurusan—untuk jangan memanggilnya Sandra.
Jantungku bergemuruh ribut ketika tidak sengaja beradu tatap dengan AJ yang masih terlihat mengobrol dan bercanda dengan Ivy. Tiba-tiba ia semakin mendekatkan bibirnya tepat di sebelah telinga Ivy, tanpa melepas kontak mata kami. Ia sengaja menunjukkan perbuatannya itu padaku. Namun, kenapa? Perasaanku bercampur aduk walaupun telah membuang pandangan ke arah lain. Jelas saja aku cemburu, tetapi aku juga penasaran dan takut. Lagi, kenapa AJ menjadi lebih dekat dengan Ivy? Kalau dipikir-pikir setiap AJ diberikan perintah oleh seorang guru untuk mengumpulkan tugas para murid, ia akan menyuruh wakilnya tetap mengawasi kelas, sedangkan dirinya meminta bantuan Ivy untuk menemaninya ke ruang guru. Terkadang saat Este dan aku datang kepagian, kami melihat AJ yang mengerjakan bagian Ivy sebagai pengurus kelas—menggambar garis jadwal mata pelajaran hari itu.
Usai upacara kelulusan, Este mengajakku dan Ivy untuk menikmati segelas milkshake di kedai es krim yang berseberangan dengan Toko Keramik Moetia. “Kenapa kalian tidak mengajakku, hah?” gerutu Este setelah Ivy membawa topik pembicaraan soal mangkuk dan mug buatanku. Ivy bilang ia ingin aku memberikannya hadiah sebelum dirinya pergi melanjutkan pendidikan di negara lain.
“Apa nama jurusan yang kamu pilih nanti?” tanyaku tanpa mempedulikan ekspresi kesal Este yang dihiraukan.
Ivy menghela napas gugup, jelas sekali ia ketakutan dengan perubahan yang cukup besar setelah lulus SMA. “Sport Management and Leisure Studies di Michigan State University, tapi...!” Ivy langsung menatap tajam—isyarat untuk tidak menyela perkataannya--pada Este yang hendak berteriak kegirangan . “Belum tentu di Michigan—maksudku, akreditas di sana tinggi begitu juga persaingannya! Mana mungkin....” Ivy menyandarkan punggungnya lelah di kepala kursi sembari mengaduk es krim di atas vanilla milkshakenya yang mulai mencair. “Kata ‘mungkin diterima’ lebih cocok untuk AJ, hah...! Si Paling Rajin itu pasti akan dapat surat penerimaannya sebentar lagi.”
Este menyenggol sikuku sebelum pergi ke toilet. Adikku itu tahu, Ivy butuh waktu berdua sana denganku jika ia mulai merasa putus asa dan pesimis. “Rasa optimis itu seharusnya kamu bicarakan untuk dirimu sendiri, Vy,” tuturku penuh penekanan, meskipun jauh di dasar hatiku yang paling dalam ... aku sangat ingin Ivy tetap di Jakarta. Memilih jurusan olahraga di universitas yang dekat dengan milikku, dan juga kampus pilihan Este.
Aku tidak berani menatap balik Ivy. Kalau iya, sudah pasti aku akan menumpahkan air mata sambil meraung seperti anak kecil agar ia malu dan memutuskan tetap tinggal.
Napasku tercekat ketika tiba-tiba melihat bayangan berjalan di sampingku. Ivy mengempaskan diri tepat di sebelah—sama sekali tidak ada jarak antara pundaknya dan telinga kiriku. “Empat tahun itu sebentar, Dori,” ucapnya setelah mengelus punggung tanganku dengan telunjuknya.
Kusandarkan kepala pada bahunya yang terasa cukup keras. “Kamu harus makan yang banyak ya di sana, biar tubuhmu tidak hanya berisi tulang!” Ivy tertawa keras mendengar omelan yang sudah sering kukatakan setiap berganti pakaian bersama di toilet, atau saat ia memberikanku bomber jacketnya.
Tidak seperti biasanya, kali ini Ivy membalas nasihatku yang membosankan tadi, “Nanti kalau aku jadi ikan buntal, kamu pasti enggak akan kenal!”
