Karena udah hampir bel masuk, aku buru-buru aja lari ke kelas. Tapi, pas hampir nyampe Alexa udah berdiri di depan kelas. Dia keliatan banget lagi resah.
Alexa langsung nyamperin aku dan keliatan kayak marah gitu.
"Vrin, lo ke mana aja, sih? Jam segini baru nyampe," sambarnya sambil narik tanganku. Kita berdua berhenti di samping pintu kelas.
"Sorry, bukuku ketinggalan tadi."
"Duuuh!"
"Ada apaan, Lex?" tanyaku.
"Dennis kecelakaan."
"Ha? Kapan? Di mana?"
Giliran aku yang panik. Di mana Dennis kecelakaan? Kok bisa?
"Tadi aku denger kabar dari temen dia. Nanti pulang sekolah kita jenguk ya."
"Emh, tapi,--"
"Kamu inget nggak? Dia cowok yang menyambut kita di sekolah ini untuk pertama kalinya," peringat Alexa sambil berlalu meninggalkan aku sendiri karena baru aja bel masuk bunyi.
"--tapi kita nggak tahu dia dirawat di mana."
Percuma, pasti Alexa nggak denger aku ngomong apa. Jujur, aku juga khawatir sama keadaan Dennis, meskipun baru-baru aja kenal, tapi apa yang dibilang sohibku bener. Dia cowok ramah yang menyapa kami untuk pertama kalinya.
Bikin kita merasa lebih baik setelah sebelumnya seolah tersesat. Iya, Dennis itu kawan yang baik. Aku setuju.
Tapi masalahnya, duitku tinggal separuh? Itu pun, nanti buat beli minum sama bayar angkot. Nggak ngerti deh, harus gimana.
Urusan Ben, kayaknya bakalan aku tunda aja deh, nyeritainnya ke Alexa. Di saat kayak gini dia pasti datar aja nanggepinnya. Nggak bakal bisa dia sama excited-nya sama aku, padahal itu yang aku harapkan!
Waktu istirahat, aku tinggal di kelas karena uang yang tersisa mungkin nanti, bakal buat patungan. Atau bisa aja kan, ke rumah Dennis naik angkutan.
Jadi, saat Alexa ngajak ke kantin, aku pura-pura aja lagi nggak pengen makan atau minum. Padahal aslinya sih, pengen minum es gitu. Dingin, seger, manis, aaaahh!
"Permisi."
Seseorang ngetuk pintu saat aku sendirian aja di kelas. Ya ampun, itu kan?
"Boleh aku masuk?"
"Mh, bo-boleh."
Ya Tuhan, selamatkanlah jantungku. Cowok itu berjalan, mendekat. Memang dia mau ngapain, mau ketemu siapa selain aku?
"Aku duduk sini, ya."
Dia duduk di sebelahku, tempat duduknya Alexa. Terus naruh dua susu kotak di hadapanku.
"Minum, deh."
Lalu, dia membuka satu bungkus snack kentang yang gede, dengan santai.
"Makasih."
"Aku khawatir sama kamu."
"Excuse me?"
"Hah, tadi pagi kamu bilang duit kamu jatuh, kan? Itu alasan kamu tinggal di kelas? Duitnya nggak ketemu?"
"Eh, itu ...."
"Ya udah minum gih."
Dia memasangkan sedotan di masing-masing kotak dan menyerahkan salah satunya ke gue. Susu kotak rasa cokelat untuk dia sendiri, dan rasa strawberry buatku.
"Kamu, suka rasa itu?"
Aku cuma ngangguk. Gimana nggak suka? Gratis.
"Bagus, deh."
"Makasih, Ben."
"Hu'um."
Ben ngambil beberapa lembar keripik kentangnya, dan langsung dimasukin semua ke dalam mulut.
"Eh, ini bangku temen kamu, siapa tadi namanya?"
"Alexa."
"Ya. Lucu ya, namanya. Jadi ngingetin aku sama musuhnya Clark Kent."
"Nah, itu kan Lex Luthor!" protesku nggak terima.
"Emang siapa panggilannya si Alexa itu?"
"Ya, ya, Lex, sih."
"Oke, deh. Aku cabut dulu. Jaga diri baik-baik, ya."
