Loading...
Logo TinLit
Read Story - Gray November
MENU
About Us  

[Ivy's pov]

July 7th, 2007

 

Di depanku berdiri sebuah gapura yang mulai ditumbuhi sedikit lumut dan rumput liar pada bagian bawahnya. Kulihat sekali lagi secarik kertas kecil yang diberikan Este minggu lalu ketika aku mampir ke toko roti tempat sahabatku itu bekerja. Sekarang, aku mengunjungi sahabatku yang lain. Seorang pengajar tarian Bali. Kuremat kerah kemejaku, mendadak dadaku terasa nyeri memikirkan akan melihat wajah itu lagi. Akankah ia tersenyum manis hingga kedua lesung pipinya terlihat?

Tiba-tiba sekelebat bayangan kedua mata hazelnya yang berlinang air mata dari masa lalu perlahan mampu meredakan sakit di dada dan sesak yang kurasakan. Benar. Aku telah menyakiti perasaannya. Mana mungkin dia akan senang melihatku datang....

“Mbak,” panggil seseorang, dan kurasakan ia menepuk pundakku.

“Ah ... ya, Bu,” jawabku dengan linglung.

Wanita yang tampak telah memasuki usia lima puluhan itu tersenyum hangat dan berkata lagi, “Mbak ingin mendaftar ya?”

“Tidak, Bu, Itu—saya ingin bertemu seseorang, ehem!” Aku berdeham dengan harapan suaraku tidak lagi terdengar seperti akan menangis. “Apa Mbak Tia mengajar hari ini?” tanyaku sesuai instruksi Este agar menyebut gadis yang biasa kupanggil Dori itu dengan sebutan Tia.

“Oh! Mbak Tia! Iya, dia sedang mengajar sekarang—mungkin sekitar sepuluh atau lima belas menit lagi selesai.” Sebelum menyuruhku untuk menunggu di atas saja, wanita itu sempat memandangi postur tubuhku dari atas ke bawah, dan beliau tampak sedikit terperangah melihat kedua bahuku—yang mungkin memang tidak selebar perempuan lain pada umumnya.

Setelah menaiki tangga melingkar aku disambut senyuman dan berbalas sapa dengan tiga orang wanita lain yang menunggu anak-anak mereka selesai latihan. Ruang menari dan tempat orangtua menunggu itu dihalangi kaca tebal yang sedikit buram.

Namun, aku melihatnya dengan sangat jelas. Walaupun peluh sudah jatuh di dahi dan dagu ketika ia membetulkan posisi tangan dan pinggang murid-muridnya, kedua belah bibir merah ranumnya tetap tersenyum manis. Aku sudah tidak bisa meledeknya ‘chibi maruko-chan’ karena wajah cantiknya yang dulu chubby kini menjadi lebih tirus. Rambutnya tidak lagi dipotong bob, melainkan sudah terurai panjang dan dikepang satu.  

“Mbak mau jemput adik ya?” Pertanyaan seorang Ibu membuyarkan keterpukauanku. Aku mengatakan kalau guru yang sedang mengajar anaknya adalah teman semasa SMA dan aku hendak mengajaknya makan malam bersama. Mereka mulai memuji tubuh bulkyku secara terang-terangan, bahkan ada salah satu wanita itu mengelus bahu dan lengan atasku. Aku hanya bisa memaksakan senyum dan tawa dengan situasi yang tidak nyaman ini hingga sebuah suara membuat jantungku melupakan tugasnya untuk berdetak.

“Jihan datang latihan kan Kamis besok?”

Wanita yang masih meraba tubuhku itu menurunkan tangannya dan menjawab suara tadi, “Datang dong, Mbak Tia! Kemarin kan Jihan tidak bisa masuk karena ikut paskibra!”

Aku membalik tubuh dan tidak mempedulikan anak-anak—yang sepertinya masih berada di bangku SD atau SMP—menatapku penasaran. Kedua obsidianku tertumbuk lurus pada guru mereka. Begitu juga dengannya. Netra hazelnya membulat cantik dengan mulut yang setengah terbuka karena terkejut. 

“IVY!”

Kuhiraukan instruksi Este dan memanggilnya balik, “Dori...!” Napasku tercekat karena ia langsung menghambur memelukku di hadapan para Ibu dan anak-anak mereka. Aku tidak ingin terus menjadi seseorang yang naif. Aku sangat merindukannya. Astaga, bagaimana bisa seseorang yang berkeringat masih memiliki aroma vanilla bercampur mint?