Entah apa yang melintas di dalam pikiranku yang penuh kenangan dan bayangan kepergian Ivy, kuangkat wajah hingga bertatapan lurus dengan Ivy. Kedua hidung kami hanya berjarak kurang dari lima sentimeter, dan bisa kurasakan deru napas Ivy serta kedua manik obsidian kelamnya yang tidak henti mengerjap polos. Namun, beberapa detik kemudian kelopak mata perempuan itu terlihat sedikit sayu. Sepertinya pandangan Ivy turun ke kedua belah bibirku.
Tanpa berpikir panjang kucium lembut bibir penuh Ivy yang sejak tadi memang sedikit terbuka.
Tidak ada satu menit. Ivy menarik dirinya menjauh hingga berdiri dari tempat duduknya.
“Ma-maaf! Aku...!”
“Kamu punya perasaan melebihi teman ... padaku?” Mendengar suara Ivy yang sangat menuntut jawaban, aku hanya bisa mengangguk pelan. “Sejak aku putus dengan Reon?” Buru-buru kugelengkan kepala keras. Seperti yang sudah-sudah, hanya Ivy yang berbicara, “Berarti sejak kita duduk bersama,” ujarnya sambil tertawa sinis. Aku tidak mengerti kenapa ia tampak menagnggap perbuatanku tadi lelucon. Apakah ia akan memberikan reaksi berbeda jika aku berkata sesuatu?
“Jauh---” Bisa kurasakan napasku kembali tercekat karena bersusah payah menahan tangis yang hendak membuncah keluar, tetapi aku tetap melanjutkan, “Jauh sebelum itu ... waktu kamu gendong aku ke UKS—setelah aku tersandung--”
“Anggota tim lawan. Pertama kalinya kita belajar Dodge Ball.” Aku tidak bisa bernapas dengan teratur. Ivy memang memperjelas kalimatku yang terputus dan gagap, tetapi seringai miring dan tatapan kosong perempuan itu tetap sama seperti sebelumnya.
Apa yang kamu pikirkan, Vy?
“Aku sangat bodoh.” Terucap begitu saja dari kedua belah bibir Ivy sebelum ia berlalu pergi tanpa menengok ke arahku.
Satu kalimat dan tiga kata itu adalah hal terakhir yang kudapat dari Ivy. Aku tidak mengerti jawaban macam apa yang Ivy berikan padaku. Apakah ia memanggil dirinya sendiri bodoh ... karena tertipu sikapku yang hanya menganggapnya teman? Apakah Ivy membenciku karena itu? Berarti seharusnya aku berkata jujur sejak awal?
Yang kutahu selanjutnya Este sudah kembali dan berseru terkejut mendapatkanku menagis dalam diam. Sendirian, tanpa Ivy. Seharusnya aku tidak menyatakan perasaan. Jangankan pelukan hangat, tidak ada perpisahan atau janji ‘akan segera bertemu lagi’ di antara kami.
[Ivy’s pov]
July 5th, 2007
Setelah mendapatkan alamat tempat Dorothea mengajar les menari tradisional, Este mengirim foto kakak perempuannya yang sedang membenarkan postur tangan salah satu murid. Aku tidak bisa menahan senyum bahagia, meskipun hanya dari figur sampingnya, Dorothea masih terlihat cantik dan anggun.
“Kamu belum berkemas?”
Pertanyaan dari teman semasa SMA, dan juga kuliah, seketika melenyapkan seluruh gurat bahagia di wajaku. Kurang lebih perkataannya tentang ekspresiku tidak jauh berbeda dengan deskripsiku barusan.
Orang-orang lebih mengenalnya dengan AJ, tetapi aku lebih suka memanggilnya James. Hal sesederhana nama panggilan yang berbeda itu mampu membuatnya terikat cukup lama denganku. Padahal ia telah memiliki kekasih dan akan bertunangan bulan depan. Aku masih membutuhkan James sebagai gambaran sesaat sebelum bertemu visual Dorothea yang kurindukan. Mereka sama-sama clingy. Namun, ada kata lain untuk James. Flirty.
Aku sempat menyukai James saat masih semester pertama dan berpacaran dengan perempuan lain, begitu juga James yang populer di fakultasnya. Kami berdua sama-sama berhasil diterima di Michigan State University, tetapi ia memilih jurusan Kriminologi.
