“Kau sudah selesai?”
Aku menatapnya heran. “Kau sudah bertanya sebanyak lima kali. Ada apa denganmu hari ini?”
“Aku hanya ingin tahu apa kau tidak lelah,” kilahnya seraya menyandarkan tubuh di punggung kursi.
“Kau tidak tahu betapa mengerikannya tenggat waktu,” sahutku acuh tak acuh sambil terus mengetik. Tinggal sedikit lagi dan aku akan selesai. Semoga saja tidak ada galat lainnya. Semoga saja. Semoga saja.
“Tenggat waktu memang mengerikan, tetapi tubuhmu bukan mesin.” Dari ekor mataku, kulihat ia mengintip apa yang terpampang di layar laptopku, kemudian kembali berujar, “Apa itu?”
“Ini namanya bahasa pemrograman.” Aku menjalankan kode yang baru saja kuketik di peramban. Berjalan dengan baik. Bagus!
Ia mengangguk paham. Matanya lurus menatap layar laptopku. Ia terlihat penasaran. Aku menggigit cokelat batangan favoritku, hadiah untuk diriku sendiri setiap kali berhasil mencapai target. “Hei,” panggilku. “Mengapa kau terus-menerus bertanya apakah aku sudah selesai?”
“Aku hanya ingin tahu apa kau tidak lelah,” ulangnya lagi tanpa menoleh dari layar.
“Lalu, apa yang akan kaulakukan setelah mengetahui jawabannya?”
“Kata orang, seseorang akan jatuh cinta padamu ketika diberi perhatian.” Ia menoleh dan menatapku lekat-lekat. “Apa aku berhasil?”
“Entahlah.” Aku terdiam sejenak dan berpikir-pikir. “Sebenarnya tidak juga. Maksudku, itu memang benar, tapi tidak cukup bekerja bagiku.”
Ia menatapku dengan dahi berkerut dan bertanya, “Apa yang bisa membuatmu jatuh cinta?”
“Bersikap apa adanya.”
“Apa?”
“Bersikap apa adanya,” ulangku sekali lagi. “Tak perlu banyak memberi tanda—atau yang anak muda zaman sekarang sebut sebagai kode. Bersikap apa adanya saja. Mungkin ini tidak berlaku bagi orang lain, tetapi aku sudah cukup pusing menghadapi kode-kode pemrograman. Aku tak ingin direpotkan dengan kode-kode dari lawan jenis,” jelasku seraya mengunyah cokelat.
“Begitukah?”