“Hei, apa kau pernah jatuh cinta?”
Aku menoleh, menatapmu dengan dahi berkerut. Dari ekor mata, kulihat kau menggenggam sebuah novel fiksi remaja. Ah, sepertinya ada sesuatu yang menggelitik di dalam novel itu hingga membuatmu bertanya padaku.
Bukannya menjawab, aku malah bertanya, “Apa kau pernah jatuh cinta?”
“Mengapa kau malah balik bertanya?” sahutmu ketus.
“Aku lebih tertarik dengan jawabanmu,” ujarku seraya mengangkat bahu acuh tak acuh. “Jadi, apa kau pernah jatuh cinta?”
“Pernah,” sahutmu datar. Kau memandang langit mendung dengan tatapan menerawang, berusaha mengingat masa lalu yang telah terkubur terlalu dalam. “Jatuh cinta bertepuk sebelah tangan, seperti kisah di novel ini.”
“Jadi, kau membacanya karena kisahnya mirip denganmu?” Aku meraih novel itu, mengamati sampulnya yang berwarna hijau toska lekat-lekat, kemudian berujar, “Dasar penyimpan masa lalu.”
Kau tertawa, setengah mendengus, seolah ingin mengejek dirimu sendiri. “Kata orang, sangat sulit melupakan cinta pertama. Namun, bagiku, lebih sulit melupakan cinta kedua.”
Mataku mengerjap beberapa kali, mencoba mencerna apa yang baru saja ia katakan. “Kau unik juga rupanya,” kataku akhirnya.
Salah satu sudut bibirmu terangkat. “Terima kasih pujiannya.”
Aku mengangguk. “Omong-omong tentang cinta bertepuk sebelah tangan,” aku menyandarkan tubuhku ke punggung kursi, “apa kau yang menyukainya?”
“Ya,” jawabnya dengan salah satu alis terangkat bingung.
Aku kembali mengangguk, entah mengapa merasa semakin tertarik. “Seseorang pernah mengatakan padaku bahwa seseorang ada dalam cinta bertepuk sebelah tangan karena ia merasa memiliki hubungan dengan pihak kedua.”
Kau tersenyum miring. “Mungkinkah hal itu juga menyebabkan ekspektasi berlebihan, yang akhirnya menjadi cinta bertepuk sebelah tangan?”
“Mungkin saja.” Aku bergeser sedikit, mendekat ke arahmu dan menatapmu tanpa berkedip. “Padahal, cinta itu sederhana, kurasa.”
Dan aku mencintaimu dengan caraku.