"Mark ada di dalam. Langsung masuk aja. Tadi anaknya masih tidur." Taeyeong mengangguk dan tak lupa mengucapkan terima kasih karena sudah menjaga Mark.
"Kamu udah mau berangkat? Nggak mau bareng kita aja?"
"Nggak usah, aku ada kelas pagi hari ini. Oh iya, aku udah buatin sarapan buat kalian, tolong dimakan dulu, ya? Jangan dibiasain nggak sarapan."
Taeyeong tersenyum kecil. "Pantesan berat badan Mark makin naik aja, dikasih makanan mulu."
"Biarin dia gembul kayak Shindong oppa, kan lucu."
"Sijeuni juga nggak akan protes. Seenggaknya anak itu nggak akan kehilangan kebucinan seorang Ivanka."
Wajahku langsung memerah mendengarnya. Demi mengalihkan topik, aku langsung menyuruh Taeyeong masuk.
Selain Taeyeong, ada Yuta, Haechan, dan Johnny yang ikut menjemput Mark.
"Kalian aku tinggal nggak masalah, kan?"
"Sepagi ini? Mau ke mana?"
"Kuliah, ada kelas pagi sampai siang. Jangan lupa sarapan dulu. Tinggal ambil di dapur. Bye."
Aku berpamitan. Ini bukan kali pertama aku menyerahkan apartemenku pada mereka. Toh, nanti alan dikunci lagi oleh Mark—karena cuma dia yang tahu password apartemenku.
Jam tujuh pagi, aku sudah harus ke kampus, dan jam makan siang nanti persiapan untuk diskusi lirik dengan Ten dan memastikan musik yang aku garap kemarin berfungsi dan siap didemokan.
Aku tidak mendapat posisi sebagai salah satu orang yang bekerja di dapur rekaman secara cuma-cuma. Awalnya, aku hanya seorang staff pembantu saja di ruang rekaman yang mengatur alur recording atau ketika ada kesalahan mixing, lalu atasanku sadar dengan kemampuan dan instingku dalam musik, lalu mengajukan namaku ke agensi. Aku sempat dites ini itu, dan akhirnya bisa bekerja langsung di studio didampingi beberapa mentor sebagai pengawas. Kontrak eksklusifku dengan SM nanti, setelah lulus kuliah.
🍉🍉🍉
"Hai," sapa Ten begitu melihatku sudah stand by di studio.
Aku memutar kursi, kemudian tersenyum ke arahnya. Penghangat ruangan sudah kunyalakan sejak tadi, sehingga Ten tidak perlu menggunakan mantel tebalnya lagi.
"Jalanan lancar?"
"Lumayan sepi. Cuma ada gumpalan salju yang agak mengganggu. Dari jam berapa di sini?" Ten menerima minuman hangat yang kusiapkan. "Thanks for coffee."
"Dari jam dua belas, lepas kuliah langsung ke sini."
"Rajin banget. Ada kuliah hari ini? Jam berapa?" cibirnya. Aku tertawa.
"Jam tujuh pagi. Aku kabur duluan. Mark tidur di tempatku semalam, anak-anak 127 squad langsung jemput."
"Dia pasti kangen banget. Dasar bucin—no, kalian yang bucin, meskipun Mark yang lebih parah."
Kami berdua tertawa, atau lebih tepatnya hanya Ten yang tertawa puas. Aku hanya meringis membenarkan. Mark memang sebucin itu. Meski nggak rutin berkirim pesan, Mark lebih suka bertemu langsung atau video call. Dia juga super protektif. Namun, dia orang yang paling sabar dan lembut.
"Coba dibaca dulu, baru selesai semalam. Begadang, nih, demi kalian. Aku sampai nyuekin Mark."
Ten menerima partitur lirik. Membacanya dengan raut serius sambil sesekali mengerutkan kening atau mengangguk. Beginilah anak-anak SM terutama NCT, meski di luar kelihatan tidak bisa diatur, bar-bar, berisik, minim akhlak, tapi jika sudah urusan kerjaan, mereka bisa sangat serius.
