Read More >>"> Gino The Magic Box (Bab 5: Skripsi) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Gino The Magic Box
MENU
About Us  

Hari berikutnya sama saja. Di kampus Extreme, Iyan masih dijadikan perbincangan hangat. Terlebih kalangan mahasiswi. Iyan yang kemarin baru mengajar, tidak tahu dirinya dijadikan bahan perbincangan. Bahkan para dosen wanita pun ikut memperbincangkannya. Ayu, yang pagi itu berdoa semoga saja skripsi yang dikerjakan, diperbaikinya secara bergantian bersama teman kembarnya membuahkan hasil dan diterima oleh dosen pembimbing mereka—Aiden. Sejak awal diputuskan, mereka bertiga diberikan dosen pembimbing yang terkenal jahat kepada semua mahasiswa maupun mahasiswi.

"Yosh, semangat!" katanya, melangkah menuju taman. Untuk menemui kedua temannya.

"Kita sebenarnya mau ke mana?" sahut Gino di dalam tas selempangannya. Ayu dengan berbaik hati mengajaknya. Dengan beralasan Gino setuju ikut dengannya karena ingin mengawasi dan melindunginya.

"Kita mau menemui teman saya."

"Berapa orang temanmu?"

"Dua."

"Mereka baik?"

"Mereka baik." Ayu berjalan melewati bangku-bangku taman. Tampak teman kembarnya menunggu. Satu di antara mereka membawa buku tebal-seperti skripsi.

"Kalian membawanya?" brondong Ayu.

Mereka menoleh."Ah, Ayu! Iya, nih sudah selesai," Riany memberikan skripsi itu pada Ayu.

Ayu menerimanya, ikut duduk. Membuka halaman paling depan.

"Total semua halaman enam puluh lima halaman," ucap Rianty.

"Iya, benar." Ayu melanjutkan membolak-balik setiap halaman."Jadi, kita kumpulkan ini ke Pak Aiden."

"Ayo, tapi kita sarapan dulu, ya. Kamu tadi hanya sempat sarapan roti."

Mereka bertiga akan beranjak namun Gino buru-buru berseru,"Tunggu!"

"Eh?"

"Suara siapa tadi?"

Ayu memegang erat tasnya. Agar suara Gino tidak terdengar kembali."Bu-bukan siapa-siapa, kok!" Ia merasa gugup.

"Kubilang tunggu!" seru Gino lagi. Keluar dari tas.

Riany dan Rianty terkejut melihatnya."Si-siapa itu dia...?"

"Saya Gino!" aku Gino dengan pede.

Ayu di belakangnya tak bisa berkutik."Ah, dia... Dia Tuan Gino..."

"Tuan Gino?"

"Dia kotak."

"Memang saya kotak! Hei, si kembar, saya memang kotak tetapi bukan kotak sembarangan..." Menatap ke Ayu,"Kamu punya teman, kenapa saya enggak dikenalin?"

"Maaf, takutnya entar Tuan Gino ketahuan... Sekalinya ketahuan..."

"Nah," Gino menatap si kembar."Perkenalkan saya Gino, si kotak senjata sihir yang ajaib!" Memperkenalkan diri.

"Tuan Gino si kotak senjata sihir yang ajaib?"

"Kenapa dipanggil 'tuan'?"

"Karena saya berumur lebih lama daripada kalian. Masa kalian enggak tahu?"

Mereka menggeleng."Kami enggak tahu. Tapi rasanya Anda enggak asing..." Rianty mencoba mengingat.

"Karena saya kotak pemilik dari penyihir agung," tambahnya.

"Penyihir agung? Penyihir yang menciptakan sebuah kotak yang disebagaikan senjata? Tunggu, tunggu... Jangan bilang..."

"Beneran dia?!" Riany melotot."Kenapa bisa ada sama kamu?"

"Ceritanya panjang," kata Ayu menggaruk pipi yang tak gatal."Tuan Ginolah yang sekarang menjadi guruku dalam melatih menggunakan senjata sihir."

