[Dorothea’s pov]
July 14th, 2007
“Ivy sudah datang?”
“Sejak kapan dia pernah terlambat, Tia?” Este balik bertanya sembari menutup pintu rumah dan melewatiku yang masih menggantungkan cardigan krem yang kukenakan di tiang penggantung topi. Aku berusaha menyembunyikan senyum karena fakta sifat tepat waktu Ivy sejak dulu tidak berubah hingga sekarang. Aku berharap tidak ada yang berubah ... oh, satu perubahan yang terlihat sangat jelas.
Begitu punggung Este menghilang dari hadapanku, kulihat Ivy duduk di sofa menghadap ke arah televisi. Dulu, aku selalu menganggap Ivy terlalu kurus karena kedua pundak gadis itu terlalu menonjol di balik kaus seragam olahraga setiap aku melakukan pemanasan di belakangnya. Sebenarnya, aku selalu menduga Ivy salah memakai baju sang Kakak karena semua pakaian yang ia kenakan tampak terlalu besar untuknya.
Aku duduk tepat di sebelahnya sembari berusaha tidak memandangi bahu lebar dan rahang tegasnya yang sempurna. Kedua belah bibirnya tertarik membentuk senyum miring—yang terlihat dipaksakan. Ada yang salah. Ivy selalu menunjukkan ekspresi itu pada orang-orang yang telah merusak kepercayaannya. ‘What did I do?’. Aku menelan ludah kasar ketika teringat pembicaraan dengan Ivy tentang pesta ulang tahun Marjorie.
“Who wants ice for their wine?” Este berteriak dari dapur, tetapi tidak membuat Ivy memutus kontak matanya denganku.
“Aku juga mau!” seruku setelah Ivy menjawab ia ingin es batu yang banyak di winenya. Bisa kurasakan Ivy masih menatapku dalam diam.
“Kamu mau aku menebak siapa pacarmu?” Kepalaku langsung menoleh cepat ke arahnya yang sudah tidak lagi menyeringai palsu. “Atau kamu yang ingin bilang fakta itu dari mulutmu sendiri?”
“Malam itu aku terlalu senang kamu mengutarakan perasaan, maaf, seharusnya langsung kusebut saja namanya, tapi waktu itu kupikir ... karena kamu tidak bertanya---”
“Ya, itu salahku.” Ivy mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. “Harusnya aku bertanya, jadi aku tidak perlu merasal kesal karena terlihat seperti orang bodoh di depan Joshua!” Jantungku berdetak tidak beraturan ketika Ivy menjatuhkan kepala di pundak kiriku sembari memejamkan kelopak matanya erat hingga keningnya berkerut. “Awalnya aku tidak suka cara Joshua melihatku seperti bertanya ’Kamu ini sahabat Dorothea, kan?’, seolah dia meremehkan persahabatan kita.”
“Aku yakin dia tidak bermaksud begitu....”
“Ahaha, ya!” Ivy mengangkat kepalanya, lalu tangannya meraih remote--menekan tombol play--dan film Henry VIII and His Six Wives pun dimulai. Bertepatan dengan Este yang datang dengan nampan berisi wine dan semangkuk besar keripik kentang. “Kapan Louis pulang? Tidak apa kita menonton kalau dia nanti mau tidur?”
Este tersenyum kecil sebelum berkata, “Tidak apa kok! Oh! Aku lupa ambil saus, sebentar ya!”
“Kapan kamu memberitahu Ivy?” tanyaku menghentikan langkah Este.
Este memandangku bingung. “Bukannya Ivy tahu dari kamu?” Adikku itu beralih menatap Ivy dan kembali bertanya, “Waktu itu kamu jadi kan ke sanggar Tia?”
“Oh, iya!” Aku tidak membiarkan Ivy menjawab, lalu berkelit cepat, “Aku lupa, ya , aku cerita sedikit waktu kita makan.” Setelah mengejekku sudah lansia, Este kembali berjalan memasuki dapur yang terhalang dinding dari ruang menonton.
Kutatap Ivy dan meminta penjelasannya kenapa ia berbohong. Sudah jelas aku tidak pernah memberitahunya, karena aku tahu dia sangat menganggap Louis menjijikkan sejak SMA.
“Joshua yang memberitahuku. Lagi.” Aku terdiam mendengar jawaban wanita itu dengan suara datar dan wajah masamnya. Belum sempat aku mengulang pertanyaan yang barusan kulontarkan, Ivy menarik tengkuk dan melumat bibirku yang masih terbuka dengan penuh tuntutan. Kudorong tubuhnya hingga menjauh dan segera menoleh ke belakang. Untunglah Este masih di dapur, dan Louis belum pulang. “Aku tidak suka,” ujar Ivy pelan. Kugenggam tangannya erat, bingung bagaimana harus menenangkan perasaannya yang mungkin terbakar api cemburu dengan kehadiran Joshua di antara aku dan kehidupan Este, bukan Ivy yang notabenenya adalah sahabat kami berdua. “Pacarmu itu tidak akan pernah bisa memahami kamu dan Este sebaik aku!”
