.
.
Diary 18 Tatapan Aneh
Nofap hari ke-63
.
.
“Besok joging lagi?”
Aku mengangguk sembari berusaha untuk menetralkan napas yang memburu. kaus jerseiku basah dengan keringat setelah joging hampir satu jam lamanya bersama dengan Kak Fayruz. Akhir-akhir ini jadwalku kembali seperti sedia kala, aku bisa bangun sangat pagi, pergi joging setelah solat subuh, dan berangkat ke sekolah tanpa terlambat.
“Sudah jam setengah enam, aku duluan, ya! Sampai nanti!” Kak Fayruz melambaikan tanganya dan memasuki rumah.
Aku kembali mengelap keringat yang tak juga kering dan memilih untuk mengibaskan pakaianku dan menikmati embusan angin sejuk yang menyentuh kulitku. Rasanya sangat nikmat. Aku menghela napas dan mendongak, menatap langit yang mulai berubah warnanya.
Hari ini pun, aku menikmati pemandangan kecil di tengah kota besar ini. Angin sepoi-sepoi sejuk yang menerpa kulitku terasa menghangatkan hati. Aku menyadari jika aku mulai sering sekali merasakan hal-hal kecil yang sebelumnya kuabaikan. Contohnya saja pemandangan kecil yang dibuat oleh tuhan untuk manusia, aku tidak menyangka jika dengan menikmati langit seperti ini bisa membuat hatiku tenang.
“Elzar, sini!”
Seruan itu membuat tarikan otot di sudut bibirku terangkat. Aku menoleh dan melambaikan tangannya pada seorang wanita berpakaian daster batik dengan kerudung pendek sedang menatapku dari taman di rumahnya.
“Iya, Bu!” Aku berlari kecil menuju Ibu yang berdiri di belakang pagar, sedang menyirami anggrek-anggrek yang sudah beliau rawat sepenuh hati. Meski bisa mempekerjakan orang suruhan untuk merawat taman, Ibu lebih suka mengerjakannya sendiri di tengah kesibukannya. Mungkin itu salah satu cara untuk meredakan stres—yang mungkin salah satunya juga disebabkan oleh Aku.
“Sudah jam segini masih belum siap-siap? Nanti kalau teman-temanmu datang bagaimana?” tanya Ibu.
Aku menyunggingkan senyum lebar untuk mengurangi raut wajah khawatir Ibu. “Tenang saja, Bu! Masih ada cukup waktu untuk mandi dan sarapan.”
“Tetap saja, kan? Jangan buat mereka menunggu.” Sayangnya kekhawatiran itu tidak hilang sampai suara helaan napas panjang terdengar. Senyum kecil muncul di wajah Ibu. “Kemarin Ibu masuk ke kamarmu, nilai ujianmu bagus-bagus sekarang, ya?”
Mataku melebar, sama seperti mulutku yang terbuka. Pipiku terasa panas saat tahu Ibu berhasil masuk ke dalam kamar. “Ah, Ibu! Jangan seenaknya masuk ke kamarku, dong!” Aku bukannya punya sesuatu yang disembunyikan, hanya saja tetap terasa memalukan jika melihat Ibu mengendap-endap seperti itu.
Tawa kecil yang renyah memenuhi indera pendengaranku. “Ibu senang kamu jadi semangat belajar. Jujur saja, Ibu sempat khawatir karena kamu tipe anak yang tertutup. Pokoknya kalau ada apa-apa cerita saja, ya!”
Aku terdiam, lalu tersenyum kecil dan mengangguk. Meski rasa bersalahku mulai terlupakan, tetapi melihat senyuman lembut Ibu berhasil membuat perasaan itu muncul kembali. Bisa-bisanya aku berbuat seperti ini pada Ibu, jika wanita itu tahu tentang masa laluku, apa beliau akan tetap tersenyum seperti itu kepadaku?
“Ibu, Elzar kalau ada salah minta maaf, ya?”
Kalimat itu keluar tiba-tiba dari mulutku. Aku sendiri baru menyadarinya saat selesai berkata seperti itu. Baik Aku ataupun Ibu, kami berdua sama-sama terdiam hingga rasa malu muncul di hatiku.
“A–aku masuk dulu, Bu.” Sebelum suasananya terus menjadi canggung, aku memilih untuk melarikan diri daripada mati karena malu.
“Elzar!” Panggilan itu membuat langkah panjangku terhenti, aku menoleh perlahan. “Ibu sayang Elzar!”
Sudah, aku sudah mati karena malu. Aku ingin segera menggali tanah di paving yang kuinjak dan mengubur diriku. Namun karena hal itu tidak mungkin, aku memilih untuk kembali melanjutkan langkahnya.
Sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Ibu, aku berseru, “Aku juga!”
Ugh, memalukan!
***
“Selamat datang! Anggap saja rumah sendiri.”
Keempat laki-laki yang berdiri di depan pintu masuk itu segera memasuki rumahku. Setelah sekian bulan berada di tahun pertama SMA, akhirnya ada juga teman sekelasku yang datang bermain ke rumah, meski bukan benar-benar bermain karena tujuan kami di sini adalah kerja kelompok.
“Langsung naik ke lantai dua saja, ya!” seruku yang berjalan di belakang teman-temanku.
“Akhirnya, dari dulu aku selalu penasaran dengan rumahmu, lho, Zar!” Salah satu temanku menyahut sembari melangkah menaiki tangga. Aku hanya menarik senyum kecil sebagai respon, lagipula itu bukan perkataan yang membutuhkan jawaban.