"Woow," Riany kagum.

"Jadi, kamu sekarang bisa menggunakan senjata sihir, dong?"

"Yah, begitulah."

"Itu bagus!" gantian Rianty kagum."Ayo, kita ke kantin dulu. Paling Pak Aiden belum datang," ajaknya."Tuan Gino mau ikut juga?"

Gino mengangguk, kembali masuk ke dalam tas. Mereka beranjak menuju kantin.

"Tolong rahasiakan ini ya kepada semua penghuni kampus tentang Tuan Gino," pinta Ayu.

"Baiklah. Kami rahasiakan, kok."

"Tenang saja. Tapi Rektor Rangga sudah tahu tentang Tuan Gino?"

"Kalau bocah itu sudah tahu," jawab Gino di dalam tas.

Mereka tiba di kantin. Suasana di tempat itu sepi. Karena para mahasiswi dan mahasiswa dalam tahap suasana pembelajaran. Mereka memesan teh hangat dan sandwich. Sembari menunggu, Ayu membuka halaman skripsi kembali.

"Ayu, aku kemarin diberitahu sama abang kami."

"Soal apa?"

"Skripsi. Kalau skripsi kita diterima sama Pak Aiden, selanjutnya kita enggak boleh santai terlebih dahulu."

"Kenapa?"

"Senjata sihir. Kita bakal maju memperaktikkan senjata sihir," kata Riany.

"Soal itu aku sudah tahu," Ayu menutup kembali skripsi."Aku masih dalam belajar."

"Enggak apa-apa masih belajar. Asalkan dalam mempraktikannya bisa."

Ayu meringis."Yah, aku usahakan."

Beberapa menit kemudian, pesanan mereka datang dengan melayang satu per satu. Menghampiri meja. Mereka menyantap pesanan mereka. Gino keluar dari dalam tas, ikut bergabungdari Hawa pagi ini dingin. Memasuki bulan Desember, cuaca berubah menjadi dingin. Sebelum berangkat, Ayu memakai sweter dan syal agar tubuhnya selalu hangat. Di sela santapan, ada pesan masuk di handpone-nya.

Ting!

Ayu merogoh tas, meraih benda hitam moderen itu. Melihat dan membukanya.

Kak, saya VITTO. Aku minta nomor Kakak dari Rektor Rangga. Ada hal penting yang saya mau kasih tahu. Kalau Kakak enggak sibuk.

From: 081xxxxx

"Dari siapa?" tanya Gino melahap sandwich di piring.

"Dari VITTO." Ayu memberitahu. Bisa-bisanya bocah bermarga Emo Core itu meminta nomor handpone-nya kepada abangnya. Ia tahu, pemuda manis bak Jadden Smith tersebut bermaksud berbaik hati padanya. Seperti sekarang ini.

"VITTO mahasiswa tingkat bawah jurusan Desain Sihir itu?"

"Iya."

"Kamu lagi dekat sama dia?"

"Enggak, kok. Dekat sih dekat tetapi sebagai teman."

"Kudengar dia pemuda yang baik."

Ayu mencoba membalasnya.

Ada apa, ya? Sepertinya penting. Sehabis saya skripsi saja. Nomor kamu saya simpan. 😊

Pesan yang diketiknya dikirimnya. Lalu menyimpan nomornya. Pesannya segera dibalas dengan cepat.

Ting!

Oke, Kak.

From: VITTO Emo Core

"Ciee, Ayu..." goda Riany.

"A-apaan sih?" Ayu mulai salah tingkah.

Beberapa menit mereka selesai menghabiskan makanan mereka. Beranjak keluar dari kantin. Mereka menuju lorong. Berbelok ke arah kantor dosen. Pintu kantor tampak terbuka sedikit. Riany menatap jam di pergelangan tangannya.

"Sepertinya beliau belum datang," katanya.

"Masa? Padahal kan ini sudah jam 0.700 tepat."

