Dear Diary,
Hai, apa kabar? Rasanya lama aku tidak lagi menorehkan tintaku di secarik kertas putih ini. Aku harap buku ini tidak akan pernah dibuka oleh siapapun, karena buku catatan harian adalah hal yang cukup pribadi dan sensitif. Lebih tepat dan jujur, aku takut ada yang mengolok-olok tulisanku. Tentu saja oleh orang yang membaca, tapi tidak memahami bagaimana suasana hatiku saat aku menuliskan ini. Baiklah, jika tetap saja buku ini terbaca oleh orang lain… Aku harap kamu yang membaca akan paham bagaimana aku melewati situasi yang akan aku tuliskan nanti. Aku akan sangat berterimakasih, apabila kamu menjaga rahasia tulisan ini bersamaku.
Mari kita mulai cerita ini dari…
2020, sudah 2 tahun berlalu dari saat ini.
Akhir tahun 2019, ditemukan sebuah virus yang menyerang jaringan pernafasan manusia dan menyebabkan infeksi pernapasan berat di Wuhan, Cina. Nama virus itu Coronavirus Disease 2019 atau biasa dikenal dengan COVID-19. Virus ini merambah ke seluruh dunia. Dari wabah menjadi endemi, lalu dengan cepat menjadi pandemi. Persebarannya tidak bisa dihentikan. Banyak nyawa yang tak lagi dapat terselamatkan karenanya. Aku pikir, Indonesia tak terkena dampaknya. Jujur aku berpikir begitu saat membaca beritanya di ponselku, ketika aku dalam perjalanan pulang menggunakan bus transportasi umum, Transjakarta. Padatnya keadaan di dalam bus saat itu membuat perhatianku cepat teralihkan dari berita virus menjadi pikiran, “bagaimana aku dapat turun di halte tujuanku dan melewati kerumunan ini?”.
Namun, berita virus ini tidak kunjung hilang dari media. Televisi, radio, hingga sosial media yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hariku tidaklah luput dari pembahasan seputar virus COVID-19. Mulai dari bagaimana virus itu ditemukan, tindakan pemerintah, penuhnya rumah sakit, hingga pada berita….
“Dua warga Depok, Jawa Barat, menjadi pasien pertama di Indonesia yang positif terinfeksi virus corona Covid-19. Dua pasien positif Covid-19 di Indonesia bermula ketika satu di antaranya kontak dekat dengan WN Jepang yang ternyata terbukti positif Covid-19 saat melakukan pemeriksaan di Malaysia.” (sumber: https://health.detik.com/ pada 2 Maret 2020)
Yap, kurang lebih seperti itu. Sejak kasus pertama virus ini terjadi, maka dimulailah juga penyebaran luas virus ini di Indonesia. Dan pertama kali merambat cepat di daerah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), hingga pada luar daerah Jabodetabek. Lonjakan pasien di setiap rumah sakit, membuat pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan baru, WFH (Work From Home). Bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan ibadah di rumah terus digencarkan oleh pemerintah untuk mengurangi interaksi antarmanusia. Hal ini ditujukan untuk mencegah terjadinya penularan virus oleh orang lain.
Sebagai seorang mahasiswi tahun angkatan 2018 yang kala itu baru saja seminggu menjalani masa perkuliahan semester 3 secara tatap muka, mau tidak mau harus mengikuti peraturan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang dikeluarkan oleh Kemendikbud dalam Surat Edaran Nomor 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar Dari Rumah Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19 pada bulan Mei 2020 lalu.
Awalnya aku pikir ini sangatlah menyenangkan. SANGAT DAN SANGAT MENYENANGKAN. Kapan lagi aku bisa menikmati kuliah di atas kasur bertemankan bantal dan earphone kesayanganku sambil menyantap camilan tanpa ada dosen atau teman yang dapat menegurku. Bahkan, aku dapat tertidur pulas setelah selesai melakukan presensi kehadiran. Aku sangat menikmati masa-masa dimulainya pembelajaran tatap maya. Rutinitas harianku menjadi berubah total. Aku yang terbiasa bangun pagi sekali agar tidak terlambat ke kampus, dapat menjadi aku yang bangun tepat setengah jam sebelum kelas dimulai, lalu kembali melanjutkan tidur atau menonton drama korea yang aku suka. Aku merasa sangat sangat bebas, walaupun tidak di setiap harinya aku dapat berlaku seenaknya begitu. Tetap saja ada beberapa mata kuliah yang mengharuskanku duduk dan berpakaian rapih sambil menatap layar laptop, serta mencatat isi dari perkuliahan hari itu, atau begadang semalaman mengerjakan tugas yang sangat bertumpuk. Jujur saja meski merasa lebih leluasa saat jam kuliah, jumlah tugas yang aku terima pada saat pembelajaran tatap maya ini jauh lebih banyak daripada saat pembelajaran tatap muka. Entah karena memang aku sudah berada di tingkat semester yang berbeda dari tahun sebelumnya, atau memang bobot tugas pada tatap maya lebih banyak. Mungkin keduanya benar, atau mungkin juga keduanya hanya praduga dan perasaanku saja.
