[Joshua’s pov]
February 7th, 2002
“Minggu depan udah valentine, nih, kalian mau Mama belikan apa?” Mama bertanya sambil fokus menuang teh ke empat cangkir yang ada di atas meja makan. Sementara satu tangan beliau menepuk ringan adik laki-lakiku, Jason, yang masih berumur tujuh bulan dalam gendongannya.
Adik keduaku, Tatiana, langsung menjawab cepat, “Brownies seperti biasa aja, Ma.”
Aku yang mendengarnya tidak terima karena sudah bosan memakan brownies sebagai dessert. “Aku makan lava cake di rumah Bobby! Itu aja, Ma!”
Tatiana mengernyit kesal. Ia memang terbiasa mengalah denganku, seperti sering membatalkan janji bermainnya dengan teman untuk membantu pesanan kue Mama, sedangkan aku bisa leluasa pergi karena tidak bisa melakukan pekerjaan didapur. “Beli lava cake kalau Kakak sudah bekerja! Jangan minta Mama dan Papa beli yang mahal-mahal!”
“Sudahlah, Tati, sesekali mencoba yang baru kan tidak salah,” ujar Papa.
“Sampai kapan Papa selalu memanjakan Kak Josh? Dia itu sudah enam belas tahun!” gerutu Tatiana. Tentu saja aku merasa tersinggung dengan perkataannya, tetapi kenyataannya adikku itu selalu bisa diandalkan. Bahkan ketika Om Hansen--adik dari keluarga Mama--memfitnah Papa sebagai orang di belakang ketidakhadiran kami di ulang tahun istrinya, Tatiana adalah orang pertama yang menghubungi beliau dan dengan berani mengatakan perilaku pria yang jauh lebih tua darinya itu kekanakan. Selain itu, Tatiana juga mengatakan dalam intonasi polos kalau Om Hansen hanya ingin memamerkan sepeda motor baru anaknya pada kami dengan kedok merayakan ulang tahun sang istri. Aku tidak akan pernah punya keberanian seperti itu.
Mama yang sudah menidurkan Jason di kamar dan kembali ke ruang makan berkata, “Nanti kan Tati juga makan lava cakenya, Mama beli bukan hanya untuk Kak Josh, kok,” ucap Mama menengahi perdebatan kecilku dan Tatiana. Adikku akhirnya tidak lagi memperdebatkan pilihan dessert yang akan dibeli nanti.
“Oh iya, Josh, Mama lihat ini di jatuh di kolong meja belajarmu.” Aku tersedak es teh yang tengah kuminum ketika mendapati selembar kertas pemeriksaan gigi, yang wajib diikuti siswa-siswi setiap bulan, kini terletak di atas meja makan. Kalau saja aku tidak tidur sekamar dengan Tatiana dan Jason, Mama tidak akan menemukan kertas laporan dari sekolah yang sengaja kusembunyikan itu dimana pada nomor terakhir tertulis; ada gigi berlubang yang harus segera diperiksa ke dokter gigi.
Papa turut meraih kertas itu dan mengernyitkan kening saat membacanya karena tidak memakai kacamata. “Ini laporan dari bulan Oktober, lho,” urainya membuatku tidak bisa mengelak.
“Sekarang sudah Februari,” timpal Tatiana semakin menyudutkanku dengan senyuman penuh mengejeknya itu.
“Terima kasih atas konfirmasinya, sangat membantu,” balasku padanya dengan ekspresi masam.
Mama menghela napas dan menyuruhku tegas, “Kamu harus segera ke dokter gigi, Josh, nanti lubangnya makin membesar. Mama akan buat janjinya besok pagi.”
“Aku pergi sendirian?” tanyaku memelas.
Kali ini Papa setuju dengan Tatiana dan mengulang perkataan adikku tadi, “Kamu kan sudah besar, Josh, masa anak enam belas tahun kalah sama yang masih dua belas tahun—“
“Iya, iya, nanti aku pergi!”
Keesokan harinya, ketika jam istirahat di kantin.