"Beliau enggak mengirimkan pesan ke WhatssAp-mu?" tanya Rianty.

"Iya. Beliau mengirimkan kita di suruh menunggu di kantor dosen jam 0.700."

Ayu menghela napas. Agak kecewa."Kita tunggu saja dulu."

"Iya, deh."

Mereka duduk di lantai tangga. Di dekat kantor dosen terdapat tangga yang menjulang menuju lantai dua.

"Kalau kayak begini sih, lebih baik kita menunggu di kantin..."

Ayu mengangguk.

"Kalian itu harus sedikit bersabar," ungkap Gino di dalam tas. Memerlihatkan kedua matanya.

"Soalnya dosen pembimbing kami itu orangnya agak lelet datangnya, terus kalau kami mau mengumpulkan tugas atau ada keperluan mendesak, beliau itu jual mahal," cerita Rianty di samping kanan Ayu.

"Yang benar saja! Dosen apaan tuh? Masa sama mahasiswinya begitu?!" Gino tidak terima mendengarnya.

"Tuan Gino enggak usah marah, kami sudah terbiasanya digituin."

"Saya enggak suka saja. Apalagi kalian sudah mengerjakan buku tebal itu!"

"Itu skripsi, Tuan Gino."

"Skripsi atau apalah terserah."

Sosok yang mereka tunggu akhirnya datang. Dengan mencangklong tas hitamnya. Mengetahui anak didiknya tampak sedang menunggu.

"Kenapa kalian di situ?"

Mereka mendongak. Lantas sumringah.

"Pak Aiden, sudah datang. Begini, Pak, skripsi kami sudah selesai," ucap Ayu.

"Bagus. Kalian langsung ke kantor dosen sekarang," perintah Aiden.

Mereka beranjak. Menghampiri kantor dosen. Aiden membuka pintu lebar. Beberapa dosen telah hadir. Aiden menghampiri meja kerjanya diikuti mereka. Beliau menggeser kursi, duduk. Ayu memberikan skripsi hasil kerja keras mereka.

"Ini, Pak. Silakan dicek."

Aiden tanpa bicara membuka halaman depan memeriksa hingga halaman berikutnya.

Ayu dan si kembar menunggu reaksi dosen pembimbing di hadapan mereka.

"Sudah bagus. Enggak ada yang salah. Tapi..."

"Tapi kenapa, Pak?"

"Kenapa belum dibukukan? Maksudnya skripsi kalian enggak ada sampulnya seperti mahasiswi lain?"

"I-itu... Bukannya Pak Aiden pernah bilang kepada kami, jika skripsi salah atau belum dibetulkan belum boleh diberi sampul," jelas Ayu sedikit takut.

Aiden terdiam sebentar.

"Iya, saya pernah bilang. Tetapi kenapa enggak sekalian dikasih sampul? Saya enggak mau hasil skripsi kalian enggak rapi dan hanya sebatas dokumen model begini," kata Aiden."Saya enggak akan menerimanya.

Mereka terbelalak bersama. Tak percaya dosen tampan di hadapan mereka ini tak mau lagi menerima hasil kerja keras mereka. Di dalam sepasang mata memerhatikan mereka. Sudah seperti biasa suasana di kantor ini dan menjadi makanan sehari-hari.

"Ba-baik, Pak. Kami akan usahakan untuk memberinya sampul..."

"Kami hanya ingin Anda mengeceknya ulang," gantian Rianty.

Gino di dalam tas merasa sebal mendengarnya. Dia melihat dari dalam, tumpukan dokumen yang telanjang mereka kumpulkan menjadi skripsi itu menurutnya sudah rapi.

"Beri sampul. Dan saya tunggu sehabis saya mengajar nanti siang," ucap Aiden telak.

"Ba-baik, Pak!" jawab mereka."Kami permisi." Mereka beranjak keluar. Setelah keluar dan menjauh dari kantor, mereka berkumpul di luar lorong.

"Kita bikin sampul patungan, ya. Seperti biasa."

