Read More >>"> Asa di Depan Mata (Chapter 1) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Asa di Depan Mata
MENU
About Us  

Asa Depan Mata

Namaku Anin. Mahasiswi keguruan yang baru saja menjajaki perkuliahan di semester 2 jalan, tapi terburu diberhentikan oleh virus yang menyerang dunia. 

Kampusku memang lambat memberikan informasi untuk meliburkan manusia-manusia yang mengisi ruangannya. Ingat betul waktu itu pernah mengatakan pada teman-teman "Kampus lain sudah diliburkan untuk dua minggu ke depan. Semoga kampus kita pun diliburkan bahkan lebih panjang." Dan akhirnya sebuah ucapan menjadi kenyataan. Sebenarnya untuk jenjang perkuliahan bukan diliburkan, tapi pemindahalihan dari perkuliahan tatap muka menjadi virtual. 

Awal pekan terasa mengesankan. Ternyata seru sekali kuliah online. Aku bisa melakukan aktivitas lain ketika perkuliahan berlangsung secara bersamaan. Namun kesenangan itu ternyata tidak lebih dari kesenangan yang semestinya. Sepekan berlalu pun bagiku sudah sangat membosankan. Ingin rasanya menarik ucapan kala itu.

Beberapa bulan kemudian, aku dan Ibu memutuskan untuk mengambil kesempatan yang orang tawarkan untuk berjualan di sebuah wisata baru. Iya, orang itu adalah salah satu panitia dari wisata itu. Kemarin dia menawarkan sedang hari ini aku dan Ibu langsung belanja banyak.

"Alhamdulillah, laris manis." Haru Ibu. 

"Iya, bu. Alhamdulillah. Besok kita belanja lebih banyak lagi yuk, Bu."

"Oke siap, Anin sayang. Terima kasih, ya, sudah bantu Ibu."

Suasana sore sungguh indah. Lebih indah dari yang tidak pernah terbayangkan. Melihat senyum Ibu yang ringan di tengah kesempitan. Kenapa? Karena Ayah sedang tidak bekerja. Pekerja kuli bangunan sedang diberhentikan total. Sedangkan tanggungan masih ada 3 anak yang perlu dipenuhi biaya pendidikannya, yaitu Aku dan kedua adik. Dan kesempatan ini pastinya menjadi jalan pembuka pintu rezeki di tengah pandemi. 

Alhamdulillah usaha jualanku dan Ibu berjalan lancar, kadangkala Ayah pun ikut membantu dan meninggalkan sawah garapannya. Meski beberapa pedagang lain seringkali ikut-ikutan apa yang dijual, tapi aku sangat yakin kalau rezeki tidak akan pernah tertukar. Karena masing-masing makhluk sudah Allah takar. Apapun kenyataannya kami tidak pernah merasa tersaingi kok. Hehe :) 

"Anin, Ayah punya ide. Bagaimana kalau kita buka usaha empal gentong, makanan khas Cirebon."

"Tapi..." 

"Tenang, Ayah bisa bikinnya." cegat Ayah. 

"Besok pulang dari belanja, Ayah bakal ajarin Ibu resep dan cara masaknya. Bagaimana? Mau?" Lanjutnya bertanya pada Ibu. 

Ibu pun mengangguk pelan tanda mengiyakan. Begitu juga Aku, yang kemudian menyusul anggukan pelan itu saat sang Ayah berpindah isyarat padanya. 

"Makanan apa ini, Bu? Enak!" ucap seseorang yang menikmati empal gentong. 

Jualan kali ini orang tidak bisa meniru, hehe. 

Ramainya pengunjung wisata yang mencicipi empal gentong tidak membuat kami puas dan berhenti di sini saja. Aku pun mendiskusikan kepada Ayah tentang, "bagaimana kalau Anin jual empal gentong di online? nanti kalau ada yang pesan, Anin akan selalu siap untuk antarkan." Ayah dan Ibu menyetujui. 

