“Kau tidak menulis lagi?”
Kau menatapnya, batal menyuapkan sesendok penuh nasi goreng ke dalam mulut. “Mengapa kau bertanya?”
“Kapan kau akan menulis?”
“Tidak sekarang.” Kau meletakkan sendokmu di piring dan mencondongkan tubuh ke arahnya, lalu berujar, “Mengapa? Kau rindu membaca tulisanku?”
Nathan mengerjapkan matanya beberapa kali. “Tidak jadi rindu,” sahutnya singkat seraya meneguk es tehnya cepat, tampaknya berusaha menahan rasa malunya.
“Oh, berarti sebenarnya kau rindu membaca tulisanku,” simpulmu ringan. Kau menyuapkan nasi gorengmu ke dalam mulut dan melanjutkan, “Apa sulitnya berterus terang?”
Nathan menatapmu tanpa berkedip. “Aku tak seperti kau yang bisa berterus terang tentang apa pun.”
“Oke, baiklah.” Kau mengibas-ibaskan tangan, seolah ingin mengakhiri topik ini. “Jadi, mengapa kau bertanya soal itu tadi?”
“Aku pembaca pertamamu. Bukankah wajar jika aku menantikannya?”
Salah satu sudut bibirmu terangkat ke atas. “Bersabarlah sedikit lagi.”
“Aku pembaca pertamamu. Bukankah aku layak mendapatkan perlakuan spesial?” Ia menyandarkan tubuhnya di punggung kursi. Kilat nakal terlihat jelas di matanya. “Seperti membaca draf naskahmu, mungkin?”
“Tidak,” tolakmu mentah-mentah. “Terima kasih telah menjadi penggemar terbaikku, tetapi aku tidak akan memperlihatkan naskahku.”
Nathan mengernyit mendengar jawabanmu dan bertanya, “Jadi, apa yang akan kudapatkan?”
Kau menyuapkan sesendok nasi goreng terakhir, meneguk teh susumu hingga tak bersisa, dan berkata, “Bukankah menjadi spesial di hati seorang penulis sudah cukup?”