Rutinitas dalam “gerakan di rumah saja” ini, lama kelamaan membuat aku merasa jenuh dan muak. Mengapa? Mungkin ada kaitannya dengan pribadiku sebagai seorang ekstrovert. Dalam suatu situs tes MBTI, ada diantaranya menyebutku ENTP akan tetapi ada pula yang meyebutku ENFP. Hanya bagian “Thinking” dan “Feeling” nya saja yang sering berubah, selebihnya selalu sama. Kalau orang lain heran mengapa hal itu bisa berubah, aku lebih bingung menjawabnya mengapa hal itu bisa terjadi. Saat aku melihat penjelasan dari hasil tes MBTI, ENTP adalah pribadi yang sangat senang untuk berargumentasi tentang sudut pandangnya terhadap suatu hal. ENTP akan selalu memiliki jawaban atas pertanyaan, sehingga pribadi ini akan selalu punya cara untuk dapat menyelesaikan masalah yang dialaminya dan senang akan tantangan baru dalam hidupnya. Sementara itu, ENFP adalah pribadi yang dikenal dengan ramah di lingkungan sekitarnya dan selalu mempertimbangkan perasaan orang lain sebelum ia melakukan suatu tindakan. ENFP adalah pribadi yang cukup enerjik dan selalu dipenuhi oleh ide-ide baru untuk melakukan sebuah inovasi baru. Perbedaan diantara keduanya tidak terlalu berbeda jauh. Mereka merupakan pribadi yang sama dominannya.
Aku sendiri cukup ragu tentang jelasnya hasil MBTI yang aku dapatkan. Mungkin, karena terkadang aku terlalu mengedepankan pikiran tapi di beberapa saat aku terlalu terbawa perasaan. Satu hal yang pasti, sebagai seorang ekstrovert yang sangat mencintai dunia sosial dan senang menghabiskan waktu dengan banyak orang, tidak dapat bertemu orang lain dalam waktu yang lama seakan membuatku harus mengunci sisi sosialku secara paksa. Sangat menyakitkan dan menyedihkan. Rumah yang tadinya menjadi tempat pulang dari segala penat yang aku dapatkan setelah seharian melakukan kegiatan di luar, saat ini malah menjadi kurungan dan sumber kepenatan paling besar untukku ketika virus itu menyerang negara ini. Bagi seorang anak dengan kepribadian ekstrovert, berdiam diri dan menjauh dari kerumunan sosial, serta menghentikan interaksi secara langsung sangatlah membuat tubuh terasa lelah. Aku tidak tau penyebab pastinya, tapi aku sering merasa resah, sedih, dan gampang merasa sendirian juga lelah tanpa alasan. Apakah ada orang lain yang juga merasakan hal serupa denganku? Oh, aku harap banyak yang merasakan juga, karena aku tidak mau dianggap gila karena merasakannya sendirian. Aku merasa duniaku mulai hampa dengan ditambahnya berita, bahwa virus itu bermutasi menjadi berbagai varian yang lebih kuat lagi. Ya ampun, berapa lama lagi aku harus bertahan berdiam diri tanpa berinteraksi dengan orang lain? Aku lemas mendengarnya.
Beberapa tahun lalu, tepatnya sebelum virus itu hadir dalam kehidupanku, aku dapat berkumpul dengan leluasa bersama teman-temanku, mencari lingkungan yang baru juga belajar banyak hal baru di luar sana, serta menambah relasi dengan kegiatan yang seru dan sangat menyenangkan. Aku merindukan momen-momen itu. Rasanya aku ingin segera kembali ke masa itu. Berkeliling kota tanpa takut ancaman virus, bercanda tawa dengan lepas tanpa takut ada rasa sakit di kemudian hari, atau sekedar belajar dan bekerja bersama orang-orang yang dapat menambah wawasanku setelah berdiskusi dengan mereka. Dengan timbul banyaknya varian baru dari virus COVID-19, membuat harapanku untuk segera dapat keluar rumah dengan leluasa seketika lenyap. Hilang. Aku hanya dapat berselancar di dunia maya dengan bertemankan laptop dan ponselku, mencoba menyapa temanku melalui itu. Akan tetapi, rasanya tak pernah sama. Aku merindukan bertemu mereka secara tetap muka langsung.
