Read More >>"> SEPULUH (Sepuluh) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - SEPULUH
MENU
About Us  

Aku Nian, mahasiswi Arsitektur semester enam. 22 Tahun, iya sudah tua memang. Mirisnya masih belum punya pacar selepas dua tahun lalu hubungan tanpa status berakhir, sedih? Iya. Tapi bukan itu yang ingin aku ceritakan. Semester lalu, tepatnya semester lima, aku bertemu dengan orang-orang baru disaat pandemi masi sibuk merajalela. Kami berjumlah sepuluh orang, terhitung diriku sendiri, dengan latar belakang berbeda departemen, dibawah Teknik. Aku dari departemen arsitektur Bersama temanku Ragi, Liya dari departemen teknik industri, Ali dari departemen teknik sipil, Zizel dari Departemen teknik elektro bersama dengan Hilmi, Reyhan dari departemen teknik mesin, Aden dari departemen pengairan, Obit dari departemen teknik kimia, dan Aydan dari departemen PWK. Kami bersepuluh dikumpulkan sebagai steering committee (SC) karena sebuah program kerja dibawah Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik. Kita lewatkan saja bagian program kerjanya karena dijelaskan pun tidak tentu akan mengerti. Yang perlu diketahui adalah program ini berjalan selama satu semester lebih dengan waktu diskusi serta rapat yang bukan main panjangnya, bisa delapan jam sehari atau bahkan nonstop seharian dan berlanjut lagi besok. Ini program kerja besar dan sangat melelahkan. Secara pikiran kami dikuras, begitu juga tenaga dan waktu. Awalnya aku pikir kami bersepuluh hanya teman bisnis, bertemu saat rapat lalu melanjutkan kehidupan masing-masing. Nyatanya, tidak seperti itu. Ini ceritaku, tentang kami.

Pukul 02.40 WIB dini hari, aktivitas kami selesai. Diskusi dalam rapat diakhiri, participan google meet berkurang hingga akhirnya tersisa kami ber10. Kami bercengkerama sejenak, menanyakan tugas-tugas kuliah yang sedang dikerjakan. Liya sedang PKL, Aydan survey, Reyhan, Zizel dan Hilmi praktikum. Kami semua sibuk tapi percakapan itu terus berlanjut.

“Rumah kalian dimana?” tanya Obit sambil melakukan sharescreen google maps. Dari situ kami mulai tahu satu-persatu rumah kami. Mulai dari lokasi, warna rumah, daerah sekitar, dan sebagainya.

“Siapa yang paling tua disini?” Liya membuka kalender dan menandai tiap tanggal ulang tahun kami. Jika di urutkan yang paling tua sampai termuda adalah Ragi, Aku, Zizel, Aden, Liya, Aydan, Hilmi, Reyhan, Obit dan Ali. Padahal Ali itu yang paling besar badannya tapi paling muda.

Informasi general kami mulai terdata sempurna. Alamat rumah, tanggal lahir, jumlah saudara. Seiring waktu kami mengetahui hobi masing-masing, cara berfikir, karakter, dan sebagai macamnya. Beberapa hari yang lalu, kami kami hanya menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan program kerja. Tapi besoknya kami sudah mulai mendengar permasalahan satu dua orang, memberi semangat untuk mereka, memberikan solusi, atau bercanda untuk menghibur.

Desember 2021, lengkap kami bisa berkumpul secara luring. Meskipun minggu berikutnya Ali pulang karena keluarganya sakit dan Aydan ada acara keluarga. Meskipun begitu masih ramai, kami berdelapan. Obit selalu menjadi pelopor liburan dadakan kami, Aydan yang selalu mengiyakan Obit, Liya yang selalu excited ditiap liburan kami, dan sisanya adalah orang yang ikut serta saja. Satu dua tempat wisata setempat kami datangi, tidak semua lengkap bersepuluh, tapi setiap kami mengunggah story di akun IG kami selalu menandai sembilan orang dengan satu orang yang mengunggah. Awalnya tidak bergitu, tapi Aydan selalu membual “Katanya kebersamaan”.

Masih di bulan Desember, agenda rapat, persiapan kegiatan dan lainnya semakin padat. Tidak heran beberapa dari kami baru pulang jam 4 pagi dari kampus atau bahkan memilih menginap di BEM atau himpunan. Tidak ada lagi hari yang bisa dijadikan healing dan satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah menghadapi dan menyelesaikan semuanya. Tapi mungkin terlalu berat untuk beberapa orang, atau mungkin kami sudah terlalu lelah.

Aku membuka handphoneku ketika mendapat sinyal di kaki lereng gunung -aku berada disini bukan untuk healing, tapi ada survey untuk matakuliah yang harus aku selesaikan-. Pesan masuk bertumpuk, itu dari Liya. Bahkan aku harus menscroll kebawah lagi. Itu Panjang sekali.

Liya : Nian, grand design kita ada yang belum selesai

Liya : Ga ada yang mau di ajak diskusi

Liya : Mereka ga mau ketemu

Liya : Zizel bahkan ngeluh capek, padahal aku juga capek. Aku harus ngurus modul praktikum yang akan bikin.

Liya : Reyhan nyebelin banget juga

Liya : AAAA ini gimana?

Liya : Aku kepikiran

Dan masih banyak lagi, berlanjut hingga kebawah. Aku segera mencari kontak Aden namun urung mengingat dia sedang pulang kerumahnya karena ada acara, akhirnya aku menelpon Obit, meskipun orang ini tak jarang menjadi sumber kekesalan Liya. Nihil. Kemana sih orang-orang ini ?

Malamnya kami sepakat untuk berkumpul di kontrakan salah satu panita Organizing Committee (OC) kami, namanya Helga, satu departemen dengan Zizel dan Hilmi. Aku dan Obit tiba paling awal. Entah orang-orang yang sibuk atau aku tidak memastikan mereka bisa atau tidak. Tapi mereka harus bisa, deadlinenya sudah tidak bisa ditawar lagi.

Daun pintu berdecit dan terbuka menampakkan Reyhan dengan jaket thrift andalannya. “Liya udah disini?”

“Belum,” jawabku cepat.

“Loh, dia ga angkat telpon aku.”

“Coba telpon lagi.”

“Kamu aja.”

Aku mengambil handphoneku dan menelpon Liya. Tidak diangkat. Kenapa lagi ini?

“Eh dia ngirim live location. Aku jemput sebentar.”

Aku mengangguk. 10 menit kemudian daun pintu kembali terbuka, Liya masuk dan berjalan lurus tanpa menyapa kami yang ada didalam ruangan.  Aku menatap Reyhan yang segera menggedikkan bahu.

“Aku ketemu di pertigaan deket sini,” ucapnya sembari duduk diatas karpet.

Aku menghela napas, yasudahlah ya pikirku.

Aku memanggil Aden yang sedang menjelaskan rangkaian kegiatan yang sudah kami rancang kepada Helga. Aku juga memanggil Zizel yang sedang membantu panitia lainnya membuat konsep kegiatan. Keduanya menjawab ‘nanti’. Sedangkan Sagara, sekretaris umum sedang mengunci diri disalah satu kamar kontrakan. Daripada menunggu, akhirnya aku memutuskan memulai saja. Aku memanggil Liya untuk mendekat padaku, Reyhan, dan Obit serta Ahmad ketua pelaksana kami. Tapi bukannya mendekat dia malah pergi keluar, apalagi ini?

“Yasudahlah ya, kita mulai aja dulu,” ucapku sembari membuka file presentasi grand design. Aku tidak bisa mengikuti mood setiap orang didalam ruangan ini, lagipula tidak ada tuntutan harus seperti itu.

“Samperin dulu temen kamu, entar kenapa-kenapa bocahnya,” ucap Reyhan disela diskusi kami.