"Di dekat kampus ada toko yang bisa menjilid dokumen menjadi buku."

"Murah enggak?"

"Murah, kok. Ya sudah, kita patungannya, ya."

Mereka mengumpulkan uang masing-masing di dalam dompet. Menghitungnya. Hitungan terakhir, uang milik Ayu tidak cukup."Aduh, uangku kurang," katanya."Kita ke bank dulu. Aku mau ngambil uang buat kurangannya."

"Ayo," ajak Riany."Tapi, kalau kamu keluar kan, kudu izin ke abangmu?"

"Kita kan di kampus. Kamu izin dulu sana. Kami biar menunggu di sini."

"Maaf, ya. Kalau begitu, aku enggak akan lama." Ayu berbalik, menuju lorong kembali. Ia berbelok ke kantor rektor kampus. Mengetuk pintu pelan. Terdengar suara dari dalam menyuruhnya masuk."Masuk!"

Ia membuka pintu. Masuk, menghampiri abangnya yang terpekur di monitor komputer hologram di depannya.

"Abang," panggil Ayu.

Rangga terpekur di komputer hologram, menoleh."Apa? Tumben kamu ke sini?"

Adiknya dari masuk kuliah hingga lulus bahkan tidak pernah memasuki ruangannya. Baru sekarang ini, adiknya masuk ke dalam ruangannya.

"Anu, aku mau keluar bareng Riany dan Rianty."

"Keluar ke mana?"

"Ke bank sebentar. Mau ambil uang buat menjilid skripsi kami. Uangku kurang..."

"Enggak usah keluar," larang Rangga.

"Tapi, Bang, skripsinya dikumpulkan hari ini. Dikumpulkan nanti siang. Karena Pak Aiden menunggu," kata Ayu.

"Sebentar." Rangga merogoh saku, meraih dompet. Mengeluarkan uang dua tiga ribu. Diberikan kepada adiknya."Ini, ambillah."

"Tiga ratus ribu? Ini kebanyakan."

"Ambil saja."

Ayu tersenyum."Terima kasih, Bang!" Akan berbalik namun Rangga mencegahnya."Tunggu, Ay. Biar Robot satpam yang mengantar kalian."

"Buat apa dianterin? Kami bisa keluar sendiri. Lagipula cuma sebentar."

"Enggak. Pokoknya kamu harus dianterin," Rangga bersikukuh.

Ayu cemberut. Abangnya selalu over protective. Bukan selalu tepatnya. Melainkan terlalu over protective. Karena dulu sewaktu sekolah dasar di panti asuhan dan dulu pernah mengadakan acara kamping bersama, ia hampir menghilang di hutan. Abangnya, yang saat itu kelas enam, sangat khawatir. Lebih-lebih para guru maupun kakak-kakak pengasuh di panti asuhan.

"Abang ini..."

"Kalau enggak dianterin, biar Abang saja yang nganterin..."

"Aku bilang enggak us—"

"Enggak usah bocah!" seru Gino, keluar dari tas selempangan Ayu.

Rangga terkejut."Tuan Gino? Kenapa Anda bisa ikut ke sini?"

Gino memincingkan kedua matanya."Saya ke sini hanya ingin melindungi adikmu, Bocah."

"Baiklah," Rangga tersenyum penuh arti. Kotak ajaib itu ikut dengan adiknya karena hanya melindunginya."Jadi, selagi ada Tuan Gino, tolong temani dia bersama temannya keluar untuk menjilid skripsinya," pintanya.

"Walau enggak kamu suruh pun saya tahu! Karena mereka sudah janjian dan saya mendengar semuanya," dengkus Gino."Ayo, Gadis
Kecil," ajaknya keluar dari ruangan.

"Aku pergi dulu." Ayu pamit keluar mengikuti Gino. Mereka sudah berada di luar ruangan, Gino kembali masuk ke dalam tas. Mereka kembali menemui si kembar.

Mereka menoleh, mengetahui Ayu sudah kembali.

"Bagaimana?"

