"Kau datang tatkala sinar suryaku telah redup
Dan pamit ketika purnamaku penuh seutuhnya
Kau yang singgah tapi tak sungguh
Kau yang singgah tapi tak sungguh" ( Amigdala - Ku Kira Kau Rumah)
Alunan lagu yang kudengar membawaku menjelajahi memori dalam ingatanku. Rintikan hujan semakin membuatku larut di dalamnya. Kisah yang lama tenggelam kembali muncul ke permukaan.
~~~
"Al, bangun ih. Jam istirahat nih", Sasa membangunkanku.
"Hmmmm, duluan deh kalian aku mau siapin tarik uang kas kelas bentar ya"
"Yaudah, kita tunggu di kantin tapi jangan tidur lagi ya. Ngantuk mulu hidup lu", Iza menarik tangan Sasa meninggalkanku.
"Hehe, iya-iya bawel kelian"
Buku kas kelas kukeluarkan dari tas dan mulai menghitung kekurangan dari masing-maaing siswa. Setelah memastikan kumasukkan buku itu di laci meja. Aku menyusul teman-temanku di kantin untuk menghabiskan uang saku .
"Waaa. Lama banget kita udah hampir kelar makan", kata Sasa
"Gakpapalah santuy, masuk kelas belakangan aja mepet jam masuk", saut Lia
"Eh, enak aja kan gua mo narik uang kas mingguan"
"Napa gak lu bawa ke sini dah? Kan ngumpul semua ni di mari", kata Iza
"Ya kali gua ganggu orang makan"
"Wkwkwk iya iya. Sana dah pesen buru", sela Tari.
"Pi, pesenin gua makan dong. Males antri tuh cowok semua"
"Iya bawel. Duduk aja lu di sini", kata Pian si jutek.
Setelah selesai makan siang, aku dan teman-temanku kembali ke kelas. Sudah hampir jam pelajaran di mulai, aku bergegas mulai menagih uang kas.
"Bi, sepuluh ribu"
"Wiiihhh banyak bener. Untung dah gua bawa duit. Noh", sedikit tidak ikhlas Habibi memberikan uangnya kepadaku.
"Hehe ya maap kan minggu kemarin gua kagak sekolah"
Semua siswa sudah membayar tagihan uang kas beserta tunggakannya. Oh ternyata belum
"Adil, uang kas dua puluh ribu ya"
"Skip"
"Dih, udah genap sebulan nih"
"Apaan sih"
"Lu kan banyak duit, pelit amat sama uang kas"
"Bawel lu", Adil pergi tanpa permisi keluar kelas
Sesaat kemudian guru memasuki ruang kelas dan pelajaranpun di mulai.
"Jelek banget muka lu. Ada yang gak mau bayar ya?", tanya Sasa. Teman sebelahku.
"Iya tu biasa, anak Pak Lurah nyebelin banget"
"Sssttt diam ya duo bocil", kata Pian menggerutu.
Beberapa minggu kemudian, setiap penarikan uang kas Adil tetap bersikap sama sampai pada titik angka nominal tunggakannya mencapai empat puluh ribu aku tidak mau bersabar lagi.
"Dil, gua gak sabar lagi sama lu ya. Capek. Lu bayar apa gua aduin ke Pian"
"Tukang ngadu ni bocil", kata Adil yang tiba-tiba berdiri dari kursinya bersiap untuk pergi.
"PIAN, ADIL GAK MAU BAYAR UANG KAS!", teriakku kencang sampai seisi kelas menatap ke arah kami.
"Cie Adil"
"Cieee anaknya Pak Lurah di marahin bocil"
Teman-teman kelas tak berhenti meledek dengan gurauan ringan. Tapi respon Adil tidak disangka-sangka.
"BAC*T LU YA BOCIL"
Seketika seisi ruangan hening dan semuanya kembali duduk di tempat masing-masing. Pian langsung memegang pundakku menahanku untuk duduk di kursiku.
"Weit santai dong bro, kan dia cuma jalanin tugas nagih uang kas. Kalau ada masalah bilangnya ke gua ya ketua jelasnya", kata Pian.