Pelukan kami merenggang dan dapat kulihat ia kembali berlinang air mata, tetapi dengan kedua lesung pipi yang setia menghias wajahnya. “This is a surprise! Kenapa--” Aku mengangkat tangan isyarat untuk membicarakan itu nanti karena murid-murid Dori dan para orangtua hendak bersalaman sebelum pulang. Setelah selama sepuluh menit aku menyaksikan budaya timur terjadi di hadapanku, aku kembali membalas Dori yang kini menatapku pura-pura marah dan bibir merahnya yang mencebik lucu. “Kenapa kamu tidak pernah bilang ingin menjadi seorang atlet?”

Aku mengulum senyum penuh arti dan mendekatkan diri padanya. “Aku ingin orang-orang yang dulu mengejekku sebagai ‘biang onar’ menyesal.”

“Aku tidak pernah menganggapmu biang onar!”

“Aku tahu,” ucapku membiarkan setetes air mata jatuh melewati pipi. “Kamu satu-satunya yang berusaha membelaku saat itu.” Wajah marahnya berubah lagi menjadi terharu. Setelah kami terdiam cukup lama, aku mengajaknya makan malam bersama sesuai rencana awalku. Masih dengan senyum manisnya, ia menjawab akan berganti pakaian sebentar.

 

Dorothea Clarice.

Wanita dewasa yang memiliki dua lesung pipi dan manik mata cokelat yang mampu membuat hari-harimu tenang kini duduk di hadapanku. Ia bukan lagi Dorothea yang gemar duduk tepat di sebelahku, baik itu di kelas, di rumahnya, maupun di tempat makan seperti sekarang. Kuakui aku tidak suka. Entah Dorothea sadar atau tidak, tetapi dengan ia duduk di hadapanku seolah ingin menjaga jarak, membiarkan meja makan membentang di antara kami.

“Kamu dengar aku ngomong apa, kan?” Dorothea memegang dan menggoyangkan tangan kiriku.

“Dengar, lalu kalau pacarmu menyuruhmu berhenti mengajar kamu akan setuju begitu saja?” Kata ‘pacar’ dan fakta sahabat kesayanganku telah memiliki kekasih kembali membuat dadaku berdenyut sakit.

Dorothea mendengus setelah menegak jus sirsaknya. “Kita sudah bersahabat selama empat tahun, dan kamu masih meragukan kesetiaanku pada seni tari?”

People change, Dori!” Aku menatapnya kesal. Sedetik kemudian aku tersadar dan mengatupkan mulut, terkejut dengan suaraku sendiri yang mendadak tinggi. “Maksudku, secara fisik saja kamu berubah ... tidak menutup kemungkinan hal-hal lain juga.”

“Hal lain seperti apa?” tanya Dorothea. Aku membuang wajah, tidak ingin melihat langsung ekspresi wajahnya yang menunjukkan ia telah menjadi seseorang yang lebih dewasa, pengertian, dan mungkin saja ... siap menjadi sosok keibuan. “Hal yang kamu katakan---saat Ujian Nasional berakhir,” sahutku lirih.

Rasa sakit itu perlahan sirna tergantikan kehangatan yang familiar. Kedua tangan Dorothea menggenggam tangan kiriku. Aku memberanikan diri melihatnya yang telah menatapku sejak tadi. Kedua belah bibir ranumnya terbukan dan bertanya dengan suara penuh keraguan, “Jika aku mengatakannya sekali lagi—apa kamu juga akan memanggilku pembohong?”

Ketika aku membalas perkataan Dorothea, bisa kurasakan napasku tidak beraturan dan terasa berat, “Saat itu aku masih bingung ... bahkan sekarang, kalau aku mulai memiliki perasaan yang sama---apa kita masih bisa bersahabat? Walaupun nanti bisa menjadi lebih dari teman, apa kau akan meninggalkanku saat aku tidak sadar sedang melakukan kesalahan? Suatu saat kamu pasti juga ingin aku merasakan hal yang sama, kan? Ditinggalkan---”

“Ivy!”

Aku berhenti berbicara sendiri dan menoleh ke samping. Entah sejak kapan Dorothea berpindah tempat duduk. Kini ia berada tepat di sampingku. “Aku tidak akan berhenti menari, kamu tahu itu.” Dorothea memelukku erat dengan kepalanya yang tersandar di dadaku. Aku sangat gugup. Ia pasti dapat mendengar sangat jelas detak jantungku. “Tempo hari, pacarku mengajakku menikah di depan keluarganya.”

Tangan kiriku yang berada di dalam genggaman kedua tangan Dorothea balik menggenggam miliknya erat. Sementara salah satu tangannya mengusap lembut, dan ia kembali berkata pelan dengan suara bergetar menahan tangis, “Kubilang pada mereka aku butuh waktu, padahal sebenarnya...,” Dorothea mengangkat wajahnya yang kini hanya berjarak beberapa senti dari wajahku. “Aku masih menunggumu, bahkan saat dia memintaku sebagai pacarnya, aku terus memikirkanmu....”