Ayu memperlihatkan deretan giginya yang rapi."Diizinin. Kita dapat uang tambahan buat patungan menjilid buku."

"Oke. Ayo, kita pergi."

Mereka beranjak ke arah pagar. Pagar besar yang menjulang tinggi. Pagar besi yang di atasnya ada tiang melengkung bertuliskan "Welcome To Extreme Campus" sebagai ciri khas. dua robot satpam yang tahu, segera membukakan pagar untuk mereka. Mereka kemudian menyeberang jalan dibantu salah satu dari robot itu. Mereka menghampiri toko "Magic Store Fotocopy And School Device"—toko yang menyediakan jasa fotokopi, menjilid buku, laminating, dan lain-lain.

Ayu menyerahkan dokumen yang belum dijilid itu kepada sang penjaga toko. Sembari menunggu di bangku yang dipayungi oleh payung dan disediakan juga meja bundar.

"Pokoknya, skripsi kita kudu jadi hari ini."

"Kalau enggak, kita bisa kena her!"

"Yang lebih parah lagi, skripsi kita enggak diterima!"

"Tenanglah kalian itu. Kalau kalian sudah mengerjakan apa itu namanya tadi?"

"Skripsi, Tuan Gino," ucap Ayu."Kami sudah mengerjakannya awal-awal."

"Bahkan masih banyak di antara teman kami sekelas yang belum menyelesaikan. Ayu, Flash Sihirnya sudah beres. Sudah kami tambahin sebagai pelengkap." Rianty merogoh tas. Memperlihatkan benda mungil putih pipih yang ujungnya diikatkan gantungan kunci burung hantu."Saya kembalikan."

Ayu menerimanya.

"Iya. Terima kasih. Semoga video yang kita buat untuk sidang
diterima."

"Semoga saja," jawab si kembar serempak, berharap.

Di sela menunggu, seorang pemuda juga menghampiri toko. Melihat mereka, menyapa,"Kalian di sini juga?"

Mereka menatap pemuda itu. Virgo. Ayu menatapnya langsung gugup dan buru-buru menunduk. Ia tidak berani menatap.

Ke-kenapa dia ada di sini? Batinnya.

"Kami sedang menunggu skripsi yang dijilid," kata Riany.

"Begitu, ya?"

"Pak Virgo sendiri ke sini untuk apa?"

"Mau fotokopi. Alat fotokopi di ruang dosen rusak. Untuk ada seorang teknisi yang didatangkan langsung sama Rektor Rangga." Menatap ke arah Ayu."Sudah selesaikah skripsinya?"

Rianty dan Riany menatap ke Ayu. Riany menyikut lengan Ayu kasar."Hei, kamu ditanyain itu, lho..."

Ayu mendongak. Pipinya merona hebat dan dadanya berdegup kencang."Se-selesai, kok, Bang eh Pak!"

Virgo tersenyum.

"Bagus," ucapnya kalem."Ya sudah. Saya mau fotokopi dulu. Semoga di hari persidangan, kalian berjalan lancar dan lulus."

"Amiin! Terima kasih, Pak!'

Virgo menghampiri toko. Ayu melirik pemuda itu. Dadanya masih berdegup kencang. Setelah menunggu skripsi mereka dijilid, akhirnya skripsi mereka sudah dijadikan sebuah buku. Bersampul berwarna hijau muda. Sang penjaga toko yang juga seorang penyihir, memencet bel menandakan sudah selesai.

"Eh, sudah selesai tuh punya kita. Kamu ambil gih, Yu."

"Aku?"

"Iya. Mana uangnya. Nih, kita patungan."

Mereka bertiga mengumpulkan uang. Ternyata terkumpul banyak. Dengan terpaksa, Ayu meletakkan tasnya di meja, beranjak menuju toko. Dadanya kembali berdegup kencang. Pemuda itu belum beranjak dari tempatnya. Sepertinya dia sedang menunggu. Tepat di samping pemuda itu. Mukanya kembali merona. Di sampingnya, aroma khas mind dingin yang dimiliki pemuda itu terhidu mengundang hidungnya. Mereka saling terdiam.

