Pelajaran pun usai. Mahasisiwa dan mahasiswi dari Jurusan Teknisi Robot membubarkan diri masing-masing. Iyan yang mencangklong tasnya,keluar terakhir. Menutup pintu kelas. Saat dirinya keluar setiap mata memandangnya dengan kagum. Terutama para mahasiswi. Sebelum pulang, dia mengunjungi kantor dosen. Tampak ruang dosen tersebut para dosen yang berkumpul. Mereka semua menoleh. Saat Iyan memasuki ruangan.
"Selamat Siang," sapa Iyan ramah.
Semuanya menoleh. Terutama para dosen wanita menatap kagum padanya.
Ganteng banget!! Batin mereka.
"Selamat Siang. Maaf, Anda siapa ya, Pak?" tanya salah satu dosen.
"Maaf, saya Iyan Emo Core, dosen baru di sini," jawabnya menghampiri kursi kosong, menggesernya, duduk.
"Dosen baru?"
"Oh, mungkin yang diberitahukan Rektor Rangga, ya. Lowongan mencari dosen baru itu?"
"Jadi Anda dosen baru itu? Baru datang melamar, Pak?"
"Betul. Dan saya sudah ditugaskan untuk mengajar hari ini," ceritanya.
"Woow, senekat itu Rektor Rangga. Tunggu, nama belakang Anda tadi Emo Core?"
"Iya, Bu."
"Tunggu. Saya punya seorang mahasiswa bernama marga Emo Core. Saya wali dosen di jurusan Desain Sihir."
"Maksud Anda VITTO?"
"Ya, ya. VITTO. Anda ini siapanya VITTO?"
"Saya abangnya."
Ada seorang pemuda masuk ke dalam ruangan. Dua tangannya membawa tumpukan tugas Nirma. Tugas menggambar manual.
"Permisi, Pak. Saya mau mengumpulkan ini," ucap VITTO sopan, menghampiri meja dosen non Desain Komputer.
"Letakkan di sini saja, Nak." Dosen tersebut menggeser tumpukan buku data.
VITTO meletakkannya."Saya permisi dulu." Setelah meletakkan tugas. Dia menoleh kaget—saat abangnya ada di situ."Lho, ngapain Abang di sini?" menghampiri mejanya.
"Mengajar."
"Abang jadi mengajar?"
"Iya."
"Kok cepat diterima?"
"Kamu tanya saja sendiri ke Rektor Rangga."
VITTO diam."Ya sudah. Nanti pulangnya bareng, ya." Dia melenggang pergi."Aku tunggu di parkiran."
Pintu tertutup.
Iyan berdiri. Sepertinya tidak ada lagi jam mengajarnya untuk hari ini."Baiklah. Saya undur diri dulu," pamitnya, melenggang keluar. Keluar dari kantor. Pintu kantor seberang, terbuka. Rangga muncul membawa tasnya. Menutup pintu kembali. Berpapasan dengan Iyan.
"Pak Iyan? Sudah selesai mengajarnya?"
Mereka berjalan beriringan.
"Ah, ya. Bagaimana keadaan adik perempuan Anda?"
"Dia baik. Sekarang dia bersama dua temannya untuk mengerjakan
skripsi," kata Rangga.
"Soalnya, saya jarang bertemu dengannya. Apa saya saking fokus memperbaiki robot."
"Soal Ayu, dia sering sekali bercerita mengenai Virgo kepada saya."
"Virgo? Soal apa?"
"Ayu sering bercerita tentangnya banyak sekali."
Dari semenjak masuk kuliah hingga akan lulus, Ayu sering sekali bercerita mengenai Virgo. Virgo Emo Core, seorang dosen muda yang hobi bahkan piawai menggunakan alat musik—gitar. Ayu bukan menyukai pemuda itu karena piawai. Melainkan pintar dan ramah terhadap siapa saja. Hingga Rangga menahan bosan agar adiknya bercerita.
"Itu karena dia populer menjadi dosen muda," kata Iyan."Saya pernah mendengar dari VITTO, dia banyak dikagumi kebanyakan cewek. Grupies-nya banyak. Jadi, adik Anda nge-fans berat dengan Virgo?"
"Hahaha," tawa Iyan."Mungkin. Sepertinya dia masih libur."
Paket melayang menggunakan drone datang menghampiri jendela kamar Ayu. Drone tersebut bercahaya biru. Gino yang selesai mengajari Ayu latihan menggunakan sihir, menghmpiri dan tanpa menyentuh jendela, drone itu tidak masuk, tetap melayang di depan jendela. Tampak membawa sesuatu. Lantas ia memanggil Ayu."Gadis Kecil! Lihat apa yang ada di luar jendela!"
Terdengar langkah kaki masuk ke kamar. Ayu, baru saja dari kamar mandi di sebelah."Ya, Tuan, ada apa?"
"Lihat itu, ada benda aneh tanpa sayap di depan jendela," kata Gino, menatap benda itu penasaran.
Ayu menghampiri jendela. Melihat drone itu membawa sesuatu—tampak secarik kertas. Meraihnya. Menatapnya."Ini bill."
