Setelah hidup selama hampir 21 tahun di bumi ini, untuk pertama kalinya aku ingin berjalan-jalan. Mungkin, aku sudah mulai jenuh dengan hidupku yang hanya dikelilingi oleh dinding.
Dan, tahu-tahu saja aku sudah berada di sini, di salah satu taman terdekat dari rumahku. Aku hanya ingin sekadar berjalan-jalan, atau mungkin juga berolahraga. Joging, mungkin?
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ada sebuah air mancur kecil dan beberapa bangku panjang untuk bersantai. Tempat yang bagus. Mungkin aku akan lebih sering kemari.
Namun, tiba-tiba saja aku melihatnya.
Namanya Ben—Benyamin Imanuel. Ia mantan kekasihku. Aku mengerjapkan mata, mengamatinya dari jauh. Ia tampak baik-baik saja. Matanya yang bersinar-sinar cerdas dan caranya tersenyum masih sama. Bahkan, aku bisa mencium aroma parfumnya dari sini—aroma parfum yang sama.
Semuanya masih sama.
Aku merindukannya.
“Hei, berangkat sekarang?”
Dari sini, aku melihatnya tersenyum kepada seorang gadis. Ben merangkulnya seraya masuk ke dalam mobil, masih dengan senyuman yang sama, lalu segera meluncur pergi. Tampaknya mereka sama sekali tidak menyadari kehadiranku.
Aku menghentikan langkah, mencoba mencerna apa yang baru saja kulihat. Mencoba mencerna apa yang sedang kurasakan saat ini.
Awalnya, kupikir semuanya baik-baik saja. Selama ini, kupikir aku baik-baik saja.
Sudah tujuh tahun berlalu, dan rupanya aku masih mengingatnya dengan sangat baik.
*
Aku menyandarkan tubuhku di punggung kursi dan mengembuskan napas perlahan. Salah satu foto Ben yang menjadi favoritku terpampang di layar ponsel. Aku menatapnya tanpa berkedip, seiring dengan kenangan-kenangan yang entah sejak kapan mulai kembali memaksa masuk ke dalam ingatan.
“Foto siapa itu?”
Aku menoleh ke belakang dan mendapati Nico berdiri di sana dengan tas besar di punggungnya. “Bukan siapa-siapa,” sahutku asal sambil menekan tombol Hapus di ponsel.
“Mengapa dihapus?” tanyanya seraya menarik kursi dan duduk di sana.
“Kau harus membuang berkas-berkas yang sudah tak terpakai,” ujarku asal.
“Dan kau tadi menatap berkas foto yang tak terpakai itu tanpa berkedip, seolah-olah akan ada yang hilang jika kau berkedip sekali saja.” Ia menatapku dan berujar, “Ah, apa ia si tujuh tahun?”
“Aku tak sengaja melihatnya pagi ini.”
“Lalu?”
“Ia masih sama,” kataku dengan seulas senyum di bibir, mencoba mengingat wajah yang kulihat tadi pagi. “Ia masih sangat tampan. Ia masih tersenyum dengan cara yang sama. Tidak ada yang berubah. Yang berbeda hanyalah ia yang kini bersama orang lain, dan aku yang hanya mampu melihatnya dari jauh.”
“Namun, pada akhirnya kalian berpisah.”
Aku tertawa, setengah mendengus. “Ia masih memberikan efek yang sama padaku.”
“Efek apa?” tanyanya dengan dahi berkerut.
“Jantungku berdetak lebih kencang setiap kali melihatnya.”
“Ah.” Nico mengangguk-angguk. “Kau benar-benar jatuh cinta padanya?”
Aku mengangguk tanpa ragu. “Hanya ia yang mampu membuatku seperti itu. Ia cinta pertamaku.”
Nico terdiam sejenak, tampak berpikir-pikir sebelum akhirnya bertanya, “Apa sekarang kau … merasa sakit?”
“Entahlah,” gumamku. “Setelah kehilangan dia, aku tak lagi mampu mengenali perasaanku sendiri.” Aku menatapnya lekat-lekat. “Ada terlalu banyak hal yang tersisa di hatiku tentangnya.”
“Mengapa kau belum melupakannya?”
“Awalnya, kupikir aku telah melupakannya, tetapi ternyata melupakannya tidak sesederhana itu,” kataku dengan senyum. “Ia meninggalkan banyak kenangan di hatiku dan aku tak ingin menghapusnya. Aku tak ingin menghapus dirinya.”
“Kau tidak ingin menghapus dirinya,” gumam Nico. “Itu berarti kau masih memikirkannya?”
“Begitulah,” gumamku. “Perasaanku masih sama. Masih tertuju padanya. Hanya dia.”
Untuk seseorang yang belum ingin kuhapus.
2013