Diary 12
Efek Buruk Dari Candu
(Nofap Hari Ke-41)
.
“Jadi, ayo tulis pendapat kalian dan merangkumnya. Masing-masing punya kertas dan pensil, silakan tulis di sana.” Kak Afkar menoleh pada satu-satunya gadis yang ada di sana. “Fayra juga boleh menuliskan apa yang ada dalam pikiranmu. Dengan begitu kita bisa menyatukan pendapat yang berbeda.”
“Ide bagus, Kak Afkar!” Kak Fayruz berseru tidak sabar, memang sudah sifatnya untuk terus bersemangat seperti itu. Dia dengan cepat berfokus pada kertas yang ada di depannya.
Kak Fayra menatap pensil beruang yang ada dalam genggamannya dengan ragu-ragu. Kak Afkar berhasil membujuknya untuk ikut menjawab pertanyaan yang diberikan oleh anonim tersebut. Mungkin ia bisa segera menuliskan apa yang ada di kepalanya meski agak enggan melakukannya. Bisa dikatakan, ia sepertinya sedang malu.
Rasanya seperti sedang menjawab soal ujian, batinku gugup. Semuanya terlihat serius dengan kertasnya, menuliskan satu per satu kalimat yang ada dalam pikiran mereka. Mataku melirik Kak Afkar yang terlihat mengerjakan dengan tenang tetapi memiliki jawaban paling panjang dari yang lainnya. Kak Fayruz sendiri terlihat kebingungan, tetapi dia tetap mengerjakannya dengan tenang, tidak berisik seperti biasanya, sedangkan Kak Fayra, meski mengaku dirinya bukan seorang pecandu, dia tetap mengerjakan apa yang diminta kepadanya.
Kak Afkar menyuruh kami mengerjakan dampak-dampak yang kami rasakan selama menjadi seorang pecandu. Meski Kak Fayra bukan seorang pecandu, ia bisa memikirkannya dari sudut pandangnya atau sesuatu yang pernah dia baca. Aku yakin sudah banyak yang Kak Fayra baca mengenai candu PMO. Aku menghela napas panjang dan mulai menulis, mencoba memutar kembali pengalaman yang tidak menyenangkan dan semua hal yang merugikan diriku.
"Oke, waktu habis!" Kak Afkar berseru dengan kencang, membuat membuat semua orang tersentak saat mendengar teriakannya, bahkan Kak Fayra sekalipun.
Kak Fayruz menghela napas panjang, seakan beban berat baru saja terlepas dari pundaknya. Ia menegakkan punggungnya yang terasa pegal setelah menulis dengan punggung yang membungkuk. Itu salahnya sendiri, padahal sudah ada meja di tengah-tengah kami. Dengan tangan kiri yang memijat pelan bahunya, dia berkata, "Duh, tadi tegang sekali!"
"Baiklah, selanjutnya kita bacakan jawaban masing-masing!” Kak Afkar berdeham beberapa kali, lalu membaca pertanyaan yang sudah ditulis ulang. “Kira-kira apa yang disebabkan selama kalian sering menonton film atau melihat hal-hal yang seharusnya tidak dilihat?”
“Aku mau coba membacanya!” Kak Fayruz mengangkat tangannya dengan cepat. Ia berdiri dan membawa kertas jawabannya dengan percaya diri. “Ini yang terjadi selama aku menjadi seorang pecandu, rasanya benar-benar parah! Aku sudah tidak mau melakukan hal itu lagi, yang kurasakan hanya perasaan negatif saja, seperti tidak bisa fokus pada hal-hal tertentu, jam tidurku pun sangat kacau. Aku tidak bisa berpikir dengan benar dan jadi sedikit merendahkan lawan jenis, tapi yang lebih penting adalah perasaan bersalah itu.”
Aku paham dengan perasaan bersalah yang dirasakan itu, yaitu bersalah pada diri sendiri, pada kedua mata yang digunakan untuk melihat hal-hal yang tidak senonoh, dan pada tangan yang tidak digunakan dengan semestinya. Dan yang lebih penting lagi, perasaan bersalah pada ayah dan ibu. Padahal keduanya sudah berusaha mendidik kami dengan baik, tetapi kenyataannya kami diam-diam mengakses situs ilegal dan melakukan kegiatan di luar batas, meski tidak sampai berujung pada pergaulan bebas.
“Kak Fayruz benar, yang paling buruk adalah rasa bersalah. Hal itu lebih besar daripada depresi, stres, selalu grogi, dan berpikir lambat. Meski wajah jadi sering berjerawat dan kotor, kantung mata tebal, pandangan tidak fokus, dan yang lainnya, perasaan bersalah itu yang akan selalu menghantui. Apalagi aku jadi tidak punya teman. Rasanya fisikku juga jadi sangat lemah, tubuh kurus dan sering sakit tulang.”
