Tidak ada yang berani mendekati Jeno. Memang Jeno baik dan ramah tapi aura dinginnya membuat siapapun segan. Hal itu membuat siapapun yang melihat Karina berjalan di samping Jeno kemarin siang membuat sebagian besar perempuan yang menyukai Jeno merasa jengkel dan tidak segan untuk memberi pelajaran buat Karina.
Baru masuk ke gerbang sekolah Karina sudah dihadang dengan lima perempuan yang tidak dia kenal. Tangannya ditarik ke arah parkiran sekolah.
“Apaan sih!” Karina menghempaskan tangannya dengan keras. Dia menatap kelima perempuan itu dengan malas. Masih zaman main keroyokan seperti ini? Nggak etis sama sekali.
“Lo berani-beraninya deketin Jeno. Mau lo apa?” Karina mengerutkan keningnya.
“Emang lo siapanya Jeno?”
“Itu nggak penting, yang penting lo jauhin Jeno.”
“Lo aja nggak jelas statusnya, mau ngelarang gue?” Karina mengatakan dengan wajah menantang.
Perempuan yang menjadi ketuanya itu mengangkat tangannya bersiap menampar wajah Karina. Dibadge bajunya terdapat nama perempuan itu, Vanessa Kamila P. Tapi ada seseorang yang menghentikan tangan Vanessa. Karina dan Vanessa menatap orang yang menahan tamparan perempuan itu.
“Jangan menjadikan saya sebagai alasan untuk melukai orang lain.” Semua yang ada disitu terkesiap. Mereka terkejut mendapati Jeno yang menatap wajah Vanessa dengan tatapan tajam, wajah dinginnya semakin menakutkan. “Vanessa.” Jeno membaca nama yang ada dibadge Vanessa dan beralih menatap perempuan itu dengan dingin.
“Maaf.” Vanessa meminta maaf sambil menundukkan wajahnya.
Jeno melepaskan tangan Vanessa lalu menatap Karina yang diam dari tadi. “Lain kali jangan mengatasnamakan orang lain untuk melakukan kejahatan, apalagi membawa nama saya.” Jeno lalu menarik tangan Karina yang saat itu masih mematung sejak pertama melihat wajah Jeno yang memegang lengan Vanessa.
“Terima kasih Jen.”
“Kamu tahu namaku?”
“Siapa sih yang nggak tahu kamu,” balas Karina dengan begitu polosnya. Padahal mereka belum pernah berkenalan sebelumnya.
“Ahh.” Jeno menganggukkan kepalanya mengerti. “Kalau mereka ganggu kamu lagi, kamu bisa bilang sama aku.” Jeno menghentikkan langkahnya lalu menatap Karina dengan senyuman manis yang membuat Karina kembali terpesona. Dalam jarak berdekatan seperti ini membuat Karina semakin tidak bisa menahan jantungnya untuk tidak berdetak lebih kencang. Jeno sangat memesona.
“Hey, kamu suka ngelamun gini ya?” tanya Jeno ketika lagi-lagi Karina tidak menjawab pertanyaannya seperti saat pertama mereka bertemu.
“E-enggak kok. Aku duluan ya, terima kasih Jen.” Karina meninggalkan Jeno dengan wajahnya yang sudah memerah seperti kepiting rebus. Jeno yang melihatnya hanya tersenyum dan tidak habis pikir dengan perempuan itu.
***
Karina mendudukkan dirinya di kursi kesayangannya. Senyumnya masih mengembang dengan lebarnya membuat Adinda menggeleng tidak percaya dengan yang dia lihat saat ini. Adinda lalu membuka ponselnya dan kembali menulis jawaban pe-er yang belum dia kerjakan untuk mapel hari ini.
“Din! Din, coba tebak kenapa gue seneng.”
“Pe-er lo udah lo kerjain pasti,” jawab Adinda cuek, dia lalu kembali menulis jawaban dibukunya.
“Udah sih tapi bukan itu masalahnya. Gue tadi ditolongin sama Jeno.”
Adinda mengalihkan pandangannya lalu menatap Karina dengan terkejut, “Lo bikin gara-gara lagi?” tebak Adinda yang langsung mendapat pukulan di tangannya. “Auu sakit Kar.”
“Emang tampang gue suka cari gara-gara gitu?”
“Iya. Lo tau gasih kalau lo kemarin jadi berita panas diangkatan kita? Gegara lo kemarin ditolongin sama Jeno?”
“Hah? Serius? Pantes tadi ada yang ngelabrak gue.”
“What? Serius lo dilabrak? Sama gengnya siapa?”
“Vanessa.”
“Gilak lo.” Adinda menggeleng lalu kembali menulis dibukunya. “Diem dulu, ntar cerita lagi, gue harus nyelesain ini sebelum bel bunyi.”
Lima menit setelahnya Adinda berhasil menyelesaikan contekannya. Dia lalu menutup bukunya dan menatap Karina dengan intens. “Lo tahu gasih Vanessa itu siapa? Dia itu salah satu geng yang paling dihindari sama orang-orang. Mereka gak segan-segan buat nyerang lo.”
“Tadi gue ditolongin sama Jeno. Terus dia marah gitu sama Vanessa.”
“Ya apalagi itu. Hidup lo bakal gak tenang Kar, serius.”
“Terus gue harus ngapain?”
“Gue bakal bantuin lo. Jadi jangan lupa bawa hp lo kemanapun. Langsung telepon aja kalau lo ada butuh.”
“Kok jadi gini sih?”
“Ini bayaran karena lo semakin deket sama Jeno.”
Karina memandang Adinda dengan perasaan yang kalut. Selama ini dia tidak pernah benar-benar bergaul dengan orang di sekitarnya. Dia tidak pernah terlibat apapun yang bisa merugikan dirinya. Apa cinta pertamanya emang sesulit ini? Karina tidak habis pikir dengan orang-orang kebanyakan yang sampai membenci orang lain untuk bahagia. Karina juga ingin bahagia.
***
Karina merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Banyak hal yang terjadi hari ini. Ternyata tidak hanya Vanessa, bahkan ada beberapa orang yang terang-terangan tidak suka melihatnya. Ada yang sampai ingin membuatnya jatuh. Karina rasanya ingin marah tapi tidak bisa. Dia lalu berteriak dengan kencang di dalam kamarnya membuat sang Papa yang baru pulang dari kantor terkaget mendengarnya.
“Kar?” tanya Papanya yang kini berada di tengah pintu kamarnya.
“Nggak papa Pa. Cuma lagi kesel aja. Oh iya Pa. Papa kenal Jeno?” tanya Karina ketika mengingat Papanya pernah bercengkarama dengan Jeno diacara kemarin.
“Tumben kamu nanyain seseorang. Darimana kamu kenal sama Jeno? Seingat Papa kalian belum pernah ketemu lagi.”
“Waktu diacara pertemuan kemarin Pa di Perancis.”
“Ohh. Kenal dong, dia anak temen deket Papa. Kamu mau dikenalin sama dia?” tanya Papanya dengan senyum yang menggoda anaknya.
“Boleh.” Karina tersenyum sambil memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi.
“Papa seneng ngelihat kamu senyum lagi.”
Sudah lama memang Varis tidak melihat senyum anaknya lagi. Sejak perceraiannya dengan isterinya Karina menjadi lebih pendiam dan hanya fokus pada pekerjaannya dan belajar untuk mengejar ketertinggalan pelajarannya di sekolah. Varis selalu mendukung apapun yang membuat Karina bahagia. Dia menyayangi putrinya melebihi dirinya sendiri.