Virgo segera menghubungi Sukma. Sambungan langsung terhubung. Di kantor polisi sihir, tepatnya sedang makan siang, Sukma bersama teman-teman sesama polisi sihir berkumpul. Saat menyantap nugget yang digorengnya di rumah dengan telur dadar goreng, handpone-nya yang berada di meja berdering.
"Hmm?" Sukma menggigit nugget. Seraya mengunyah, dia menatap layar handpone yang terpampang nama Virgo Emocore is calling... Mengangkatnya,"Ya, ada apa, Go?"
"Sukma! Bahaya!" suara Virgo terlihat tegang di sana.
"Bahaya? Maksudmu?"
"Dengarkan aku, di kampus sekarang dipasang bom," kata Virgo.
"Bom kamu bilang?!" Sukma menghentikan makannya.
Semua yang ada di rungan itu menghentikan makannya, ikut mendengarkan.
"Ya! Tetapi, semua mahasiswa dan mahasiswi diamankan, dan kelas ditiadakan. Tolong, tim-mu segeralah kemari secepatnya!"
"Baiklah, kami akan segera ke sana," menutup sambungan.
"Kita jadi ke sana, Bu?"
"Ya, segera. Persiapkanlah diri kalian. Kita akan ke sana dua menit lagi," perintah Sukma."Bawa perlengkapan pengamanan. Sebarkan berita ini ke seluruh kantor. Tim Penjinak Bom, terutama," lanjutnya.
"Siap, laksanakan!" seru timnya.
Timnya segera bersiap. Sebelum berangkat, satu timnya memberitahu lewat mikrofon sihir hingga terdengar ke seluruh penjuru ruangan. Para polisi sihir yang sedang beristirahat dan menyantap bekal di ruangan masing-masing mengetahui apa yang bakal terjadi kasus.
"Berita apalagi sekarang?"
"Entah. Kita dengarkan saja," jawab polisi sihir wanita, meminum air di gelas plastik.
Megafron sihir mulai berdengung, tergantikan dengan gema. Memberitahukan berita yang akan dilontarkan hari ini. Keadaan kampus semakin tidak membaik. Rangga mencari siapa dalang di balik semua ini. Mencari ke seluruh penjuru kampus. Dengan menggunakan sihir teleportasinya, dia tidak kesulitan dalam mencari.
"Siapa yang berbuat seenaknya memasang bom di kampus ini," katanya. Dia menuju taman belakang kampus. Di luar tampak bayangan hitam bola muncul menutupi seluruhnya. Terbeliak menatap bola raksasa itu. Perasaannya mengatakan bahwa di depannya kini adalah berbahaya.
"Ini... Sihir hitam..."
Dia berusaha bertelepotasi melewatinya. Saat terlewat, mengenali sosok yang amat dikenalnya tampak terbaring seperti benda jatuh. Untungnya, tidak ikut masuk ke dalam bola raksasa.
"Ah, Tuan Gino!" Menghampiri kotak itu. Membaringkannya dan membangunkannya."Tuan Gino!" panggilnya.
Gino merasa badannya ikut terguncang. Akibat terpental, membuatnya sakit tidak sadarkan diri. Seperti kotak yang telah usang dibuang ke tempat pembuangan sampah. Betapa malangnya dirinya!
"Ukh..."
"Tuan Gino!" panggil Rangga lagi.
Mata Gino yang kecil terbuka perlahan. Menatap sosok di atasnya."Ukh..."
"Syukurlah, Tuan sudah sadar!"
"Huh? Kenapa ak—" Matanya terbuka lebar dengan jelas."Ah, tunggu!" Teringat sesuatu."
"Ada apa?"
"Ayu! Ayu, Bocah!"
"Kenapa dengannya?" kata Rangga."Di mana dia?"
"Dia terperangkap!" kata Gino."Dia terperangkap di dalam bola hitam di depanmu!"
Rangga terkejut bukan main. Menatap bola hitam itu dari beberapa meter.
