Pandemi, satu kata yang memiliki banyak makna dalam setiap perjalanannya. Mengajarkan banyak hal beragam pada umat manusia, entah itu sesuatu yang menyakitkan, ataupun sesuatu yang sangat berharga bagi kehidupan masing-masing. Meninggalkan berbagai kisah pada setiap insan yang tengah menghadapi dan berjuang melewati masa ini.
2 tahun belakangan, mungkin merupakan masa-masa tersulit yang dilalui oleh sebagian atau bahkan hampir seluruh penduduk muka bumi ini. Sebuah wabah virus yang lambat laun meluas menjadi pandemi, memaksa setiap umat merasakan dampak akibat dari kehadirannya. Virus mematikan tiba-tiba muncul dan menjadi trending topic dunia. Santer terdengar kabar jika wabah ini dapat menular dengan cepat hingga membuat para pimpinan dari berbagai negara harus mengambil langkah tegas untuk mencegah tersebarnya wabah penyakit menjadi lebih parah.
Awalnya, aku adalah manusia skeptis. Manusia tanpa hati yang percaya jika segala yang menyangkut tentang pandemi adalah hal bohong. Menganggap berita dalam berbagai media hanyalah "alat" untuk sekedar menakut-nakuti. Selalu melayangkan protes karena segala hal tiba-tiba memiliki banyak aturan yang ketat hingga aktivitas di ruang publik pun menjadi sangat terbatas. Izin untuk mengadakan event apapun menjadi sulit. Banyak toko, hotel, bahkan tempat wisata terpaksa tutup dan berhenti beroperasi karena patuh pada perintah para atasan. Ini sungguh tak masuk akal, aku juga kesulitan mendapat akses untuk pergi ke mana pun. Secara mendadak dan serentak berlaku karantina wilayah dimana-mana. Jalan-jalan banyak yang ditutup dengan rapat entah itu menggunakan spanduk, papan pengumuman, plang besi, bahkan ada juga yang bertugas jaga untuk menutup akses jalan menuju daerah tertentu.
Kesal? Pasti! Namun, itu belum seberapa. Puncaknya, yang paling membuat tercengang adalah pada masa awal kemunculan wabah kala itu, orang yang dinyatakan meninggal akibat virus ini pasti ke depannya para anggota keluarganya dan termasuk orang lain yang pernah berhubungan dengan orang tersebut pasti akan merasakan imbas yang tidak menyenangkan. Ya, pelan tapi pasti mereka akan otomatis ter asingkan dari dunia luar. Mengapa begitu? aku juga tidak terlalu mengerti. Padahal belum pasti bisa tertular tapi harus memikul beban mental yang berat. Rasanya, nurani mendadak mati karena dikuasai oleh rasa ketakutan yang berlebihan.
Sekolah juga ikut diliburkan dari tingkat TK sampai dunia perkuliahan, dengan dalih melindungi anak-anak karena imun mereka rentan terhadap penyakit. Tak lupa kegiatan anak berusia dibawah 12 tahun pun juga kena imbas ikut dibatasi. Yang terlihat memang anak-anak senang karena mereka tidak harus absen ke sekolah setiap hari. Semua kegiatan pembelajaran dilakukan secara online atau biasa disebut dengan Daring. Tapi, banyak orang tua yang mengeluh karena menjadi kesulitan mengajari anak tentang materi pelajaran yang mungkin sudah banyak yang terlupakan.
Tapi meski banyak protes, aku masuk dalam daftar orang yang bersorak ria dan sangat menyetujui berkurangnya waktu produktivitas khususnya bagi para pekerja. Jam aktivitas kantor, retail hingga aktvitas pedagang kecil tak luput mendapat perhatian berupa rombakan aturan yang begitu mendadak. Kalau istilah kerennya, para pekerja disuruh WFH dan para pedagang dihimbau untuk berjualan tidak terlalu malam serta tidak memperbolehkan pembeli untuk makan di tempat. Dan karena kebijakan WFH itu, kantorku benar-benar mengurangi jam kerja karyawan, membuatku merasa senang pada minggu-minggu pertama pandemi karena takkan lagi merasakan pulang larut malam. Dan, aku juga merasa terbantu karena untuk sementara akses pelayanan publik hanya bisa dilayani melalui media online tanpa harus repot kesana-kemari untuk mengurus berkas penting.