Bagaikan tradisi di suatu perkumpulan, kelasku yakni XI IPA-B selalu mengelompokkan dua meja menjadi satu setiap waktu istirahat pertama berlangsung. Aku yang duduk sebangku dengan Louis harus bergabung dengan dua perempuan yang duduk di depan kami, Dorothea dan ... Augusta. Oh, ini tidak baik. Augusta dan Louis memiliki sejarah yang buruk saat keduanya berbeda kelas tahun lalu.
“Oh, susu hari ini dingin! Enak sekali, coba deh, Vy!” Dorothea memecahkan kecanggungan kami berempat dan berhasil membuat wajah geram Augusta berubah, perempuan jangkung itu tersenyum manis begitu menegak seperempat susu dari botolnya.
Aku yang selesai memakan main dish dan meminum air mineral, langsung meraih botol susu rasa vanila di nampanku dan menegaknya tanpa ragu. “Uph!” Gigiku yang berlubang langsung berdenyut sakit karena rasa dingin dari susu, dan tanpa sadar aku meletakkan botol terlalu keras di nampan sambil isinya sedikit tumpah.
“Eh, Jo! Kamu kenapa?” tanya Dorothea panik.
“Dude, pipi kirimu bengkak,” kata Louis sambil menekannya, dan jelas saja aku langsung mengaduh kesakitan karena perilaku iseng temanku itu.
“Ahaha! Gigimu pasti berlubang!” ledek Augusta sambil mengangkat sebelah alisnya dan menyeringai penuh ejek. Seperti tidak cukup meledekku, Augusta kembali berkata walaupun Dorothea di sebelahnya sudah menyikut lengan perempuan itu, “Baru kali ini ada laki-laki takut--takut pergi ke dokter sendirian lagi, ahahaha! Nanti tuh kuman makin gali gigimu sampai ke gusi, kalau kena saraf ... hiiii! Kamu tidak akan bisa bangun dari tempat tidur!”
“K-Kok kamu tahu banyak? Gigimu juga berlubang!” tuduhku tidak ingin kalah.
Dorothea langsung menatap lekat mulut Augusta yang terbuka, dan tampaknya itu membuat Augusta marah, lalu balas berseru padaku, “Enak saja! Itu pengetahuan umum dan kamu harusnya juga tahu sebelum kubilang!”
“Astaga, perkara gigi....” keluh Louis sembari lanjut meminum susunya.
“Iya, Vy, jangan teriak-teriak ... daritadi yang lain lihat ke kita terus,” bisik Dorothea.
“Cih, pokoknya aku sudah menasihatimu, ya, bocah! Kamu ikut klub paduan suara juga, jangan sampai kamu tidak bisa membuka mulut saat ulang tahun Damian nanti,” ujar Augusta, menyebut nama anak tunggal kepala sekolah yang baru saja kembali dari pertukaran pelajar di daerah lain.
‘Bisa-bisanya aku lupa!’ batinku panik.
February 14th, 2002
Aku menarik napas dalam melihat gedung klinik di depanku. Terhitung sudah bertahun-tahun aku tidak ke tempat ini.
“Ayo, masuk!”
Kedua kakiku nyaris saling tersandung begitu mendengar suara yang sangat kukenal. Begitu aku menoleh, Marjorie--tetangga sebelah sekaligus teman sekelasku—telah berdiri dibalut sweater khaki dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku baggy pants.
“Kamu sedang apa di sini?” tanyaku bingung.
Marjorie menyahut tenang, “Menari.” Melihat mulutku yang melongo terkejut membuat perempuan itu memutar bola matanya malas. “Tentu saja menemanimu cabut gigi!”
“O-Oh....”
“In case you’re still wondering, aku duduk di belakangmu, jadi aku bisa mendengar jelas ejekan patriarkis Augusta.”
Kepalaku tertunduk dalam mendengar perkataannya yang memang benar. Ini menyebalkan. Tatiana dan Marjorie, dua perempuan yang biasanya akan selalu menjadi pihak lemah di pandangan masyarakat, pasti akan dengan senang mengolok pria yang terlihat lemah dan tidak bisa diandalkan sepertiku.
“Punya ketakutan sendiri itu wajar, jangan pikirkan ucapan Augusta,” ucap Marjorie sambil berjalan melewatiku memasuki klinik.
