“Hari ini sepertinya akan turun hujan.”
Katanya, hujan memiliki kemampuan untuk meresonansikan ingatan masa lalu manusia. Aku mencintai hujan, dan aku membencinya. Aku mencintai petrikor yang selalu muncul, dan aku membencinya karena hujan selalu berhasil memancing ingatanku—ingatan tentang orang itu.
“Ini kopimu,” ujarnya seraya menyodorkan gelas plastik berisi kopi yang baru saja dibelinya di mini market. Kini kami sedang duduk bersantai di kursi yang tersedia.
Aku mengangguk sebagai ucapan terima kasih, kemudian menyesap kopi hangat itu. Enak.
“Mengapa kau membawa payung? Hari ini tidak hujan.”
“Firasatku mengatakan bahwa hari ini akan hujan.”
Dari ekor mataku, kulihat ia hanya mengangkat bahu acuh tak acuh, reaksi yang biasa ia tunjukkan jika ia tak terlalu tertarik dengan sesuatu. Orang-orang menatap payungku dengan aneh, tetapi aku tak terlalu peduli. Aku sudah terbiasa dengan tatapan semacam itu.
Aku bangkit dari kursiku, berniat pulang ke rumah. Benar saja, dua setengah menit kemudian hujan mulai turun dan membasahi pundakku.
“Kau benar-benar aneh,” ujarnya tiba-tiba. Rupanya ia mengikutiku. “Kau membawa payung, tetapi tidak memakainya.”
Aku hanya diam dan menyodorkan payungku padanya. Melihat ia menatapku dengan dahi berkerut bingung, aku pun berujar, “Aku membawanya untukmu.”
“Dasar bodoh,” sahutnya seraya menerima payungku dan membukanya. “Mengapa kau berdiri di bawah hujan? Bukankah kau benci hujan?”
“Aku menyukainya,” sahutku. Aku mengamati jalanan yang macet dan jendela-jendela toko yang basah oleh rinai hujan. “Dan aku membencinya.”
“Mengapa kau membencinya?”
“Hujan membuatku menjadi penyimpan masa lalu yang menyedihkan,” dengusku, mengejek diriku sendiri.
Ia terdiam sejenak, tampak menimbang-nimbang sebelum akhirnya berujar, “Masa lalu macam apa? Atau … masa lalu dengan siapa?”
Aku mengerjapkan mata beberapa kali, memikirkan kata-kata yang tepat. “Dengan seseorang yang kutunggu.”
“Kekasihmu?”
“Mungkin.” Salah satu sudut bibirku terangkat. “Kami meluangkan banyak waktu bersama, dan aku bahagia. Aku bahagia hanya dengan melihat wajahnya, hanya dengan menyadari kehadirannya.”
Ia hanya diam, jadi aku pun melanjutkan, “Dia seseorang yang selalu ada dalam obrolanku dengan-Nya. Aku senang dengan caranya menatapku, dengan caranya tersenyum padaku. Kau tahu, seolah-olah aku adalah gadis yang paling spesial di dunia. Bahkan, aku senang ketika ia cemburu padaku.”
“Itu karena kau tak pernah memiliki kekasih,” sahutnya acuh tak acuh.
Aku tertawa kecil dan menyesap kopiku yang tinggal seperempat penuh. “Bahkan meskipun ia meninggalkanku, aku akan tetap menunggu. Benar-benar menyedihkan, bukan?”
Ia hanya diam. Keheningan pun menyusup di antara kami selama tiga menit. Hanya ada suara rinai hujan yang membasahi tangan dan rambutku.
“Mengapa kau menunggunya?” Tiba-tiba ia buka suara, memecahkan gelembung keheningan itu.
Aku menatapnya, diam-diam menghitung-hitung dalam hati berapa kali aku mendengar pertanyaan itu diajukan padaku sebelum akhirnya menjawab, “Aku merasa ia akan kembali.”
“Apa?”
“Aku merasa ia akan kembali,” ulangku. “Aku selalu merasa ia akan datang dan berdiri di hadapanku.” Aku mengerjapkan mata, menyesap kopiku hingga tak bersisa, dan berujar, “Ia akan datang.”
“Ia tidak akan datang,” sahutnya. “Ia tidak akan datang.”
Aku menatapnya lekat-lekat, diam-diam kembali menghitung-hitung dalam hati berapa kali aku mendengar pernyataan itu dari orang-orang yang kutemui—pernyataan yang justru membuatku semakin ingin percaya bahwa orang itu akan datang. Pernyataan yang, entah bagaimana, justru membuat ingatanku akan segala hal tentang orang itu menjadi semakin kuat.
“Jika kau benar-benar berarti baginya, ia tidak akan membuatmu menunggu,” katanya lagi. “Masih ada banyak manusia lain di luar sana.”
Aku masih terdiam. Ia kembali melanjutkan, “Kau harus bahagia, dengan atau tanpa kehadiran seseorang.”
Aku menatapnya tanpa berkedip.
Bodoh.