Kak Afkar mengangguk. “Itu benar. Memang pada dasarnya kita merasakan hal itu karena tahu jika apa yang kita lakukan itu sebenarnya salah, bahkan tidak ada agama satu pun yang membenarkannya, kan? Pecandu terkadang juga melakukannya karena merasa bosan atau jenuh, benarkan? Maka dari itu, para fapstronout biasanya diberi saran untuk mencari banyak kegiatan dan tidak terus berada di kamarnya."
“Ah, aku pernah dengar jika terlalu banyak bermasturbasi, maka bisa mengakibatkan ejakulasi dini. Lalu, banyak pecandu yang sudah menikah merasa kurang puas berhubungan dengan pasangan mereka dan berakhir kembali dengan melakukan PMO. Apa itu memang benar?” tanya Kak Fayruz. Dia terlihat pintar dengan wajah seriusnya yang tidak biasa.
“Iya, itu benar, kok. Beberapa orang berkata jika ingin menghentikan candu bisa dilalui dengan cara menikah, tetapi sepertinya tidak terlalu. Karena kalian tahu, kan? Masturbasi dengan cara menonton film dewasa dan berhubungan suami-istri adalah dua hal yang berbeda.”
Kak Afkar mengatakan hal itu dengan santai sembari memakan balado stik yang baru saja kuisi. Ia beralih pada Kak Fayra, lalu mempersilakan gadis itu untuk mengutarakan apa yang ada dalam kertasnya.
Kak Fayra menunduk dan menyembunyikan wajahnya yang memerah setelah terkejut mendengar namanya disebutkan. Tangannya mencengkeram kertasnya dan berkata, "Sebenarnya aku tidak tahu banyak tentang hal ini karena tidak pernah merasakannya juga, tetapi karena aku membaca banyak hal dari grup yang aku ikuti, aku jadi mengetahui beberapa hal. Contohnya, dengan melihat situs-situs porno itu otak kita akan menjadi berubah terutama bagian PFC—Prefrontal cortex—yang berfungsi untuk membedakan mana yang baik dan benar. Maka dari itu, para pecandu seringkali melampiaskan nafsunya pada orang lain, tidak peduli usia atau jenis kelaminnya."
Aku meneguk ludah dan merasakan keringat dingin yang menetes dari dahinya serta degup jantung yang terasa lebih cepat dari sebelumnya. Malam di mana kejadian itu terjadi berputar dalam otakku malah memalukan yang ingin dikubur bersama dengan memori-memori lain yang berhubungan dengan canduku. Aku hanya tidak ingin orang lain tahu, terutama tiga orang yang ada di depanku dan juga kedua orang tuaku. Aku tidak tahu harus memasang muka apa saat mereka mengetahuinya nanti.
"Iya, memang menyeramkan. Tidak jarang ada berita yang melaporkan tentang orang yang sudah tua berumur memperkosa seorang bayi. Itu menyeramkan, sangat menyeramkan. Aku tidak ingin hal itu terjadi pada aku. Semoga aku bisa sembuh dari candu ini dan tidak menjadi pelaku atau korbannya." Kak Fayruz memeluk tubuhnya sendiri seakan seperti seorang yang sedang kedinginan—atau orang yang jijik terhadap sesuatu.
"Bukan berarti korban laki-laki juga tidak ada, tetapi rata-rata memang korbannya adalah perempuan. Terkadang hukum hanya memberikan sanksi pada pelaku tetapi tidak memberikan sesuatu kepada si korban. Belum lagi orang-orang di sekitar yang terkadang juga ikut menyalahkan korbannya, aku jadi khawatir tentang mental mereka," sambung Kak Fayra disusul dengan helaan napas panjang.
Entah sudah berapa kali aku meneguk ludah. Aku bahkan tidak bisa diam di tempat dudukku, seakan-akan karpet lembut yang ada di bawah ini tidak terbuat dari beludru, melainkan semak belukar yang menusuk pantat. Aku ingin sekali segera mengalihkan pembicaraan yang sedang terjadi, tetapi aku tahu jika itu tidak mungkin.
“Tapi memang kupikir yang paling sering menjadi korban adalah perempuan.”
Tatapan gadis itu terlihat sangat dingin, meski ia tidak pernah merasakan dan sangat tidak mau merasakannya, ia tetap tidak suka. "Akhir-akhir ini aku sering memutar berita tentang pemerkosaan, menempel lampiran berita-berita di mading yang dipasang di salah satu dinding rumah. Tentu saja aku juga bermaksud untuk membantu Fayruz bisa melewati masa-masa candunya."
