Khalisya masih di tempatnya, tak pergi seperti biasa. Masih menghiburnya. Duduk di pinggir kasur.
"Kamu yang sabar, ya, Bee..." sembari menepuk-nepuk pelan pundaknya.
Bee mengangguk pelan.
"Terima kasih," ucapnya, menyeka kedua matanya yang sembab. Ia sudah dalam keadaan berpakaian rapi.
"Nanti kalau habis dari sini, aku akan memberitahu Bang Vitto sama
VITTO," lanjutnya,"boleh, ya? Biar mereka berdua tahu kalau kamu dalam keadaan susah, dalam keadaan masih dalam duka."
"Ya..." jawab Bee,"kamu beritahu mereka sekalipun, mereka mungkin sudah tahu..."
Ya, Vitto dan VITTO. Mereka berdua adalah orang yang sama, tetapi berbeda dari segi lain dan sifatnya berbanding terbalik. Bukan sedarah. Tetapi keduanya berbaik hati dan selalu ada untuknya seperti Khalisya. Mereka kerap membelanya dan selalu memberi saran kepadanya. Mereka juga saling tahu ia di kehidupannya seperti apa. Mereka juga kadang mengunjunginya. Kembali ke Khalisya.
"Oke!" katanya."Kutinggal enggak apa-apa, nih?" Khalisya mencoba memastikan temannya dalam keadaan baik-baik saja walau dalam keadaan masih berduka seperti itu. Hingga bulan dan tahun pun berganti sehabis tahun baru dan sekarang ini, Bee, dalam keadaan baik dan bisa melakukan aktivitasnya di rumah. Seperti menulis-yang dulu sempat menjadi hobinya sewaktu SD kelas 4—mulai melakukan hobinya selain menggambar lagi dari kuliah hingga ia lulus dan menjadi pengangguran. Ia mulai menulis lagi karena adik kembarnya yang juga suka menulis dan menggambar sewaktu kuliah.
Ketiga teman imajinasinya sangat tahu karena gadis itu suka dalam hal menulis dan suka sekali berimajinasi. Dari novel maupun cerpen dan cerbung yang ia tulis. Dengan menulis, ia bisa mencurahkan curhatan dan idenya. Ketiga teman imajinasinya pernah diberitahu hasil tulisannya yang pernah dimuat di salah satu majalah. Dulu, ia sempat gagal dan karya-karya tak ada dimuat barang sekalipun. Sepi, tak seperti biasanya. Hawa masih sama saja dan pandemi masih mewabah. Tapi, ia jatuh sakit akibat batuk dan flu. Terpaksa saat pergi ke penggilang padi kakeknya ia memakai daster dan membawa bantal berbentuk Hello Kitty berwarna pink. Ia memang dalam keadaan sakit, terpaksa dipaksakan. Karena kalau tidak dibuka, pastinya tak mendapatkan uang. Budhenya yang satu lagi memberi saran agar ia dan adik kembarnya membeli obat pereda panas—Parasetamol. Ibunya menitipkan makanan selama beliau tak ada pada mereka lewat bantuan tetangganya di depan penggilingan padi yang memiliki toko. Karena ibunya tak memberitahu kepada saudara-saudara jika beliau masih berada di Kalimatan Timur. Beliau tahu, saudara-saudara lain sama sekali tak peduli terhadap keluargnya. Jujur saja, selama setahun ini keluarga mendapat musibah berturut-turut. Pertama, kakeknya dari pihak ibunya meninggal akibat sakit kanker paru-paru. Menjelang 40 hari kakeknya, kedua, neneknya meninggal karena sakit maag akut dan sakit karena pikiran. Dan ketiga, yang membuat jantungnya ketar-ketir bagaikan jeratan pohon Dedalu, setiap akar-akar melucut mengamuk—orang yang disayanginya telah tiada. Hari belanjut hingga tiga minggu lamanya, ibunya pulang. Tepat dalam di hari ulang tahunnya—sudah lewat, tak ada yang memberi selamat padanya. Ayahnya pun tampak cuek dan tak peduli. Di hari ulang tahunnya, tak apa dilupakan, tak diberi selamat dan mungkin saudara-saudaranya yang lain tak ada yang peduli. Hingga dua adik sepupunya berkunjung dan tinggal bersama dengannya. Adik sepupunya yang kedua, masih tinggal di Kalimantan Timur. Karena tantenya meninggalkan ketiga anaknya yang masih sekolah, memutuskan berdomisili ke Pulau Jawa bersama papa mereka. Memutuskan untuk bersekolah di sana bungsu bersekolah karena pesan mamanya tak lain tantennya sendiri. Si bungsu dengan jujurnya mengatakan yang membuat ia kaget, karena dia punya hubungan dengan seseorang dari papanya. Kalau kalian menebak, ya, perempuan lain. Adik sepupunya yang pertama, pernah bercerita padanya bahwa mungkin menggantikan sosok tantenya. Si bungsu sering kali ber-video call, chat di Whatssap. Ia bosan mendengarnya, merasa sebal tiap kali adiknya bercerita. Memang semenjak kecil, ketiga adik sepupunya dimanja oleh papanya.
Biarlah, batinnya dalam hati.
Namun hati kecilnya mengatakan sebenarnya ia tak kuat menjaga adik sepupunya itu. Namun, tetap menguat diri karena terpikir karena ini adalah balasan balas budi untuk tantenya seorang. Sebelum dua adik sepupunya berkunjung, dalam batin, ia berkata,"Aku sudah lillahitallah menjaga anak-anakmu, Te..."
Malam harinya diam-diam seperti biasa, ia menuliskan chat kepada tantenya di LINE.
Tante, katanya Monyong tadi di selepan, dia dengar kalo Cantik voice call Tante Mamanya. Bilang gini,"Tante Mama kenal Mama Lydia? Kenal sama Budhe?"
Monyong tadi dengernya kaget! Terus, Tante Mama enggak jawab. Apa mungkin dianya enggak berani jawab, ya? Aku mikir gitu. Terus, kata suamimu gini,"Tante Mama mungkin lagi sibuk, Sayang."
Habis itu Cantik cerita giginya copot. Di selepan waktu bantu ibu ya aku dikasih tahu. Pikirannya Tante juga sama kayak aku enggak? Aku harap, sama.
Itu awalnya dan tidak terasa, sudah berganti bulan dan tahun, ia masih tetap menuliskan chat kepada tantenya. Biar ia tak pernah dipedulikan seperti itu oleh saudara-saudaranya. Ia merasa biasa saja. Saudara-saudaranya tak ada yang datang atau menjenguknya. Sekali itu dalam keadaan masih dalam duka.