“Apa kau pernah bermimpi tentang seseorang?”
“Apa?” Heaven menoleh dari bukunya dan menatapku. “Maksudmu mimpi saat tidur?”
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Heaven tertawa dan berujar, “Bukankah semua orang pasti pernah bermimpi saat tidur?”
“Maksudku, bermimpi berulang-ulang.”
Heaven tertegun. Butuh jeda lima menit sebelum akhirnya ia bertanya, “Kau bermimpi tentang siapa?”
“Hanya seseorang,” ujarku asal. “Apa yang akan kaulakukan jika kau mengalami hal semacam itu?”
“Aku tidak pernah mengalaminya,” dengus Heaven acuh tak acuh. “Mungkin itu hanya kebetulan. Tak perlu terlalu dipikirkan.”
“Kata orang, tak ada yang kebetulan di dunia ini,” gumamku pelan. “Jika memang begitu, lalu apa itu namanya?”
Heaven berdecak. “Kau terlalu banyak memikirkan sesuatu yang tak seharusnya kaupikirkan.” Ia menutup bukunya, kemudian menatapku dengan kedua tangan di depan dada. “Jika kau benar-benar ingin tahu, menurutku ada tiga kemungkinan mengapa itu bisa terjadi.”
Aku mencondongkan tubuh ke arahnya dan bertopang dagu, bersiap mendengarkan apa yang akan dikatakannya dengan saksama, jika perlu kata demi kata.
“Pertama, itu hanya mimpi. Itu hanya mimpi biasa, sama seperti mimpi-mimpi lainnya.” Heaven mulai buka suara. “Kedua, mungkin ia sedang memikirkanmu. Kata orang, jika seseorang sedang merindukanmu, maka ia akan muncul di mimpimu.”
Aku mengangguk paham. “Bagaimana dengan yang ketiga?”
“Mungkin ia sedang ada dalam pikiranmu.”
“Aku tidak pernah memikirkannya,” tolakku. Aku memikirkannya? Ah, yang benar saja.
Salah satu sudut bibir Heaven terangkat ke atas. “Salah satu buku yang pernah kubaca mengatakan bahwa mimpi merupakan manifestasi dari apa yang kaupikirkan dan rasakan. Maka, jika kau bermimpi mengenai sesuatu, mungkin itulah yang sedang ada dalam pikiranmu.” Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, “Mungkin kau tidak menyadarinya, tetapi bisa saja jauh di dalam hatimu kau sedang memikirkan dia.”
Mataku mengerjap beberapa kali. Aku memikirkannya? Aku?
Begitukah?
Untuk seseorang yang baru saja datang ke mimpiku.