Setelah memberitahu resepsionis akan janji yang telah dibuat Mama, aku turut duduk di kursi tunggu bersama Marjorie. Tiba-tiba ia meraih dan menggenggam tanganku. “Ke-napa...?” tanyaku tergagap. ‘Jangan merah, tolong, jangan sampai wajahku berubah merah!’ Aku terus berdoa agar tidak secepat itu tersipu malu dengan perbuatan Marjorie.
“Tanganmu dingin.” Marjorie tertawa kecil, lalu memasukkan tangan kami yang masih bergenggaman itu ke dalam saku jaket denimnya. “Gigi apa yang suka sarapan?” tanya Marjorie kemudian.
“Hah?” Aku kebingungan dengan kuis dadakan itu. Namun, pada akhirnya aku menjawab dengan percaya diri, “Gigi susu?”
“Correct!” Ia tersenyum simpul.
“Gigi apa yang tidak pernah menang?” tanyaku balik dengan suara menantang.
“Gigi seri. Tanya yang lebih susah,” kekeh Marjorie. Belum sempat aku memikirkan pertanyaan lain, sang resepsionis memanggil namaku untuk masuk ke ruangan. “Semangat...!” desis Marjorie dari jauh, tetapi masih bisa kudengar dengan jelas.
Usai pencabutan gigiku berhasil dan membayar, Marjorie dan aku berjalan beriringan keluar klinik. “Akhirnya aku bisa makan lava cake dengan tenang!” seruku bersemangat. “Ayo mampir ke rumah, Majie!”
“Boleh,” sahut Marjorie setuju sebelum mengejutkanku dengan ajakannya, “Aku mau jenguk Oma dulu, kamu mau ikut?”
Tanpa berpikir aku langsung mengiyakannya. Marjorie mengulum senyum sendu dan membuang wajah saat aku sekilas melihat kedua matanya mulai berkaca-kaca. “Apa saat dewasa kamu akan menikah, Jo?”
“Um, ya...,” jawabku heran. Sejujurnya aku masih belum memikirkan hal itu. Namun, aku tidak bisa menahan diri membayangkan Marjorie akan memakai cincin Mama.
“Kenapa kamu ingin menikah?”
“Maksudmu?”
Marjorie menunduk menatap kedua sepatu mary janenya dan membiarkan angin sore meniup helai-helai rambutnya yang terurai. “Kita semua manusia yang egois, mustahil bisa menyatukan dua orang dengan cara berpikir dan keinginan yang berbeda, kan.”
“Ya, tapi seperti kata Nenekmu dulu---kita butuh seorang teman sebelum akhirnya berkelana sendirian lagi di roda kehidupan yang tidak tentu arah, seperti saat kita butuh Ibu dan Ayah yang menunggu-nunggu kelahiran kita!”
Kali ini Marjorie tidak keberatan memperlihatkan padaku kedua matanya yang telah basah. Ia pasti teringat akan perceraian mendiang sang nenek, dan juga ... perselingkuhan ibunya yang baru-baru ini digunjingkan orang-orang di komplek perumahan kami. Aku memberanikan diri mengangkat tangan dan mengusap bekas jatuhan air matanya.
“Aku tidak akan menangis untuk seseorang.” Perkataan Marjorie menghentikan gerak ibu jariku di pipinya.
“Seseorang siap---”
“Aku tidak akan menikah,” ucapnya sekali lagi dengan tegas sembari melempar tatapan lurus ke depan. “Hidupku tidak akan diperbudak dengan perasaan sesaat itu.”
[Ivy’s pov]
March 14th, 2002
Sepulang sekolah, aku terburu-buru kembali ke kelas setelah mengumpulkan semua buku tugas teman-teman ke meja wali kelas kami di ruang guru. Ketika aku baru membuka pintu, Dorothea melewatiku tanpa berpamitan seperti biasanya. ‘Gara-gara Louis!’ geramku dalam hati sembari berlari dan menyambar ransel yang tersampir di kursiku sebelum mengerjar Dorothea.
