[Ivy's pov]
November 31st, 2007
Setelah memukul setir mobil yang kuparkirkan di halaman, aku keluar sambil membanting pintunya. Bertemu orang lain di acara reuni tidak membantuku melupakan bayangan kebersamaan Dorothea dan Joshua saat makan malam tadi, begitu juga dengan melarikan diri ke rumah sepupuku tadi.
Langkahku terhenti saat melihat Louis dan Marjorie berdiri di depan pintu rumah. Tangan pria itu memainkan rambut sang wanita tanpa rasa malu. Menjijikkan. “Kalian lupa sedang berada di rumah orang lain?” hardikku tanpa berniat melangkahkan kaki lebih dekat ke mereka. Marjorie langsung menepis tangan Louis bertepatan ketika aku bersuara.
“Jangan sok menasihati kalau kau saja lupa kodratmu sebagai pihak yang ditolong,” ejek Louis dengan seringainya yang menyebalkan. Sama seperti ketika aku menghajar wajah pongahnya di bangku SMA.
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa keras. “Kau merasa pantas menjadi pihak yang menolong? Bahkan tanah yang mengubur Este masih basah!”
Marjorie berusaha meleraiku dan Louis, “August, sudahlah....”
“Diam, Majie.” Aku berucap dingin tanpa menatap wajahnya dan melanjutkan, “Orang tidak tahu terima kasih sepertimu tidak pantas kuselamatkan, apalagi menjadi teman Este.”
Kedua kaki berjalan cepat, tidak peduli bahuku menabrak tubuh Louis hingga pria itu berteriak marah padaku. Sementara Marjorie berusaha menahannya dengan mengingatkan mereka hanyalah tamu.
Setelah mengempaskan tubuh di sofa, kukeluarkan ponsel dari saku celana. Netraku yang tadinya menatap jam digital—yang menunjukkan pukul sembilan malam—beralih ke notifikasi dari seseorang. Ia juga salah teman dari SMA yang sebenarnya sudah kukenal sejak SMP, tetapi kami memang tidak terlalu dekat. Hanya saling mengenal nama dan bertegur sapa ringan.
“Habis darimana?” Aku menoleh ke arah sumber suara dan melihat Joshua yang baru menuruni tangga sambil memegang laptop dengan salah satu tangan melepaskan sebelah earphone dari telinganya.
Aku menjawab singkat setelah membuang muka, berusaha tidak memikirkan apa yang dilakukan pria itu bersama Dorothea di atas. “Rumah sepupu.”
“Oh, Dorothea sejak tadi mencari-carimu,” ujar Joshua. Aku bergumam kecil sebagai balasan kalau aku akan menemui Dorothea nanti. Setelah Joshua memasuki kamarnya dan Louis. Aku hendak fokus menjawab pesan dari teman SMA, tetapi perhatianku langsung tersita melihat Kakek yang tiba-tiba keluar dari kamar bersama Nenek dengan pakaian seperti saat ia akan memancing.
“Arep menyang ngendi, Mbah?” (“Mau kemana, Mbah?”) tanyaku penasaran.
“Diajak kancaku mancing!” (“Diajak temanku memancing!”) jawab pria yang sudah memasuki usia delapan puluhan itu, terlalu bersemangat. Di tengah-tengah perdebatanku dengan Kakek perihal angin malam bisa membuatnya masuk angin, Nenekku menyodorkan sebuah kotak makan berisi kacang rebus dan pisang kukus.
“Kenapa aku yang dikasih?” tanyaku keheranan.
Nenek mencubit hidungku gemas sampai aku mengaduh kesakitan. “Ngancani simbah, aja nganti mlumpat menyang segara!” (“Temani Mbahmu, jangan sampai lompat ke laut!”)
Aku mulai merajuk kalau malam itu dingin sekali, tetapi ejekan Kakek yang mengatakan anak-anak zaman sekarang lemah dan manja membuatku kesal dan berakhir menyambar kotak makan yang Nenek berikan.
