“Tahap apa yang paling kautunggu dalam hidupmu?”
Ia menoleh dari layar laptopnya dan menatapmu dengan dahi mengernyit. “Kenapa kau bertanya?”
Kau mengangkat bahu acuh tak acuh. “Hanya ingin tahu. Kurasa setiap orang pasti memiliki setidaknya satu tahap yang ia tunggu-tunggu dalam hidupnya.”
Ia terdiam sejenak, terlihat sedang berpikir-pikir. “Bagaimana denganmu?”
Kau berdecak sebal. “Itu rahasiaku.”
Ia mengangguk singkat, lalu beralih ke laptopnya dan kembali mengetik. Kau menatapnya lekat-lekat, menunggu jawaban. Sepi. Hanya ada suara ketikannya yang monoton memenuhi ruangan.
“Hei,” panggilmu. “Kau tidak ingin menjawab?”
“Aku tak menunggu tahap apa pun,” sahutnya sambil terus mengetik.
“Kenapa?”
“Aku hidup seperti air.”
Kali ini, matamu melebar. “Kenapa kau memilih cara hidup yang seperti itu? Apa kau tak punya perencanaan dalam hidupmu?”
“Bukan begitu,” selanya. “Aku hanya lebih suka menjalaninya dengan dinamis. Aku punya rencana, tetapi itu hanya sebatas rencana yang tidak semuanya akan terealisasikan sesuai dengan keinginanku.”
“Lalu, bagaimana jika itu tidak terwujud?”
“Sederhana saja,” ia menutup laptopnya dan menatapmu. “Kemungkinannya hanya dua: tidak atau tunggu.”
“Maksudmu?”
“Mungkin saja itu belum waktunya terealisasikan. Mungkin saja ada sesuatu yang lebih baik menanti di depan sana.” Ia tersenyum miring. “Kau tahu, jamnya Tuhan tidak pernah terlambat, tidak pernah salah setel, dan tidak pernah kehabisan baterai.” Ia mencondongkan tubuhnya ke arahmu dan berkata, “Waktu Tuhan tak pernah salah. Dan Tuhan tidak memberikan yang baik, tetapi yang terbaik.”
“Yang terbaik, ya?” gumammu. “Yang terbaik.”
Ia mengangguk. “Jadi, tahap apa yang paling kautunggu dalam hidupmu?”