Adil tidak mendengarkan dan langsung pergi meninggalkan kelas. Aku masih terkejut dengan respon Adil yg berlebihan. Tapi lebih tepatnya aku yang merasa bersalah.
"Gua salah ya Pi? Mau berhenti aja deh gua jadi bendahara. Udah gak di gaji, capek ati"
"Payah lu, gegara satu orang gak mau bayar kas lu mau mundur jabatan?"
"Jabatan pala kau. Gak cuma Adil doang tau, yang lainnya juga jadi ikut-ikutan. Nih liat ada yang nunggak 2 minggu ini 3 minggu. Padahal tiap hari mereka jajan, gak ada tu muka-muka miskin duit"
"Duh bocil kalau nerocos ya", kata Pian sembari mengacaukan tatanan rambutku.
"Ish,,, HYA", teriakku tanpa sadar aku lupa kelas telah di mulai.
"Al dan Pian silahkan tutup pintu dari luar"
Keesokan harinya, aku berangkat lebih awal untuk membersihkan kelas karena jadwal piket kebersihan kelas mulai diperketat. Aku kira berngkatku sudah palinga awal, ternyata tidak. Ada Ria dan Adil di kelas terlihat sedang berbicara serius. Aku pun mengurungkan diri untuk masuk ke kelas. Beberapa menit kemudian lorong kelas sudah mulai ramai karena sepeluh menit lagi kelas akan dimulai. Setalah aku tidak lagi mendengar perbincangan di kelas aku mencoba memasuki ruang kelas. Dan ternyata, ah aku menyesal melihatnya.
"Al, lu baru dateng? Gak mau bersihin kelas?", celetuk Risa.
"Perasaan tadi pagi lu bilang udah jalan deh ke gue", Sari mencoba membelaku.
"Aa itu. Ah anu, kelasnya kotor banget kalian JANGAN MASUK DULU YA", kataku sembari mengeraskan suaraku agar Adil dan Ria sadar jam kelas hampir di mulai.
Kemudian aku memasuki kelas dan menutupnya dari dalam. Mengambil sapu dan mulai membersihkan kelas dengan segera. Huufftt hampir saja.
"Terima kasih ya Al, gue bantu beresin meja guru ya", kata Ria. Aku hanya tersenyum kepada Ria sedangkan Adil duduk di bangkunya dengan angkuh. Mencoba bersikap seperti biasa.
~~~~~
"Al gue mau ngomong berdua sama lu bentar boleh?", kata Risa.
"Ah, tentu. Ke kantin aja?"
Risa mengangguk dan memimpin jalan menuju ke kantin, aku mengikuti di belakangnya. Perasaanku sedikit canggung memikirkan apa yang akan dikatakannya. Kenapa di belakangku diikuti oleh Andira dan Ida, padahal dia ingin bicara berdua denganku. 'Apa aku di bully? Ah siapa saja tolong aku', pikirku dalam hati.
"Kalian mau makan apa? Gua traktir yak?.. hm Ibu.."
"Gak usah Al, kita tunggu di luar aja", Andira menggandeng Ida keluar dari kantin.
"Iya mbak Aluna? Mau minum apa makan?", saut ibu penjaga kantin dari dapurnya
"MINUM BU, lu mau apa Ris?"
"Gak deh", jawab Risa
"Minum aja bu, kayak biasanya", kataku sedikit berteriak agar ibu mendengarnya di dapur
"Al, gue mau jujur tentang sesuatu ke elo. Jangan marah ya", Risa sedikit ragu untuk memulai pembicaraan, dia diam beberapa saat hingga minuman pesananku datang.
"Ini Mbak Aluna", ibu kantin meletakkan segelas jus wortel di meja.
"Terima kasih ya bu", aku langsung meminum jusku untuk meredakan kecanggungan dan memulai pembicaraan kembali.
"Hei Ris, kok gak jadi di lanjut ngomongnya"
"Gue suka sama Haris", kata Risa tiba-tiba dengan suara bergetar.
"Lu serius?"
"Iya, Haris deketin gue. Dia bilang dia udah gak suka sama loe. Dia udah gak ada hubungan apa-apa sama loe jadi gue suka sama dia. Gue salah? Kenapa gue harus salah? Gue coba yakinin perasaan dia bener gaknya, tapi dia bilang dia juga suka sama gue. Gue salah Al? Loe pikir gue salah?", Risa mulai mengeluarkan semua hal yang ingin dibicarakannya namun akhirnya dia menangis.