Aku diam sejenak lantas berdiri. Beberapa Langkah dari pagar kontrakan Helga aku melihat Liya, duduk berjongkok di pinggir jalan. Dia menangis disana dan aku hanya berfikir, yasudahlah, dia perlu ruang sebentar. Karena jika itu aku, aku tidak ingin ditemukan untuk beberapa saat.

Aku kembali masuk dan segera disambut dengan tatapan tanya milik Reyhan dan Obit.

“Ada dia diluar, biarin aja,” ucapku sambil kembali duduk. Kami memulai berdiskusi kembali. Berjalan 15 menit Reyhan menepuk pundakku.

“Cek lagi deh diluar.”

“Kenapa aku?”

“Kamukan temennya.”

“Emang kamu bukan?”

“Udah sana.”

Sebal, tapi aku tau maksud Reyhan. Karena aku cewek dan aku yang paling dekat dengannya. Aku berdiri dan pergi keluar kontrakkan. Tempat semula Liya berjongkok sekarang kosong melompong. Aku mengerutkan kening sambil berjalan beberapa langkah hingga akhirnya aku mengeluarkan handphoneku.

Nian : Liya, kamu dimana? Jangan jauh-jauh aku gabisa nyari

Liya : Aku capek

Nian : Aku disorientasi, nanti aku gabisa balik habis nyari kamu

Aku berjalan disekitar kontrakan Helga, tidak berani terlalu jauh karena takut tersesat. Tidak sampai 8 langkah, aku tersentak begitu melihat seseorang berjongkok menatapku dari kejauhan didepan teras kosong yang penuh bunga hias.

“Astagaaa!!! serius kaget!”

Liya diam lalu menyembunyikan wajahnya diantara tangannya yang besedekap.

“Ada apa si? Ada yang sedih?” tanyaku sambil ikut berjongkok disamping Liya. “Capek? Aku juga capek, kok. Semua capek, it’s okay.” Aku memeluknya dan tidak lama tangisnya pecah.

“Ka-mu tauu?” ucapnya sambil menurunkan masker hitamnya, “Aku kesel banget sama Zizel, bisa-bisanya dia pergi sedangkan kita mau diskusi. Terus dia bilang apa? Dia capek? Aku juga capek dan aku masih usaha disini.”

Aku mengangguk sambil mengelus punggungnya. “Iyaa,”

Aku mengeluarkan handphoneku yang bergetar. Panggilan masuk Reyhan.

“Terus yang lain pada ga ada juga. Siapa yang mau ngerjain? Aku bakal ninggal kamu kalau aku sibuk praktikum. Aku berusaha maksimal, tapi aku juga capek. Aku sendirian.”

“Aku apa disini kalau kamu sendiria? Apa aku pulang aja?”

Liya memegang lenganku. Kita duduk dalam diam. Sesekali aku menenangkannya, sesekali aku juga mengejeknya karena menangis.

Handphoneku bergetar lagi. Panggilan masuk Reyhan.

“Reyhan nelpon mulu nih, balik yuk. Kayaknya doi khawatir.”

“Kasian Reyhan jadi pelampiasan kesalku,” ucap Liya sambil merapihkan penampilannya.

Aku tersenyum ringan sambil berdiri dan berjalan duluan kearah kontrakan Helga. Aku melihat Helga, Obit dan Reyhan yang berdiri didepan pagar kontrakan, menunggu kami. Aku berjalan mendekati mereka.

“Ngapain kalian?”

Reyhan menjawab, “Kalian yang ngapain disana?”

“Liya kenapa?” tanya Helga.

“Entah, marah sama Reyhan kayaknya,” candaku.

“Aku? Harusnya aku gak sih yang marah di prank jemput gitu?”

Aku tertawa sambil mendorong mereka masuk kontrakkan. “Kalian masuk sana, Liyanya gak mau liat kalian ngumpul gini.”

Mereka bertiga masuk, begitu juga aku setelah memastikan Liya berjalan kearahku. Kami duduk melingkar.

“Sagaaraaa?!” aku memanggil sekretaris umum yang sedang berada didalam kamar kontrakkan. Beristirahat, “Sini, aku butuh kamu.”