Situasi ini berjalan selama lebih dari satu tahun dan membuatku terperangkap di dalamnya secara paksa, demi melindungi kesehatan diri. Seiring berjalannya waktu, aku menjadi lebih malas untuk bergerak, malas beraktivitas, dan malas memikirkan hal baru. Semua aku anggap percuma dan sia-sia. Mungkin virus ini tidak membunuh tubuhku, tapi dampak virus ini seakan membunuh mental dan karakterku. Aku benar-benar merasa kehilangan seluruh duniaku. Teman-temanku melalui pesan di media sosial berkata bahwa, “kamu harus tetap menjaga kewarasan diri agar imun tubuhmu tetap terjaga dan sehat”. Aku menghela nafas panjang membaca kalimat itu berulang kali. Bagaimana bisa?
Aku membaca salah satu artikel yang membincangkan sebuah aplikasi yang naik daun selama masa pandemi berlangsung. Bolehkah aku sebut di sini? Kalau boleh, aplikasi Tiktok, mungkin sudah banyak juga yang tau. Aplikasi yang dulu sempat aku remehkan keberadaannya, namun secara iseng aku unduh karena merasa begitu penasaran. Maaf memang tidak seharusnya meremehkan sesuatu, saat aku sendiri bahkan tidak tau mendalam sampai pada akarnya tentang hal tersebut. Setelah mengunduhnya, aku malah merasa cukup terhibur dan mungkin beberapa kali ikut memposting hal yang sedang trending di sana. Tidak bisa dipungkiri, ternyata memang sangat menyenangkan. Yaah… sedikit mengobati kerinduanku dalam mengekspresikan diri. Akan tetapi, ternyata rasanya lagi dan lagi, tidak akan pernah sama dengan bertemu langsung dan bertatap muka dengan orang-orang secara langsung. Aku kembali tidak lagi terlalu bersemangat. Hufftt…
Pada pertengahan sampai pada akhir tahun 2021, aku sebagai mahasiswa semester 7 mulai menjalani masa kehidupan Praktik Kerja Lapangan atau mungkin bisa disebut magang. Hal ini sangat sangat menyenangkan! Yap, kali aku berkata benar dan tidak akan ku ubah pendapatku tentang itu. Memang sangat menyenangkan. Aku dapat kembali berinteraksi dengan banyak orang di luar sana. Aku dapat berbincang, bercanda, bergerak ke sana kemari dan tentu saja bekerja. SANGAT SANGAT MENYENANGKAN. Saat itu meskipun masih dibatasi oleh kebijakan 5M (Menjaga Jarak, Mencuci Tangan, Memakai Masker, Menjauhi Kerumunan, dan Mengurangi Mobilitas), tetap saja aku merasa senang bertemu dan bersosialisasi di luar rumah. Tapi, apakah virus ini sudah menghilang, sehingga diterapkan kegiatan work from office atau WFO? Jawabannya tentu saja, “belum”. Di Jakarta, terdapat kebijakan untuk pembelakuan WFO kembali.
"Pelaksanaan kegiatan pada sektor non esensial diberlakukan 25 persen WFO bagi pegawai yang sudah divaksin dan wajib menggunakan aplikasi Peduli Lindungi pada pintu akses masuk dan keluar tempat kerja," tulis Inmendagri tersebut seperti dikutip Kompas.com, Selasa (21/9/2021).
Yap, hanya 25% pegawai yang dapat pergi ke kantor untuk menjalankan tugasnya. Hal ini juga berdampak padaku, sebagai anak magang kala itu. Selama menjalankan masa magangku di Jakarta, jadwal kerjaku berseling antara WFH dan WFO. Dalam satu minggu aku hanya mendapatkan 2 sampai 3 hari dapat bekerja secara work from office. Meski tidak menjalani seminggu full pergi ke kantor, aku tetap senang memiliki dapat memikmati momen ke luar rumah untuk menambah pengalaman dan peningkatan diriku. Dari sini aku mulai belajar bahwa tidak semuanya dapat aku paksakan sesuai mauku, hidup tidak selalu dapat berjalan mengikuti ingin hatiku. Selesai masa magangku, aku kembali berdiam diri di dalam rumah. Kembali pada rutinitas harianku sebelum kegiatan magang dimulai. Hampa kembali, mungkin dapat dikatakan begitu...
Hingga suatu hari, ibu menyuruhku membersihkan rak buku yang penuh debu di sudut kamarku. Mau tidak mau, aku mengerjakannya dan tak sengaja menemukan buku-buku kesukaanku saat aku kecil. Teringat kembali masa-masa kecilku yang cukup dapat dibilang pendiam, tidak banyak bertingkah, tidak banyak bicara, dan sangat suka menyendiri dengan tumpukan buku dan imajinasi yang terlukis dalam kepalaku. Pada saat itu, aku menjadi anak kecil berusia 10 tahun yang sangat menikmati dunia yang isinya hanya ada aku dan semua tokoh khayalanku. Tidak peduli kehadiran orang lain dan tidak pernah merasa kesepian. Intinya, jika ada semua hal yang aku butuhkan (buku cerita, komik, alat lukis, atau mainan anak perempuan) aku sudah merasa benar-benar cukup. Sungguh sangat berbeda dengan aku saat ini.
