"Aku melakukannya, karena aku mengasihimu," bagai ritual pengantar tidur, setiap tengah malam, kamu membisikkan kata-kata yang sama padaku. Harusnya kata-kata itu mampu membuatku bahagia, tetapi sebaliknya, aku merasa begitu terluka. Seolah ada pedang-pedang tak kasat mata yang menghujamku setiap kamu mengatakannya.
Aku menatap matamu lekat, dengan mata penuh tanda tanya dan sedikit basah. Benakku yang sederhana memberontak dan terus bertanya-tanya, sebenarnya bagaimana seseorang menunjukkan kasih kepada orang lain? Bagaimana seharusnya orang yang penuh kasih tersenyum? Apakah senyumnya akan setipis kertas, menggembungkan pipi seperti dua buah balon berwarna merah? atau senyumnya akan mendorong kuat mata, sehingga membentuk setengah lingkaran sempurna?
Saat pertanyaan-pertanyaan itu berkeriapan dalam benakku, lagi, aku mendapatkan jawaban ambigu dari wajahmu. Kamu tersenyum, tetapi entah mengapa senyummu terasa begitu janggal dan bertolak belakang dengan definisi kasih. Usai tersenyum, kamu melangkah mundur, mendekati pintu, meninggalkanku sendirian. Lagi.
Aku melorotkan bahuku yang bersandar pada dinding beton. Perlahan, aku menggoyangkan pergelangan tanganku dan kupandangi borgol yang membelenggunya dengan nanar. Kembali, rasa sakit di balik dada kiriku terasa nyeri dan sakit, seolah terasa begitu sepi, kosong, hampa, dan kesepian. Tanpa sadar sebuah senyum ironi muncul dari bibirku, saat teringat perbuatanmu. Tiap malam, kamu berbisik padaku bahwa kamu mencintaiku, dan setiap malam pula kamu mengasingkanku di ruang bawah tanah.
Jika memang yang kamu lakukan ialah kasih, maka bagaimana seharusnya aku bersikap? Bukannya orang yang dipenuhi kasih seharusnya bahagia? Mendadak aku mengalami krisis kepercayaan diri saat berusaha mencari kebenaran dari satu kata sederhana. kata itu ialah kasih.
***
"Tangan kananmu, selalu di perban," untuk pertama kalinya Sahabat berkomentar, nampak peduli pada perban yang nyaris satu tahun telah membebat tanganku. Usianya nyaris sama seperti usia pernikahanku. Aku memandangi perbanku dengan begitu lama, saat rasa sakit hendak terasa di balik dada kiriku, buru-buru aku menepis perasaanku dan tersenyum lembut.
"Iya, ini adalah lambang cinta," jawabku. Sahabat memandangiku dengan heran, bibirnya sudah terbuka seolah hendak menimpali, tetapi seolah teringat sesuatu, ia buru-buru menutupnya dan berjalan mendahuluiku. Aku tersenyum miring, memang seharusnya seperti ini hubunganku dengan Sahabat. Berjarak, jauh, dan asing.
Ah, entah mengapa, saat melihat orang-orang yang berjalan melewatiku sambil menatap iri, kasak-kusuk sibuk berbisik, aku jadi teringat cap label yang diberikan orang-orang padaku. Seorang putri yang seumur hidupnya tinggal di kastil megah, menikahi seorang pangeran yang tampan dan kaya-raya, memiliki orang tua yang sangat peduli dan harmonis, jangan lupa persahabatan awet yang sangat hangat. Ya, mereka selalu berkata bahwa aku hidup ditenggelamkan suka cita, tawa, dan kasih. Maka, mereka menuntutku untuk terus mensyukuri hidupku.
Andai mereka tahu bahwa yang kurasakan hanyalah kosong dan hampa. Orang tuaku yang mereka anggap harmonis, ialah orang tua dingin yang hanya mengatur-atur apa yang boleh kuperbuat, apa yang boleh aku makan, siapa yang boleh bersahabat denganku. Semua kehidupan indah yang orang-orang tuntut untuk aku tanggapi dengan penuh rasa syukur hanyalah bunga indah dari kekangan yang merantaiku. Sampai sekarang, aku tidak dapat berhenti bertanya-tanya, apa iya aku adalah orang yang kurang bersyukur?
Setidaknya, diantara semua pilihan yang orang tuaku paksakan, aku berhasil menikahimu berdasarkan kemauanku. Memilihmu menjadi suamiku berdasarkan keinginanku sendiri. Untuk pertama kalinya.