Jarak dari rumah ke tempat Kakek memancing hanya memakan waktu sekitar sepuluh sampai lima belas menit. Sesampainya di sana, aku memaksakan senyum pada Mbah Jumirin dan anak laki-lakinya yang sudah lebih duu datang. Setelah saling bertanya kabar singkat, Mbah Jumirin mulai mengomentari pilihanku untuk tinggal di luar negeri yang membuatku harus mengelus dada sabar. Ini kesekian kalinya aku menjelaskan impianku menjadi atlet dan bagaimana kehidupan di negara orang lain membuatku menjadi lebih mandiri. Di dalam hati, aku terus berdoa semoga teman-teman Kakek yang lain segera datang supaya obrolan dengan Mbah Jumirin berhenti. Pasalnya, ia mulai memprovokasi Kakek kalau wanita yang terlalu mandiri itu tidak bagus karena hanya membuatnya jauh dari jodoh.
Aku mengulas senyum pahit mendengar ucapan pria tua itu. Inner child yang menginginkan hidup tanpa ikatan mulai berteriak pada bagian lain di dalam diriku yang selama ini berusaha berani menerima bahwa aku tidak bisa melupakan semua tawa, pelukan, dan air mata bersama Dorothea. Aku ingin menemaninya di kehidupan sekarang. Walaupun setelah mengembuskan napas terakhir nanti, aku ingin lahir dan dipertemukan lagi dengan Dorothea.
Tiba-tiba lamunanku buyar. Kulihat tangan Kakek menepuk ringan puncak kepalaku. Di belakangnya, teman-teman memancing yang seusia Mbah Jumirin maupun lebih muda menyapaku dan terperangah karena postur tubuhku yang tegap, jauh berbeda dengan diri dulu saat masih kecil. “Aja lebokne neng hati, Cah...,” ("Jangan dimasukkan ke hati, Nak") bisik Kakek sambil tersenyum teduh berusaha menghibur cucu perempuan tertuanya ini yang memikirkan ucapan Mbah Jumirin sembari pasrah dengan statusku di antara hubungan Dorothea dan Joshua.
Baru saja aku akan melangkah ke dalam perahu yang membawa Kakek, mataku menangkap seseorang yang seharian ini hanya bisa membuatku memendam amarah karena kesombongan dan cara bicaranya yang merendahkan orang lain. “Mbah, aku ngenteni ing warunge Bu Ijah ya, luwe....” ("Mbah, aku tunggu di warung Bu Ijah ya, lapar....") Kakek menyuruhku untuk memakan saja bekal dari Nenek, tetapi kutolak. Setelah memita tolong teman-teman Kakek untuk menjaganya, aku melangkah lebar-lebar menuju warung Bu Ijah—tempat dimana aku melihat orang itu.
Louis, pria itu tampak sedang menelepon seseorang. Aku masih setia mendengarkan percakapan Louis dari belakang punggungnya. Dadaku bergemuruh kalut saat mendengar suara kebingungan Louis mempertanyakan orang di seberang sejak kapan ia mengganti ahli waris asuransinya ke Marjorie. ‘Itu tandanya, Marjorie sudah lihat suratnya dan memberitahu Louis.’
“Mas, susu kacang jahe satu,” pesanku sambil duduk di sebelah Louis.
Bisa kurasakan pria itu tersentak kaget dan berseru marah kepadaku, “Gila! Kamu harus berhenti menguntitku!”
Aku mencibir mendengar perkataannya, “Sama sekali tidak tertarik dengan kehidupan busukmu!”
“Oh ya? Ya! Satu-satunya yang menarik perhatianmu itu istriku, kan!”
“Hah?” Aku menatap geram pria yang mengatakan hal tidak masuk akal dari mulut sampahnya itu. “Dasar tidak waras,” sahutku tenang sambil mengucapkan terima kasih pada putra Bu Ijah, Hafiz, yang membawa pesananku. Sementara itu, Louis menutup panggilan dan meletakkan ponselnya dengan keras di atas meja.
