“Berhentilah menulis! Kau pikir ini pukul berapa?”
Kau hanya melirik gadis itu sejenak, kemudian beralih ke kanan bawah layar laptop. Ah, baru pukul delapan malam. Masih terlalu awal untuk berhenti menulis. Gadis itu memang suka melebih-lebihkan sesuatu.
“Berhentilah menulis,” ujar gadis itu lagi seraya meletakkan secangkir kopi di meja. “Ini sudah malam. Tidur delapan jam merupakan hal terbaik untuk tubuh, kau tahu?”
“Jika ukuran ‘malam’ versimu ialah pukul delapan, lalu bagaimana jika aku tidur melebihi jam itu? Apa menurutmu aku tidur saat dini hari?” katamu acuh tak acuh, tanpa menoleh dari layar.
Gadis itu duduk di sampingmu dan berujar, “Kau melakukan semua hal yang tidak baik untuk tubuh. Kau bekerja di malam hari dan baru tidur menjelang subuh. Kau lebih banyak duduk dan tak pernah menggerakkan tubuh. Kau selalu minum kopi di malam hari.” Ia menggeleng-geleng, tampak gemas dengan kebiasaanmu. “Kau melakukan semuanya. Semuanya.”
Kau meraih cangkir kopimu, kemudian beralih menatapnya. “Malam hari memberikan inspirasi yang lebih baik. Lagi pula, kau tetap saja membuat kopi untukku.”
Ia memutar bola matanya kesal. “Aku tidak akan membuatnya besok.”
“Itu yang kaukatakan setiap hari.”
“Hentikan,” ujarnya.
Kau baru saja hendak melanjutkan mengetik ketika tiba-tiba ia bicara lagi, “Omong-omong, mengapa kau menulis fiksi romantis?”
“Apa itu salah?”
“Tidak juga.” Ia berpikir-pikir sejenak. “Aku hanya ingin tahu mengapa.”
Kau menatapnya lekat-lekat. “Aku menulis untuk melupakan.”
Gadis itu terdiam sejenak, tampaknya sedang berusaha mencerna apa yang baru saja kaukatakan, kemudian kembali buka suara, “Jadi, kau tidak akan menulis tentang seseorang jika kau ingin mengingatnya, begitu?”
Kau hanya mengangguk dan menyesap kopimu perlahan.
“Kau ingin melupakan apa—atau siapa?”
Kau menatapnya tepat di mata tanpa berkedip. “Kau benar-benar ingin tahu?”
“Aku selalu penasaran akan banyak hal, kau tahu?”
Salah satu sudut bibirmu terangkat ke atas. “Aku ingin melupakanmu.”