“Aku rindu suaramu. Aku rindu kamu.”
Aku membaca apa yang tertulis di kertas putih polos itu sekali lagi. Sekali lagi. Dan sekali lagi. Aku tidak salah baca.
Aku melipat surat itu, kembali memasukkannya ke dalam amplop berwarna biru pastel, lalu meletakkannya di laci meja kerjaku. “Dia tak sedikit pun berubah,” gumamku. “Tetap saja menyukai sesuatu yang analog di tengah-tengah zaman digital ini.”
Aku menyalakan laptopku dan membuka Windows Explorer. “Seingatku aku masih menyimpannya,” gumamku sambil terus mencari di antara ribuan folder dan dokumen. Butuh waktu tiga menit bagiku untuk menemukan apa yang kucari—sebuah berkas audio yang telah tersimpan selama lima tahun.
Aku mengklik berkas audio itu dua kali, dan dengan segera dua suara yang familier memenuhi ruangan—suaraku dan suaranya.
***
Bagaimana caramu menyimpan momen dalam hidupmu?
Sejak dulu, aku selalu berpikir bahwa momen bukan hanya sekadar sebuah momen, tetapi juga menyimpan orang yang terlibat dalam momen tersebut. Dan aku selalu menyimpan dirinya kapan pun dan di mana pun tanpa ia sadari.
Seperti saat ini. Aku sedang mengetikkan kode pemrograman webku ketika ia datang dengan secangkir espreso dan sebuah buku yang cukup tebal di tangan. “Kau masih sibuk?” tanyanya seraya menarik kursi di sampingku, duduk di sana, dan menyodorkan cangkir kopi ke arahku.
“Seperti yang kaulihat,” sahutku acuh tak acuh tanpa menoleh dari layar laptop. Sebuah galat baru saja muncul. Ah, harus segera diperbaiki.
“Kata orang, tidak ada orang yang benar-benar sibuk. Mereka hanya tidak ingin meluangkan waktu untukmu.”
“Dari mana kau mendapat kalimat semacam itu?” tanyaku, sedikit tertarik. “Lumayan juga.”
Ia hanya diam. Dari ekor mataku, kulihat ia membuka buku yang dibawanya dan mulai membaca—yang sayangnya tidak benar-benar dibaca. Ia bukan tipikal orang yang senang membaca, terlebih buku tebal.
“Hei,” panggilnya, memecah gelembung kesunyian di antara kami. “Berhenti mengerjakan itu dan bacakan buku ini untukku.”
“Apa kau tak bisa membaca?”
“Tidak,” sahutnya cepat. “Bacakan untukku. Aku akan mendengarkan.”
Aku melirik buku itu. Roda pikiranku berputar cepat. Dia memintaku membacakan buku yang cukup tebal itu untuknya? Yang benar saja. Memangnya tidak ada hal lain yang lebih baik untuk dikerjakan?
Aku baru saja hendak mengungkapkan isi pikiranku ketika ia bicara lagi, “Kau hanya perlu membacakan lima halaman. Lima halaman. Bacakan untukku, ya?”
Membacakan lima halaman buku tanpa gambar itu cukup melelahkan, kau tahu? Lagi pula, aku harus bekerja.
“Tidak,” tolakku dengan penekanan, jelas tak ingin dibantah.
“Ayolah.” Ia mulai merengek, trik yang selalu ia lakukan setiap kali aku menolak melakukan apa yang ia inginkan. “Ayo bacakan untukku, ya?”
Aku menutup jendela peramban, mematikan laptopku, kemudian menatapnya kesal.
Aku kesal padanya yang terus merengek selama lima menit.
“Hanya lima halaman,” kataku tegas seraya meraih buku itu dan membukanya. Satu menit kemudian, seisi ruangan dipenuhi oleh suaraku yang monoton, membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, hingga halaman demi halaman.
Aku hampir menyelesaikan halaman keempat ketika tiba-tiba ia buka suara, “Kau tidak ingin bertanya mengapa aku memintamu membaca untukku?”
Aku menatapnya dengan dahi berkerut. Sebenarnya aku tidak ingin bertanya, tetapi kata-katanya berhasil memancing rasa ingin tahuku. Hanya sedikit.
Melihat ekspresiku, ia pun melanjutkan, “Hanya dengan ini aku bisa menarik perhatianmu dan membuatmu meluangkan waktu untukku.”
Aku kesal pada diriku sendiri yang tidak bisa benar-benar mengatakan tidak padanya.
“Itu sudah cukup untuk membuatku senang,” lanjutnya lagi, kali ini dengan seulas senyum kecil tersungging di bibirnya.
Aku kesal pada rasa senang yang menyelinap ke dalam hatiku—pada kupu-kupu yang serasa menggelitik perutku.
Aku kesal ketika menyadari bahwa aku jatuh cinta padanya.