Ketika melihat secara langsung kenyataan rumor James ‘menghabiskan malam’ bersama sahabat masa kecil pacarnya, aku merasa telah menemukan seseorang yang cocok untuk melampiaskan kerinduan pada Dorothea dan kekesalan karena kesalahanku sendiri.
Aku sangat bodoh meninggalkan Dorothea meski telah mengetahui perasaannya. Hal itu karena aku tidak ingin melakukan kesalahan yang sudah kulakukan pada Reon. Masih segar di dalam ingatanku. Remaja laki-laki ceria yang selalu tersenyum dan bertingkah konyol itu, untuk pertama kalinya menangis saat aku berkata ingin kami kembali berteman. Sehari sebelum upacara kelulusan. Lalu, Dorothea menyatakan perasaannya yang mana ... sudah sahabatku itu rasakan jauh sebelum aku berpacaran dengan Reon.
Kembali ke frasa ‘cukup lama’ yang kukatakan tadi. Rentang waktu hubungan gelap antara James dan aku telah berjalan genap setahun. Aku menolak menjadi teman satu kamarnya sejak hari kelulusan. Kuakui, siapa yang tidak tertarik pada perempuan introvert dengan kemampuan hebat dalam bersosialisasi itu?
Teman-teman satu angkatan kami menganggap sifat pendiam James sangat atraktif. Bisa dibilang sifat kami mirip. Kami suka mengobservasi sekaligus memprediksi situasi orang lain diam-diam, serta sulit mengutarakan apa yang dirasakan. Bahkan selama menjalin hubungan terlarang, segala keputusan, pertemuan, dan bagaimana pertemanan kami ke depannya ditentukan berdasarkan logika. Stick to the rules.
Tidak boleh ada niat untuk memiliki. Tidak boleh menyangkutpautkan segala topik pembicaraan dengan ‘kita’. Hanya bertemu sekali dalam weekend. Tidak mencampuri urusan pribadi. Tidak boleh peduli jika ada yang butuh perhatian. Karena hal-hal yang mungkin akan muncul inilah yang membuatku langsung menolak AJ sejak awal ia mengajakku tinggal bersama.
“Aw! Is that Dorothea? I guess the puberty goals are real!”
“Apa maksudmu?” Aku melontarkan pertanyaan dengan suara datar sambil menyingkirkan tangannya yang hendak melingkar di atas punggung telanjangku. Posisiku memang tidur tengkurap, sedangkan ia duduk bersandar di kepala tempat tidur setelah mencibir sikap posesifku.
“Dadanya membe—akh! Maaf, maaf, she’s yours! She’s yours! Lepaskan tanganmu, sialan!” James langsung merintih kesakitan karena aku bergerak cepat menjewer telinganya kencang. Tidak peduli jika organ tubuhnya itu lepas sekalipun.
“I’ll go home later,” ujarku, ikut bersandar seperti James yang memandangiku dalam diam. “Don’t stare at me like that, or you’ll be obsessed!”
“Oh, iya! Lupa,” ucap James membuang wajah ke samping sembari menegak beernya rakus. “Aku bisa saja menghukummu jika telingaku ini berdarah. Untungnya tidak.”
“Kalau begitu aku harus segera membunuhmu,” sahutku dingin.
“Ugh! You really get on my nerves! Aku tidak boleh sering bertemu denganmu,” ucap James di sela gelak tawanya.
“Today is the last day, anyway,” ujarku membuat James berhenti tertawa dan menatapku tidak percaya. “Aku akan fokus dengan kehidupan pribadiku, terserah kamu juga akan melakukannya atau tidak.”
Selama aku memakai kembali sweater dan jins, terdengar suara sinis James di balik punggungku. “Jadi benar, Dorothea.”
Kulirik perempuan itu yang menatap kosong keluar jendela kamarku. Sepertinya ia masih enggan mengakui memang dirinya yang bersalah karena menjalin hubungan di belakang, dan bukan kekasihnya. Namun, aku tidak akan menjadi James. Aku harus bertemu Dorothea. Harus kukatakan apa yang Dorothea utarakan sejak dulu.