“IYAAAA.”

“Aden, sini sekarang juga kalau udah kelar bahasannya sama Helga,” panggilku sedikit menodong anak itu.

“Kita diskusi sekarang juga, kalau engga Liya bakal nangis lagi!”

Liya memukulku dari belakang. Aku memandangnya sambil nyengir. “Toh mau gimanapun mukamu keliatan banget habis nangis sih.”

“Zizel mana? Masih belum balik?”

“Tadi dia keluar, dia dari pagi udah disini. Kesian dia capek,” jawab Sagara sambil duduk dan membuka laptopnya.

Aku menatap Liya sejenak, ‘Tuhkan’ ucapnya tanpa suara.

“Yaudahlah ya, berharap sama yang ada aja,” ucapku lalu membuka forum. Sebelumnya aku mengetikkan pesan ke grup chat kami.

Ke kontrakkan Helga sekarang, kalau engga aku bakal ngamuk.

Tidak lama Hilmi datang setelah menyangka kami disini hanya bermain seru-seruan saja, bukan membahas program kerja kami. Anak itu, kalau ada waktu luang aku ingin ajak dia berkelahi saja.

Hari ini Liya yang menangis. Dia yang lelah. Tentu saja aku kasihan, harusnya aku disana juga menemani dia, tapi ya namanya tugas kuliah. Lagi pula memangnya apa harus aku dan Liya yang selalu peduli pada kegiatan ini? Menaruh effort lebih demi kelancarannya? Tidak’kan? Semua tanggung jawab bersama.

Hari berikutnya semakin memburuk. Tidak hanya Liya yang lelah. Secara fisik kami semua bugar selepas beberapa minggu lalu kami terkena omicron secara bergilir, tapi pikiran kami lelahnya bukan main. Kami sudah kepalang pusing. Kegiatan belum terlaksana, kami masih stuck mengonsep.

Aku menghela napas panjang selepas memaparkan grand design yang telah rampung kami buat kemarin lusa. Reyhan yang melakukan presentasi bersamaku melemaskan bahunya. 15 menit kedepan ketua departemen BEM yang hadir memberi evaluasi dan masukkan, begitu juga panitia yang hadir didalam ruangan. Grand design ini besok akan dipresentasikan didepan Wakil Dekan Kemahasiswaan Teknik, dimana harapan kami tentu saja semua berjalan lancar.

Aku menghela napas lagi entah untuk yang keberapa kalinya. Kepalaku pusing, faktor terlambat makan beberapa hari dan ini yang terparah. Pukul 11 malam, ini makan pertamaku di hari ini. Aku mendahului teman-temanku yang berjalan kaki menuju warung nasi goreng, meninggalkan sayup-sayup obrolan mereka yang membuat kepalaku semakin pusing saja. Sepanjang menyantap nasi goreng, aku hanya diam, kepalaku berdenyut luar biasa dan aku merasa sesak. Mungkin karena selama 2 minggu terakhir tidak ada habisnya aku keluar rumah, berinteraksi dan bersosialisasi. Untukku yang introvert, ini sangat melelahkan. Aku ingin muntah.

Saat pulang aku kembali mendahului mereka, bukan hanya karena pusing, mual, tapi juga karena Obit. Astaga dia itu manusia yang mudah sekali membuat lawan bicaranya kesal bukan main. Kini aku jauh berada didepan mereka. Saat memasuki gerbang aku mengambil tujuan lain, bukan ruang rapat BEM tapi tempat yang sepi dan hening. Aku butuh ruang.

Aku duduk di gerbang Departemen PWK dimana departemen ini terletak paling ujung di Fakultas Teknik. Tidak jauh dari gerbang, kendaraan berlalu lalang menhiburku. Aku mengambil handphoneku dan menekan mode airplane. 30 menit, aku butuh sendiri.

