.
“Aku!” Gadis dengan rambut berkucir satu itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi, berbeda denganku dan adiknya yang masih sibuk mencari jawaban dengan bantuan internet. “Biasanya ada fitur ‘laporkan’ di setiap media sosial. Kita bisa memilih opsi ‘konten tidak pantas’ atau ‘konten eksplisit’, bisa juga dengan opsi lain yang berhubungan dengan hal itu.”
“Ah, aku menemukan cara lain untuk melaporkan tautan-tautan seperti itu,” tambahku. Meski mata sibuk menatap layar ponsel, tanganku mengangkat tinggi-tinggi “Di sini tertulis jika kita bisa melaporkannya melalui email kominfo, namanya ‘aduankonten@mail.kominfo.go.id’ atau melalui web ‘aduankonten.id’ dan twitter @aduankonten.”
“Itu keren! Coba kirim artikelnya, dong!” Kak Fayruz mendekatiku dan melihat layar ponselnya, menunggu untuk mengirimkan apa yang sedang kubaca.
“Oh, di sini bahkan tertulis jika rata-rata isi pengaduannya tujuh puluh persen berisi konten pornografi dan diakses oleh masyarakat berumur mulai dari 12 tahun sampai pertengahan tiga puluh,” baca K Fayruz. Ia mengalihkan pandangannya dari ponsel dengan matanya yang melebar tak percaya. “Wow, dua belas tahun!”
“Memang semakin canggih teknologi, semakin mudah pula mencari tahu. Benar, kan?” sahut Kak Afkar. “Kalian sendiri saat candu-candunya dulu juga mencarinya di internet, kan?”
Aku dan Kak Fayruz mengangguk mantap. Kak Fayruz melanjutkan, “Baik dari gambar, komik, video, atau tulisan, semuanya tersedia dengan lengkap. Bahkan jika tidak bisa diakses di internet, banyak juga grup di media sosial yang membagikan video dan tautan yang mengarah ke situs-situs seperti itu dengan bebas.”
“Pokoknya kalau melihat hal-hal yang tidak senonoh, kita harus segera melaporkannya sebelum banyak orang yang melihatnya. Karena sikap orang lain bisa berubah dari apa yang sering ia lihat,” saran Kak Afkar. “Sebagai orang-orang yang menyebarkan pesan negatif dari PMO, kita harus berani melaporkannya. ”
“Siap, Kak!”
Di saat semuanya terdiam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing, kumandang ayat suci dari musala di dekat rumah terdengar bersahutan dengan masjid lain, pertanda waktu adzan akan tiba tidak lama lagi. Matahari tanpa mereka sadari sudah tergelincir ke barat dan menyisakan langit berwarna jingga.
“Wah, tidak kusangka sampai mau maghrib,” kataku sembari lirik jendela persegi panjang berteralis itu, menatap jauh pada langit yang mulai menggelap di luar sana.
“Benar! Pembahasannya menarik, sih! Aku tidak akan pernah mendapatkan pelajaran seperti ini di sekolah.” Ucapan Kak Fayruz ada benarnya juga.
“Iya, selama aku bersekolah sejak SD sampai SMA, paling-paling hanya mendapatkan cara merawat organ vital, penyakit menular seksual, dan bahaya pergaulan bebas.” Kak Afkar berkata seperti itu sembari memasukkan barang-barangnya ke dalam tas berwarna hijau yang selalu dibawa setiap kali bepergian.
“Kak Afkar sudah mau pulang? Tidak sholat di sini dulu?” tawarku. Aku bangkit dan mengambil kardus piza yang tersisa tiga potong. “Mau bawa pizanya juga?”
“Ah, boleh! Terima kasih. Aku lupa jika harus pulang secepatnya. Oh ya, semangat untuk flatline-nya.” Ia menepuk bahuku, lalu beralih pada kaak Fayruz, “Kamu jadi menginap di sini?”
Kak Fayruz mengangkat jempolnya. “Iya, akan kujaga Elzar supaya tidak relapse lagi!”
“Bisa-bisanya kau berkata seperti itu, padahal dua minggu kemarin kamu relapse, kan?” cibir Kak Fayra.
Kak Fayruz melongo menatap Kak Fayra. Wajahnya tiba-tiba saja memerah sepenuhnya. ”Diam! Memangnya kamu tahu darimana, sih?!”
Kak Fayra menyipit. “Kau lupa? Kita kan punya akun penghitung hari yang saling terhubung, jadi aku tau kalau kau menekan tombol relapse di aplikasinya!”
Bibir Kak Fayruz maju beberapa senti. Ia menatap sebal pada Kak Fayra yang menatapnya sengit seakan berkata ‘apa?’ dengan penuh ancaman.
Kak Afkar berjalan mendekati Kak Fayra dan Kak Fayruz, lalu mengacak-acak rambut mereka. “Sudahlah jangan bertengkar. Aku pulang dulu, ya! Tidak perlu mengantarku sampai gerbang! Sampai besok!”