"Greet" lamunanku menjadi buyar saat kursi kayu berderit saat ditarik oleh Sahabat. Ia membiarkanku duduk di bangku yang ia tarik, kemudian berjalan memutar, dan duduk di hadapanku. Mata kami sempat bertemu beberapa detik, sebelum akhirnya Sahabat memilih untuk memutuskan kontak dan buru-buru menatap buku menu di hadapannya. Tanpa minat, aku mengikuti gerakkanya.
Dari sudut mataku yang menghadap jalan, aku dapat melihat orang berjalan berkerumun sambil tertawa lepas tanpa beban. Hanya dengan melihatnya, perasaan hangat mampu memenuhi rongga dadaku. Aku merasakan sebuah kehangatan asing yang seolah tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Tanpa sadar, air mataku menitik. Apakah ini tangis karena bahagia?
Aku menoleh ke Sahabat, saat tangan kananku digoncangnya. Matanya dengan tajam menghujam manik mataku, seolah tengah mempringatiku. Bibirnya bergerak lamat-lamat, sementara suaranya mendesis, "Jangan menangis!". Mendengarnya aku terperangah, kuedarkan pandanganku ke sekitar, dan kudapati mereka tengah menatapku dengan sibuk berkasak-kusuk. Sesak, aku memilih menelan bulat-bulat tangisku dan kembali memandangi buku menu.
Seolah memberontak, untuk pertama kalinya tanganku bergetar, begitu pula mataku mulai membasah. Buru-buru aku berdiri dan berjalan keluar resotran. Sayup-sayup aku mendengar Sahabat berteriak, memanggil namaku. Bukannya berhenti melangkah, aku malah memutuskan untuk berlari, tapi kali ini aku tidak berpaling. Saat merasakan tiupan udara bergesekan menerbangkan rambutku, untuk pertama kalinya aku merasa seolah aku telah bebas.
***
Maafkan aku, aku memilih membenamkan diriku pada talenan dan pisau dapur ketimbang menyambutmu pulang kerja seperti yang sudah-sudah. Untuk pertama kalinya aku melakukan kegiatan ini, orang-orang di dapur memandangi caraku memegang pisau dengan ngeri. Namun aku tidak peduli.
"Siana?" sayup-sayup aku mendengarmu memanggil namaku. Terbayang olehku, kamu tengah menyusuri lorong dengan wajah keheranan. Kamu heran karena untuk pertama kalinya aku tidak menyambutmu dengan senyum dan merebut tasmu dengan tawa.
"Halo!" sapaku begitu melihatmu berdiri di depan pintu dapur. Masih dalam balutan pakaian kantor kamu menatapku penuh selidik. Aku tersenyum dan mendorong potongan wortel menuju baskom.
"Ada apa?" tanyamu seolah sudah dapat menebak ada yang salah dariku. Aku menatap matamu lekat, dan perlahan air mata menitik di wajahku. Kenapa, seluruh tekad yang kukumpulkan untuk tetap terlihat tegar, menjadi begitu rapuh hanya karena dua kata dari bibirmu?
Nanar, kupandangi kamu, suamiku. Mengapa diantara segala yang ada dalam hidupku, hanya ada satu kesempatan bagiku untuk memilih dengan bebas, dan pilihan itu jatuh kepadamu? Mengapa walau aku bebas memilih, aku merasa sama seperti sebelumnya. Terbelenggu dan hampa. Sebenarnya, selama kita menjalani hidup bersama, bagaimana kamu memandangi relasi kita? Apa kamu sungguh-sungguh yakin bahwa yang kamu perbuat padaku adalah kasih?
"Sayang, menurutmu, apa itu cinta? apa itu kasih?" dengan suara mengawang, aku menatap matamu lekat. senggurat luka yang nyeri membuatku begitu patah hati. Ya, aku memang selemah itu dan sebodoh itu, aku merasa tidak paham apapun mengenai kasih yang disebut-sebut oleh orang, juga olehmu.
"Siana....," kamu dengan resah mengusap wajah, ada guratan khawatir dan cemas di sana yang tidak mampu kamu tutupi dengan erat, "ayo kita turun,".
Ajakanmu membuat pisau di tanganku meluncur bebas, nyaris mengenai kakiku, terpental di lantai dan masuk ke kolong meja. Orang-orang di sekitarku berteriak menahan napas lantaran terkejut dan takut, sementara aku hanya memandangimu dengan lara. Jawabanmu, ternyata tidak akan pernah berubah, sampai kapanpun. Jangan-jangan, aku yang salah mengeja apa itu kasih.