"Mau ambil?" tanya Virgo akhirnya.

"I-iya..." Ayu merasa gugup sekali. Kedua tangannya basah.

"Sudah bisa menggunakan senjata sihir?"

"Lu-lumayan..."

"Tapi, abangmu itu hebat, ya. Dia dulu bisa lulus secepat itu."

Ayu diam saja. Topik yang disinggung Virgo, sangat tidak disukainya.

"Sama seperti Sukma. Tapi, Sukma lebih menyukai menjadi polisi sihir."

"Di-dia hebat."

"Siapa? Sukma?"

"Y-ya..."

"Dia memang hebat."

"Maaf, Nona, totalnya menjadi Rp. 100.000," ujar sang penjaga toko.

Ayu mengelungkan uang yang diberikan abangnya kepada penjaga toko. Dan menerima skripsinya yang sudah jadi.

"Terima kasih," ucapnya.

"Ini Tuan, sudah selesai," ujar penjaga toko yang satu lagi."Totalnya Rp. 25.000."

Virgo merogoh saku jaket. Meraih uang. Memperlihatkan uangnya yang hanya Rp. 20.000 saja."Aduh, kurang uangnya. Maaf, Pak. Uang saya hanya ini. Saya akan kembali untuk mengambil yang kurang."

Ayu yang akan beranjak diurungkannya. Menatap pemuda tinggi itu iba. Ia merogoh uang di sweternya. Memberanikan diri."Eem, i-ini... Saya yang membayarnya..." mengelungkan uang 5000 pas kepada penjual.

Virgo merasa tidak enak.

"Eh, nanti saya ganti, ya..."

"E-enggak usah, Bang! Enggak apa-apa! Cuma lima ribu..." Ayu tambah gugup. Mukanya merona hebat seperti tadi, berbalik dan membawa skripsnya erat. Menghampiri dua teman kembarnya dan Gino.

"Ada apa?"

"Mukamu kok merah?"

"Ki-kita kembali ke kampus!" Menyambar tasnya. Mereka pun kembali ke kampus dan menyeberang jalan lagi dibantu robot satpam. Sampai di depan kampus, mereka kembali ke kantin, menunggu dosen pembimbing mereka selesai mengajar.

**

Siang hari, jam pelajaran usai. Ayu dan dua temannya bersama Gino beranjak dari kantin. Mereka kembali ke lorong, menuju kantor dosen. Kebetulan Aiden, sudah berada di dalam bersama dosen yang lain. Mereka masuk, dengan sopan menyerahkan skripsi mereka takut-takut.

"Pak Aiden..."

Aiden tidak jadi menyantap sandwich, sebagai makan siangnya hari ini menoleh."Oh, kalian."

"I-ini skripsi kami. Sudah kami jilid dan sebagai pelengkap sudah kami beri sampul," ucap Ayu.

Aiden menerimanya. Tersenyum. Jarang-jarang dosen killer seperti dirinya tersenyum. Yang ada setiap mahasiswa dan mahasiswinya diberikan tatapan tidak peduli dan dingin.

"Bagus, Anak-anak. Skripsi ini, sudah saya terima. Tapi, kalian sudah punya kopiannya, bukan? Untuk dipelajari?"

"Sudah, Pak."

"Nah, semoga kalian bisa menghadapi sidang. Saya akan mengkonfirmasikan ke pihak kampus untuk mengadakan sidang kalian," ucap Aiden bijak.

Mereka tersenyum sumringah. Tidak percaya dosen pembimbing mereka menerima skripsi mereka.

"Terima kasih, Pak!"

Para dosen yang melihat mereka memberikan selamat.

"Wah, selamat, ya."

"Semoga berhasil di sidang berikutnya."

Mereka menyengir dan keluar dari kantor. Di depan pintu seraya menutup pintu. Mereka melangkah bersorak saking bahagia.