Berkat itu, tak jarang aku menertawakan diriku yang hanya mau enaknya tapi tak peduli bagaimana kepahitannya.
***
Lalu kalau diingat, aku di masa awal pandemi termasuk golongan manusia pembangkang. Pergi ke mana pun pasti tidak mengenakan masker dengan benar, atau bisa disebut menggunakan masker hanya sekedar formalitas karena berada di tempat umum. Tak pernah membawa hand sanitizer, bahkan jarang sekali mencuci tangan usai melakukan aktivitas. Memasuki tempat kerja dengan serampangan karena datang dari luar tanpa menggunakan pengaman apapun (masker, sarung tangan, atau sejenisnya). Lalu aku juga sering bercanda dengan kawan, saling berbagi meme lucu yang menganggap jika Virus tersebut hanyalah rekayasa atau biasa disebut orang dengan konspirasi.
Tak jarang juga kalau sedang di tempat-tempat umum, aku akan menatap sinis saat melihat orang lain sekitar yang patuh pada protokol hidup sehat, yang benar-benar patuh menjaga jarak, tidak bersentuhan dengan orang lain, dan terlihat ketakutan jika mendapati orang di sekitarnya batuk atau mendadak bersin. Bahkan yang paling membuatku sebal adalah ketika mendapati orang yang terang-terangan menyemprot cairan disinfektan pada tempat yang selesai dipakai oleh orang sebelumnya. Bagiku, itu semua terlihat konyol. Se begitu menjijikan? Mengapa orang-orang begitu parno? Apakah jadi hal wajar karena wabah ini lalu etika dan rasa saling menghormati pada sesama menjadi hilang? Miris, batinku pada saat itu. Tak hanya itu, di masa ini orang yang merasakan gejala sakit flu ataupun demam hampir rata-rata enggan pergi ke dokter. Alasannya? Apalagi kalau bukan takut. Takut malah divonis tertular, mengidap penyakit yang tidak pernah diharapkan.
Pernah ada suatu kejadian yang menjadi heboh di dekat tempat kerjaku. Sosok pria tua yang kelelahan terlihat tengah beristirahat di pinggir sebuah toko tak jauh dari kantorku. Kakek tersebut memang tampak pucat, bahkan untuk sekedar berdiri mungkin sudah tak sanggup. Tapi, apa yang terjadi selanjutnya membuat amarahku bergemuruh dalam hati. Semua mendadak heboh dengan kepanikkan masing-masing ketika pria tua tersebut mulai menampakkan sisi lemahnya. Kakek itu terbatuk tanpa henti, lemas bahkan muntah secara tak sengaja di hadapan publik. Lalu, respon publik yang menanggapinya sangat-sangat tidak manusiawi bagiku. Tidak ada yang mendekat, hanya berkerumun dan mengawasi dari jauh, ada pula yang berbisik-bisik takut dan yang paling membuatku geram adalah ada yang mengambil foto kakek tersebut dan menyebarkannya di media sosial, mungkin bisa jadi foto itu diunggah komplit dengan caption yang akan mengundang beragam komentar. Bahkan ketika aku sudah tak tahan lagi dengan tingkah orang-orang dan ingin beranjak menolong, aku di tahan dengan cepat oleh seorang kawan, banyak yang berkata dan mendukung sebaiknya menunggu pihak yang lebih berwenang agar tidak beresiko. Sungguh tak rasional memang.
***
Tapi seiring berjalannya waktu, aku dan egoku perlahan mendapat tamparan keras. Perasaan menjadi tak karuan saat melihat dengan mata kepala sendiri banyak rumah sakit yang membludak dan tak mampu menampung pasien. Menyebabkan beberapa orang kesulitan mendapat perawatan bahkan ada yang harus menginap di halaman terbuka rumah sakit dan di rawat di dalam tenda se adanya yang sudah disediakan. Fakta-fakta ini bukanlah sekedar berita bohong yang sebelumnya sempat aku yakini. Aku menyaksikan sendiri saat mengantar sepupuku kontrol ke rumah sakit. Sesak rasanya menyaksikan pemandangan tersebut. Aku pun sempat iba ketika mendengar curhatan teman para nakes yang tak bisa pulang untuk sekedar berkabar sejenak pada keluarga.