“Semua pegawai Este menggunjingkannya denganmu! Orang tidak waras sepertiku jauh lebih baik dari kau, lesbian menjijikkan! Hah, sial!”
Ha. Aku benar-benar kesal membayangkan fakta Este tulus memberikan perasaan dan tubuhnya pada pria sejenis ini. Andai saja aku tidak pergi....
‘Aku tidak mau mengenalmu jika kau berhenti mengejar mimpi hanya karena orang lain!’
Kalimat terakhir Este menggema di dalam kepalaku. Dorothea mungkin akan membenciku. Namun, ini demi Este. Our Este.
Aku berjalan ke dalam warung begitu mendengar suara rengekan bayi. Terlihat Hafiz yang kesulitan menidurkan anaknya yang menangis dan meghentak-hentakkan kaki. Rumah Hafiz hanya berjarak tiga ratus meter dari pantai, jadi aku menawarkan bantuan, “Biar aku saja yang jaga warungnya, Fiz, kamu bawa dulu anakmu ke rumah.”
“Suwun yo, Mbak!” ("Terima kasih ya, Mbak!")
Usai kepergian Hafiz, aku keluar dari balik etalase warung dengan salah satu botol yang masih berisi setengah minyak jelantah milik Bu Ijah. Louis kembali menghubungi seseorang, kali ini ia tidak duduk melainkan berdiri menghadap laut. Kudengar ia menyebut nama Marjorie, sesekali memanggilnya sayang, dan berkata besok pagi-pagi sekali mereka berdua harus melihat matahari terbit di pantai.
Genggaman tanganku semakin kuat memegang leher botol itu. Dalam sekali ayunan benda tumpul yang keras itu kuhantamkan ke kepala Louis. Ponsel dari tangannya terlepas. Ia sempat berbalik dan berusaha berteriak padaku sambil mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Aku kembali memukul kepalanya bertubi-tubi. Meskipun, ayunan tanganku meleset beberapa kali hingga botol itu mengenai dahi dan hidungnya, aku tidak berhenti.
Aku telah merancang segalanya sedemikian rupa. Bahkan berhasil membuat Este menyetujuinya. Aku tidak akan berhenti. Semakin lama aku mengulur waktu pria brengsek ini bernapas, Este tidak akan tenang.
Ketika Louis terkapar dengan darah bersimbah membasahi seluruh wajah sampai kedua matanya tidak tampak lagi, aku memeriksa denyut nadi pria itu. Sudut bibirku tertarik sedikit ke atas begitu merasakan tidak ada lagi deru napas yang keluar baik dari hidung maupun mulutnya yang terbuka. “Enjoy your karma, bas***d!”
[Dorothea’s pov]
January 8th, 2008
Hawa panas yang terik pada Senin siang itu membuatku semakin gelisah di ruang persidangan. Tempat dimana satu-satunya tersangka pelaku pembunuhan Louis, Marjorie. Setelah menginterogasiku, Joshua, dan Ivy, para polisi dan seorang detektif untuk kasus ini memutuskan untuk menyelidiki hubungan Marjorie dan Louis lebih jauh. Menurut analisis dan keterangan, kedua pihak legal itu mencurigai Marjorie yang datang malam-malam buta ke lokasi Pantai Ngemboh untuk berjalan-jalan. Selain fakta tersebut, satu bukti yang menguatkan alasan salah satu temanku dari SMA itu harus dikenakan Pasal 340 KUHP, nama ahli waris polis asuransi milik Louis telah berpindah hak dari Este menjadi Marjorie. Oleh karena itu, Marjorie ditetapkan telah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana.
