"Diana,
Aku dan kamu, adalah esuatu yang sangat sulit digambarkan.
Mungkin,... kita seperti layaknya dua pasang pohon. Saling menemani, saat kelam dan saat bahagia.
Aku menyaksikan semua adegan kehidupanmu. Saat lingkaran kehidupanmu bertambah, saat daunmu berguguran meninggalkan batang yang kesepian, saat daun-daun mungil menampakkan dirinya malu-malu dibawah langit musim semi.
Namun, itulah kita. Yang hanya bisa saling menemani tapi tidak saling membutuhkan.
Berbeda dengan dia, si kupu-kupu. Aku ingat pertama kali dia hinggap di bungamu. Menghisap ramuan kehidupanmu, membantumu tumbuh dan berkembang.
Ya.. kamu membutuhkannya. Dan dia membutuhkanmu.
Seperti perangko dengan surat. Kalian saling melengkapi satu sama lain. Satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan.
Seperti pecandu dengan narkotikanya. Bergantung satu sama lain.
Dia memberimu warna kehidupan, kamu memberinya energi kehidupan.
Simbiosis Mutualisme, itulah kalian.
Tidak seperti kita. Aku masih bisa hidup tanpamu ditengah-tengah kesepian. Tapi kamu dan dia tidak bisa dipisahkan. Karna itu aku mengalah. Kamu dan dia adalah takdir yang tak mungkin dipungkiri. Hatiku mungkin terluka, namun kupu-kupuku akan menyembuhkannya.
Karena itu aku merelakanmu. Biarlah ini berjalan dengan semestinya. Seperti yang semesta inginkan. Akan aku lalui penantian panjang ini, hingga saat itu tiba. Ketika aku menemukan kupu-kupuku.
Dan ya, titik telah tercetak menandakan bahwa cerita kita berakhir sampai disini. Tak akan ada cerita lanjutan, tak akan ada kata berikutnya."
Entah sudah berapa kali aku membacanya, tapi percayalah ini akhirnya. Surat kusam yang sudah lama tersimpan itu mulai menjadi abu. Dihari bahagiaku ini, aku sudah bertekad untuk melupakan semuanya. Semoga surat ini terbang kepada pemiliknya.
Dari aku, yang sudah menemukan kupu-kupuku.