“Wow, gila! Kau sudah mempersiapkan semuanya, ya! Tau begini dari dulu kita kerja kelompok di rumah Elzar.” Ucapan itu terdengar saat mereka melihat makanan yang sudah kusiapkan. Di atas meja yang baru kupindahkan, terdapat stoples-stoples makanan ringan dan es bubur kacang hijau.
Mungkin karena terlalu bersemangat, aku jadi mempersiapkan banyak hal. Bahkan aku membersihkan sudut-sudut kamarku dan rela membeli pengharum ruangan otomatis beraroma min yang segar. Lalu, Bu Imas yang tahu jika akan ada teman sekolahku yang datang ke rumah, tentu saja segera memasak kolak dengan senang hati, beliau juga bilang akan membuat masakan yang enak untuk makan siang nanti.
Sebenarnya ini juga bukan ideku, tetapi teman-temanku memaksa dengan alasan jika mereka belum pernah bermain ke rumahku, dan itu memang benar. Jika aku belum berhenti dari candunya, mungkin aku akan dengan keras menolak, tetapi kali ini aku menerimanya dengan penuh pertimbangan.
“Elzar, ini tas siapa?”
Mata kecoklatanku melebar saat melihat salah satu temanku menunjuk benda yang menggantung di belakang pintu. Bisa-bisanya aku lupa dengan tas jingga itu. Mana mungkin aku menjawab jika tas dengan gantungan kunci berbentuk pom-pom jingga dan gantungan kunci hati merah terang itu sebagai milikku.
“Itu ... itu punya sepupuku yang kemarin menginap di sini.” Aku sudah tidak tahu ekspresi apa yang terpampang di wajah ini. Aku hanya berusaha tersenyum normal dan tidak terlihat aneh meski keringat dingin terasa membasahi di punggung.
“Oh, aku pernah lihat tas seperti ini, tapi pabrik memang tidak buat satu produk saja, sih!”
Aku masih tidak memudarkan senyum paksa, sampai temanku duduk bergabung bersama teman lainnya. Aku menyentuh dada yang bergemuruh dan berusaha menetralisirnya. Bisa-bisanya aku lupa tidak menyembunyikan tas itu dan memajangnya di sana.
***
Nofap hari ke-68
Ini aneh.
Aku melihat sekeliling dengan alis yang mengernyit. Perasaanku sudah tidak enak saat aku berjalan masuk melewati gerbang sekolah. Padahal hari Senin dan Selasa kemarin semua baik-baik saja. Selama perjalan menuju kelas, aku merapatkan hoodie biru gelapku dan berjalan dengan kepala tertunduk. Jika tahu hal ini akan terjadi, mungkin aku akan memutuskan untuk diam saja di tempat tidur dan berpura-pura terkena demam.
Perasaaan tidak enak itu semakin membesar tatkala aku duduk di bangku. Tatapan aneh itu berubah sinis, aku yang awalnya berpikir jika semua pandangan yang kuterima sejak datang tadi hanya perasaanku saja pun berubah. Saat aku mendongak untuk melihat sekeliling kelas, orang-orang yang melirik ke arahku dengan cepat memalingkan wajah.
Apa terjadi sesuatu?
Seingatku, Sabtu kemarin aku hanya diam di rumah karena teman-teman datang untuk kerja kelompok. Lalu di hari Minggunya, aku seperti biasa berdiskusi dengan Kak Afkar, Kak Fayruz, dan Kak Fayra. Pembahasan kemarin cukup seru, tentang dampak seks bebas dan penyakit HIV/AIDS yang sering diderita para ibu rumah tangga dan anak yang dilahirkan dari rahim mereka.
Saat ini, belum ada yang duduk di sebelahku, teman-teman sibuk berbincang di tempat lain. Ini hal yang biasa, tetapi aku jadi tidak bisa bertanya pada teman sebangkuku tentang apa yang telah terjadi. Daripada bertanya pada orang-orang yang sedang berbisik tentangku, aku memutuskan untuk diam saja dan menyimpan rapat-rapat pertanyaan yang ada dalam otak.
Setelah sekian lama bersabar dengan tatapan itu, bel masuk akhirnya berbunyi. Kekhawatiran yang tadi terus menghantuiku pun menghilang. Karena terlalu bingung, aku sampai merasa tempat duduk yang kugunakan ini terasa sangat tidak nyaman.
Hanya butuh beberapa menit lagi sebelum Guru Bahasa Indonesia masuk ke kelasku, tetapi sepertinya aku tidak perlu menunggu terlalu lama karena guru yang satu itu termasuk orang yang akan datang tepat waktu.
Namun, setelah menunggu sampai lebih dari satu jam pun, guru itu belum juga datang. Aku diam-diam mendengarkan berita tentang rapat yang sedang terjadi di ruang guru. Oke, aku akan berusaha untuk bersabar sedikit lagi. Hingga akhirnya orang yang kutunggu kedatangannya itu pun muncul, tatapan yang tertuju ke arahku kini mulai menghilang.
“Selamat pagi, semuanya. Sebelum kita mulai, Ibu dapat pesan dari BK.”
“Pasti dia, kan?” Bisikan itu mencuri perhatianku. Aku menelan ludah dengan gugup saat melihat mereka menoleh ke arahku.
Tatapan mata yang berubah tajam itu tertuju langsung kepadaku. Perasaan yang tadi mulai menghilang muncul dengan cepat ke permukaan hingga tanpa sadar membuatku menahan napas. Saat namaku keluar dari mulut wanita itu, duniaku seakan hancur, bayangan-bayangan mengerikan muncul dalam benakku.
“Ghazi Dayyan Elzarrar, Bu Laili menunggumu di ruang BK.”