"Bill? Apa itu?"
"Bill itu seperti tagihan totalan. Sepertinya sudah lunas."
"Memangnya kamu mengirimkan sebuah paket?"
"Uum. Paket," katanya tersenyum."Beli secara online."
"Paket apa?"
"Rahasia," Ayu meringis.
"Pasti isinya bom?" Gino melotot. "Bahaya, dong!"
"Jangan ngaco Tuan Gino. Bukan isinya bom. Tapi sesuatu yang berharga untuk seseorang." Matanya berbinar.
"Untuk seseorang? Siapa?"
"Ada, deh." Ayu meringis lagi."Sudah, ah! Tuan Gino kepo! Semoga saja paketnya datang ke rumahnya besok. Tapi, Tuan enggak boleh bilang siapa-siapa. Termasuk abang," peringatnya.
"Meskipun kamu bilang begitu, enggak aku bocorin ke bocah itu!" sungut Gino."Oh, saya tahu, kamu lagi kasmaran, bukan?" tebaknya.
"Er..."
"Enggak apa-apa. Lagi kasmaran itu sudah biasa," kata Gino."Dulu banyak penyihir yang kutemui acap kali sedang kasmaran. Penyihir antara penyihir. Penyihir antara Manusia."
"Kalau tahu, kenapa Tuan Gino enggak jatuh kasmaran saja?"
"Jangan bodoh. Saya hanyalah sebuah kotak."
Ayu tertawa.
Setelah menerima bill. Drone itu berbalik melayang pergi. Ayu mengajak Gino untuk makan siang. Ia meraih handpone, keluar seraya menghampiri tangga, menuruninya. Ada notifikasi masuk dari WhatsApp-nya.
Ting!
Membuka dan membacanya.
Ayu, skripsinya sudah beres. Besok kita serahkan ke dosen pembimbing dan semoga, kali ini diterima.
From: Rianty Serenety
Ayu membalasnya.
Semoga saja. Kita bertiga bisa bebas!
Dikirimnya.
Pesan tercentang dua. Belum dibuka. Mereka memasuki dapur. Ada sisa telur goreng.
"Cuma ini?"
"Kenapa?"
"Saya lapar banget," kata Ayu."Sering latihan membuat saya sering lapar."
"Iyalah. Karena energi sihirmu terkuras. Bagaimana kalau saya membuatkan makanan buatmu?" tawar Gino.
"Tuan bisa memasak?"
"Bisa. Jangan meremehkan saya! Dulu saya pernah memasakan untuk para penyihir bila datang ke rumah..."
"Masa? Tuan masih ingat sama rumah Tuan dulu?"
Gino terdiam. Seperti mengingat sesuatu."Masih. Dulu rumah saya kecil dan terlihat asri. Di depannya ada taman. Tapi bukan taman sih, melainkan hutan," ceritanya.
Ayu berpikir. Mungkin saja ingatannya akan rumahnya dulu masih diingatnya. Tetapi, soal pemiliknya si kotak ajaib itu sama sekali tidak ingat. Apa memori tentang pemiliknya telah dihapus? Atau pemiliknya sengaja melakukannya dengan mantra? Kata Rangga, pemilik dari kotak ini telah lama tiada. Jadi, siapa pemuda tampan yang pertama kali ditemuinya?
"Tuan enggak takut tinggal di tengah hutan? Apalagi waktu di malam hari?"
"Saya sudah biasa. Bahkan suara burung hantu kerap menjadi teman tidur saya," kata Gino, mengeluarkan sihir. Perabot untuk memasak seperti wajan dan spatula melayang dengan sendirinya. Dia siap untuk memasak.
"Tuan pernah tinggal dengan seseorang?"
"Eem, kayaknya sih pernah. Entah sama siapa."
"Apa orang tersebut sangat berarti bagi, Tuan?"
"Mungkin. Kenapa kamu berpikir kayak begitu?" Gino melayangkan minyak goreng, menuangkannya ke wajan.
"Enggak apa-apa."
Beberapa jam kemudian, Gino dengan lihai membuat pancake—kue dadar yang di atasnya diolesi selai cokelat. Pancake itu telah jadi. Diberikannya ke hadapan Ayu dengan melayang ke meja.
"Sepertinya enak!" Ayu tampak senang. Ingin segera mencicipi.
"Makanlah selagi hangat. Dan sisanya biar saya simpan untuk bocah itu."
Ayu menyantap pancake buatan Gino. Lezat! Decapan lidahnya tidak bisa berhenti. Walau kotak kusam, Gino juga pintar memasak. Gino menatap gadis itu. Tampak senang jika pancake buatannya dimakan dan ternyata enak.
"Kalau mau, kapan-kapan saya membuat lagi. Khusus untukmu, Gadis Kecil."
"Benarkah? Wah, terima kasih! Ini saja sudah enak, kok!"
"Saking enak atau kelaparan?"
"Dua-duanya. Tuan, enggak ikut makan?"
"Enggak. Hari ini saya mau tidur," kata Gino."Sehabis makan, kamu beresin sendiri, ya."