Aku menarik napasku dan menghembuskannya panjang. Isi kepalaku hanya, ‘lelahnya, kapan selesai?, kenapa semakin rumit’. Aku tidak menangis. Hanya melamun dan hanyut dalam renunganku. Ditambah salah satu teman kami, Zizel, menjadi bulan-bulanan yang lain karena tidak profesionalnya dia dalam menjalankan tanggung jawab. Tapi ya sudahlah, terlalu panjang dan berat membahasnya. Tidak akan cukup waktunya.

Aku mengambil handphoneku. 23 menit, aku sudah disini. Aku mematikan mode airplane dan seketika panggilan tidak terjawab terpampang, begitu juga chat yang sudah seperti spam. Handphoneku bergetar beberapa saat dan kepalaku yang tadinya sudah tidak begitu pusing, kembali pusing. Aku buru-buru mematikan handphoneku dan melemparnya jauh dariku. Ya, tanpa sadar, aku melemparnya. Tidak pecah, jangan khawatir.

Lagi aku membuang napas. Aku menatap ke jalan, menghitung kendaraan yang lewat. Membiarkan pikiranku tenang. Selang sekitar 7 menit aku menoleh karena suara langkah kaki. Hilmi berdiri di ujung sana, tangannya terlipat wajahnya memandangku khawatir.

“Kenapa?” tanyanya lembut.

“Gapapa, aku cuma cape. Aku ga nangis. Kasih aku beberapa menit lagi,” sahutku.

Hilmi mengangguk kecil. “Disini aja yaa, jangan kemana-mana,” ucap Hilmi sambil berjalan kedepanku dan mengambil HPku yang tergeletak di atas vaping blok lalu menyerahkannya padaku.

Aku memandang handphoneku. Enggan mengambilnya.

“Aku yang pegang ya,” finalnya sambil memasukkan handphoneku di dalam sakunya. Ia beranjak pergi meninggalkanku. Aku tau dia tidak jauh dari sini. Paling hanya di gazebo belakang.

Aku kembali memandang jalan. Melihat kendaraan lalu lalang. Sibuk seperti pikiranku beberapa menit lalu. Lagi, aku menoleh saat mendengar langkah kaki. Kali ini Liya, tapi anehnya dia tidak melihatku. Pandangannya segera fokus ke pos satpam dan mencariku kesana sebelum akhirnya matanya menangkap ragaku diseberang pos satpam duduk manis sambil melihatnya yang mencariku.

“Aaaa Niann,” rengeknya sambil berjalan ke arahku. “Aku pikir kamu--- hiks--- hilang kemana.”

“Kenapa malah nangis?” tanyaku sambil tertawa melihat dia yang tiba-tiba menangis.

“Kamu ga tau seberapa khawatirnya kita??? Aku nyari kemana-mana tau. Reyhan sampai nanya ke pos satpam yang tadi di gerbang utama. Obit nyari keliling kampus pakai motor bareng Sagara. Hilmi yang lagi makan di tempat lain buru-buru nyari kamu pas tau kamu hilang!” jelasnya masih sambil menangis. “Mana ga ketemu-ketemu, aku pikir kamu di bawa kedunia lain.”

Aku tertawa. “Diculik setan gitu?”

“Jalan dari gerbang utama ke ruang rapat BEMkan gelap, mistis-mistis gitu, bisa ajakan?”

Aku tertawa lagi. “Iya iya, maaf ya, jangan nangis. Aku aja ga nangis.”

Liya duduk disampingku. “Kalau ga ada kamu nanti aku sendiri. Aku yang stress tau gak sih.”

Aku mengangguk-angguk. Liya segera memberi tahu di grup posisi kami berdua dan tak lama satu persatu dari mereka datang.

“Aku pengen sendiri loh padahal, 30 menit aja.” ucapku.

“Dahlah gosa aneh-aneh,” sahut Reyhan sambil ikut duduk. “Kamu tau, tu bocah mikir kamu dibawa setan.” Reyhan menunjuk Liya.

“Kamu juga mikir gitu ya.”

“Ada masalah apa si, An?” tanya Hilmi sambil memberikan handphoneku. Kali ini aku menerimanya.

“Gak ada.”