Aku mengambil napas panjang dan diam-diam menatap satu persatu temanku. Benar juga, kegunaan mereka di sini tentu saja untuk saling terbuka dan berbagi pikiran.“Iya, aku setuju.” Sebenarnya sangat-sangat setuju. “Setelah melakukan PMO di malam hari, pagi harinya pasti akan timbul rasa bersalah, malas, dan kadang emosi juga jadi tidak stabil. Dan yang lebih penting, selama menjadi pecandu dan belum mengenal nofap, aku selalu berpikir buruk tentang perempuan—maaf, sebagai pemuas nafsu saja. Tapi tenang saja! Sekarang aku sudah mengubah pandanganku.”
Aku menunduk dalam, takut jika orang-orang di sekitarnya menatapnya aneh, tentu saja karena pikirannya yang sudah seperti seorang penjahat mesum.
"Kau benar! Untungnya kita segera berhenti dan tidak sampai melakukan hal itu!" Berbanding terbalik dengan pikiran yang menghantuiku, ternyata Kak Fayruz memiliki pemahaman yang sama denganku.
"Iya." Bahkan Kak Afkar pun berada dalam perahu yang sama. "Jika sudah dalam titik candu akut, biasanya mereka jadi merasa terbiasa dengan kekerasan dan menganggapnya sebagai hal yang normal. Maka dari itu, biasanya para pecandu akut juga sering melakukan kekerasan pada orang di sekitarnya, bahkan pasangan dan mereka sendiri."
Kak Fayra bergidik, pupilnya mengecil dan menatap jijik pada Kak Afkar—pada ucapannya. "Itu menyeramkan!"
Kak Afkar berdeham. "Bukan bermaksud untuk menakuti, tetapi rata-rata laki-laki akan menonton film biru cenderung merujuk pada kekerasan, sedangkan rata-rata wanita lebih suka dengan adegan hubungan badan yang disadari oleh cinta atau kasih sayang. Ini berdasarkan penelitian.”
“Aku baru tahu hal itu,” sahut Kak Fayruz. Aku sendiri juga baru mengetahuinya, tetapi memilih untuk diam mendengarkan.
Kak Afkar kembali berkata, “Kalian pernah dengan pornoliterasi? Kebanyakan ditulis oleh perempuan. Semakin canggih perkembangan teknologi, baik pornografi maupun pornoliterasi saat ini sangat mudah diakses, terutama pornoliterasi yang tersebar di mana-mana.”
“Ah!” Kak Fayra berseru, matanya melebar dengan mulut yang terbuka. “Teman-temanku juga pernah bercerita tentang cerita semacam itu dan mereka membacanya. Jujur saja, aku juga pernah menemukannya di beberapa aplikasi membaca, bahkan cerita yang populer dan dibaca jutaan bahkan milyaran kali adalah cerita yang berfokus pada adegan dewasa.”
“Istilahnya PWP atau Porn without Plot atau Plot, What Plot? artinya cerita yang didominasi oleh adegan panas yang ditulis secara terang-terangan tanpa ada alur cerita yang jelas. Terkadang juga disertai gambar dan tautan website yang mengarah ke situs mesum. Dan memang parah, sih," terang Kak Afkar.
"Aku, aku pernah mendengar tentang tulisan semacam itu yang ditulis oleh anak umur tiga belas tahun! Karena media seperti itu mudah sekali ditipu, jadi sepertinya banyak juga anak dibawah umur yang menulis cerita yang Kak Afkar sebutkan,” cerita Kak Fayra. “Dan juga, sepertinya ini bagus untuk konten berikutnya!" serunya bersemangat, ia sudah menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya. Tidak ada yang menyangka jika ia akan terlihat sangat antusias saat berhubungan dengan akun kami.
Aku menelan ludah, memberanikan diri untuk bertanya, "Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan? Maksudku saat kita melihat situs-situs video atau cerita seperti itu?"
Kak Fayruz mengangguk mantap dengan wajah penasarannya, begitu pula Kak Fayra yang selalu siap dengan catatan kasar di buku bersampul birunya. Apa yang mereka diskusikan selalu berujung pada konten baru, semakin banyak konten dan mengunggahnya secara teratur akan membuat banyak peminat, semakin banyak peminat maka semakin banyak pula yang akan mengetahui bahaya dari pornografi.
Kak Afkar tersenyum, lalu balik bertanya, "Menurut kalian, apa yang seharusnya dilakukan?"
.
Bersambung