Mendengar bagaimana adik perempuan semata wayangku tergantikan dengan begitu mudahnya dengan orang lain ... membuatku tidak mampu berkata apa-apa. Kepergian kedua orangtuaku sejak masa sekolah dasar telah cukup menghancurkan pandangan tentang kehidupan yang selalu kubayangkan layaknya sebuah cerita dongeng. Este--seorang anak yatim piatu teman orangtuaku yang diadopsi sehari setelah aku mengalami kecelakaan--adalah satu-satunya hal berharga yang tersisa di dalam hidupku. Pada saat itu, Ayah dan Ibu harus banting tulang mencari uang untuk biaya operasi patah tulang kakiku, dan Este tidak pernah meninggalkan sisi tempat tidurku di ruang rawat selama aku membuka mata.
Ibu kandung Este telah meninggal saat melahirkannya, dan Ayah anak perempuan malang itu dinyatakan meninggal dunia setelah mengalami kecelakaan tabrak lari, di hari yang sama ketika aku masuk ke rumah sakit. Berdasarkan cerita Ibu, ia yang membantu orangtua Este kawin lari karena tidak mendapat restu. Bahkan sebelum lahir, Este telah tidak memiliki siapa pun yang mengakuinya sebagai cucu atau sepupu.
Setiap aku mengantar Este berdoa di Vihara, ia selalu bercerita tentang karma baik, reinkarnasi, serta roda kehidupan dengan delapan ruas yang selalu berputar. Este tidak pernah bosan berujar semangat di mobil, ‘Aku berdoa setiap hari, semoga kita akan jadi Kakak dan Adik sungguhan di kehidupan selanjutnya!’
“Terdakwa Majorie Silas secara sengaja merampas nyawa mendiang Louis Lazuardi setelah mendapatkan hak waris dari asuransi milik korban, demikian terdakwa resmi dipidana penjara seumur hidup--”
Suara Hakim yang menjatuhkan hukuman kian terdengar seperti aku tengah tenggelam semakin dalam di laut. Seiring jatuhnya air mataku, dan teriakan tidak terima Ayah serta pecahnya tangis Ibu Marjorie. Aku tidak kuasa lagi. Kuhentak tubuhku bangkit dari kursi dan berderap cepat meninggalkan ruang sidang dengan air mata yang mengalir semakin deras.
Sesampainya kedua kaki memijak halaman gedung persidangan, kedua mataku yang berkaca-kaca menangkap sosok punggung lebar milik orang yang dulu sering menggendong Este setiap adikku tertidur di ruang tamu.
“Ivy...!” seruku memanggil namanya dengan suara yang terdengar sangat lemah. Rupanya sahabatku itu tidak sendirian. Di depannya berdiri detektif yang menangani kasus pembunuhan Louis, dan juga Este. Melihat kondisiku yang sangat kacau membuat Ivy berlari dan menghambur memelukku sangat erat, lalu melepaskan lingkaran tangannya untuk menghapus lembut sisa-sisa air mata di pipiku.
“Halo, Mbak Tia,” sapa sang detektif yang tidak kusadari telah berjalan mendekati kami berdua. “Tetap tabah ya, Mbak, saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan saya jika berada di situasi Mbak Tia.” Seharusnya kalimat itu terdengar simpatik, tetapi entah kenapa aku merasa detektif wanita ini tidak tulus ketika mengatakannya. Senyum miringnya terlihat dipaksakan, begitu juga dengan tatapan sinisnya padaku.
“Terima kasih, Mbak--” Kurutuki diri sendiri karena tidak mengingat namanya.
“Dharma.”
“Ah, maaf, terima kasih, Mbak Dharma,” ucapku lantas beralih menatap Ivy yang seperti sudah sejak tadi memandang Dharma marah. Mungkin Ivy juga merasakan ketidaktulusan perkataan beliau terhadapku.
Dharma mengembuskan napas sekilas sebelum pamit pergi pada kami, “Kalau begitu saya permisi, Mbak Tia.” Ia menepuk dan mengusap pundak Ivy sambil berkata, “Titip salam untuk Hafiz dan anak sulungnya yang akhirnya bersekolah.”