“Ah masa?” sambung Aden sambil menghirup MOD vapenya dan menghembuskannya, mengisi udara dengan aroma vapenya.

Aku mengangguk.

“NIANNN!” Obit datang dan langsung berdiri didepanku, “Lu marah sama gue yaa? Gara-gara gue bikin kesel lu diwarung nasgor!!?”

Aku tertawa kecil. Orang ini memang nyebelin banget. “Iya,” sahutku.

“ADUHHH OBITTT!!!” seru Reyhan.

“Udah Obit dikeluarin aja dari SC, kita open recruitment lagi aja.”

Aku tertawa. “Engga kok bercanda.”

Obit mengulurkan tangannya. “Sori banget. Gua sengeselin itu ya?”

Aku menerima uluran tangannya. “Iya sih sengeselin itu. Tapi aku disini bukan karena kamu kok.”

“Karena siapa tuh?” ucap Hilmi.

“Sebut aja An, biar langsung di kick cari anggota baru,” ucap Aden.

“Kamu.”

Aden diam bungkam sambil mengepulkan asap vapenya.

“Kapok Den.” Liya menunjuk orang-orang yang ada disini sekarang. Hilmi, Aden, Reyhan, Ahmad, Sagara. “Seharusnya kita main ToD, biar kita tau semua yang disembunyikan.”

“Alay,” sambar Hilmi cepat.

“Ish, seriusan loh.”

“Kamu aja, Ya.” Reyhan ikut-ikutan.

Percakapan kami yang ramai terhenti seketika. Kami semua menatap ke satu orang yang baru saja tiba sambil memegang korek dan sebatang rokok di tangannya.

Owen, ketua departemen Sosial Lingkungan BEM, berdiri di sana memegang korek dan sebatang rokok di tangannya. “Siapa yang hilang?”

“Nian Masss!!!” sahut Liya cepat.

“Astaga. Pak satpam didepan nelpon BEM, terus aku samperin. Itu lagi bakar dupa didepan.”

Kami semua tergelak.

“Tuhkan Bapaknya aja mikir kamu hilang dibawa setan.” Liya memukul pelan bahuku.

“Tapi sudah amankan?” tanya Mas Owen sambil memantik koreknya dan menyalakan rokoknya.

Kami mengangguk.

“Jangan aneh-aneh ya Nian, besok kamu presentasi ke Wakil Dekan. Kalau hilang yang pusing aku ya,” ucap Mas Owen lagi.

“Membebani aku juga.” Sambung Reyhan.

“Astagaa, iyaaa,” sahutku.

Mas Owen mengangguk lalu pergi meninggalkan kami. “Jangan lama-lama diluar, kalau udah kelar balik keruang rapat, ngobrol disana aja. Kasian itu Bapak satpamnya dibikin ada kerjaan jam segini.”

Kami tertawa lalu mengiyakan Mas Owen.

“Nian, kalau ada apa-apa cerita ya,” ucap Liya.

“Lah, sendirinya,” sahutku.

Liya tertawa.

“Jangan apa-apa tuh ngilang. Kalian berdua itu tulang punggung kita berdelapan. Kalau hilang mana gerak kita,” ucap Hilmi.

“Cari tulang punggung lain,” sahutku.

“Gak sih, mending bubar aja,” jawab Reyhan cepat.

“Ini sampai kapan kita disini?” tanya Ahmad.

“Sampai Nian mau balik ke ruang rapat,” sahut Liya.

Aku tertawa lagi. 30 menit yang niatnya untuk menyendiri. Malah jadi 1 jam ngobrol gak jelas disini. Mual dan pusing yang kurasakan sudah cukup membaik.

Kita memang banyak adu mulutnya, marah-marahnya, tapi terlepas dari itu, tidak ada yang boleh sendiri. Bualan Aydan soal “kebersamaan” sepertinya benar-benar nyata adanya. Semua di mulai dari asing hingga terbiasa. Terlalu terbiasa hingga ketidakhadiran mereka kadang terasa sekali. “Hubungan bisnis” hanya sekadar bulan pertama, selebihnya kita hanya sepuluh orang mahasiswa yang suka bermain bersama, mengajak susah, dan mengajak senang.