"Tentu, aku tidak sabar," buru-buru aku melepas serbet dari pinggul, berjalan ke arahmu, tersenyum manis, dan mendahuluimu berjalan menuju ruang bawah tanah. Aku dapat merasakan kegugupan dan kekawatiranmu. Namun aku tetap berjalan, tidak peduli.
Pertama kalinya, selama nyaris satu tahun aku menikahimu, aku membuka pintu ruang bawah tanah lebih dahulu, masuk kedalamnya, dan dengan tanganku sendiri aku memborgol tanganku. Wajahmu menatapku dengan ragu, seolah tidak mengenaliku, sosok yang duduk di hadapanmu.
Perlahan, untuk pertama kalinya, kamu memelukku. Kehangatannya membuatku terluka, aku mengerutkan dahiku dalam, kupandangi wajahmu dengan menutut. Apa sebenarnya maksudmu?
Seolah ada yang mengoyak luka di balik dadaku, rasa sakitnya menjadi jauh lebih parah dari sebelumnya, kini berdenyut-denyut membuatku tanpa sadar nyaris mengerang karenanya. Susah payah aku menahannya membentuk sebuah senyuman, senyuman pengantar kepergianmu.
"Aku melakukannya, karena aku mencintaimu," ucapmu, dengan senyum yang tidak pernah berubah. Senyum janggal yang mampu menghantuiku berhari-hari. Banyak kejadian-kejadian baru yang terjadi pada hari ini, karenanya aku memutuskan untuk membrontak. Setelah kamu menutup pintu, aku merogoh bawah kasur dan kudapati penjepit rambut. Semalaman, tidak seperti biasanya, aku memilih untuk berkutat pada lubang borgol.
***
Suara nafasku yang lemah, menjadi seolah bergema di sepanjang lorong rumah. Mungkin karena sekarang waktu menunjukkan lewat tengah malam. Pada tengah kegelapan yang maram, aku mengendap-endap, berusaha mencari celah untuk pergi dari rumah.
Mataku perlahan melebar saat mendengar suaramu yang tiba-tiba sibuk berteriak lewat telepon. Segera aku berlari mencari tempat untuk bersembunyi. Setengah merangkak, aku memilih kolong meja makan. Melalui bias cahaya bulan, aku mendapatimu tengah menegak air putih dengan penuh emosi. Wajahmu menunduk, mata kita nyaris saling bertemu. Hati-hati, aku membenamkan diriku semakin dalam di dalam kolong meja, sampai tanganku meraba sebuah benda yang tipis dan dingin seperti es. Sebilah pisau.
Tanganku bergetar saat menyentuh pisau, tetapi rasa sakit di jantungku terasa begitu terhibur melihatnya. Tanpa sadar aku nyaris tertawa gembira begitu melihat pisau. Mungkin begini rasanya mendapat hadiah tiba-tiba darimu. Kudekap pisau dengan erat, dan tanpa basa-basi aku menghujamkannya ke arah jantungku. Kali ini aku benar-benar berhasil merasakan kasih dan mendeskripsikannya dengan jelas.
“Bau…, darah?” aku mendengar kamu bergumam bingung, sibuk kamu mengendusi udara, dan matamu terbelalak saat bertemu dengan sepasang mataku yang tengah tersenyum.
“Akhirnya aku merasa benar-benar dikasihi,” bisikku padamu. Kamu terlihat kalut, matamu membasah. Kamu menangis dan menyerukan namaku berkali-kali. Gemetaran kamu memelukku dan memanggil bantuan, tetapi semuanya terlambat. Sudah lama kamu mencegah peristiwa ini terjadi padaku. Tekanan-tekanan yang menghantuiku, membuatku tanpa sadar selalu tidur sambil berjalan membawa benda-benda tajam. Kali ini, aku bebas, aku benar-benar dicintai, dikasihi.
Satu yang tidak bisa aku lupakan, adalah senyummu setiap malam, sebelum kamu pergi meninggalkanku. Senyum yang katamu adalah senyum kasih. Sebuah senyum lebar, yang kaku, dan banjir air mata. Mulutmu merapalkan kata cinta dan kasih, tetapi tubuh dan wajahmu tidak mengucapkan serupa. Tubuhmu memilih meninggalkanku dan memborgolku, mengunciku di ruang bawah tanah, tetapi senyummu nampak sarat luka.
Ha, oiya. Memang itulah kasih. Sampai matipun, nampaknya aku akan berbangga karena aku akhirnya mampu mendeskripsikan apa itu cinta, apa itu kasih, apa itu senyuman penuh kasih. Akhirnya aku bisa tidur dengan tenang.