Hari-hari yang kujalani sekarang sudah lebih dari kata produktif. Aku bersyukur, sangat. Meski lelah harus bisa membagi waktu kuliah dengan tugas-tugas yang tiada hentinya. Mengantar pesanan dari desa ke desa lain, bahkan terkadang dengan jarak tempuh lebih dari 30 menit. Selama Ayah dan Ibu masih bisa dilihat senyum dan keberadaannya, hatiku akan selalu tenang. 

"Mendung, An."

"Tidak apa-apa, Bu. Lagian karena mendung perjalanan Anin jadi adem." sahutku memberi senyum. 

"Ya sudah Hati-hati, ya. Jangan lupa pakai jasnya kalau nanti hujan biar nggak sakit"

Siang ini aku kembali mengantarkan pesanan empal gentong ke kecamatan sebelah. Jarak tempuhnya sekitar 35-40an menit tergantung kecepatanku berkendara. Iya jauh. Tapi aku tidak mau menyiakan pesanan yang orang beli sebanyak 15 bungkus ini. Ditambah orang tersebut mengatakannya untuk makan siang. 

Sepulang mengantar pesanan, rintikkan air dari awan hitam perlahan turun sampai akhirnya hujan, disertai angin kencang. Aku ingat ucapan Ibu untuk memakai jas hujan, tapi sama sekali tidak terasa ternyata baju sudah terlanjur basah. 

Sakit. 

Demam yang mungkin akibat dari kehujanan kemarin. Padahal selama ini, hujan sama sekali tidak membuatku sampai terbaring seperti ini. Apalagi sampai 3 hari. Biasanya maksimal 2 hari. Karena alhamdulillah selama 18 tahun hidup, aku tidak seperti orang yang bisa sakit sampai berhari-hari. 

Hari keempat aku sembuh, meski belum total. Masih ada batuk yang tak berdahak dan hidung yang tidak berfungsi sebagai indra pembau. "Jangan-jangan tertular Covid-19?!" batinku. 

Sorenya, Ayah mendapat tawaran sebuah proyek. Di waktu itu juga beliau meminta untuk survei lapangan. Setelah beberapa jam Ayah keluar dari rumah, kutemui Ibu di kamar sedang berbaring dengan tubuh yang tertutup penuh oleh selimut. 

Pikiran mulai tak karuan. "Bu?" Panggilku lirih, takut akan sesuatu yang tidak diinginkan. 

Ibu tidak menjawab. Kuputuskan mendekat, dan syukurlah. Bagian perut Ibu masih ada gerakan. Prasangka burukku sekejap hilang. Lega rasanya. 

Badannya sangat panas. Jika diperhatikan pun kakinya bergetar menggigil. Jujur, kadang malu sama usia yang tidak sepadan dengan kepekaan. Bingung harus berbuat apa. Lantas aku menelphone Ayah. Kemudian melakukan apa-apa yang diperintahkan. Kabarnya, hari ini dan besok beliau belum bisa pulang ke rumah. Mungkin lusa. 

"Panas, batuk, tidak bisa mencium bau. Semua itu gejala covid-19. Apa iya aku beneran kena? Bagaimana jika iya benar, apakah Ibu korban yang kutular? Apa yang harus kulakukan?" Batinku mengada-ngada. 

Keesokan paginya, Ibu sudah mulai aktivitas lagi. Mencuci baju, mencuci piring, masak, dan aku bagian nyapu sekaligus ngepel. Dan karena sakit, kami berniat untuk sementara tidak melanjutkan jualan terlebih dahulu. 

Semenjak pertanyaan yang aneh itu muncul, aku sudah mulai membatasi diri untuk tidak berdekatan dengan Ibu atau adik-adik yang ada di rumah. Barangkali benar memang kena. Aku takut jika nantinya semua terjangkit covid-19. Aku takut, menjadi penularan pertama dikeluarga. 