Hey, kalian, programnya memang susah dan melelahkan, tapi kalau gak ada program itu, hari ini aku belum ngerasain yang namanya “kebersamaan”.

 

How do you feel about this chapter?

0 1 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Diaryku - everything will be okay
216      163     1     
True Story
Masa-masa sulit yang menyakitkan bukanlah akhir dari segalanya. Inilah kisahku, sisi kehidupan dari manusia kaku yang banyak belajar tentang arti kehidupan seiring dengan berjalannya waktu.
Ordinary Hero
169      124     0     
True Story
Kita adalah pemimpin dan penyelamat untuk diri kita sendiri. Tidak apa jika dalam perjalanan kita terjatuh, karena kita hanyalah pahlawan biasa yang pasti akan jatuh dulu untuk bertambah kuat.
Aku dan Waktu
236      171     0     
True Story
Bertemanlah dengan waktu dengan menikmati setiap prosesnya, tidak memandang kehidupan dengan kesulitan dan tidak ada jalan keluar, tapi cobalah untuk memandang kehidupan dari sisi yang berbeda. Sesungguhnya, kehidupan tidak memerlukan kata, tetapi memerlukan aksi yang akan membawa kita sampai pada kehidupan yang lebih baik lagi. Jadikan tujuan tersebut menjadi nyata dengan menjadikan waktu sebaga...
Anomali Maret
167      118     1     
True Story
Maretku terjadi dengan uniknya. Ada tiga babak yang akan kuceritakan kali ini, dan benang pengaitnya kuberi nama Anomali. Tetapi sungguh, cerita seperti kejatuhan durian bulan ini, lalu pada bulan yang sama di tahun depan aku menginjak kulit durian yang belum membusuk itu, bukankah dapat dikatakan sebagai anomali absurd? Tenang saja, cerita ini tidak mengandung durian, kok! Hahaha.
Diary Pandemi
199      138     1     
True Story
Gue tahu, masa pandemi emang nyusahin. Tapi jangan lupa buat tetep senyum dan bahagia. Percaya deh, suata saat nanti pasti bakal ketemu titik terang yang bisa mengubah hidup kalian.
Anak-Anak Musim
646      360     59     
True Story
Hai! Kenalkan aku Autumn, (sok) cool cool gitu anaknya. Dan ini kisah tentang Autumn serta ketiga musim lainnya.
Menemukan Kebahagiaan di Tengah Pandemi
160      113     1     
True Story
Siapakah yang siap dengan sebuah perubahan drastis akibat Virus Corona19? Pandemi akibat virus corona 19 meninggalkan banyak luka dan trauma serta merenggut banyak kebahagiaan orang, termasuk aku. Aku berjuang menemukan kembali makna kebahagiaan. Ku kumpulkan foto-foto lama masa kecilku, ku rangkai menjadi sebuah kisah. Aku menemukan kembali makna kebahagiaan di tengah pandemi. Kebahagiaan itu ad...
Asa di Depan Mata
173      121     1     
True Story
Menceritakan tentang bagaimana perjalanan remaja usia 18 tahun yang baru saja mencicipi bangku perkuliahan. Namun pandemi ini memaksa untuk merasakan rasa yang belum dicoba. Rasa yang memberikan banyak pelajaran saat kita membuka mata.
Titik Akhir Pencarian
231      156     1     
True Story
Lelah mencari pada akhirnya kuputuskan untuk menyendiri. Terimakasih atas lelah ini, maaf aku berhenti. . . Dara, 2022
Sahabat
385      197     2     
True Story
Menceritakan tentang seorang gadis yang bernama Jasmine yang menjalin hubungan pertemanan dengan seorang cowok yang bernama Alden. Setelah lama berteman, mulai tumbuh perasaan suka diantara mereka berdua. Akankah pertemanan mereka hancur karena perasaan mereka sendiri?