Usai berucap demikian, Ivy melepaskan tangannya dari genggamanku dan kembali menghadap ke televisi. Aku masih ingin merasakan kehangatan yang mengalir dari tangannya. Namun, Ivy masih marah padaku dan memberi jarak yang kentara. Kelingkingku menyentuh tangannya yang mengepal kuat di pangkuan. “Setelah pembicaraan kita malam itu, kamu masih takut Joshua menggantikan tempatmu?” Napas memburu Ivy mulai terdengar lebih tenang.
[Este’s pov]
Botol saus yang kupegang nyaris jatuh kalau saja aku tidak bisa menguasai diri. Wajah sahabat dan Kak Tia sangat dekat. Sudah pasti tidak ada jarak karena kedua bibir mereka saling bertautan. Jantungku berdegub kencang membayangkan hubungan keduanya terus berlanjut setelah Dorothea menikah dengan Joshua. Kenapa harus Ivy? Dari sekian banyak orang yang mengagumi dan menyukai kakak angkatku itu. Kenapa hanya perasaan Ivy yang dibalas oleh Kak Tia?
Aku benci orang ketiga. Mereka itu egois, dan licik, tapi ... Ivy tidak akan seperti itu, kan? Ayolah, Este, jangan merusak suasana ulang tahun Kak Tia!
Menonton dan mengobrol, hal sederhana yang dulu sering kami bertiga lakukan setiap ada yang berulang tahun. Terakhir kali kami melakukannya saat ulang tahunku yang ke tujuh belas, di loteng rumah Ivy dengan sebuah proyektor. Setelah selesai menonton, kami memandangi langit malam yang berbintang sembari bernyanyi lagu Vincent karangan Don McLean dengan Dorothea yang memetik gitar sebagai instrumennya.
Kenangan masa lalu yang terputar di kepalaku mulai lenyap tergantikan Katherine Howard yang tampak ketakutan setelah hubungan terlarangnya dengan Thomas Culpeper terungkap. Tanpa kusadari aku mendengus sinis melihat sikap kekanakannya yang mulai menyalahkan pihak lain.
“Raja Henry bisa menutupi perselingkuhannya dengan balik menuduh Anne Boleyn, tapi tidak dengan Katherine?” Ivy berdecak setelah mengomentari perselingkuhan hanya boleh dilakukan oleh pria, tetapi tidak dengan wanita.
“Mencampuri rumah tangga orang lain itu memang salah, kan? Sebelum berselingkuh, dia orang ketiga dari pernikahan Henry dan Anna of Cleves,” jelasku panjang lebar. Aku langsung merutuki diriku sendiri di dalam hati. Bagaimana jika pertanyaanku itu menyinggung perasaan Ivy?
Ivy terkekeh pelan sembari melihat ke arahku dan berkata, “Kalau Henry menutup rapat pintu rumahnya bersama Anna, Katherine tidak akan berani memasukinya.”
Di satu sisi, aku lega Ivy tidak terlihat curiga dengan ucapanku tadi. Namun, perkataan sahabatku itu mengingatkanku pada satu hal. Sesuatu yang harus kulihat dengan mata kepalaku sendiri.
[Ivy’s pov]
July 31st, 2007
Seperti dua malam sebelumnya, aku akan makan malam bersama Este di tokonya. Kali ini ia bilang akan memasak sup krim dan tuna. Baru saja aku memarkirkan mobil di depan tokonya, tampak Este berdiri di depan pintu masuk sambil melihat ke kanan dan ke kiri. Kuturunkan kaca jendela mobil dan bertanya lantang padanya, “Este! Kamu menunggu seseorang?”
Kedua mata sahabatku itu berbinar bahagia dan langsung berlari kecil memasuki mobilku. “Siapa lagi yang punya acara denganku setiap Selasa?” Este tertawa, tetapi terdengar aneh. Wanita itu juga sadar kalau aku tahu dengan jelas ia sedang menutupi sesuatu. “Aku butuh bantuan kamu, Vy, tolong jalan saja, aku sudah menyalakan Google Maps.” Jari-jari tangan Este yang memegang iPhonenya tampak gemetar, tetapi aku mengenyahkan pikiran buruk itu dan mulai menjalankan mobil sesuai permintaan Este.
“Kamu lupa belanja bahan-bahan?” tanyaku berusaha mencairkan keheningan di antara kami berdua. Este menggeleng pelan sekali. Wajah temanku itu juga sangat pucat. “Kamu udah makan siang, kan?” tanyaku khawatir.