"Ayah? Ayah kenapa?" Tanyaku bingung. Kemarin Ayah memberi kabar hari ini tidak bisa pulang. Tapi sekarang, tanpa aba beliau tiba-tiba sudah di depan rumah. 

"Iya," jawabnya singkat. 

Seperti biasa, kusambut kepulangannya dengan cium tangan. Dengan kemudian kubawakan barang bawaanya. Berjalan tepat di belakang Ayah, otakku kembali mengajak bicara ke sebuah topik tentang covid. "Astaghfirullah! Aku lupa! Harusnya tak perlu jabat tangan!" Batinku menggerutu. 

Namun dengan cepat topik lain menyusul, "badan Ayah panas, suaranya juga tidak seperti biasanya. Gerak-gerik jalannya seperti tidak punya tenaga. Tunggu...! "

Uhuk... Uhuk... 

"...batuk, pilek?. Tidak! Ayah pasti cuma sakit biasa!" Sambung batin yang mulai semakin mengada-ngada. 

Langsung mandi dan kemudian duduk santai di ruang tamu. Ibu menemani. Kemudian mereka saling mengobrol yang entah diawali dengan obrolan apa aku tak perlu tahu. Yang aku dengar hanya tentang penyebab kepulangan Ayah karena orang yang menawarkan proyek kemarin ternyata positif terkena covid-19. Kok bisa tahu? Ya, dua minggu lalu orang tersebut sudah merasakan beberapa gejalanya. Namun dia tetap memaksakan diri untuk beraktivitas. Memilih tidak memberitahukan siapapun daripada harus diam di rumah. 

"Besok kita periksa ke puskesmas yuk, Bu? Buat jaga-jaga."

"Jangan,Yah."

"Kenapa? Toh, kemarin Anin ngasih kabar ke Ayah katanya Ibu sakit juga."

"Bu Fida tetangga kita, langsung disuruh karantina mandiri di rumah saat mengeluhkan keadaannya ternyata adalah gejala-gejala covid." Jelas Ibu. 

"Lalu?"

"Di rumah saja. Usaha dengan obat-obat yang tersedia. Dan berdoa."

Aku menghampiri keberadaan Ayah dan Ibu. Menempatkan diri dengan posisi yang cukup jauh dari mereka. Sengaja tidak memberikan alasannya sebab aku sendiri pun tidak tahu berada pada posisi yang menularkan atau tertular oleh mereka yang sama-sama bergejala. Jelasnya saja posisiku tidak aman, tapi tetap ingin bersamanya. 

Tidak lama kemudian tiba-tiba handphone Ayah berdering tanda menerima telephone. Ataya, nama yang tertampang dilayar. Dia kakak perempuanku, yang sudah menikah dan memiliki anak usia dua tahun. Yang memilih hidup di sebuah kontrakan bersama suaminya di kota lain, dengan tempat yang lumayan dekat dengan rumah sakit. Suaminya adalah perawat. 

"Allahu Akbar! Astaghfirullahaladzim! Kapan Ayah bisa jemput?"

"Sore ini? Baiklah! Ayah segera kesana."

Kabar duka. Suami kak Ataya tertular covid-19. Maklum saja, karena dia bekerja di rumah sakit. Beberapa bulan terakhir dia sudah mulai ditugaskan di ruangan covid, dan tentu jam kerjanya pun ditambah karena banyaknya pasien yang terjangkit. Efek lelah bisa dimungkinkan menjadi salah satu penyebab dari tubuhnya yang kurang fit. 

Setelah telephone diakhiri, Ayah pun beranjak dari tempat duduknya dan bersiap-siap. Mengajak Ibu, Ahmad dan Mira untuk menjemput anak kak Ataya yang bernama Rayan. Namun kedua adikku menolak, alhasil Ayah memaksaku untuk ikut menjemput. Tidak lain tujuannya supaya nanti Rayan ada yang menjaga dan menghiburnya. 