“Dori, tunggu!” teriakku susah payah karena mulai kehabisan napas. Begitu langkahku hanya berjarak kurang dari satu meter di belakang Dorothea, kutarik tangannya hingga ia berhenti berlari dan berbalik badan menghadapku lurus. Usai menetralkan degub jantungku karena berlari sambil berteriak, aku berujar lirih, “Maaf aku bersikap buruk di kelas Mandarin!”
“Jangan minta maaf padaku,” kata Dorothea sinis.
“Dori, tolong berhenti marah ... aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bercanda dengan Josh--”
“Bercanda? Kamu jelas-jelas mengejeknya!” pekik Dorothea benar-benar terdengar marah. Biarpun begitu ia masih membiarkan tangannya kugenggam. Itu bagus.
Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal dengan tangan lainnya sambil melihat ke arah lapangan basket. “Mungkin karena ada Louis, aku jadi terbawa emosi....” Aku sendiri tidak bisa memahami diriku sendiri yang dengan mudahnya mengkoreksi presentasi kelompok Joshua dan Louis. Dimana secara fakta hanya Joshua yang menjelaskan tugas mereka, sedangkan Louis hanya membantu mengubah slide di balik laptop.
“Jangan menyalahkan orang lain, Vy, harusnya kamu bisa menahan diri,” tutur Dorothea sambil perlahan melepaskan tautan tangan kami. Nada suaranya sudah lebih rendah dibandingkan tadi.
Sebenarnya aku tidak rela melepas tangannya. Dorothea masih tampak kes—
“Augusta!” Seseorang dengan suara bariton yang familiar tiba-tiba merangkul pundak dan mengacak puncak kepalaku seenaknya.
“Apa-apaan kau, Reog!” Dengan sekali sentakan aku mendorong tubuh besar teman sekelas—sekaligus pacarku—yang kini hanya tertawa-tawa tidak jelas. Satu-satunya alasanku menerima ajakan sebagai sepasang kekasih karena para siswi meremehkan selera laki-laki ini yang memang sering bermain dan mengobrol denganku. Akan kutunjukkan laki-laki inilah yang setia mencari perhatianku, dan memperjelas pandangan para penggermarnya bahwa aku tidak perlu berdandan dan memakai rok pendek untuk mendapatkan Reon. Ya, nama aslinya adalah Reon Chandraganta, kapten tim basket sekolah yang baru saja turun dari jabatan ketua osis karena sekarang telah berstatus sebagai kakak kelas XII.
“Aku duluan ya,” ucap Dorothea menghentikan usahaku menyingkirkan rangkulan Reon yang terus merajuk manja.
Kuraih tangan Dorothea lagi dan berkata tegas, “Tadi pagi kamu sudah bilang bersedia aku bawa ke toko keramik.”
“Astaga, aku benar-benar tidak mengerti selera kalian,” decak Reon. Ia sudah tidak lagi menggelayutiku, melainkan menatap Dorothea dan aku bergantian dengan tatapan prihatin. “Kalau langsung bisa beli dan dipakai, kenapa harus capek-capek membuat?”
“Kalau begitu kau pulang saja!” ketusku tidak tahan dengan sikap meremehkan Reon. Aku sedikit menarik tangan Dorothea yang berada di dalam genggamanku.
Saat kami hendak melewati gerbang sekolah terdengar Reon yang berseru heboh, “Terima kasih cookies cokelatnya, sayang!”
Selama aku dan Dorothea berjalan beriringan, tidak ada yang bersuara. Perempuan cantik itu juga hanya melangkah diam sambil menunduk. Tangannya memang kupegang, tetapi bisa kurasakan pikiran Dorothea sedang menjelajah ke tempat lain.
Tidak terlalu jauh dari sekolah, Toko Keramik Moetia yang memiliki bisnis produksi cangkir, vas, dan mangkuk buatan sendiri telah membuka tokonya itu sejak setahun setelah sekolah kami didirikan. Wajar saja, karena pemilik toko itu adalah adik laki-laki dari kepala sekolah SMA. “Sudah sampai, Dori!” ujarku riang. Dorothea mengangkat wajahnya dan baru sadar kalau ia sudah berdiri di depan sebuah toko dengan desain eksterior minimalis yang sangat imut dengan warna merah muda dan putih—jangan lupa ornamen tanah liat koala dan anak rusa yang menggemaskan.