Kak Afkar berlari menuruni tangga, menimbulkan suara gaduh bahkan sampai ia sudah sampai di bawah, sepertinya dia memang benar-benar dikejar waktu. Di antara kami bertiga, Kak Afkar memang terlihat yang paling sibuk. Mungkin karena dia adalah seorang mahasiswa yang punya banyak kegiatan.
“Aku juga akan pulang.” Kak Fayra bangkit dengan membawa laptopnya. “Besok masih sekolah, jadi jangan tidur larut malam, aku tidak ingin terlambat!” Matanya menatap tajam dan menunjuk Kak Fayruz yang diam di tempatnya.
“Iyaaa,” jawab Kak Fayruz asal-asalan. Ia menatap malas pada Kak Fayra yang pergi meninggalkan kami. Ia beralih padaku dan berkata, “Setelah solat main game, yuk! Kita mabar!”
Senyum mengembang di wajahku saat mendengarnya. Ini pertama kalinya ada seseorang yang datang menginap di rumaku, aku jadi sangat antusias. “Ayo!”
***
Malam sudah semakin larut, tetapi aku dan pemuda berambut lurus di kamarku ini tidak segera beranjak dari tempat duduk, pandangan sibuk tertuju pada ponsel, jari-jari kami dengan lincah menekan semua yang ada di sana, menggerakkan player yang menjadi pion mereka.
"Aku serangnya yang benar, dong!"
"Argh! Kak Fayruz, minggir!"
Sayangnya, meski kami sudah bekerja keras hingga menghabiskan waktu berjam-jam, layar yang bertuliskan kata 'defeat' muncul di hadapan mereka. Kak Fayruz dan aku sama-sama berteriak frustasi. Kak Fayruz bahkan melemparkan punggungnya ke atas kasur lipat yang sudah kusiapkan untuknya.
Merasa lelah dengan perjuangan kami yang berakhir sia-sia, kami terdiam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Kak Fayruz memilih untuk memeriksa kembali ponselnya, melihat pesan masuk yang sepertinya sudah menumpuk, sementara aku bangkit dari duduk dan merapikan kasur, bersiap untuk menempati ranjang bermotif bintang itu.
“Hey.” Kak Fayruz membuka suara dan aku bergumam sebagai jawaban. “Kupikir aku punya ide bagus. Aku penasaran dengan seberapa banyak orang yang sudah terpapar oleh pornografi. Aku sendiri tahu kalau sebenarnya hampir sembilan puluh persen anak di Indonesia sudah pernah melihat hal tersebut, tetapi aku hanya ingin memastikannya sendiri."
Aku menatap Kak Fayruz dengan bingung dan bertanya, " Lalu, apa yang harus kita lakukan?"
"Entahlah tapi aku terpikir untuk membuat formulir survei. Nanti kita beri pertanyaan lalu kita bagikan ke orang lain. Bisa juga memberikannya ke beberapa grup nofap! Akhir-akhir ini motivasimu turun, kan? Mungkin saja setelah membacanya, kamu jadi lebih bersemangat!" Kak Fayruz terlihat sangat antusias, matanya terbuka lebar, dan senyumnya mengembang cerah.
Mataku ikut berbinar. "Itu keren sekali, Kak Fayruz! Yang seperti itu bisa untuk menambah konten media sosial kita!"
"Iya, kan?! Ayo buat daftar pertanyaannya, akan kutelepon Kak Afkar dan Kak Fayra!" Kak Fayruz bergerak cepat, merekam catatan suara dan mengirimnya pada dua orang yang dimaksud, sedangkan aku menyalakan komputernya dan membuat formulir online.
Aku berpikir panjang, lalu menuliskan: ‘Riset Paparan Pornografi di Masyarakat Indonesia’
Aku terdiam menatap judul itu, lalu mengambil kertas yang ada di meja, menuliskan beberapa pertanyaan yang sudah lama terpendam dalam otak. Ada banyak pertanyaan yang muncul langsung dalam benak ini, nanti aku tinggal memilih mana yang sesuai untuk dimasukkan ke dalam sana.
“Kak Afkar dan Kak Fayra bilang ‘oke’!” Kak Fayruz berseru lantang dengan senyum yang memperlihatkan sederetan gigi putihnya. Aku merasa senang dengan apa yang dirasakan oleh Kak Fayruz. “Jadi, apa pertanyaan yang ingin kamu tahu?!”
Aku terdiam, lalu menarik senyum gugup dan bercerita, “Aku ingin tahu kapan dan di mana mereka pertama kali terpapar atau melihat pornografi.”
Kak Fayruz mengangguk semangat. “Bagus, bagus! Aku penasaran tentang bagaimana masyarakat biasa melihat seorang pecandu PMO yang ingin berhenti, apa mereka mendukungnya atau mengatasi hal tersebut sebagai hal yang aneh. Lumayan untuk mencari motivasi penyemangat, kan?"
Kami sibuk dengan pikiran, dengan kertas dan pena yang ada di tangan, dan mengabaikan jarum pendek jam yang sudah hampir menyentuh angka satu.
.
Bersambung