Tangan kiriku terangkat meraih helai rambut Dorothea yang ia sisipkan di balik telinganya. Kemudian beralih mengusap pipinya yang juga sudah dibasahi oleh linangan air matanya sepertiku. Kucium singkat pipinya, dan ia balas mencium kedua kelopak mataku.

Setelah itu kami melanjutkan kegiatan makan kami yang tertunda. Sebelum Dorothea memasukkan suapan terakhir ke dalam mulutnya, ia bertanya padaku, “Apa kamu akan datang ke ulang tahun Majie besok?”

“Ya, kamu juga, kan?” Seharusnya aku tidak bertanya balik. Majie—nama panggilan teman kami sekaligus primadona di SMA dulu—Jennifer Marjorie.

“Aku tidak diundang,” sahut Dorothea sembari memasukkan sesendok salad ke dalam mulutnya.

“Apa?! Kenapa?!”

Dorothea mengibaskan tangannya seolah tidak peduli. “Tidak apa, oh! Tapi dia mengundang pacarku.”

“Aku punya firasat Majie sudah berubah menjadi wanita aneh!” sungutku marah karena sikap Marjorie yang seperti akan merebut kekasih orang lain. Marjorie yang dulu kukenal sangat merendahkan para pria di sekelilingnya. Mungkin karena dulu Neneknya masih hidup bersamanya dan sang Ibu. Aku mengetahui kepergian Nenek Marjorie dari grup Facebook angkatan tahun 1999/2000.

Suara Dorothea kembali terdengar, “Ya, dia memang aneh." Kali ini Dorothea seperti sedang memikirkan sesuatu yang pelik. Sorot kedua hazelnya menatap kosong keluar jendela restoran dimana berbagai kendaraan berlalu-lalang.    

 

July 8th, 2007

Jam dinding menunjukkan tepat pukul tujuh malam. Kulihat keramaian di sekelilingku dengan bosan. Pesta ulang tahun Marjorie tidak seperti yang kubayangkan. Hanya keluarga dan teman-teman dekatnya dari SMA yang datang. Aku sendiri bingung kenapa aku diundang. Apa karena aku pernah menyelamatkan Marjorie dari Si Mesum Lou—

“Pfft!” Aku menyemburkan sedikit cocktail­ yang belum sempat kutelan begitu melihat pria itu, Louis Benedict, melewati pintu masuk dan mengucapkan selamat ulang tahun pada Marjorie. Wanita yang kuselamatkan itu bahkan menyambutnya dengan raut wajah bahagia dan memeluk singkat pria sial itu. Aku membuang napas keras tidak percaya. Lelucon macam apa ini.

Aku meletakkan gelasku yang masih terisi setengah dan berjalan diam-diam ke pintu belakang yang mengharuskanku melewati dapur, dan berpamitan pada beberapa teman SMA lainnya. Pintu itu langsung terhubung ke pohon buah persik yang memang ditanam di ujung halaman.

“Augusta?” Seorang pria yang baru menjejak halaman rumah Marjorie dengan mengenakan jaket bomber dan kaus putih polos berjalan ke arahku.  

Untuk kesekian kalinya aku memaksakan senyum hari ini. Lebih baik aku mampir sebentar ke toko Este. “Hai, Joshua!” balasku pura-pura senang. Satu-satunya kenangan yang kuingat tentang pria di hadapanku ini adalah ia tetangga Marjorie, dekat dengan mendiang sang Nenek. Akan tetapi, sayangnya cintanya pada Marjorie bertepuk sebelah tangan.  

“Kupikir kau akan datang dengan Dori,” ujar Joshua tersenyum sendu. Keningku berkerut dalam mendengar ia memanggil Dorothea, seperti caraku memanggil wanita yang selalu menempati hatiku sejak masa SMA. Aku mulai memikirkan hal yang tidak mungkin terjadi—maksudku, Joshua dan Dorothea tidak pernah dekat. Bagaimana...?

“Apa kau marah aku juga memanggilnya Dori?” tanya Joshua dengan seringai sok ramah yang membuatku kesal.

“Ya,” jawabku tanpa berpikir panjang.

“Hei, santai saja! Ahahaha! Astaga, ternyata benar kata orang-orang, kau ini mudah marah!” Tawa Joshua perlahan lenyap digantingan ekspresi canggung karena aku sama sekali tidak merasa perkataannya itu lucu. “Apa kau juga marah melihat wanita yang kau selamatkan mengundang pria yang dulu memukulinya?”