"Skripsi kita diterima!"

"Yeah!"

"Akhirnya kita bisa bebas!"

"Selanjutnya, kita harus berusaha lagi! Karena kita harus menunggu sidang."

"Dan, habis itu kita lulus, deh."

Mereka pun berpisah. Si kembar pulang duluan karena mereka diantar oleh jemputan mereka. Sepeninggal mereka, Ayu berbelok ke arah kantor rektor dengan semangat dengan berlari ingin memberitahukan berita ini. Tak ayal, kakinya terantuk sesuatu, terhuyung akan jatuh, namun pinggangnya berhasil ditangkap dan mendekapnya erat. Melihat siapa yang mendekapnya—ternyata abangnya sendiri.

"Ayu? Kenapa berlari seperti itu?"

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Di Hari Itu
419      296     0     
Short Story
Mengenang kisah di hari itu.
Dessert
867      443     2     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...
My Halloween Girl
994      527     4     
Short Story
Tubuh Kevan bergetar hebat. Ia frustasi dan menangis sejadi-jadinya. Ia ingat akan semalam. Mimpi gila itu membuatnya menggila. Mimpi itu yang mengantarkan Kevan pada penyesalan. Ia bertemu dengan Keisya dimimpi itu. “Kev, kau tahu? Cintaku sama besarnya denganmu. Dan aku tak akan membencimu,”. Itu adalah kata-kata terakhir Keisya dimimpinya. Keisya tak marah dengannya. Tak membencinya. Da...
Gray November
2384      917     16     
Romance
Dorothea dan Marjorie tidak pernah menyangka status 'teman sekadar kenal' saat mereka berada di SMA berubah seratus delapan puluh derajat di masa sekarang. Keduanya kini menjadi pelatih tari di suatu sanggar yang sama. Marjorie, perempuan yang menolak pengakuan sahabatnya di SMA, Joshua, sedangkan Dorothea adalah perempuan yang langsung menerima Joshua sebagai kekasih saat acara kelulusan berlang...
Surat Terakhir untuk Kapten
541      387     2     
Short Story
Kapten...sebelum tanganku berhenti menulis, sebelum mataku berhenti membayangkan ekspresi wajahmu yang datar dan sebelum napasku berhenti, ada hal yang ingin kusampaikan padamu. Kuharap semua pesanku bisa tersampaikan padamu.
Between the Flowers
451      245     1     
Romance
Mentari memilih untuk berhenti dari pekerjaanya sebagai sekretaris saat seniornya, Jingga, begitu menekannya dalam setiap pekerjaan. Mentari menyukai bunga maka ia membuka toko bersama sepupunya, Indri. Dengan menjalani hal yang ia suka, hidup Mentari menjadi lebih berwarna. Namun, semua berubah seperti bunga layu saat Bintang datang. Pria yang membuka toko roti di sebelah toko Mentari sangat me...
KataKu Dalam Hati Season 1
3527      1062     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
Mendadak Pacar
7816      1549     1     
Romance
Rio adalah seorang pelajar yang jatuh cinta pada teman sekelasnya, Rena. Suatu hari, suatu peristiwa mengubah jalannya hari-hari Rio di tahun terakhirnya sebagai siswa SMA
Bulan di Musim Kemarau
344      234     0     
Short Story
Luna, gadis yang dua minggu lalu aku temui, tiba-tiba tidak terlihat lagi. Gadis yang sudah dua minggu menjadi teman berbagi cerita di malam hari itu lenyap.
Mr.Cool I Love You
80      69     0     
Romance
Andita harus terjebak bersama lelaki dingin yang sangat cuek. Sumpah serapah untuk tidak mencintai Andrean telah berbalik merubah dirinya. Andita harus mencintai lelaki bernama Andrean dan terjebak dalam cinta persahabatan. Namun, Andita harus tersiksa dengan Andrean karena lelaki dingin tersebut berbeda dari lelaki kebanyakan. Akankah Andita bisa menaklukan hati Andrean?