“Este bilang kamu rindu membuat gerabah, seperti waktu--”
“Seperti ketika Ayah masih ada,” sambung Dorothea. Tangannya balik mengenggam milikku erat. “Terima kasih!”
Terhitung sudah sejam Dorothea berkutat dengan mangkuk kecil dan mug buatannya. Kulihat ia membiarkan sang pegawai mengambil miliknya untuk dibakar dan melewati proses finishing. Aku tidak bisa menahan senyum melihat ekspresi bahagia Dorothea yang berjalan ke tempatku duduk di dekat jendela, berbeda sekali ketika kami masih di sekolah. “Besok pagi-pagi sekali harus diambil!”
Seringai Dorothea perlahan menghilang lantaran aku meletakkan sebuah paper bag berwarna putih dengan motif kupu-kupu kecil yang timbul di permukaan kertasnya.
“Thank you for your chocolate truffle! I promise I won’t be a jerk like what I did to Joshua and Louis earlier,” ucapku bersungguh-sungguh.
Dorothea mengulum senyum simpul sembari membuka hadiah White Day dariku. “Ah—kupikir kamu juga membelikanku cookies cokelat seperti Reon,” bisiknya lirih. Kedua manik hazel Dorothea menatap satu per satu gelang dan kalung yang kuronce sendiri sejak minggu lalu. Dorothea langsung memakai kalung dengan manik putih seperti mutiara yang di tengahnya terdapat liontin berbentuk hati.
Aku menunjuk liontin itu dan mengusulkan, “Kamu bisa simpan foto orangtua—atau fotomu dan Este!” Dorothea menatapku cukup lama setelah perkataanku barusan, tetapi tidak lama ia mengangguk setuju dengan usulku itu.
“Kreativitasmu boleh juga,” puji Dorothea sembari memakai salah satu gelang dengan manik bunga daisy. Barang terakhir yang berada di paling dasar paper bag itu adalah sekantung penuh marshmallow. Dengan tidak sabar Dorothea membuka bungkus plastiknya dan menggigit salah satu marshmallow hingga isinya keluar mengotori ujung bibir dan kerah kemeja seragamnya. “Oh! Selai bluberi!” Dorothea terlalu asik mengagumi marshmallow pemberianku sampai saat ibu jariku mengusap sisa blueberi di bibir atasnya, kedua mata kami saling bersitatap.
Pertanyaan Dorothea memutuskan kontak mata kami, “Kenapa kamu tidak kasih ini ke aku di sekolah?”
Aku terkekeh gemas melihat Dorothea yang kembali cemberut. “Kamu ingin aku membalas hadiahmu di depan banyak orang seperti yang kulakukan pada Reon dan seorang siswa dari kelas IPS itu?”
“Ya ... mungkin,” sahut Dorothea tampak tidak yakin.
Aku menopang dagu dengan sebelah tangan tanpa melepas pandanganku pada Dorothea yang memakaikan gelang pemberian mendiang Ibunya padaku. Gelang perak dengan liontin burung dan sangkar.
“I feel like I am at home whenever and wherever you stay by my side,” ucapku dengan kondisi kedua tangan yang sudah menangkup satu tangan Dorothea, lalu menempelkannya pada sisi wajah kananku. Kurasakan tangannya bergerak, menyisipkan helai-helai rambutku yang ke belakang telinga. “I won’t treat my home like other dark places," ungkapku, lalu kembali melontarkan unek-unek di dalam hati, "Aku juga ingin berbagi kesedihan denganmu, seperti saat kamu bersama Este.”
Suara-suara bentakan dan pertanyaan semalam yang membuat pikiranku sangat terbebani sampai niat melukai diri sendiri itu muncul, perlahan menghilang seiring Dorothea yang balik meraih kedua tanganku dan diusapnya lengan atas—tempat dimana luka itu masih basah. “Kalau begitu ceritakan, jangan pendam semuanya sendiri, Vy....”