Bukannya menjawab, Este membuka kancing coatnya yang menutupi leher sampai menunjukkan kalung berlian baru yang melingkar cantik di kerah turtleneck sweaternya. “Oh! Louis yang membelikan itu? Bagus!” pujiku, sebisa mungkin terdengar tidak meragukan suaminya karena bagaimana pun juga Este mencintai pria itu.
“Ini bukan merek kalung yang Lou beli di tanggal tujuh belas.”
Jawaban Este langsung membuatku bungkam. Aku tidak lagi berpura-pura, dan Este yang membiarkanku mencerna semua hal yang selama ini ia ceritakan padaku. Tiga hari setelah malam ulang tahun Dorothea, Este mengajakku makan malam di toko karena Louis lembur dan ia tidak ingin sendirian. Sahabatku itu dengan riang menunjukkan bukti pembayaran sebuah kalung, gelang dan cincin dari rekening miliknya dan Louis. Este menganggapnya sebagai sebuah kejutan, tetapi kalau memang benar begitu kenapa Louis begitu bodoh membiarkan peluang istrinya mengetahui hal itu dengan menggunakan rekening mereka. Itu bukan kejutan, melainkan ketidaksengajaan. Hari ini aku tidak melihat gelang dan cincin, hanya kalung.
Untuk menjawab semua prasangkaku itu, Este mengeluarkan bukti pembayaran lagi di secarik kertas, dengan nomor rekening yang sama. “Aku sempat bertanya pada Lou kapan dia akan berhenti menyembunyikan hadiahku ... awalnya dia kesal karena aku seperti sedang membual tidak jelas, lalu—dia---dia kaget sekitar beberapa detik dan---!” Este tercekat dan aku langsung menepikan mobil. Merengkuhnya erat dan mengusap punggungnya yang bergetar hebat. Ia menangis tersedu-sedu di dalam dekapanku. “Ini bukan kalung---yang dia beli dua minggu lalu, Vy! Dia bilang gelang dan cincin itu hilang! Itu bohong! Aku yakin itu bohong! Aku harus melihatnya sendiri di tangan Majie! Aku---!”
Aku tidak benar-benar melepaskan rengkuhanku. Este mencengkeram lenganku erat, masih terisak hebat. “Tapi aku---aku tidak tahu apa aku bisa melihatnya sendiri!”
“Hei, aku bersamamu, Este!” Kuguncang kedua bahunya hingga ia menatap kedua mataku lurus. “Aku juga akan melihatnya, kita temui Majie bersama, oke?” Este kembali menghambur ke dalam pelukanku dan rengkuhan kedua tangannya sangat erat, ia membenamkan wajah dibalik mantel cokelat leather yang kukenakan di hari berhujan itu.
Ini pertama kalinya aku melihat Este jatuh dan rapuh. Ia adalah seseorang yang berusaha berpikir positif bahkan ketika orangtua angkatnya meninggal dunia. Este bilang ia adalah satu-satunya yang dimiliki oleh Dorothea. Oleh karena itu, ia tidak akan menangis. Este harus kuat, begitu katanya.
Terdengar Este menarik napas sangat dalam dan kembali berujar, “Pagi ini, aku memakai dress, karena waktu itu Lou bilang aku lebih cantik dalam balutan rok.” Este sudah kembali di posisi duduknya semula. Punggung tangannya menyeka kasar air mata yang masih lancang mengalir dari pelupuk mata. “Aku sudah berusaha, Vy..., mengambilkan sepatu dari rak, membawa tas kerjanya, tapi...! Tapi ... aku tidak bisa lupa rasa manis yang kurasakan dari bibirnya semalam!”
Tahan, Howard, tahan. Tanganku mencengkeram erat jok kursi yang kududuki, alih-alih meninju setir atau memukul kaca mobil yang hanya akan membuat Este semakin sedih dan hancur.
Do something with your temper. Kata-kata Joshua saat itu bagaikan tamparan keras. Ya, aku tidak boleh gegabah dengan berpikir setelah menenangkan Este, aku akan pergi menemui Louis dan menghajarnya habis-habisan. Hal itu kulakukan dulu, tetapi tidak sekarang. Aku harus lebih tenang. Apa yang Este inginkan untuk kehidupan bersama Louis itu mutlak keputusannya.
“Jadi ... tetap bertemu Majie?”
Este mengangguk tegas menjawab pertanyaanku. “Dia juga mengajar di tempat Kak Tia setiap Selasa dan Jumat, dari jam tiga sampai lima sore.”
“Oke,” sahutku, lalu menyalakan mobil dan melaju menyisir jalan raya yang masih senggang dari kemacetan.
“Bisa lakukan satu hal lagi untukku?”
Aku tersenyum lembut mendengar suara lirih Este. “Apa pun itu, aku sanggup.”
“Tolong jangan ceritakan hal ini ke Kak Tia.”