Ayu menjawab dengan anggukkan. Gino melayang menuju tangga ke kamar Ayu. Seperti biasa, yang dilakukannya adalah tidur.
**
Mobil hitam kinclong melayang meluncur menyusuri jalan raya. Di bangku kiri, Iyan tampak fokus mengemudi. Di bangku sebelah kanan, adiknya sedang membaca cerita di Wattpad di handpone.
"Bagaimana kuliahmu?" tanya Iyan.
"Baik, Bang. Ini saja sudah semester terakhir," jawab VITTO.
"Semester terakhir, ya. Soal usaha desainmu lewat internet itu?"
"Masih jalan, kok. Beberapa produk sudah kujual. Buat nambah uang saku dan sisanya untuk tabungan. Bang, aku ikut grup desain. Desain lewat handpone. Aku mau daftar. Abang ngijini enggak?"
"Ikut saja. Kalau itu positif bagimu."
"Tapi, aku harus mengajak teman," tambahnya.
"Coba kamu mengajak Ayu," tawar Iyan.
"Kak Ayu maksud Abang?"
"Kamu tahukan dia? Punya nomornya?"
"Tanya Abangmu. Dia punya nomornya atau bisa saja minta nomornya ke Rektor Rangga."
"Iya, deh. Entar aku coba minta. Lumayan, Bang, bisa ngajak teman yang sesama penyuka desain grafis."
Mobil melayang masih meluncur di jalan raya. Di rumah yang sama megah, Virgo seperti biasa akhir pekan membersihkan rumah. Setelah semua beres, dia beranjak untuk istirahat sejenak di ruang tengah sembari menonton berita. Berselonjor seraya memegang remote. sian hari membuat tampak sejuk bercampur segarnya angin. Tiba-tiba muncul drone dari arah jendela. Drone itu mengetuk-ngetuk pelan jendela. Virgo bangun, menatap ke arah jendela.
"Drone?"
Dia beringsut dari sofa yang ditdurinya. Menghampiri jendela yang terbuka. Menerima paket yang tergantung di kaki drone. Drone tersebut mendeteksi orang yang menerima paket. Selesai mendeteksi, drone tersebut melayang pergi. Virgo menatap, membaca nama sang pengirim.
"Dari Sweety Shop?" kata Virgo, mengernyitkan kening."Non COD pula." Berbalik menghampiri sofa. Membuka paket. Saat membukannya, di dalamnya terdapat sebuah syal berwarna dan bermotif kuning dan abu-abu."Syal?" Mengelus syal yang terkesan halus dan lembut."Tapi," Virgo bingung."Aku kan enggak pesan syal? Apa mungkin ini dari salah satu cewek di kampus Extreme?" Melempar syal itu."Bodoh amat!"
Meskipun dia tampan. Dia cuek saja bila dikagumi oleh para grupies-nya. Pernah, sewaktu hari Valentine, diberi kado berupa cokelat berbentuk hati. Itu pun dari mahasiswi yang terkenal pintar dan cantik. Pernah, diberikan kado berupa sweter. Lumayan, menggantikkan sweter yang bolong akibat disetrika kelamaan. Pernah diberi kado gelang berbentuk hati. Kaos pun pernah dia dapat. Kebanyakan cokelat. Sisa kado-kado itu diberikan kepada adik angkatnya. Mobil melayang sampai di depan rumah. Mereka masuk. Melihat Virgo sedang unboxing sebuah paket.
"Kamu baru beli barang di online?"
"Enggak. Aku enggak beli."
"Terus, Bang?"
"Enggak tahu. Dari fans kali," cetus Virgo cuek.
"Bagus, dong! Mana Abang mau
lihat," Iyan meraih paket, melihat syal."Bagus lho, Vir. Kuning. Kamu kan suka kuning."
"Kata siapa? Aku suka warna
abu-abu."
"Ini ada warna abu-abu," tunjuk Iyan lagi.
"Syal jelek."
"Hush. Enggak boleh ngomong begitu. Sudah bersyukur Abang dikasih sama fans-nya," ucap VITTO.
"Betul kata adikmu."
"Kalau kamu mau, syal itu buat kamu, deh. Aku enggak butuh," kata Virgo.
VITTO meraihnya."Iya, deh. Kuambil."
Yan-Yan melayang menghampiri ruang tengah. Robot mungil itu tampak selesai mengerjakan tugas."Yan-Yan sudah selesai kerjakan! Ada yang bisa Yan-Yan kerjakan? Ah, Profesor sudah pulang!"
"Memangnya kamu tadi ngerjain apa?"
"Menyiram bunga. Tuan Virgo yang memerintahkan."
"Bang," VITTO teringat."Punya nomornya Rektor Rangga?"
"Buat apa?"
VITTO bercerita bila dia ikut kelas mendesain di grup WhatssAp. Sekaligus mengajak untuk bergabung.
"Boleh. Entar aku kirimi. Apa Ayu? Kamu mengajaknya?"
"Iya. Mumpung pendaftaraannya gratis. Sesi berikutnya membayar."
"Enggak apa-apa. Kalau adikmu mengajaknya. Hitung-hitung berbagi ilmu."