Aku menjatuhkan kepalaku di meja. Menatap hampa layar komputer. Pekerjaanku masih menumpuk. Kayaknya, nggak berkurang meski sudah ada beberapa yang kuselesaikan.
Sudah seminggu sejak terakhir bertemu Mark di sini. Rasanya kangen. Mark juga tidak sering mengirimiku pesan.
Kadang, aku jenuh. Bukan jenuh karena perasaan kami, justru aku semakin dalam mencintainya. Hanya saja, profesinya itu membuat gerak kami tidak bebas.
Dia bukan hanya milikku, dia milik jutaan wanita di luaran sana.
Jika bukan seorang idol, mungkin kami bisa menikmati waktu berdua selayaknya pasangan yang lain. Dia yang super sibuk, kadang membuatku kesepian. Namun, aku tidak bisa berpaling darinya. Memikirkannya saja tak pernah.
Aku mengetik sesuatu di ponselku. Terserah mau langsung dibalas atau nggak.
Ivanka : Hey, I miss u so bad. Aku pengin ketemu T_T
Aku meletakkan ponselku. Kembali fokus ke layar yang menunjukkan grafik rekaman hari ini. Mendengarkan sekali lagi lagu yang sudah hampir selesai kugarap.
"Oh, part ini kayaknya bakal cocok kalau di kasih efek ini sedikit." Aku bergumam sendiri. Kembali mengotak-atik rekaman tersebut.
Satu pesan masuk ke ponselku. Melirik sekilas dan langsung tersenyum begitu pesan itu datang dari Mark
Subak-nim 🍉 : I do, Anya. I wanna hug u, feel u rn.
Ivanka : Eyy~ are u getting bold just a week?
Subak-nim 🍉 : Coba tengok ke belakang.
Aku mengerutkan kening. Maksudnya ke belakang? Nggak mungkin, kan?
Aku memutar kursiku 180° dan mataku membulat melihat siapa yang kini ada di daun pintu.
"Kaget?" Mark tersenyum, dengan perlahan menghampiriku yang masih membeku, menarikku untuk berdiri dan memelukku.
Hangat, rasanya hangat dan nyaman. Aku membalas pelukannya. Rasa jenuh yang tadi kurasakan menguar tanpa bekas. Ternyata memang aku hanya butuh Mark ada di sekitarku. Begini saja sudah sangat membahagiakan.
Seperti biasa, Mark akan mencium pucuk kepalaku setiap kami bertemu. Dan itu manis menurutku.
"Kok bisa? Kan kamu lagi ...." Aku menatapnya yang kini tersenyum. "Mark!" Aku langsung memukul lengannya.
"Aww! Kok dipukul? Salahku apa, Anya?"
"Kamu dari bandara langsung ke sini, kan?"
"Iyalah, emangnya ke mana lagi?"
"Pulang Mark Lee, pulang, bukannya malah ke sini," ucapku gemas. Benar-benar ini orang. Nggak ada kata capek, ya?
"Pulang kemana lagi?" jawab Mark dengan tampang bingung.
Oh My God! So cute. Pengin cubit pipinya.
Aku bersedekap tangan, "Rumahmu di mana, Mark? Lupa sama dorm sendiri?"
Kali ini Mark tersenyum, "Kan kamu tempatku pulang, Anya."
Sialan! Mau marah nggak jadi, kan.
Aku membuang muka, sadar karena tidak bisa lagi membantah kata-katanya. Mark terkekeh, menarikku ke dalam dekapannya lagi.
"Laper, nih, pulang, yuk," bisik Mark dengan suaranya yang dalam.
Ya Tuhan, rasanya badan udah kayak mozarella. Meleleh.
🍉🍉🍉
Mark payah soal urusan dapur itu bukan rahasia lagi. Pokoknya, jangan biarin Mark masak kalau masih sayang sama perabotan dapur. Pernah sekali Mark coba masak dan dapurku nyaris kebakaran gara-gara dia nggak kontrol air rebusan. Panciku bolong, padahal baru kubeli dua hari sebelumnya.
Mark cuma tahu cara menggunakan toaster. Sekalinya pegang pisau cuma untuk mengoleskan selai ke rotinya. Mark mungkin berbakat urusan rap, dance, dan semacamnya, tapi nol besar untuk urusan dapur.
"Pasta siap." Aku menghidangkan paata fetucini sebagai makan malam. Sebelum ke apartemen, aku sempat mampir membeli bahan untuk membuat pasta.
"Hmm... smells good. Aku selalu bayangin ini kalau lagi sendiri."
Aku menatapnya penuh minat. "Bayangin apa?"
"Aku kerja, perform dari panggung ke panggung, terus sampai rumah bisa nikmatin makanan enak yang kamu masak. Makin sempurna lagi kalau ada Little Lee nanti."
Aku tersenyum mendengarnya. Angan-angan yang manis, kan? Suami kerja, istri masak, lalu ada anak-anak yang main kejar-kejaran di sekitar rumah.
"Anya," panggilnya. Raut wajah Mark berubah serius. Aku menelan saliva susah payah.
"Aku nggak bisa janjiin apa-apa, tapi untuk saat ini, kamu tahu banget kalau aku kelewat sayang sama kamu. Cukup itu aja yang kamu tahu."
Aku menggenggam kedua tangannya. Tersenyum seakan berkata bahwa aku mengerti maksudnya.
"Aku juga sama, nggak bisa janjiin apa-apa. Jujur, ada kalanya aku jenuh, tapi begitu ada kamu, semua itu lenyap. Aku ... aku cuma butuh kamu ada di sekitarku."
"Let it flow, Anya. Aku akan jaga hati aku. Manusia bisa berencana, tapi tetap Tuhan yang menentukan garisnya. Kita berusaha dulu." Mark menatapku dengan hangat. Aku tidak bisa untuk tidak jatuh cinta pada pria yang tahun depan sudah berumur dua puluh tahun.
Aku tahu Mark sudah sangat banyak berkorban untuk hubungan kami. Di saat waktu luang yang seharusnya dia pakai untuk istirahat, Mark malah menemuiku. Dia selalu berwajah ceria, tapi aku tahu bahwa dia lelah. Dia menyembunyikannya dengan sangat baik.
Aku ingat sering menangis tengah malam karena merindukannya atau saat Mark benar-benar menghilang tanpa kabar saking sibuknya. Beberapa kali aku meminta putus, tapi Mark selalu bisa menahanku.
Benar kata Ten oppa, kadar bucin Mark itu sudah di level Zeus.
Seiring waktu, aku mulai terbiasa dengan hubungan yang seperti ini. Meski tidak benar-benar bisa terbiasa, tapi setidaknya sudah tidak separah dulu.
Dua jam kemudian, Mark pamit pulang. Apartemenku yang semula hangat karena canda tawanya kini mendadak hening lagi. Aku menghela napas sesampainya di kamar.
Risiko punya pacar seorang publik figur ya gini. Harus rela ditinggal tanpa kabar atau hanya bisa makan berdua di rumah. Tidak bisa kencan dengan bebas.
To be continued...