"A-apa? Ayu terperangkap?"
"Bagaimana ini? Kalau dia enggak bisa diselematkan, bisa-bisa dia akan terus terperangkap di dalam!"
Rangga berdiri. Tangan kanannya mengeluarkan sebuah pistol berwarna hitam mengkilat, yang di tengahnya bertuliskan huruf kapital mengkilat berwarna violet bernama IDA.
"Mau apa kamu, Bocah?"
Rangga memutar IDA dengan cepat, mengarahkannya ke depan, ke arah bola hitam raksasa."Saya ingin mencoba menyelamatkan Ayu! Bullet Flower!"
Muncul suara seperti dari senjata sihir di tangannya."IDA has been active." Sekali tembak, menembakkan sihir berupa peluru ke arah bola hitam. Peluru yang ditembakkan telak mengenai bola hitam itu. Seketika retak, namun lambat laun retakan kembali utuh seperti sedia kala.
"Kembali semula?!" kata Rangga, merasakan sihir yang ada di bola hitam."Sihir hitam ini bukan sihir hitam sembarangannya..." Dia menembakkan kembali hingga berulang kali. Ditembak berapa kali pun, sama saja. Bola hitam itu kembali utuh. Rangga kelelahan. Daya-nya hampir terkuras. Dia jatuh berjongkok, menompang tubuhnya agar tidak jatuh."Sial! Enggak berhasil! Percuma menembakkannya menggunakan IDA..."
Gino menatap bola hitam.
"Timing-nya hanya sekejap."
"Maksud Anda apa?"
"Timing-nya hanya sekejap."
"Kalau timing-nya hanya sekejap, bagaimana saya bisa menyelamatkan Ayu?"
"Saya punya sebuah rencana," kata Gino secara mendadak.
"Apa rencana, Tuan?"
"Jika dilihat timing-nya hanya sebentar, di antara dari kita harus masuk ke dalam bila kamu ingin menyelamatkan adikmu," kata Gino lagi.
"Salah satu di antara kita harus masuk? Tuan Gino saja yang menyelamatkannya."
"Enggak, Rangga. Walau saya bisa masuk secara cepat, tanpa pengguna, saya bisa saja. Walau saya bisa masuk, mungkin kamu bakal kewalahan melawan musuh nantinya."
"Benar juga, ya. Siapa yang akan menyelamatkan Ayu?"
**
"Bola hitam apa ini?" Iyan bersama kedua adiknya dan robotnya, Yan-Yan, mendongak bongkahan raksasa. Yan-Yan melihatnya seperti ngeri.
"Bola apa itu? Yan-Yan takut..."
Mereka sekarang sudah berada di luar area kampus. Semua mahasiswa dan mahasiswi dipulangkan. Para dosen berjaga-jaga di luar kampus seraya mengeluarkan senjata sihir masing-masing. Si kembar Riany dan Rianty bersama abangnya, Oka, datang dengan menaiki harimau yang dipanggilnya, menghampiri luar kampus. Para dosen menjauh dari area yang tertutupi bola hitam. Dia bersama kedua adiknya berinsiatif untuk membantu pihak kampus. Padahal dirinya hanya seorang pawang hewan gaib di salah satu penangkaran dan pelestarian hewan gaib.
"Kenapa ada bola hitam di sini?"
Semua menoleh,"Bang Oka," kata Virgo.
"Riany dan Rianty merasakan sihir berbahaya di rumah kami. Makanya, kami memutuskan datang, dan ternyata sihir itu ada di sini."
"Tapi, di mana Ayu dan Rektor Rangga?" tanya Oka.
"Iya, di mana Rektor Rangga dan Ayu?"
"Tapi, kami merasakan ada satu daya sihir di dalam bola ini, Bang..." ucap Rianty.
"Benarkah?" Oka menatap bola hitam.
"Aku takut kalau daya sihir di dalamnya adalah daya sihir milik Ayu," tambah Riany.