Saat itu aku mulai berpikir, mengapa dulu aku bisa melakukan hal seperti itu, sementara saat ini aku merasa seperti sangat tidak sanggup bila hidup tidak bertatap muka dengan orang lain? Sepertinya, aku harus mulai belajar menerima keadaan. Iyaa, aku harus mulai menerima bahwa, tidak semua hal harus selalu sesuai keinginanku. Ada kalanya kita harus bertahan, walau dalam keadaan yang paling tidak menyenangkan dalam hidup.
Kemudian, aku mulai mencari sisi lain dalam diriku yang mungkin sudah lama terpendam. Aku mencoba fokus menggeluti hobiku dan hal yang sungguh-sungguh aku suka. Hingga terasa hanya ada aku dan diriku sendiri pun rasanya tidak masalah. Aku mulai merasa cukup dengan itu. Aku mengawali semuanya dari berdamai dengan sepi, berteman dengan sendiri dan menciptakan ruang nyamanku untuk diriku. Langkah yang cukup sulit untuk dimulai karena sangat bertabrakan dengan sisi diriku yang mencintai dunia ramai, dunia yang penuh dengan banyak orang. Ada perasaan ragu, bimbang dan cemas pada awalnya… Apakah bisa? Pertanyaan itu berkali-kali terbesit dalam benakku. Akan tetapi, sedikit demi sedikit aku mulai terbiasa dan tidak lagi mempermasalahkan hal itu. Sepertinya, aku berhasil. Aku menjadi pribadi yang percaya bahwa, “bahkan dengan diriku sendiri pun, aku mampu untuk bertumbuh dan berkembang dengan baik. Aku harus dapat bertahan dengan diriku dan di atas kakiku”. Hal itu akhirnya aku terapkan hingga hari ini.
Saat ini, April 2022. Virus COVID-19 mulai menghilang perlahan dari negaraku tercinta. Sedikit demi sedikit kasus virus ini menurun, masyarakat juga mulai sadar akan pentingnya vaksinasi untuk menguatkan sistem imun dalam diri. Kebijakan “Dirumah aja” sudah mulai melonggar, masyarakat sudah diperbolehkan melakukan aktivitas sehari-harinya secara normal kembali. Walaupun belum 100% normal seperti sedia kala, akan tetapi ini sudah jauh lebih baik dari dua tahun belakangan. Dari seluruh kejadian yang aku alami, rasanya seperti roller coaster. Jujur pada awalnya aku begitu penuh kebimbangan, senang lalu menjadi penuh kebencian dan menghujat virus kejam ini. Akan tetapi, kini aku sadar bahwa setiap hal terjadi, karena ada sebuah hikmah untuk setiap orang. Entah pengalaman berharga apa yang diambil oleh orang lain selama masa virus ini menyebar luas. Setiap orang pasti mengalami hal yang berbeda. Ada yang belajar ikhlas karena kehilangan orang-orang yang dicintanya, karena virus ini memang memakan banyak korban dan hal ini sangat memilukan. Aku turut berduka cita atas kepergian orang-orang tersayang dari teman-teman terdekatku dan juga orang di lain di luar sana. Aku berharap mereka selalu diberikan kekuatan untuk menghadapi ini.
Ada pula orang yang belajar menemukan kebiasaan baru yang menyenangkan. Atau ada orang lain yang seperti aku. Aku belajar menemukan damai dalam diriku. Aku belajar untuk menerima diriku dan bertahan dengan keadaaan yang menyelimutiku. Serta, aku belajar menjadi bahagia dengan diriku sendiri.
Saat ini, aku belajar untuk lebih banyak bersyukur atas setiap hal yang aku alami dan mengambil pelajaran di dalamnya. Terimakasih, telah mendengarkan cerita panjangku. Aku merasa lega saat ini.
Dear diary, kamu memang yang terbaik untuk berbagi keluh kesah.
April 2022,
Girl who likes yellow.
@halfbloodprincesz Oh, haiii >.< Happy to see youu !! Maaf yaa aku baru buka akun lagi dan ga nyangka ada yang merasakan hal serupaaa. Terimakasii sudah antusias membaca ceritakuu. Aku mau bilang selamat, kamu juga hebat bisa lewatin semua sampai tahap ini, sampai hari ini. Semangat kuliahnya, semoga kamu juga selalu bertemu orang orang baik saat penyusunan Skripsi/TA. Let's be friends, I will follow your account :)
Comment on chapter Chapter 1