"Dia bisa bocah," kata Gino,"kalau dia mau berusaha."
Selesai makan dan perut sudah terasa kenyang, Ayu kembali menaiki kamar, menuju kamar. Pikirannya sekarang teralih mengingat saat VITTO tadi mengenakan syal. Dia baru tahu bahwa Virgo—pemuda itu adalah seorang pemilih. Ia menghela napas, menepuk kedua tangan—lampu di kamar itu sekejap mati.
Gino yang membereskan bekas makanan tadi sembari mencuci piring dengan menggunakan sihirnya. Mengerjakan tugasnya sendiri.
"Apa soal syal itu membuat hatinya sedih?"
"Hm?" Gino menoleh."Saya enggak tahu. Apa dia ngomong ke kamu?"
"Saya sudah tanya, tapi dia bilang, baik-baik saja. Apa dia kepingin syal itu dari VITTO?"
"Makanya, besok biar saya yang akan menyelidikinya."
"Bagaimana mau menyelidikinya? Nanti Tuan Gino ketahuan sama orang lho."
"Saya sudah ketahuan, kok," ungkap Gino.
Rangga mendelik."Apa? Kok bisa?!"
"Karena Ayu yang memperkenalkan saya. Memperkenalkan saya temannya yang kembar itu."
"Oh, Riany dan Rianty. Saya yakin kalau mereka berdua bisa menjaga rahasia. Jadi, kapan Tuan Gino akan menyelidiki soal syal itu?"
"Mungkin besok. Setelah menemukan pelaku syal itu, akan saya labrak dia!"
"Jangan, Tuan Gino," Rangga buru-buru memperingatkan.
"Kenapa kamu bisa melarang saya?" Mata Gino mendelik. Piring yang selesai dicucinya, melayang sendiri menuju rak piring.
"Jangan. Jangan melabrak VITTO."
"Kalau enggak dilabrak, dia bisa keterlaluan nantinya! Siapa sih bocah itu? Macam-macam dengan Ayu?!"
"Setahu saya, dia enggak kayak begitu. Tapi, baiklah, kalau Tuan Gino memaksa untuk menyelidikinya besok."
"Ini demi adikmu, tahu!"
**
Besoknya, dengan beralasan, Gino setengah memaksa kepada Ayu untuk mempertemukannya dengan teman kembarnya di kampus. Tidak merasakan aneh, Ayu menuruti permintaannya. Di dalam tas, Gino menyeringai senang. Sebelum berangkat, sang abang menyiapkan sarapan. Sarapan hari ini sama; ayam goreng krispi balado kemarin. Dengan sihirnya. Piring-piring melayang dan berpindah ke arah meja. Ayu bergegas menuju dapur. Melihat abangnya tampak menyiapkan sarapan.
"Abang?"
"Ya?"
Ayu menggeser kursi."Sarapan hari ini ayam krispi?"
"Iya. Kan, kemarin malam sisanya masih ada. Sudah makan dulu. Kan, kamu mau ke kampus—ke kampus lagi?"
"Iya, Bang." Ayu meraih ayam di piring.
"Bukannya sudah beres skripsimu?"
"Sudah, kok."
"Kenapa ke kampus lagi? Sudah, kamu di rumah saja."
"Aku ke kampus karena Tuan Gino kepingin ketemu Riany sama Rianty."
Rangga terdiam. Segera tahu seperti apa yang kemarin dibicarakan oleh Gino.
"Ya, sudah. Nanti kita bareng ke kampusnya."
Ayu mengangguk. Melanjutkan santapannya. Selesai menyantap sarapannya, ia dan Rangga beranjak ke arah garasi, menaiki mobil merah melayang milik Rangga. Mobil melesat keluar menuju jalan raya. Setengah jam kemudian, mobil melayang berbelok ke salah satu jalan menuju kampus. Dua robot satpam berjaga di depan pagar. Mengecek setiap kendaraannya yang datang. Tahu mereka datang, salah satu dari robot tersebut menyapa,"Selamat Pagi, Tuan Rangga Extreme."
"Selamat Pagi," jawab Rangga melajukan kembali mobilnya masuk hingga ke dalam area parkir— khusus mobil melayang, tepat di sebelah mobil para dosen yang lainnya. Di salah satu mobil melayang dari sekian banyaknya mobil melayang yang berjejer rapi. Di mobil itu terbuka pintunya terbuka, memperlihatkan Iyan serta dua adik laki-lakinya keluar.
"Oh, Rektor Rangga," katanya, mengetahui Rangga dan Ayu turun bersamaan."Selamat Pagi," sapanya.
"Selamat Pagi," jawab Rangga, menatap di antara dua adik Iyan—VITTO mengenakan lagi syal yang terlilit di lehernya. Cuaca hari ini maupun sampai dingin. Gino di dalam tas menyipitkan mata. Tampak tidak suka.
"Syal baru, ya?" tanya Rangga, mencoba memastikan.
Ayu terkejut mendengarnya.
"Ah, ya, Pak," jawab VITTO malu.
"Beli di mana itu?" desak Rangga kemudian."Saya enggak asing melihat syal itu." Pura-pura tidak tahu.
"Syal ini dari Bang Virgo. Iya, kan, Bang?" VITTO menatap abangnya.
"Iya. Dari saya, Pak. Ada apa, ya?"
"Enggak, Pak Virgo. Saya enggak merasa asing sama syal itu. Soalnya, syal saya coraknya ada yang bermodel mirip."
Jadi, syal itu dari cowok yang bernama Virgo itu, ya? Awas saja, nanti! Sudah cukup kamu melukai hati master saya! Batin Gino memastikan dengan geram.
Ayu terbeliak. Mirip katanya? Lha, syal milik abangnya saja tidak mirip coraknya! Huh, pura-pura bego apa? Apa sengaja dia bertanya seperti itu di hadapan Virgo? Atau dia memastikan kenapa ia kemarin bersedih?
"Dari Anda ya, Pak? Bagus banget syalnya. Kapan Anda membelinya. Kalau ada stoknya, saya ingin membelinya untuk Ayu."
What?! Dasar sok tahu!
"Biasa, Pak. Dari penggemarnya," Iyan memberitahu.
"Wah, bagus itu!"
"Syalnya bagus, kok, Pak Rektor. Syal ini aslinya dikirim lewat drone kemarin. Itu katanya Abang. Saat saya lihat bungkusnya dari blok kompleks perumahan yang Pak Rektor tinggal ," cerita VITTO.
Waktu diberikan syal itu, VITTO merasa senang karena mendapat syal baru. Saat itu dia melihat bungkusannya. Dan, benar saja, alamat sang pengirim berasal dari kompleks perumahan yang ditinggali Ayu.
"Aslinya syal itu mau saya buang. Tapi enggak jadi karena VITTO melarang saya," aku Virgo.
Apa? Dibuang, batin Ayu.
Rangga manggut-manggut."Nah, Ay, kamu kepingin syal model kayak punya VITTO itu?"
Ayu menarik ujung baju Rangga."E-enggak...," cicitnya pelan.
"Kenapa? Enggak mau?"
"Enggak, deh... Ayo, kita ke dalam, Bang. Siapa tahu Rianty sama Riany datang..." berbalik meninggalkan abangnya serta yang lain.
Dibuang? Yang benar saja?!
Gino masih di dalam tas tambah geram. Menunggu waktunya untuk melabrak si pembuang syal itu. Di depan ruang rektor, dengan kunci cadangan, membuka pintu hingga terbuka. Ayu makin sedih. Gino memutuskan untuk keluar dari tas, mencoba menghiburnya.
"Gadis Kecil, biar saya labrak tuh cowok pembuang syak itu!"
"Jangan, Tuan Gino," larang Ayu lirih.
"Kamu sakit hati, bukan? Saya tahu kamu sakit hati! Syal sialan itu—cowok itu yang sialan!"
"Pokoknya jangan," larang Ayu.
"Jadi begitu? Jadi ini gara-gara Pak Virgo?" sahut Rangga masuk, menutup pintu. Ikut geram. Menghampirinya adiknya dan memeluknya erat."Soal syal itu lupakan, jauhi dia, Ay!"
Ayu menunduk. Tak bisa berucap. Memeluk gantian abangnya.
"Mau Tuan Gino selidiki?"
"Enggak usah. Sudah ketahuan pelakunya," ungkap Gino malas.
Ayu melepaskan pelukan."Berarti Tuan Gino enggak bertemu Riany sama Rianty?"
"Enggak."
"Jadi, cuma ke sini hanya menyelidiki soal syal itu?"
"Yups."
"Kenapa—" perkataan Ayu terhenti sebentar."Aku memang bodoh."
"Kamu enggak bodoh. Sudah, kamu tetap di sini, menemaniku. Kamu kan tinggal sidang, bukan?" Rangga meraih beberapa map."Daripada menganggur, kamu tolong ketik ini, ya. Jangan menggunakan sihir. Pakai tangan."
"Pakai tangan?" kata Ayu."Tanganku kram, Abang... Beberapa hari ini... Aku mau istirahat gara-gara mengerjakan skripsi... Kalau aku pakai tangan, malah kayak Manusia, dong."
Rangga tertawa."Baiklah. Gunakan sihir. Tapi kamu tetap di sini selama Abang pergi. Aku mau rapat siang hari ini," jawab Rangga, duduk di sampingnya dengan menggeser kursi kecil di sampingnya."Sekaranglah, waktunya kamu membantuku. Hitung-hitung kamu bisa mengerjakan tugas dan siapa tahu kamu yang bakal meneruskanku menjadi rektor."
"Jadi rektor dalam mimpi," kata Ayu, membuka map berisi data-data penting."Yang mana yang harus aku ketik? Apa ini—Mahasiwa dan Mahasiswi berprestasi?"
"Ya, yang itu. Tolong, ya. Hari ini aku mau santai. Kerjain, ya." Rangga melirik Gino."Tuan Gino, silakan kalau mau melabrak. Tapi, saya sarankan tidak usah. Memang Pak Virgo orang yang seperti itu dari dulu. Kalau sudah mengenal lebih jauh orangnya, yah bakal tahu."
Gino mendengus.
"Kenapa tiba-tiba Rektor Rangga bertanya seperti itu tadi?" tanya Virgo heran."Apa ada yang salah dengan syal itu?"
"Menurutku enggak ada yang salah. Pasti beliau cuma penasaran dengan syal itu. Aku duluan ya, Go. Ada kelas soalnya," Iyan keluar dari kantor menuju kelas yang akan diajarkan hari ini.
Virgo mengangguk. Setelah sang abang keluar, dia masih penasaran dengan rektor muda itu. Dia ikut keluar dan menuju kelas yang juga akan diajarkannya. Saat keluar, melihat ruang rektor di sebelah tertutup. Berbelok menaiki tangga menuju kelasnya. Sebagian mahasiswi yang akan memasuki kelasnya yang berbeda, melihat Virgo melintas. Aura kagum dari para mahasiswi, memandanginya. Bahkan ada yang mendekatinya seraya memberikan cokelat yang mana cokelat itu adalah kesukaannya.
"Pa-Pak Virgo! I-ini cokelat untuk Anda!" kata mahasiswi itu malu dengan wajah merah.
Virgo menghentikan langkah. Menampilkan senyuman menawannya."Ah, untuk saya?"
"I-iya!"
Virgo menerimanya."Terima kasih, ya."
Mahasiswi itu tampak bahagia karena cokelat pemberiannya diterima. Virgo melewatinya. Masih dengan senyumnya. Memasuki salah satu kelas.