"Bila mungkin itu dia, sebisa mungkin kita harus menolongnya."
Terdengar suara sirine bertalu-talu dari arah mereka. Empat mobil melayang melesat menghampiri mereka. Turun Sukma bersama tim-nya dan tim Penjinak Bom.
"Sukma!"
"Kami datang. Di mana katanya ada bom di sini—apa itu?"
"Bola hitam," kata Virgo.
"Bola hitam apa ini? Sejak kapan bola ini muncul?"
"Kami enggak tahu. Apakah tim Penjinak Bom bisa masuk melewatinya?" Iyan berceletuk.
"Biar saya coba untuk mendeteksinya," kata salah satu wanita dari tim Sukma. Dia maju, membungkuk, meletakkan telapak tangan di jalan. Mencoba mendeteksinya.
Semua menunggu reaksi wanita itu. Hingga polisi wanita itu membuka mata, menghentikan deteksinya."Ini sihir hitam," katanya.
"Sihir hitam?!"
"Jadi? Kenapa bisa ada sihir hitam di sini? Menurut undang-undang sihir, sihir hitam dilarang. Saking dilarangnya, Pemerintahan Sihir melarangnya," kata Sukma. Tim-nya kembali mendeteksi adanya sebuah bom."Ada sebuah bom. Mungkin di sekitar toilet. Toilet wanita," tambahnya, menghentikan deteksi sihirnya.
"Bomnya memang ada di toilet wanita," kata Virgo.
"Mungkin saja ada orang yang menggunakan atau memasang sihir hitam di area ini. Jadi, Tim Penjinak Bom," perintah Sukma."Gunakan teleportasi kalian, hentikan bomnya segera sebelum meledak. Berhati-hatilah dengan sihir hitamnya."
"Siap laksanakan!" jawab Tim Penjinak Bom. Mereka yag terdiri dari lima orang anggota bersiap menggunakan sihir teleportasi. Mereka melesat menghilang melewati sihir hitam hingga masuk ke dalam kampus.
"Dan, yang lain, bersiap pada posisi masing-masing jika sewaktu-waktu sihir hitam ini menyebar," perintah Oka.
Semua bersiap kembali dengan senjata sihir masing-masing. Riany dan Rianty mengeluarkan senjata mereka berupa pedang menyerupai katana dan palu raksasa berbentuk kepala beruang.
"Bagaimana dengan Rangga?" tanya Virgo.
"Salah satu dari kita harus ke tempatnya," jawab Sukma,"bantu dia. Apa kamu mau pergi ke tempatnya? Biar kami yang akan mengurusnya di sini."
"Pergilah, Bang," kata VITTO."Bantu Rektor Rangga. Mungkin di sana beliau berusaha menolong Kak Ayu."
"Ya, pergilah!" Iyan menimpali.
Virgo terdiam.
"Pergilah," kata Sukma lagi."Di sana mungkin dia butuh bantuan. Benar, kan, Bang Oka?" Dia melirik Oka yang berada di sampingnya dengan berusaha menyembunyikan raut malunya di samping pemuda itu. Sama halnya dengan Sukma, Oka membalas hanya tersenyum. Senyuman bukan biasanya, melainkan senyum tulus.
Virgo menatapnya seperti hatinya terasa perih. Perih yang saja masuk secara tiba-tiba. Tidak percaya melihat pemandangan di dekatnya. Gadis yang sangat disukai lama tersipu malu? Apalagi tersipu malu terhadap pemuda selain dirinya?
Dia menghela napas.
"Baiklah. Aku akan membantu Rangga," ucapnya pelan. Berbalik, menggunakan sihir teleportasinya, melesat perpindah melewati sihir hitam menuju kampus. Dia masuk lebih dalam, tiba di belakang kampus, di taman belakang. Mendarat di belakang Gino.
"Kalian baik-baik saja?"
Gino menoleh. Ekspresinya berubah kala melihat Virgo datang.
