Pandangan Artha tertuju pada kaki langit yang sudah mulai gelap, cahaya bintang dan bulan begitu indahnya menyinari langit malam karena tak ada awan yang menghalangi. Langit malam memang begitu sangat indah, apalagi pantulan cahaya bulan dan bintang menyempurnakan betapa indahnya ciptaan Tuhan.
Mungkin kehidupan manusia pun akan indah jika tidak ada aral melintang yang menghalangi apapun itu, akan sama indahnya seperti langit malam yang tak terhalang oleh awan.
Tak terasa Artha sudah tenggelam ke dasar dunia fana miliknya. Ia seakan membiarkan tubuhnya yang telah hancur sebagian tenggelam semakin dasar lagi dan membiarkan pusaran air masa lalu menyedot tubuh dan kenanganya. Melepaskan memang selalu mudah, tapi mengikhlaskan adalah hal tersulit dari sebuah perpisahan.
Artha masih memegang dengan erat booknote yang ia bawa dari laci lemari yang telah tersimpan rapih. Ia hanya membawa satu booknote dari tujuh booknote yang ia simpan. Booknote itu belum terisi penuh, hanya baru terisi setengahnya. Sayang, booknote itu takkan terisi lagi karena kisah mereka telah selesai.
Berada di rooftop rumah dengan memandang keindahan siluet lampu flyover di malam hari menjadi kebiasaan Artha. Disitulah ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyendiri menatap siluet lampu flyover dan bintang-bintang sambil menulis di booknote kesayangannya. Kali ini Artha tidak menulis, hanya memegang booknotenya dan sesekali membuka lembar demi lembarannya. Tak jarang Artha singgah ke kehidupan masa lalunya untuk mengenang cerita indah di masa itu.
"Kenapa malam ini aku sangat merindukanmu ?" tanya Artha pada diri sendiri dengan mata yang masih tertuju pada kaki langit dan arah pandangan silih bergantian melihat satu per satu bintang.
"Apakah tidak pernah sekalipun dirimu merindukanku ?"
"Aku tau andai dirimu merindukanku tetap saja rindumu padaku tidak akan bisa mengalahkan besarnya rinduku padamu"
"Hey, kumohon sekali lagi saja katakan jika kamu sedang merindukanku."
"Hey langit, hey bulan, hey bintang, bisakah kau sampaikan pesanku ini padanya ?"
"Katakan padanya jika aku sangat merindukannya, katakan padanya jika saat ini aku sedang memikirkannya."
"Aarrgghh" dengan kepala tertunduk dan rasa kesal pada dirinya sendiri.
"Kenapa sulit sekali melupakanmu !"
"Kamu bilang Semoga aku cepat mendapat pengganti katamu ? Mudah saja itu dikatakan dari mulut orang yang tak mempunyai cinta yang sebesar aku punya." tanya Artha pada kaki langit dengan senyum sinis dan suara yang mulai merintih.
"Kenapa kamu masih memikirkannya, bung?"
Nalarnya yang tengil itu mencoba menemani Artha dalam kesepiannya.
Entah lah, rasa memang tak kasat mata.
Apa kamu masih mengharapkannya ?
Ya ampun, enggak lah.
Terus kenapa kamu mengenang cerita di masa lalu ?
Emang masa lalu harus dilupakan yah ?
Tidak harus dilupakan, tapi juga tidak harus selalu dibayangkan.
Yaelah bahasa lo formal banget, nyet.
Anda tuan saya bung, saya harus menghibur anda.
Ah lo ga berpengalaman buat menghibur.
Lebih baik berusaha untuk menghibur kan, dari pada berusaha untuk kabur dan mengubur kenangan tapi akhirnya mengubur diri dengan kenangan indah di masa itu.
Artha terdiam sejenak. Mencari nalurinya yang tenggelam semakin dalam ke dasar dunia Fana ciptaannya.
Sudahlah, bung. Tak usah galau seperti itu.
Gue gak galau kok, biasa aja.
Gak galau tapi kok pergi ke kenangan masa lalu.
Gue gak galau ya, naluri gue tuh yang galau, gue cuman bersimpati aja kali.
Haha, bersimpati ? Kalo lo sekedar bersimpati sama naluri lo, kenapa lo ngajak nalar lo buat flash back ke masa lalu?
Artha kembali terdiam. Kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan dari nalarnya yang tengil itu. Untuk yang kesekian kalinya ia kembali kalah dalam sebuah perdebatan dengan nalarnya. Terkadang jika jatuh hati harus menggunakan logika, agar tidak gila dengan namanya cinta ketika ditinggalkan. Jika jatuh hati terlalu menggunakan naluri kita hanya akan tenggelam dalam kekecewaan ketika ditinggalkan dan akan hidup dalam sebuah pengharapan.
Artha harus mulai membiasakan diri untuk kembali sendiri, hari ini data internet pun ia matikan. Rasanya malas sekali berhubungan dengan dunia luar sana, karena Artha sadar jika data internet ia aktifkan rasanya gatal sekali jarinya ingin menanyakan kabar tentangnya.
Artha sengaja tidak memberi kabar. Artha tidak tahu apakah ia mencarinya, atau mengirim chat padanya. Artha juga tidak tahu apakah ia khawatir kepadanya.
"Apa kabar ?"
"Lagi apa ?"
"Udah makan ?"
"Gimana kerja hari ini ?"
Itulah kalimat yang selalu Artha tanyakan padanya.
''Rasanya aneh sekali sehari saja aku tidak menghubungimu aku begitu khawatir, lebih tepatnya sangat khawatir" ucap Artha di dalam hati.
"Apa dia juga merasakan rasa yang sama denganku ? Rasa khawatir karena aku tidak memberi kabar padanya." tanya Artha di dalam hati dengan sesekali memejamkan mata.
"Kenapa begitu cepat kita harus melalui ini ? Tidak bisakah sebentar saja kamu memberi waktu tambahan untukku, ingin kubuktikan semuanya jika aku benar-benar sedang berjuang"
"Aku rindu. Rindu sekali"
"Mungkinkah semuanya sudah berakhir ? Tidak bisakah untuk kita perbaiki ? Apa yang harus aku lakukan ?"
Jam pada ponsel sudah menunjukan pukul 22.35, Artha membuka aplikasi whatsapp dan membaca satu persatu chat darinya. Artha tersenyum sendiri membaca chat-nya dengan dia, betapa rindunya Artha padanya.
Aku rindu kamu panggil sayang, aku rindu kamu chat aku pada jam makan siang dan bertanya apa aku sudah makan ?, aku rindu kamu mengirim fotomu sendiri tanpa aku minta, aku rindu menjadi prioritasmu, aku rindu kamu menahanku untuk pulang lebih dulu karena kamu ingin bertemu, aku rindu kamu yang dulu, aku rindu semuanya tentangmu.
Artha mulai mengalihkan pandangannya dari layar ponsel dan bergegas berdiri meninggalkan kaki langit yang masih begitu sempurna indahnya.
Artha mulai turun menuruni anak tangga hingga akhirnya dia tiba di dalam kamar dan membaringkan tubuhnya di atas kasur, menghirup udara dalam dalam dan mengeluarkannya perlahan. Ia memejamkan mata.
Sesekali masih terlihat wajahmu dengan jelas di dalam pikiranku, entah itu senyummu, entah itu tawamu, entah itu suaramu.
Apakah kamu memang menginginkan ini terjadi ? Atau kamu hanya ingin menjahiliku saja. Sudah dua kali kamu menjahiliku seperti ini.
Pertama kamu menjahiliku karena aku tidak membalas kata sayangmu dan yang kedua kamu menjahiliku karena april mop. Kali ini kamu pasti serius, aku tahu saat ini kamu tidak sedang bercanda.
Artha mulai menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.
"Huh,"
"Sudah saatnya aku harus belajar melupakanmu, tapi perlahan, beri aku waktu. Besok akan kucoba lagi untuk tidak memikirkanmu."