Ten tampak menggaris bawahi beberapa part.
"Bagian ini rap, kan? Gimana kalau liriknya diubah jadi ini." Aku mendekat ke arahnya. Ten menulis lirik baru di atas tulisanku.
Aku menekan beberapa nada di keyboard, "Gimana kalau nada yang ini diubah. Coba dengerin ini."
Aku memainkan bait lagu tersebut dengan keyboard. Ten tampak berpikir sejenak.
"Masih bisa diubah? Kan aransemennya udah jadi."
Aku tersenyum miring, membuka folder lain, dan memainkan aransemen cadangan yang sengaja kubuat. "Aku buat dua versi. Iseng aja buat jaga-jaga."
Ten sempat menatapku tak percaya. Dia mendengarkan hasil aransemenku dan bertepuk tangan.
"Anak rajin emang. Pantesan SM berani nerima kamu sejak masih mahasiswa semester akhir. Habis magang langsung direkrut. Ini otak isinya apa, sih?"
Ten mendorong keningku pelan. Aku hanya bisa menyebik sebal. Kadang Ten emang sekurang asem itu.
"Don't touch her."
Aku dan Ten menoleh ke sumber suara. Melihat Mark di ujung pintu dengan dua minuman di tangannya. Senyumku mengembang.
"Mark."
Ten mendengus, kembali memainkan kepalaku, bermaksud mengejek Mark.
"Nih, toyor lagi. Posesif bener bocah ini."
"Aww—Mark," aduku saat Ten mencubit pipi.
"Heh! Pacarku itu. Orang, bukan boneka. Jangan main toyor. Kalau kepalanya lepas gimana?" Mark melotot, menggeser Ten untuk menjauh dariku dan mengelus aingkat bekas cubitan Ten.
"Ganti aja pakai kepala boneka salju."
Idol asal Thailand itu kemudian tertawa. Paling suka membuat Mark kelimpungan dengan cara menyiksaku.
"Mulutnya kok bisa cantik banget, sih?" cibirku. Pandanganku beralih ke Mark. "Bawa apa?" tanyaku.
"Susu hangat buat kalian." Mark memberi minuman tersebut. Aku menyesapnya perlahan.
"Ngapain ke sini? Bukannya kalian lagi syuting di depan?" tanya Ten. Pria itu kembali duduk di tempatnya, sedangkan Mark memilih berdiri di sebelahku.
"Lagi break, mampir sebentar bawain kalian minuman." Mark mengelus kepalaku. Ten bergumam terima kasih dan menikmati minumannya.
Mark memang baik, perhatian pada siapa saja. Dia bahkan sangat disayang oleh semua staff SM. Pemegang gelar trainee yang paling pekerja keras selama tiga tahun berturut-turut.
"Masih syuting dari pagi?" tanyaku. Mark mengangguk sambil tersenyum tipis.
"Gimana perkembangannya?" tanya Mark pada Ten.
Sebentar lagi WayV comeback mini album pertama. Dan aku dipercaya menggarap dua lagu mereka. Satu lagunya ditulis langsung oleh Ten dan aku.
"Masih diskusi here and there. Pacarmu labil banget." Ten mengeluh, yang tentunya cuma bercanda.
Aku meringis, "Nggak bakal aku acak-acak juga aransemen aslinya. Cuma lagi dapet ide aja semalem."
"Gara-gara Mark nginep, tuh."
Mark kemudian menatapku, "Kamu begadang lagi? Katanya kemarin aransemennya udah final."
"Mendadak pengin coba yang lain aja. No problem. Kamu nggak bisa lama kan, di sini?"
"Astaga, aku lupa. Aku balik ke depan dulu, ya." Mark tampak seperti cacing kepanasan.
Aku mengibaskan tanganku, mengusirnya, "Hush, hush."
"Kabarin kalau udah selesai." Tanpa menunggu jawabanku, Mark langsung menutup pintu.
Aku dan Ten berpandangan sejenak, lalu sama-sama mengendikkan bahu. Kami melanjutkan diskusi yang sempat tertunda.
To be continued...