Belum lagi, rasanya "gemas" saat mengetahui banyak informasi yang menyatakan jika ada segelintir orang sedang memanfaatkan keadaan di masa sulit ini. Yang paling membuat marah ialah ketika tau ada yang memanfaatkan situasi masa sulit ini menjadi ladang bisnis, membuat masker, obat-obatan, vitamin c, hand sanitizer, bahkan disinfektan menjadi barang mahal nan langka. Ketika masker menjadi barang yang wajib dimiliki, aku juga sempat kesulitan mendapatkannya. Dan bayangkan saja, harga masker yang tersedia saat itu justru jadi lebih mahal daripada harga skincare yang kugunakan. Ya Tuhan. Aku pernah iseng mencari masker lewat situs online dan mengontak beberapa pedagangnya. Mencoba peruntungan dengan cara negosiasi harga dan menawar masker tersebut sesuai harga wajar sebelum pandemi. Tapi tetap gagal, aku malah berujung dimaki oleh semua pedagang tersebut. Yah, namanya juga usaha, tak semua akan berjalan mulus. Aku malah jadi menyesal karena tak sempat menjadi golongan panic buying, golongan orang-orang yang langsung memborong apapun yang viral terutama masker dan kawan-kawannya ketika kabar kemunculan virus ini tampil dalam berita nasional.
Gila, ini benar-benar menjadi situasi yang sudah tak kondusif. Semua kacau, tak hanya di dalam negeri, tapi di luar pun juga sama saja kekacauannya. Tak hanya dunia medis saja yang dibuat kalang kabut, roda perekonomian juga perlahan hancur pada masa ini.
Aku pun merasakan sakit hati mendapati fakta banyak pekerja yang terkena phk akibat pendapat perusahaan menurun. Banyak kerabat dan orang sekitar yang mengeluh, harus berusaha ekstra keras memutar otak untuk mendapat tambahan pemasukan agar bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Aku juga berbagi cerita dengan beberapa sahabatku yang bekerja di luar negeri, ternyata keadaan juga sama saja, bahkan beberapa sahabatku terpaksa dipulangkan dan harus sabar menunggu sampai situasi sedikit membaik. benar-benar masa tersulit. Dan jangan salah, aku pun juga terkena dampak yang hampir sama. Karena biaya operasional perusahaanku yang tak bisa menutup jika harus membayar gaji karyawan dengan utuh, akhirnya dengan terpaksa pimpinanku membuat kebijakan, seluruh staff diberi jadwal masuk sistem shift dan rolling. Kami semua hanya bisa pasrah, mau mengotak-atik bagaimanapun, kondisi perekonomian dunia saat itu seluruhnya hampir sama saja keluh kesahnya. Dalam satu minggu, aku yang biasanya masuk 6 hari full lantas berubah jadwal menjadi masuk hanya 3-4 hari saja dalam seminggu. Sungguh, rasanya ingin menangis dan berteriak kencang tapi tak bisa berbuat apapun.
Kejadian tak menyenangkan terus berlanjut, aku bahkan harus kehilangan beberapa orang terdekat tanpa bisa mengantar kepergian mereka sampai ke tempat peristirahatan terakhir. Aku bahkan pernah marah-marah hingga mengumpat pada salah satu warga akibat tindakannya yang menurutku kelewat batas. Saat itu pada pemakaman salah seorang warga daerahku, ada salah seorang yang terkesan menjadi provokator. Memberi ultimatum jika hanya keluarganya saja yang bisa mendekat, itu saja cuma diperbolehkan beberapa. Tak boleh ada kerumunan dan para tetangga tidak boleh sekedar membantu meskipun hanya sebuah bantuan kecil. Semua tetanggaku diusir dari rumah duka dan kerabat terdekat tidak diperbolehkan menginap ataupun mengadakan acara doa usai pemakaman. Tidak boleh mendirikan gubuk atau di daerahku istilahnya "teratak" untuk sedekar memberikan nuansa teduh di depan rumah duka. Ya Tuhan, rasanya aku tidak puas karena hanya bisa memaki. Aku kasian melihat keluarga yang tengah berduka itu hanya bisa pasrah dengan apa yang sudah menjadi ketentuan. Memang niat tetanggaku tadi terdengar bagus, tapi caranya kurang pantas menurutku.