Waktu yang diperlukan untuk menuju kontrakan kak Ataya sekitar dua setengah jam. Sampai disana, Rayan langsung menyambutnya dengan riang. Memeluk Kakek dan Neneknya, dan tidak lupa Aku sebagai tantenya. 

"Ayah, Ibu, maaf ya Ataya ngrepotin," Ucapnya sembari merapikan barang. 

"Anin, kak Ataya juga minta tolong bantu jaga Rayan, ya. Kebetulan Rayan pun sakit. Tapi insya Allah besok sudah sembuh, karena obat-obatnya sudah habis diminum."

"Ini barang keperluan Rayan, Ataya taruh di belakang mobil, ya, Bu."

Pertemuan kami tidak lama. Cukup 15 menit saja, sudah kembali pulang dengan membawa Rayan. Kami sekeluarga sepakat untuk tidak mengatakan hal ini kepada siapapun. Memang buruk, tapi kami akan berusaha semaksimal mungkin tidak menjadi penyebar virusnya. Ayah, Ibu dan Aku yang kini sedang merasakan gejala-gejalanya pun sangat yakin hanya sakit seperti biasanya. 

Rayan anak yang aktif dan penurut. Selama perjalanan pulang pun sama sekali dia tidak rewel kehilangan Mama-nya. Sampai di rumah, Rayan langsung bermain bersama om dan tantenya yaitu Om Ahmad dan Tante Mira. 

Malam hari sebelum tidur, Rayan baru tersadar jika Mama-nya tidak berada disekitarnya. Dia menangis dan mulai rewel. Kuseduhkan susu formula yang sudah kak Ataya sediakan untuknya. Supaya kenyang nanti bisa langsung tidur. 

Ternyata tidak semudah ekspektasi yang kubayangkan. Setelah habis minumannya, Rayan semakin menjadi-jadi. Menangis kencang memanggil Mama. Ayah, Ibu, Ahmad dan Mira berusaha menghiburnya tapi tetap saja.

"Ayo Rayan bobo dulu sama Nti, besok lanjut cari Mama, ya." Ucapku. 

Sekian drama panjang, akhirnya Rayan pun nurut juga dan mau tidur. Jam dua pagi Rayan menyebut Mama dalam tidurnya. Sempat terbangun sebentar, kemudian kubuatkan susu lagi dan akhirnya bisa tidur lagi. 

Paginya, Rayan seperti sudah mulai lupa. Alhamdulillah mau makan dan sudah kembali ceria seperti biasanya. 

Tapi kesalahan lain muncul. Tak sengaja dan tak pernah terpikirkan untukku tidak menampakkan wajah Mama-nya saat video call berlangsung. "Haduh...! Nangis lagi!" Gerutuku sebal. 

Keseharianku berubah jadwal menjadi mengurus keponakan dan kuliah. Aku harus bisa membagi waktu untuk merawat Rayan dan memperhatikan kuliah juga. Apalagi yang menjadi masalah besarnya, sekarang Rayan semakin sulit untuk diajak siapapun selain Aku. Semua momen harus ada aku di sampingnya. Makan, mandi, main, beli jajan dan lain-lain. Belum lagi pasti minta di emban. Jujur aku capek :( 

Aku tahu, sebenarnya Ayah dan Ibu juga sudah sangat berusaha untuk gantian menjaga Rayan. Namun karena cucunya itu menolak, mau bagaimana lagi?. Mereka juga terlihat seperti masih kurang sehat. Mereka harus istirahat, supaya mereka juga bisa cepat sembuh. Aku tidak boleh menganggu, dan kalaupun sangat butuh bantuan, aku bisa memintanya pada kedua adikku. 

Gimana rasanya jadi seorang Anin selama itu? Benar-benar tidak bisa dirasakan. 

Nyaris putus asa. Aku belum punya anak tapi dipaksa keadaan bisa menjaga anak. Setiap malam harus nidurin anak kecil dengan segala drama tangisan yang tak henti-hentinya. Tengah malam pun kadang kembali bangun untuk membuatkan susu formula. Paginya harus nyuapin, lanjut mandiin dan ngajak main supaya tidak nangis lagi kehilangan Mama-nya. Siangnya nidurin lagi, sore mandiin, malam nyuapin dan nidurin lagi. Belum lagi ketika ada jam kuliah, Rayan pasti selalu ngeributin. 

Itu seperti hal biasa. Hanya saja, yang menjadi berat menurutku adalah saat Rayan menyelipkan tangisan dan mengundang Mama di setiap momennya. 

Tidak terasa ternyata sudah tepat satu minggu Rayan bersama kami. Aku mendapat pesan WhatsApp dari kak Ataya, "Papa Ray kangen Rayan. Video-call, ya. Nanti kakak sambungin."

Tanpa lama, langsung saja klik ikon video-call. 

Hallo, Ray. 

Anak pintar, lagi makan apa itu. 

Ucap sang Papa. Kebetulan waktu itu Rayan habis diajak jalan-jalan dan jajan oleh Kakek dan Neneknya. Rayan yang tersadar jika wajah dibalik kamera adalah Papa-nya pun sontak memanggil dengan lantang, "Papa..." lanjut "Mama..." setelah melihat wajah sang Mama. 

Hallo anak soleh. Sapa Papa Ray lagi. 

"Papa... Mama... "

"Pap...a, Mam...a" Panggil Rayan berulang-ulang dengan air mata yang mulai berlinang. Dan menangis. 

Rasanya lebih baik tidak melihat kejadian ini daripada harus melihat Rayan menangisi orang tuanya yang jauh disana. Jangankan anak sekecil Rayan, aku sendiri pun akan menangis jika berada diposisinya.

Papa Ray mengakhiri panggilan tanpa pamit, mungkin tidak tega melihat anaknya menangis. Namun kak Ataya, dia hanya bisa diam memandangi wajah anaknya. 

"Ataya, Ibu akhiri dulu, ya."

"Iya, Bu." Jawab kak Ataya yang meneteskan air mata. 

Aku kembali menghibur Rayan supaya tidak menangis. Berbagai cara kulakukan, berhasil, tapi tidak lama dia ingat kembali pada orangtuanya. 

Saat itu memang melelahkan. Tapi ku sangat yakin, ini akan segera berakhir. 

Benar. Waktu berjalan sebagai mestinya, tidak lebih cepat juga tidak lebih lambat. Cepat lambatnya hari akan terasa berbeda sesuai perasaan manusia yang menjalankan. 

Dua minggu sudah, akhirnya lewat juga. Alhamdulillah, Papah Ray sembuh, meski harus karantina dulu selama dua minggu untuk memastikan benar-benar pulih. 

Kini pikiran, perasaan, dan badan, sudah menjadi lebih terasa ringan tuk membangun senyum yang ikhlas. Tidak pernah menyangka ternyata aku bisa. Aku yang sempat putus asa, namun diwaktu yang bersamaan juga ingat kalau masih ada asa di depan mata. Harus bisa lebih melihat sebuah masalah dari akar sampai ujung daunnya, dan bukan malah tutup mata. Aku masih muda, masih banyak kesempatan yang harus dicoba. 

Aku bersyukur dengan kejadian yang telah lewat ini, dan semakin yakin bahwa Tuhan tidak pernah lepas tangan begitu saja. Perkara usia hanyalah sebatas angka, yang semakin bertambah semakin berkurang juga. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Diaryku - everything will be okay
216      163     1     
True Story
Masa-masa sulit yang menyakitkan bukanlah akhir dari segalanya. Inilah kisahku, sisi kehidupan dari manusia kaku yang banyak belajar tentang arti kehidupan seiring dengan berjalannya waktu.
Nyawa Kedua
164      114     0     
True Story
Tahun lalu merupakan saat-saat terberat dalam sejarah hidupku. Keluarga besar kami harus kehilangan dua budhe hanya selang satu hari. Keduanya meninggal karena usia yang sudah senja. Pada saat bersamaan aku pun harus berjuang untuk mendapatkan kembali nyawa kedua bagiku. Apa yang terjadi padaku? Sungguh aku sendiri tidak paham. Kenapa ujian kesehatan yang menimpa masayarakat itu juga menghinggap...
Aku dan Waktu
236      171     0     
True Story
Bertemanlah dengan waktu dengan menikmati setiap prosesnya, tidak memandang kehidupan dengan kesulitan dan tidak ada jalan keluar, tapi cobalah untuk memandang kehidupan dari sisi yang berbeda. Sesungguhnya, kehidupan tidak memerlukan kata, tetapi memerlukan aksi yang akan membawa kita sampai pada kehidupan yang lebih baik lagi. Jadikan tujuan tersebut menjadi nyata dengan menjadikan waktu sebaga...
Titik berharga di era pandemi
171      117     1     
True Story
"Bagaimana ya rek kalo libur selama satu tahun itu diberlakukan? Ah seketika indah pasti duniaku," celetuk gadis berkerudung itu. "Ah jangan ngaco toh kamu! imposible itu mah," Jawab salah satu dari kami. Ketika impian seorang bocah remaja yang duduk dibangku SMP menjadi realita nyata di depan mata. Perpaduan suka duka turut serta mewarnai hari-hari di era masa pandemi. P...
Ikan Bakar
502      267     0     
True Story
Kata orang - orang, 'hati siapa yang tahu?' namun kataku, selera makanan siapa yang tahu? Petualangan si Tenggorokan Sombong menemukan kembali bagian dari dirinya selama masa pandemi.
Thankyou, Covid! Balitaku seakan mengerti tentangmu
294      194     7     
True Story
Balitaku yang berumur 2,5 tahun saat covid melanda negeriku ini seakan ikut merasakan pahitnya keadaan.
Sahabat
385      197     2     
True Story
Menceritakan tentang seorang gadis yang bernama Jasmine yang menjalin hubungan pertemanan dengan seorang cowok yang bernama Alden. Setelah lama berteman, mulai tumbuh perasaan suka diantara mereka berdua. Akankah pertemanan mereka hancur karena perasaan mereka sendiri?
Menemukan Kebahagiaan di Tengah Pandemi
160      113     1     
True Story
Siapakah yang siap dengan sebuah perubahan drastis akibat Virus Corona19? Pandemi akibat virus corona 19 meninggalkan banyak luka dan trauma serta merenggut banyak kebahagiaan orang, termasuk aku. Aku berjuang menemukan kembali makna kebahagiaan. Ku kumpulkan foto-foto lama masa kecilku, ku rangkai menjadi sebuah kisah. Aku menemukan kembali makna kebahagiaan di tengah pandemi. Kebahagiaan itu ad...
Daring Vs Farming
187      130     2     
True Story
Pandemi mengajarkanku banyak hal. Selain pengalaman baru belajar dalam jaringan dari rumah, aku menggunakan waktu luangku untuk membantu Mamak bertani di sawah. Suatu pengalaman indah yang pernah kualami selama pandemi. Bahwa belajar bisa tentang apa saja, kapan saja, dan dimana saja. Bahkan, belajar tentang kehidupan yang sesungguhnya itulah yang utama.
Anomali Maret
167      118     1     
True Story
Maretku terjadi dengan uniknya. Ada tiga babak yang akan kuceritakan kali ini, dan benang pengaitnya kuberi nama Anomali. Tetapi sungguh, cerita seperti kejatuhan durian bulan ini, lalu pada bulan yang sama di tahun depan aku menginjak kulit durian yang belum membusuk itu, bukankah dapat dikatakan sebagai anomali absurd? Tenang saja, cerita ini tidak mengandung durian, kok! Hahaha.