Gilak, cowok itu pergi setelah megang ubun-ubun gue. Kayak ke siapanya? Bikin jantungku mau meledak.
"Keripiknya," teriakku mencoba mencegah kepergiannya.
"Kamu aja deh, abisin."
Ya ampun, hari ini bener-bener gila. Apakah ini cuma mimpi? Apakah semua ini cuma hayalan aku? Saat aku mulai tenggelam sama sejuta pertanyaan, tiba-tiba Ben, yang udah sampai pintu balik badan.
"Masalah poni, boleh dipertimbangkan, loh."
Sukses bikin mukaku panas, dan hatiku ketar-ketir, ge-er setengah mampus, cowok itu berlalu gitu aja. Saat ini perasaanku udah porak poranda gara-gara dia.
Bedanya kekacauan ini, adalah kekacauan yang indah banget. Seperhatian itu, dia sama aku. Padahal kenal aja baru. Apakah mungkin Ben jatuh cinta sama aku?
Atau, aku yang udah terlalu ge-er. Tapi siapa yang nggak bakalan ge-er kalau dapat perhatian kayak gini.
Ben ....
Aku menatap keripik kentang di hadapan. Itu keripik kentang yang Ben bawa.
"Apa liat-liat? Mau ngetawain aku, ya?"
Tapi, Lays diem aja. Dia nggak peduli. Justru aku yang jadi super peduli. Makan, enggak, makan, enggak, aku ragu. Soalnya sayang, itu kan, bisa jadi kenangan-kenangan dari Ben. Bisa aja salah satu keripik, tadi ada yang tersentuh dia.
Ubun-ubunku juga. Sampai kapan, aku akan bertahan nggak cuci rambut demi mempertahankan sentuhan Ben?
Apakah terlalu cepat jika aku, menganggap kalau aku bakalan jatuh cinta sama Ben. Rasanya enggak sih, kan, di dunia ini juga ada istilah, love at first sight. Mungkin itu yang lagi terjadi sama aku dan Ben. Haha, walaupun awalnya aku yang caper.
Tiba-tiba, perutku bunyi. Tandanya aku emang laper dan mau nggak mau, kenang-kenangan dari Ben aku makan juga. Lagian, besok atau besoknya lagi, pasti bakalan ada kenangan lain. Sementara, aku harus puas dengan kenangan di kepalaku.
Sejak kapan, keripik ini jadi enak banget. Beneran enak banget, dibanding terakhir aku makan semingguan lalu. Pasti gara-gara ada keajaiban dari Ben.
Gue lagi nulis daftar kelebihan Ben:
1. Ganteng.
2. Baik.
3. Perhatian
4. Ram-
"Belajar mulu," komentar Alexa saat masuk kelas. Aku buru-buru aja nutup bukuku.
"Eh, kamu udah balik."
"Udah bel masuk. Kamu nggak denger?"
"Iya, aku denger, kok."
Gimana aku bisa denger, kalau setiap saat otakku mendengungkan nama Ben, mengulang kembali suara deru mesin mobilnya, kata-kata yang terucap dari bibirnya ....
"Woy, malah ngelamun!"
"Eh, iya."
"Nanti jadi kan, ikut ke Dennis. Aku udah dapet info nanti beberapa temen kelas mau ikut juga. Katanya, dia sekarang dirawat di rumah."
"Oh gitu."
"Nanti kamu bonceng Fiki aja."
"Emang Fiki mau?"
"Pasti mau, lah."
Apa aku perlu ijin ke Ben? Kayaknya nggak perlu. Cuma gue takut kalau dia mikir gue gampangan dan gimana kalau dia malah nggak suka sama aku.
"Oke."
Pada akhirnya saat pulang sekolah, kita berangkat ke rumah Dennis. Waktu aku bonceng motornya Fiki, aku tengak-tengok takut ketahuan Ben.
Duh, kok gini amat ya? Rasanya deg-degan. Takut ketahuan gitu padahal Ben bukan apa-apaku, setidaknya belum.
Mobil dia masih ada di parkiran, tapi di mana my Ben? I want to say sorry.
Hufff, akhirnya kita berangkat juga. Meskipun sampe luar gerbang gak keliatan batang idungnya si Ben itu. Padahal kalau ada, aku pengen negor dia semacam minta izin gitu.