Kalau dirasa-rasa, kejadian demi kejadian kian membuat hatiku menjadi luar biasa sakit. Rasanya malu karena sempat menjadi manusia yang abai dan merasa kuat. Lalu, aku mulai memperbaiki diri. Mulai patuh pada apa yang sudah menjadi aturan untuk kebaikan bersama. Mulai berdamai dengan sekitar dan salut kepada orang yang konsisten menjaga protokol kesehatan dengan ketat. Apapun yang orang lain lakukan, aku tak lagi mencibir karena itu merupakan cara masing-masing individu untuk membentengi diri. Bagaimanapun situasinya, aku berusaha menerima dan menanggapinya dengan pikiran positif. Aku mulai memakai masker saat pergi kemana pun. Rajin mencuci tangan usai beraktivitas dari luar, dan juga ketika sampai rumah aku langsung meredam baju yang kukenakan lalu berganti dengan yang baru.
Yang paling berkesan menurutku, aku yang pemalas dan agak anti sosial ini berhasil memecahkan rekor baru. Entah mendapat bisikan darimana, atau mungkin karena dorongan rasa iba yang tinggi, pada akhirnya aku tertarik untuk menjadi relawan kegiatan bakti sosial. Aku mengikuti kegiatan sosial salah satu temanku yang juga sudah sering mengadakan acara amal. Kami terdiri dari tiga kelompok yang masing-masing beranggotakan 5 orang. Tujuan kami sederhana, memastikan jika semua orang bisa mendapat perlengkapan medis yang layak. Kami awalnya menggalang dana serta mencari donatur yang mau menyumbangkan berbagi keperluan medis layaknya masker, obat-obatan, hand sanitizer dan lain sebagainya. Waktu aku mengadakan acara bakti sosial ini, harga masker dan perlengkapan medis lainnya sudah mengalami penurunan. Lalu setelah terkumpul, secara bertahap membagikannya kepada masyarakat umum. Sasaran utama kami adalah para tuna wisma, warga kurang mampu, serta masyarakat yang membutuhkan.
Tahun 2022 ini, terlihat keadaan berangsur membaik daripada sebelumnya. Adanya progam vaksinasi yang terus digalakkan oleh pemerintah sedikit membuat perasaan menjadi lega. Berita baik setelah adanya vaksinasi membuat angka kematian akibat virus ini kian menurun. Yah, meskipun tetap ada saja drama saat awal munculnya gerakan wajib vaksinasi, namun kini hampir semua masyarakat sudah melakukan vaksinasi tahap 1 dan 2. Tempat wisata, hotel, restoran serta pedagang sudah bisa sedikit leluasa dalam menjalankan usaha masing-masing tanpa pembatasan waktu namun tetap harus mematuhi protokol kesehatan. Para pelajar juga sudah kembali bersekolah tatap muka walau masih sedikit dibatasi.Event-event yang berada di ruang publik pun beberapa sudah bisa kembali mendapatkan ijin. Roda perekonomian juga berangsur pulih, kini para pekerja sudah bisa melakukan WFO (Work from Office) termasuk diriku. Banyak perusahaan yang sudah kembali membuka lowongan pekerjaan. Rasanya seperti hidup kembali, menata kembali semua aspek kehidupan dari nol dengan keadaan yang sedikit berbeda.
Aku berdoa dan berharap, semoga dunia bisa lekas kembali pulih. Semoga ke depannya, semua aspek akan kembali baik-baik saja seperti sedia kala. Aku yakin, Tuhan takkan pernah menguji seorang hamba diluar kesanggupannya. Dibalik semua kesulitan pasti akan ada jalan keluarnya. Tetap sabar menjalani ujian apapun dalam dunia ini dan teruslah jadilah pribadi yang rendah hati, belajar menjadi lebih baik agar bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitar.