“Apa kau sibuk?”
Nathan menoleh dan menatapku dengan dahi berkerut. “Apa aku terlihat sibuk?”
“Kau terlihat serius. Bahkan kau tak menoleh saat ada aroma panekuk menguar di udara.”
Nathan hanya diam, tetapi kemudian ia mengangguk. “Aku tidak sibuk.”
“Lalu?”
“Tidak ada orang yang terlalu sibuk terhadap sesuatu. Aku hanya terlalu fokus.”
Apa bedanya? Dahiku berkerut, berusaha mencerna apa maksud perkataannya dengan otakku yang pas-pasan. “Jadi, menurutmu, tidak ada yang namanya terlalu sibuk, begitu?”
Nathan mengangguk tegas. “Terlalu sibuk itu tidak ada. Kau hanya tidak ingin meluangkan waktu lebih banyak untuk mereka.”
Aku terdiam sejenak, kemudian bertanya dengan ragu, “Apa kau sibuk?”
“Tidak.”
Aku menatapnya dengan mata melebar, mendadak sebuah ide terlintas di kepalaku. “Bagaimana jika kau meluangkan waktu satu jam saja untukku?”