"Kenapa kamu ada di sini?!" katanya, tampak tidak suka.
"Di mana Rangga?"
"Kalau kamu ingin tahu di mana dia sekarang, sekarang dia berusaha mati-matian menembak bola hitam itu!"
Virgo beralih melihat Rangga dengan brutalnya menembak berulang kali bola hitam itu. Seperti kesurupan, Rangga menembakkan peluru sihir berapa kalipun peluru yang dilesatkan.
"Purple Rose Trap!" Rangga memutar IDA berulang kali, dan kali ini senjata itu berubah menjadi senapan laras panjang.
"Senjatanya berubah?"
IDA yang berubah dengan sekali tembakkan bisa menghancurkan apa pun di sekelilingnya. Virgo tahu, tanpa aba-aba melarangnya."Tunggu, Rangga!"
Rangga akan membidik urung saat Virgo berteriak melarangnya. Menoleh tidak peduli melihat temannya sudah berada di sana. Virgo berlari menghampirinya."Jangan, Ga!"
"Mau apa kamu kemari?!" timpal Rangga menurunkan IDA.
"Aku di sini ingin membantumu. Atas perintah Sukma."
"Enggak usah membantuku! Kembalilah ke Sukma. Aku enggak butuh bantuanmu!"
"Dengarkan aku, Rangga," cegah Virgo."Aku tahu, sekeras apa pun kamu berusaha menembak, enggak ada gunanya!"
"Apa kamu bilang?!" suara Rangga terlihat geram."Kamu lihat! Lihat, di depan kita sekarang ada sihir hitam! Kamu enggak tahu apa, kenapa aku berusaha menembak, karena adikku berada di sana! Dia dalam bahaya!"
"Tapi, kalau kamu menembak dengan keras begitu, daya sihirmu akan terkuras habis."
"Aku enggak peduli! Pokoknya aku akan menyelamatkan Ayu!" Rangga ngotot.
Virgo berusaha mencegah."Rangga."
"Mau apa lagi?!"
"Bagaimana kalau aku yang mencoba masuk untuk menyelamatkan Ayu," tawar Virgo.
"Apa?"
"Dengan cara seperti itu. Aku pasti membawa Ayu kembali ke sini dengan selamat."
"Jangan bercanda," kata Rangga masih emosi."Ayu enggak bakalan senang dengan kehadiranmu."
"Tapi, dengan cara itu. Cara satu-satunya agar Ayu bisa selamat..."
"Saya setuju," tanggap Gino melayang menghampiri keduanya. Sedaritadi, dia hanya menyaksikan perdebatan di antara mereka. Sama sekali tidak dilerai.
"Tuan Gino setuju?"
"Saya setuju. Karena perkataannya sesuai dengan rencana saya. Tadi saya sudah bilang, kan?" Menatap ke Virgo."Kamu cepatlah masuk sesuai peluru Rangga dilesatkan. Karena timing-nya hanya sekejap. Dan, kamu," beralih menatap Rangga."Bocah, kulihat peluru sihirmu bisa menghancurkan dengan sekali tembak. Kamu tembakkan sekuatmu agar bocah sialan ini dapat masuk untuk menolong Ayu."
"Baik. Saya akan menembakkannya segera." Rangga bersiap menembakkan kembali."Bersiaplah kamu. Bawa Ayu kembali selamat! Kalau enggak, aku enggak sudi memberikan adikku untukmu!" Memasang peluru secara otomatis. Bersiap untuk ditembakkan."Purple Rose Trap!"
Suara kembali muncul. Terdengar,"IDA mode one has been active."
Rangga menembakkannya dengan satu tembakan. Tembakkan tepat mengenai bola, alhasil membuat lubang besar di sana. Virgo bersiap, langsung berlari secepat mungkin. Hup! Dengan sekali masuk, dia masuk ke dalam. Tubuhnya seakan terangkat ringan. Dia melayang.