"Udah gakpapa, tenang ya. Pelan-pelan, jangan nangis. Lu gak salah kok", kataku.
"Tapi Haris mantan loe. Pasti loe kecewa sama gue, hiks hiks"
"Yaudah nangis aja gakpapa biar lega. Oh iya, gua udah gak suka kok sama Haris santai aja. Lagian udah lama juga kita udahan dua tiga bulan lalu, wajarlah kalau dia suka sama lu", kataku.
"Gue mau pacaran sama dia", tegas Risa kepadaku.
"Eemm apa hubungannya sama gua ya hehe. Gakpapa Risa, sok atu kalau mau pacaran mah itu hak Risa. Kan gua cuma mantannya doang. Udah ya gua balik ke kelas, gak enak lama-lama kan bukan jam istirahat", kataku. Tanpa menunggu jawaban Risa aku beranjak dari kursiku untuk membayar minumanku yg setengah habis lalu kembali ke kelas.
"Al, lu gakpapa kan?", kata Sasa. Seketika aku langsung memeluk Sasa.
"Sa, gua salah apa sama mereka. Kasihan mama gua, hiks hiks", kataku.
"Udah-udah selesaiin dulu nangisnya baru cerita", kata Sasa.
Aku menangis selegaku sambil memeluk Sasa agar tidak banyak yang mengetahui bahwa aku menangis karena hal sepele. Beberapa menit kemudia saat kondisiku tenang, Sari, Iza, Lestari dan Wulan menghampiri mejaku dan Sasa.
"Heh, lu habis nangis?", kata Iza
"Lu diapain tadi anjir sama mereka? Gua bully mereka ya", sahut Sari
"Udah-udah biar Al cerita dulu", kata Wulan
"Cerita aja mereka belum balik kelas", kata Lestari
"Gua kasihan sama mama gua. Mama masih sering di sms sama Haris nanyain kabar lah, nanyain gua, pokoknya caper banget. Tapi realitanya Haris ngajak Risa pacaran. Kurang ajar banget dah", kataku.
"Wait, wait, wait. Bukannya kemarin pas gua liat ponsel lu Haris ngajak lu balikan yak?", kata Sasa sedikit heran.
"HA, SUMPAH?", Iza teriak karena terkejut.
"Ssstttt, diemlah. Yang lain belajar juga", kata Priska si paling merasa pintar di kelas. Ups
"Terus-terus gimana?"
"Lu gak balikan kan tapi?", tanya Lestari
"Ya gak lah. Ogah, gua sekarang cuma kasihan ke mama gua aja. Tapi mama tau kok kita udahan, mama juga maklumin gua putus sama orang kayak Haris", kataku.
"Yaudah berarti mama lu juga pasti pahamlah posisi kek gini. Udah gak usah dipikirin", kata Wulan.
"Ssssttt, mereka dateng", kata Iza sambil bisik-bisik.
"Bodo amatlah denger, biar jelas kalau jilat ludah sendiri", kata Sari sedikit mengeraskan suara.
~~~
"Woi Aluna", panggil Adil.
"Gua?"
"Siapa lagi Aluna disini? Bego", kata Adil ketus.
"Apaan sih lu manggil-manggil Aluna", kata Iza.
"Udah-udah, gua samperin aja biar gak teriak-teriak", kataku.
Aku menghampiri Adil yang berada di depan pintu kelas. Tiba-tiba Adil menggandengku dan membawaku ke belakang gedung kelas. Aku mengikutinya tanpa perlawanan karena tanganku mulai sedikit sakit oleh gengganman Adil yang cukup kuat.
"Lu liat semuanya kan tadi pagi", kata Adil.
"Apaan sih sakit tau tangan gua pake acara banting-banting tangan orang", kataku sembari memegangi tanganku yang merah akibat genggaman Adil.
"Jawab aja, repot banget sih"
"Iya, kenapa?", kataku.
"Berani lu ya.."
"Apa-apaan sih lu giniin Aluna" kata Pian menahan tangan Adil yang hampir memukulku.