Satu alisku terangkat. Ya, sudah pasti Joshua tidak bisa sepenuhnya melenyapkan perasaan pada wanita seanggun dan berani seperti Marjorie. “Aku sedikit kesal, makanya aku ingin pulang, aku tidak ingin bertatap muka apalagi bicara dengan bajingan itu.”

Joshua menepuk pundakku dan menghela napas sebelum memberiku saran, “Sebaiknya kau masuk ke dalam dan berusaha bersikap seperti teman biasa dengan Louis---”

Kutepis tangan Joshua dan mencibir ke arah rumah Marjorie, “Aku tidak sudi!”

“Walaupun dia telah sah menjadi suami Este?”

Kedua mataku melebar terkejut. “Apa kau bilang?! Kenapa---”

“Pertama-tama,” ujar Joshua menyela ucapanku, “Do something with your temper, baru datang dan bicara pada teman-temanmu.” Setelah berkata begitu, Joshua melewatiku dan bergabung ke acara ulang tahun Marjorie. Ada banyak hal terjadi yang tidak kuketahui selama aku mengejar impian di Amerika Serikat. Ini terasa sangat menyebalkan. ‘Kenapa Este tidak pernah cerita? Berani sekali Joshua sok dekat dengan Dori!’

Tanganku yang membuka pintu mobil mendadak berhenti. ‘Bagaimana kalau ternyata Joshua memang dekat dengan Dori? Sedekat apa? Hanya teman?’ Aku meremas rambutku keras begitu teringat ucapan Dorothea semalam.

Tidak apa, oh! Tapi dia mengundang pacarku.

How do you feel about this chapter?

0 0 3 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Accident Lasts The Happiness
565      391     9     
Short Story
Daniel Wakens, lelaki cool, dengan sengaja menarik seorang perempuan yang ia tidak ketahui siapa orang itu untuk dijadikannya seorang pacar.
Kisah Kita
2068      734     0     
Romance
Kisah antara tiga sahabat yang berbagi kenangan, baik saat suka maupun duka. Dan kisah romantis sepasang kekasih satu SMA bahkan satu kelas.
Million Stars Belong to You
498      267     2     
Romance
Aku bukan bintang. Aku tidak bisa menyala diantara ribuan bintang yang lainnya. Aku hanyalah pengamatnya. Namun, ada satu bintang yang ingin kumiliki. Renata.
TRIANGLE
341      224     1     
Romance
Semua berawal dari rasa dendam yang menyebabkan cella ingin menjadi pacarnya. Rasa muak dengan semua kata-katanya. Rasa penasaran dengan seseorang yang bernama Jordan Alexandria. "Apakah sesuatu yang berawal karena paksaan akan berakhir dengan sebuah kekecewaan? Bisakah sella membuatnya menjadi sebuah kebahagiaan?" - Marcella Lintang Aureliantika T R I A N G L E a s t o r ...
NIAGARA
468      348     1     
Short Story
 \"Apa sih yang nggak gue tau tentang Gara? Gue tau semua tentang dia, bahkan gue hafal semua jadwal kegiatan dia. Tapi tetap aja tuh cowok gak pernah peka.\" ~Nia Angelica~
LARA
8710      2110     3     
Romance
Kau membuat ku sembuh dari luka, semata-mata hanya untuk membuat ku lebih terluka lagi. Cover by @radicaelly (on wattpad) copyright 2018 all rights reserved.
Secuil Senyum Gadis Kampung Belakang
465      356     0     
Short Story
Senyumnya begitu indah dan tak terganti. Begitu indahnya hingga tak bisa hilang dalam memoriku. Sayang aku belum bernai menemuinya dan bertanya siapa namanya.
RUANGKASA
43      39     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Code: Scarlet
25380      4941     16     
Action
Kyoka Ichimiya. Gadis itu hidup dengan masa lalu yang masih misterius. Dengan kehidupannya sebagai Agen Percobaan selama 2 tahun, akhirnya dia sekarang bisa menjadi seorang gadis SMA biasa. Namun di balik penampilannya tersebut, Ichimiya selalu menyembunyikan belati di bawah roknya.
Kesempatan
20269      3231     5     
Romance
Bagi Emilia, Alvaro adalah segalanya. Kekasih yang sangat memahaminya, yang ingin ia buat bahagia. Bagi Alvaro, Emilia adalah pasangan terbaiknya. Cewek itu hangat dan tak pernah menghakiminya. Lantas, bagaimana jika kehadiran orang baru dan berbagai peristiwa merenggangkan hubungan mereka? Masih adakah kesempatan bagi keduanya untuk tetap bersama?