Setelah Dharma berjalan pergi meninggalkan kami, aku bertanya pada Ivy penasaran, “Kok dia tahu Hafiz?” menyebut nama pria yang waktu itu mengantar bebek bakar saat kami liburan.
“Teman masa kecil,” jawab Ivy singkat, lalu menggenggam sembari mengusap punggung tanganku lembut. “Hari ini kamu izin mengajar, kan?” Aku mengangguk lesu sembari berjalan dengan lengan kuat Ivy merangkul pinggangku.
“Ajak aku menghabiskan waktu bersamamu,” ucapku menuntut.
Kulihat dari samping Ivy yang langsung bertanya tanpa ragu, “Mau menginap di rumahku?”
“Aku bilang ‘ajak’, bukan ‘tanya’!” Di dalam hati aku menahan tawa melihat ekspresi lucu Ivy yang tampak berpikir keras menyusun kata-kata.
“Akan kuputar My Fair Lady, kubuatkan teh cinnamon, dan kumakan habis tumis bayam buatanmu yang terlalu asin kalau kamu menginap di rumahku hari ini,” tuturnya sebelum akhirnya terengah-engah karena mengucapkan satu kalimat panjang itu dalam sekali tarikan napas. Aku tertawa dan mengangguk semangat sebagai jawaban untuk ajakan manisnya itu.
Selama Ivy melajukan mobil, aku terus menatapnya. Seperti yang kulakukan saat kami duduk di meja yang sama saat SMA. Aku tidak akan pernah berani mendekati dan mengakrabkan diri dengan Ivy hingga seperti sekarang jika bukan karena Este yang menukar nomor undianku dengan miliknya saat pertukaran teman sebangku.
‘Kamu merasa canggung duduk dengan Si Primadona, kan, ini, ambil!’ Este merebut kerta bertuliskan nomor tujuh di tanganku dengan secarik kertasnya yang berbunyi nomor sembilan.
‘Siapa yang dapat nomor sembilan juga?’ Jantungku seakan melewati satu detakan karena berdebar terlalu cepat ketika mendengar seruan lantang perempuan tomboy yang selama ini hanya kuperhatikan dari jauh.
‘Tia! Kak Tia dapat sembilan juga, Gustav!’ Este balas berteriak sambil tertawa geli.
‘Ck, panggilanku Augusta!’ koreksi perempuan itu yang bisa kurasakan telah berdiri dibelakangku. Este mencibir tidak peduli dan mengatakan baik nama lengkap dan panggilnya sangat sulit diucapkan.
Aku baru membalik tubuh saat suara itu bertanya padaku, ‘Jangan tiru adikmu ya, atau aku akan sakit hati dan tidak bicara padamu, Dori.’
‘Hei, jangan ubah nama orang seenaknya, Gustav!’ ujar Este tidak terima.
‘Tidak apa, Dorothea memang terlalu panjang untuk disebut, dan ... aku lebih suka Dori,’ ucapku sembari perlahan mengangkat arah tatapku hingga bertemu dengan obsidian teduh Augustine.
‘Jadi maksudnya Kakak tidak suka dipanggil Tia olehku?’ Este cemberut tidak terima, dan Augustine tertawa mengejek setelahnya.
Usai mengatakan aku bosan dengan nama itu sejak kecil, kutatap berani Augustine yang masih setia meledek Este. Aku hanya ingin ia melihatku.
‘Karena kamu memanggilku Dori, aku akan memanggilmu Ivy,’ putusku yang sepenuhnya menghentikan pertengkaran kecil kedua perempuan di dekatku itu. Aku sendiri tidak tahu darimana keberanian itu berasal. Sesaat kemudian, senyum hangat dan kedua netra hitam legam yang melengkung seperti bulan sabit itu mampu membuat kupu-kupu di dalam perutku berterbangan tidak terkendali.
‘I'll take that! It sounds lovely,’ balas Augustine sebelum menarik tanganku ke meja kami.